“Apakah menurutmu mereka harus dikabari?”Aku bingung harus menjawab apa. Bukankah seorang ibu biasanya ingin ditengok anak-anaknya saat sakit.“Tolong panggikan saja Hindun.”Aku melakukan perintah majikanku. Madam Hindun terlihat kaget saat mengetahui ibunya sakit dari semalam. Pasti beliau lelap tidurnya karena lelah dan kenyang makan-makan kemarin.“Kamu kabari sodara-sodaramu. Bilang Ummi sakit tapi tak usah khawatir karena sudah ditangani dokter. Ada Latifah juga yang merawatku. Kalau tak dikabari nanti mereka menyalahkanmu.”Aku memberikan sarapan lebih awal supaya Ummi bisa segera minum obat. Kompresan air panas juga kuganti karena airnya sudah agak dingin.“Ummi kenapa kok bisa jadi sakit?” aku bertanya dengan hati-hati.“Sepertinya kemarin kebanyakan makan, maklum perut tua, salah dikit langsung protes hehe.” Syukurlah majikanku sudah bisa tertawa.“Masakan kalian kemarin itu enak-enak banget. Apalagi kue semut itu, Ummi makan banyak sekali. Semua orang juga bilang kue itu le
Tak terasa tiga bulan aku berjauhan dengan keluarga. Sekarang hatiku sudah mulai terbiasa, tak lagi sering menangis diam-diam menjelang tidur. Tapi air mata tetap tak bisa ditahan setiap kali bersujud di sepertiga malam, dan menyebut nama orang-orang tersayang dalam doa. Lina pun bilang Yusril sudah ceria dan aktif, dia punya banyak teman main yang membuatnya aktif seharian. Hal itu pun membuatnya selalu makan dengan lahap sehingga badannya semakin kuat. Hatiku menghangat bahagia mendengarnya, kuputar lagi video Yusril yang Lina kirimkan.{Teh, Amang Dasep sudah ngontak belum? Kemarin minta nomor Teteh katanya ada perlu.} Chat dari Lina masuk saat aku istirahat siang di kamarnya. Dia sudah tahu waktu-waktu aku agak santai.{Belum. Memangnya ada apa? Tumben Amang Dasep mau ngontak Teteh.}{Kurang tahu, Teh. Mungkin mau pesen karpet Turki hehe ….}{Maksudnya gimana?}Bukan tak senang dikontak saudara, tapi rasanya aneh saja. Selama ini adik Bapak yang kaya itu nyaris tak pernah bersilatu
“Boleh juga idenya, Mang. Tapi Lala mau diskusi dulu sama Ibu dan Mas Agi ya.”“Sebagai pengganti Bapakmu, Amang hanya ingin menolongmu. Ibumu juga pasti setuju. Hanya soal Agi … bagaimana ya bilangnya ….”Amang Dasep menarik napas lalu menghembuskannya berat. Hatiku jadi tak enak. Ada apa dengan Mas Agi?“Ada apa dengan Mas Agi, Mang? Dia baik-baik saja? terakhir ngontak mau berangkat kerja.”“Begitulah, La. Kamu yang sabar ya. