"Maafkan Papa, Dave. Sudah berburuk sangka denganmu. Kau perlu jaga dia, Dave." George menatap wanita muda yang belum juga membuka mata.Dave menghela napas panjang. Ia meninggalkan mereka semua di sana. Lelaki berpiyama tidur itu menuruni anak tangga. Berakhir pada ruang makan, lelaki itu meneguk air putih dalam gelas. Dari atas, Papa dan Mamanya turun. Karena tak tega melihat George berjalan dengan sangat pelan, akhirnya Dave berdiri dan membantu memegangi tangan keriput itu."Dave, Papa sudah tua. Kau, menikahlah. Mumpung ada wanita sebaik Dita." Dave melepas tangan Papanya setelah duduk di sofa. Ia duduk di sofa lain lalu menyalakan televisi. Tangannya mengusap wajah, tatapannya mengarah pada layar lebar tetapi hatinya tertinggal pada kalimat terakhir George."Sayang, dengarkan kata Papa! Kita semua menginginkan kamu membina rumah tangga yang bahagia. Dengan hadirkan anak-anak yang lucu-lucu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat yaitu jangan pernah mendekati wanita itu lagi. Wanit
"Mimpi dulu enggak apa-apa kali, Ndri. Orang mimpi baik kalau terwujud itu namanya rezeki." Rumi tersenyum."Tuh, apa aku bilang. Sekarang, semua keputusan ada di kamu. Seandainya, Tuan Dave benar-benar menyatakan hatinya padamu, apa kau akan menerimanya?" Ali menunggu jawaban dengan penasaran."Em, aku ... tidak mungkin itu, Mas." Wanita dengan napas berat itu tertawa. "Kita tidak usah mengharap yang tidak pasti. Kita harus tahu diri.""Halah, kalau jawaban kamu begitu, aku jadi curiga." Ali berdiri dan menggeliat hingga bunyi gemerutuk tulangnya terdengar oleh Ibu dan adiknya."Maksudnya apa, sih?" Indri masih terus menjawab. Rumi yang menyaksikan mereka beradu argumentasi hanya bisa menggeleng kepalanya. Mereka masih sama seperti anak-anaknya yang masih suka bertengkar. Terkadang, tak menyangka waktu bergulir begitu cepat. Rumi teringat sang suami yang sudah mendahuluinya. Rindu tak terkira, wanita tua itu juga membayangkan bagaimana jika mereka nanti berumah tangga semua. Ia past
Pagi yang dihiasi dengan embun menembus lubang hidung lelaki itu. Ia tidak mengatakan sepatah katapun melihat dua insan yang tengah menciptakan senyuman. Indri terdiam seketika begitu juga dengan Fabian yang menoleh dengan sungkan. Lelaki nomor satu di kantornya itu masih bergeming dengan menyandar kusen pintu kamar Indri."Pak," ucap Indri dengan spontan. "Kalian teruskan saja, aku akan ngobrol sama Ibu di luar." Kali ini, Dave tidak seketus biasanya. Dua orang di dalam kamar itupun terkejut lagi. Kenapa bisa sikap lelaki kaku itu berubah lain.Fabian membalik tubuhnya lagi setelah Dave keluar. "Ndri, aku kayaknya berangkat dulu, deh. Kamu baik-baik di rumah. Semoga cepat sembuh dan bisa ngantor lagi." Indri mengangguk seraya mengulas senyuman. "Mas, hati-hati di jalan. Makasih banyak sudah dijenguk." Fabian mundur dua langkah dan keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan Dave yang duduk di ruang tamu bersama dengan Rumi. Kakak dari Rasya itu berpamitan pada dua orang yang saling m
"Ndri, kamu serius cuman berdua sama Tuan Dave? Apa kamu tidak takut? Ke luar negeri, loh, Ndri." Ali tampak khawatir. Ia duduk di pinggir tempat tidur saat Indri menata baju-bajunya ke dalam koper. Datang pula Rumi yang membawakan sarapan roti bakar untuk mereka berdua. "Ibu juga khawatir, Ndri. Apa Tuan Dave tidak mengatakan kalau dia juga bersama karyawan yang lain?" "Ibu sama Mas Ali tenang saja. Tuan Dave tidak mungkin ke mana-mana sendirian. Selalu dengan ajudannya. Maksudnya cuman Indri saja itu, yang bakal menemani saat meeting." Wanita muda yang telah siap dengan pakaian rapi itu terus menata barang yang ia butuhkan selama kepergian.Ali bergeming sendiri. Kalau ia temani, bagaimana dengan Ibunya. Tidak mungkin sendirian. Ali meneguk air putih yang baru saja Rumi ulurkan. "Ndri, coba kamu minta Tuan Dave bawa karyawati lain buat menemanimu. Aku tidak izinkan kalau kamu pergi tanpa mahram." Indri menghentikan gerakan tangannya. Sejenak ia berpikir lalu detik selanjutnya ia
