Mereka berjalan beriringan selesai meeting. Indri menoleh kanan kiri yang berjejer toko-toko aneka kue dan buah. Kedai minuman khas dan masih banyak lagi yang buka. "Dit, kamu tahu kenapa aku memilih jalan kaki di malam begini?" Pria itu memperpelan langkah kakinya."Tau. Biar saya semakin kelelahan," ketus Indri. Saat sedang haid, dia memang sangat sensitif.Dave mengehela napas. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Untungnya hari ini semua pekerjaan selesai tinggal satu hari mereka di sana. "Dari tadi pagi kamu galak terus. Sama bos kamu aja dibentak-bentak." Pria itu berkata tanpa menoleh.Indri diam. Dia berhenti di depan toko aneka aksesoris. Padahal Dave sudah jalan lebih dulu. Saat pria itu berbicara sendiri, ia baru sadar yang dia ajak bicara masih tertinggal di belakang sana. Pria itu menoleh dan kembali."Kamu mau masuk?" tanya pria itu pada Indri yang masih terpaku. "Masuk aja, aku tunggu di sini.""Enggak, Pak. Lagian ...." Indri melanjutkan jalannya tetapi pria itu mencek
menganga. Ia segera mengalihkan tatapannya ke lain arah. Berbeda dengan tamu yang tak diundang itu. Wanita yang sama kemarin lusa sekarang berdiri di ambang pintu. Dave terlihat bingung. Ia tak tahu harus menjelaskan apa.Indri"Siapa dia, Dave? Aku seperti pernah melihatnya." Wanita dengan mantel tebal itu menerobos sosok tinggi tegap yang menghadangnya. Meskipun Dave sudah berusaha mencegah langkah wanita itu, ia tetap saja memaksa masuk."Risa, hentikan!" teriak Dave. Ia hanya berusaha menjaga privasi Indri apalagi sedang tidak enak badan. Wanita itupun berhenti tetapi keburu melihat Indri yang terbungkus selimut."Hah." Risa menutup mulutnya. Ia sangat terkejut. "Dave ...." Risa hanya menunjuk Indri dengan tatapan tajamnya. "Kau telah mengkhianatiku." Adegan tangis yang dibuat-buat pun terjadi.Indri tak bisa menjelaskan juga. Ia tak bisa bangkit karena kepalanya berdenyut nyeri. Indri semakin pusing karena ocehan wanita itu."Dave, suruh dia pergi! Wanita berhijab tapi modal ray
Di dalam pesawat, mereka tidak seperti biasanya. Indri lebih menjaga diamnya. Ia tak ingin terjadi fitnah lagi. Yang lalu, sudah menjadi pelajaran untuknya. Ia sadar diri untuk tidak terlalu dekat dengan Dave.Sampai di Jakarta lagi, Indri mengulas senyum dan menikmati udara berdebu itu. Dave menarik tangan wanita cantik di depannya yang berjalan lebih dulu. Sontak Indri berhenti dan berbalik. Dave memberinya masker. "Oh, makasih, Pak." Dave diam. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Namun, ada yang lain saat dia sudah berada di depan mobil jemputan. Pria bermantel hitam itu melepas kacamata hitamnya, menghela napas berat. Ia teringat Risa yang tertinggal di Tokyo. "Pak, saya naik taksi aja, ya?" Indri mulai menuruni tangga ringan pada lobi bandara."Saya akan antar kamu." Mendengar ucapan Dave, pundak Indri luruh seketika. Ia ingin lepas dari lelaki itu tetapi, tak bisa. Dave menuruni anak tangga tetapi seorang wanita dengan terburu-buru dan menangis melewatinya. "Risa," teria
"Aku ... maaf, Ndri. Aku ingin mengajakmu rujuk." Rasya menundukkan kepalanya.Indri sendiri malah menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin itu, Mas. Mustahil. Aku tidak mau dan tidak akan kembali sama kamu. Kita sudah memilih jalan yang benar yaitu berpisah. Kamu juga sudah mendapatkan kebahagiaan lewat wanita yang baru kamu nikahi. Sekarang, pulanglah. Ini juga sudah larut.""Ndri, kumohon. Aku tidak ingin terjebak dengan keadaan. Aku dihina di keluarga Laura. Aku dibilang miskin karena hanya menjadi karyawan biasa. Gara-gara diturunkan jabatanku." Rasya terus mengiba. Dia tidak pantang menyerah."Mas, aku tidak bisa lama-lama menemanimu. Aku harus masuk. Ini tengah malam, Mas. Silakan pulang dulu. Jangan biarkan tetangga juga berpikiran buruk tentang kita. Nanti akan ada gosip yang tak baik jika ini berlanjut. Maaf," balas Indri untuk terakhir kali. Ia menutup pintu lagi dan menguncinya. Rumi yang sempat menguping pembicaraan, langsung menyentuh lengan putrinya."Sudah, masuk aja," lir
