menganga. Ia segera mengalihkan tatapannya ke lain arah. Berbeda dengan tamu yang tak diundang itu. Wanita yang sama kemarin lusa sekarang berdiri di ambang pintu. Dave terlihat bingung. Ia tak tahu harus menjelaskan apa.Indri"Siapa dia, Dave? Aku seperti pernah melihatnya." Wanita dengan mantel tebal itu menerobos sosok tinggi tegap yang menghadangnya. Meskipun Dave sudah berusaha mencegah langkah wanita itu, ia tetap saja memaksa masuk."Risa, hentikan!" teriak Dave. Ia hanya berusaha menjaga privasi Indri apalagi sedang tidak enak badan. Wanita itupun berhenti tetapi keburu melihat Indri yang terbungkus selimut."Hah." Risa menutup mulutnya. Ia sangat terkejut. "Dave ...." Risa hanya menunjuk Indri dengan tatapan tajamnya. "Kau telah mengkhianatiku." Adegan tangis yang dibuat-buat pun terjadi.Indri tak bisa menjelaskan juga. Ia tak bisa bangkit karena kepalanya berdenyut nyeri. Indri semakin pusing karena ocehan wanita itu."Dave, suruh dia pergi! Wanita berhijab tapi modal ray
Di dalam pesawat, mereka tidak seperti biasanya. Indri lebih menjaga diamnya. Ia tak ingin terjadi fitnah lagi. Yang lalu, sudah menjadi pelajaran untuknya. Ia sadar diri untuk tidak terlalu dekat dengan Dave.Sampai di Jakarta lagi, Indri mengulas senyum dan menikmati udara berdebu itu. Dave menarik tangan wanita cantik di depannya yang berjalan lebih dulu. Sontak Indri berhenti dan berbalik. Dave memberinya masker. "Oh, makasih, Pak." Dave diam. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Namun, ada yang lain saat dia sudah berada di depan mobil jemputan. Pria bermantel hitam itu melepas kacamata hitamnya, menghela napas berat. Ia teringat Risa yang tertinggal di Tokyo. "Pak, saya naik taksi aja, ya?" Indri mulai menuruni tangga ringan pada lobi bandara."Saya akan antar kamu." Mendengar ucapan Dave, pundak Indri luruh seketika. Ia ingin lepas dari lelaki itu tetapi, tak bisa. Dave menuruni anak tangga tetapi seorang wanita dengan terburu-buru dan menangis melewatinya. "Risa," teria
"Aku ... maaf, Ndri. Aku ingin mengajakmu rujuk." Rasya menundukkan kepalanya.Indri sendiri malah menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin itu, Mas. Mustahil. Aku tidak mau dan tidak akan kembali sama kamu. Kita sudah memilih jalan yang benar yaitu berpisah. Kamu juga sudah mendapatkan kebahagiaan lewat wanita yang baru kamu nikahi. Sekarang, pulanglah. Ini juga sudah larut.""Ndri, kumohon. Aku tidak ingin terjebak dengan keadaan. Aku dihina di keluarga Laura. Aku dibilang miskin karena hanya menjadi karyawan biasa. Gara-gara diturunkan jabatanku." Rasya terus mengiba. Dia tidak pantang menyerah."Mas, aku tidak bisa lama-lama menemanimu. Aku harus masuk. Ini tengah malam, Mas. Silakan pulang dulu. Jangan biarkan tetangga juga berpikiran buruk tentang kita. Nanti akan ada gosip yang tak baik jika ini berlanjut. Maaf," balas Indri untuk terakhir kali. Ia menutup pintu lagi dan menguncinya. Rumi yang sempat menguping pembicaraan, langsung menyentuh lengan putrinya."Sudah, masuk aja," lir
"Mas ...." Indri masih terpaku. "Ayo!" Pria itu mengajak Indri lagi. "Mas, kenapa kamu ada di sini?" Seolah tak mendengar ajakan pria itu, Indri belum juga beranjak dari tempatnya berdiri."Sudahlah, ceritanya nanti saja." Fabian mengusap air mata di pipi wanita cantik itu. "Coba tunjukkan jalannya!" Fabian mengulum senyuman.Indri yang masih mendongak, beralih pandangan jauh di ujung jalan. Setelah itu, dia mengangguk. Mereka bergandengan, ada rasa yang menggetarkan hati. Indri sadar, tak seharusnya dia membiarkan lelaki itu terus menggenggam tangannya. Mereka bukan suami istri. Sampai di depan dua makan kecil dengan batu bertuliskan nama, Indri berjongkok mengelus pusara hitam di sana. Fabian ikut berjongkok dan membersihkan makam yang terdapat dedaunan kering. "Ini putra-putramu, Ndri? Pasti mereka sudah bahagia di sana. Jangan bersedih, kelak kalian pasti bisa bertemu lagi. Meski sudah berbeda cerita." "Iya, Mas. Aku tahu, aku tidak boleh berhenti di tengah jalan. Aku harus m