Dave menurunkan tangannya dari pinggang wanita itu. Ia sampai tak sadar jika sejak tadi Indri bersamanya. Ia menoleh ke belakang pada wanita yang terlihat masam. "Maaf, Risa. Aku harus ke Tokyo pagi ini. Tunggu kabar dariku lagi, oke?" Dave dan wanita itu melakukan kontak fisik pipi bertemu pipi lagi. "Hati-hati, Dave. Kamu berdua saja dengan wanita itu? Sayang banget, aku tidak bisa ikut. Padahal aku baru saja mendarat ke Jakarta untuk bertemu denganmu lagi." Wanita itu tampak kecewa dengan napas yang terhembus kasar."Aku usahakan tidak akan lama. Kamu hati-hati juga." Dave melambai pada wanita bernama Risa. Wanita yang sejak pertama tidak mendapat restu dari kedua orangtua Dave itu segera meninggalkan bandara."Ayo!" Dave bermaksud mengajak Indri meneruskan langkah. Akan tetapi, saat dia menoleh lagi, Indri sudah tidak ada di sana. Semua sudut ia pastikan, tetapi Indri tidak ada hingga sebuah pengumuman keberangkatan pesawat yang akan membawanya pergi telah terdengar. Dave langsu
Mereka berjalan beriringan selesai meeting. Indri menoleh kanan kiri yang berjejer toko-toko aneka kue dan buah. Kedai minuman khas dan masih banyak lagi yang buka. "Dit, kamu tahu kenapa aku memilih jalan kaki di malam begini?" Pria itu memperpelan langkah kakinya."Tau. Biar saya semakin kelelahan," ketus Indri. Saat sedang haid, dia memang sangat sensitif.Dave mengehela napas. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Untungnya hari ini semua pekerjaan selesai tinggal satu hari mereka di sana. "Dari tadi pagi kamu galak terus. Sama bos kamu aja dibentak-bentak." Pria itu berkata tanpa menoleh.Indri diam. Dia berhenti di depan toko aneka aksesoris. Padahal Dave sudah jalan lebih dulu. Saat pria itu berbicara sendiri, ia baru sadar yang dia ajak bicara masih tertinggal di belakang sana. Pria itu menoleh dan kembali."Kamu mau masuk?" tanya pria itu pada Indri yang masih terpaku. "Masuk aja, aku tunggu di sini.""Enggak, Pak. Lagian ...." Indri melanjutkan jalannya tetapi pria itu mencek
menganga. Ia segera mengalihkan tatapannya ke lain arah. Berbeda dengan tamu yang tak diundang itu. Wanita yang sama kemarin lusa sekarang berdiri di ambang pintu. Dave terlihat bingung. Ia tak tahu harus menjelaskan apa.Indri"Siapa dia, Dave? Aku seperti pernah melihatnya." Wanita dengan mantel tebal itu menerobos sosok tinggi tegap yang menghadangnya. Meskipun Dave sudah berusaha mencegah langkah wanita itu, ia tetap saja memaksa masuk."Risa, hentikan!" teriak Dave. Ia hanya berusaha menjaga privasi Indri apalagi sedang tidak enak badan. Wanita itupun berhenti tetapi keburu melihat Indri yang terbungkus selimut."Hah." Risa menutup mulutnya. Ia sangat terkejut. "Dave ...." Risa hanya menunjuk Indri dengan tatapan tajamnya. "Kau telah mengkhianatiku." Adegan tangis yang dibuat-buat pun terjadi.Indri tak bisa menjelaskan juga. Ia tak bisa bangkit karena kepalanya berdenyut nyeri. Indri semakin pusing karena ocehan wanita itu."Dave, suruh dia pergi! Wanita berhijab tapi modal ray
Di dalam pesawat, mereka tidak seperti biasanya. Indri lebih menjaga diamnya. Ia tak ingin terjadi fitnah lagi. Yang lalu, sudah menjadi pelajaran untuknya. Ia sadar diri untuk tidak terlalu dekat dengan Dave.Sampai di Jakarta lagi, Indri mengulas senyum dan menikmati udara berdebu itu. Dave menarik tangan wanita cantik di depannya yang berjalan lebih dulu. Sontak Indri berhenti dan berbalik. Dave memberinya masker. "Oh, makasih, Pak." Dave diam. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Namun, ada yang lain saat dia sudah berada di depan mobil jemputan. Pria bermantel hitam itu melepas kacamata hitamnya, menghela napas berat. Ia teringat Risa yang tertinggal di Tokyo. "Pak, saya naik taksi aja, ya?" Indri mulai menuruni tangga ringan pada lobi bandara."Saya akan antar kamu." Mendengar ucapan Dave, pundak Indri luruh seketika. Ia ingin lepas dari lelaki itu tetapi, tak bisa. Dave menuruni anak tangga tetapi seorang wanita dengan terburu-buru dan menangis melewatinya. "Risa," teria
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k