"Mas ...." Indri masih terpaku. "Ayo!" Pria itu mengajak Indri lagi. "Mas, kenapa kamu ada di sini?" Seolah tak mendengar ajakan pria itu, Indri belum juga beranjak dari tempatnya berdiri."Sudahlah, ceritanya nanti saja." Fabian mengusap air mata di pipi wanita cantik itu. "Coba tunjukkan jalannya!" Fabian mengulum senyuman.Indri yang masih mendongak, beralih pandangan jauh di ujung jalan. Setelah itu, dia mengangguk. Mereka bergandengan, ada rasa yang menggetarkan hati. Indri sadar, tak seharusnya dia membiarkan lelaki itu terus menggenggam tangannya. Mereka bukan suami istri. Sampai di depan dua makan kecil dengan batu bertuliskan nama, Indri berjongkok mengelus pusara hitam di sana. Fabian ikut berjongkok dan membersihkan makam yang terdapat dedaunan kering. "Ini putra-putramu, Ndri? Pasti mereka sudah bahagia di sana. Jangan bersedih, kelak kalian pasti bisa bertemu lagi. Meski sudah berbeda cerita." "Iya, Mas. Aku tahu, aku tidak boleh berhenti di tengah jalan. Aku harus m
Angin bertiup membawa debu yang memenuhi jalan, dua mobil saling beriringan dengan laju yang tak tentu. Dua bersaudara saling beradu. Hingga sebuah suara yang memekik telinga membuat penumpangnya terasa seperti tengah mengadu nyawa. Indri mengatur napasnya bersama mobil yang telah berhasil ditekan remnya."Mas, aku mau turun saja. Aku tidak sanggup naik mobil begini. Perutku mual." Indri mendadak berkeringat dingin. Tenaganya seolah terhempas bersama dengan udara yang memuai. "Maafkan aku, Ndri. Aku kesal dengan Rasya yang masih saja berusaha inginkan dirimu." Fabian jujur. Ia tak bisa menahannya terlalu lama. "Aku mencintaimu." Mereka masih di dalam sana. Begitu Indri mengatakan keadaannya, Fabian membuka kaca mobil tanpa diminta.Indri membuka pintu, ia keluar dengan napas memburu. Duduk di pinggir jalan dan hampir saja lengah. Satu tangan Rasya terulur dan separuh tubuh wanita itu berhasil melekat kembali pada dada bidang."Ndri, kamu baik-baik saja? Rasya tersenyum bahagia dalam
Keadaan tenang itu dikejutkan dengan sebuah klakson yang berbunyi nyaring. Mobil mewah berwarna putih berhenti di bawah pohon mangga milik keluarga Indri. Dari balik jendela, Indri bisa melihat sosok gagah dengan outfitnya yang berkelas turun setelah mesin mati."Nah, kan. Dia datang." Tiba-tiba saja tengkuk terasa gatal, ingin rasanya langsung tidur."Udah, temuin saja! Siapa tahu, kamu dapat job yang lumayan. Bukan hanya perihal asmara." Ali terkekeh geli."Bener apa kata Mas-mu, Ndri. Coba temuin dulu!" tambah Rumi. Ia bersiap menuangkan minuman setelah pergi dari kamar Indri.Langkah yang terlihat malas itu mencoba membuka pintu sebelum si tamu mengetuknya. Mereka bertatapan lalu, terlihat kaku karena sama-sama gugup."Masuk, Pak!" Indri membuka lebar-lebar pintu dengan ukiran kayu tersebut."Iya," balas Dave singkat. Dave duduk setelah meletakkan kunci mobilnya di meja. Ia melihat keadaan sekitar yang terlihat sepi. Padahal, Ali dan Rumi tengah menguping dari kamar masing-masing
"Kamu beneran berangkat sama dia, Ndri?" Ali yang tengah berdiri di depan cermin lemarinya, memastikan sang adik duduk di kursi ruang tengah. "Au ah. Dia maksa banget, Mas. Masa iya aku nolak, aku sudah terikat kontrak kerja juga dengan dia. Aku belum siap kehilangan pekerjaan ini. Cuman nemenin emaknya doang, kok." Indri terlihat malas meski sudah siap dengan penampilan rapi. Gaun hitam dengan beberapa manik yang berkilau, dipadu dengan jilbab berwarna nude. Indri menyandarkan kepalanya pada kursi. Menemani Ibunya yang tengah menonton televisi.Waktu baru menunjukkan pukul tujuh, lepas salat Isya' Indri sudah siap. Menunggu pria yang katanya ingin menjemput. Tangannya mengotak-atik ponsel sejak tadi."Aku duluan, yah?" Ali keluar kamar. Menutup pintu agak renggang. Pria dewasa seusia Fabian itu terlihat sangat sempurna. Jambangnya yang mulai merambat tipis, mempertegas dirinya sudah benar-benar matang untuk segera berumah tangga."Duluan, deh. Kalau si es batu enggak datang, aku bis
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k