Angin bertiup membawa debu yang memenuhi jalan, dua mobil saling beriringan dengan laju yang tak tentu. Dua bersaudara saling beradu. Hingga sebuah suara yang memekik telinga membuat penumpangnya terasa seperti tengah mengadu nyawa. Indri mengatur napasnya bersama mobil yang telah berhasil ditekan remnya."Mas, aku mau turun saja. Aku tidak sanggup naik mobil begini. Perutku mual." Indri mendadak berkeringat dingin. Tenaganya seolah terhempas bersama dengan udara yang memuai. "Maafkan aku, Ndri. Aku kesal dengan Rasya yang masih saja berusaha inginkan dirimu." Fabian jujur. Ia tak bisa menahannya terlalu lama. "Aku mencintaimu." Mereka masih di dalam sana. Begitu Indri mengatakan keadaannya, Fabian membuka kaca mobil tanpa diminta.Indri membuka pintu, ia keluar dengan napas memburu. Duduk di pinggir jalan dan hampir saja lengah. Satu tangan Rasya terulur dan separuh tubuh wanita itu berhasil melekat kembali pada dada bidang."Ndri, kamu baik-baik saja? Rasya tersenyum bahagia dalam
Keadaan tenang itu dikejutkan dengan sebuah klakson yang berbunyi nyaring. Mobil mewah berwarna putih berhenti di bawah pohon mangga milik keluarga Indri. Dari balik jendela, Indri bisa melihat sosok gagah dengan outfitnya yang berkelas turun setelah mesin mati."Nah, kan. Dia datang." Tiba-tiba saja tengkuk terasa gatal, ingin rasanya langsung tidur."Udah, temuin saja! Siapa tahu, kamu dapat job yang lumayan. Bukan hanya perihal asmara." Ali terkekeh geli."Bener apa kata Mas-mu, Ndri. Coba temuin dulu!" tambah Rumi. Ia bersiap menuangkan minuman setelah pergi dari kamar Indri.Langkah yang terlihat malas itu mencoba membuka pintu sebelum si tamu mengetuknya. Mereka bertatapan lalu, terlihat kaku karena sama-sama gugup."Masuk, Pak!" Indri membuka lebar-lebar pintu dengan ukiran kayu tersebut."Iya," balas Dave singkat. Dave duduk setelah meletakkan kunci mobilnya di meja. Ia melihat keadaan sekitar yang terlihat sepi. Padahal, Ali dan Rumi tengah menguping dari kamar masing-masing
"Kamu beneran berangkat sama dia, Ndri?" Ali yang tengah berdiri di depan cermin lemarinya, memastikan sang adik duduk di kursi ruang tengah. "Au ah. Dia maksa banget, Mas. Masa iya aku nolak, aku sudah terikat kontrak kerja juga dengan dia. Aku belum siap kehilangan pekerjaan ini. Cuman nemenin emaknya doang, kok." Indri terlihat malas meski sudah siap dengan penampilan rapi. Gaun hitam dengan beberapa manik yang berkilau, dipadu dengan jilbab berwarna nude. Indri menyandarkan kepalanya pada kursi. Menemani Ibunya yang tengah menonton televisi.Waktu baru menunjukkan pukul tujuh, lepas salat Isya' Indri sudah siap. Menunggu pria yang katanya ingin menjemput. Tangannya mengotak-atik ponsel sejak tadi."Aku duluan, yah?" Ali keluar kamar. Menutup pintu agak renggang. Pria dewasa seusia Fabian itu terlihat sangat sempurna. Jambangnya yang mulai merambat tipis, mempertegas dirinya sudah benar-benar matang untuk segera berumah tangga."Duluan, deh. Kalau si es batu enggak datang, aku bis
"Terima kasih, Miss. Kami pergi dulu." Dave menyelesaikan pembayaran dan membuka pintu mobil untuk Indri. Mereka kembali ke jalanan yang padat. Kebetulan malam Minggu, banyak pengguna jalan yang sengaja keluar malam untuk menikmati suasana kota Jakarta.Sampai di tempat tujuan, mereka turun. Namun, saat berjalan Indri kesusahan. High heels yang ia pakai terlalu tinggi. Memang sepadan dengan tinggi badan Dave, agar mereka terlihat serasi. Berbeda menurut Indri, ini akan sangat mengganggunya."Pegang!" Dave mengulurkan tangannya. "Tapi, Pak. Kita bukan pasangan, apalagi suami istri. Saya tidak bisa berpegangan dengan anda." Dave berdecak. "Kalau kamu jatuh, siapa yang malu?" "Ya, saya sendiri. Memangnya siapa?" Indri menyincing gaunnya dan mulai masuk. "Dita!" teriak Dave. Pria itu mengejarnya. Yang dikhawatirkan Dave benar terjadi, hampir saja Indri terjungkang. Dengan sigap, tangan kekar itu menangkap pinggang ramping lalu menariknya. Mereka menjadi pusat perhatian. Sejenak bumi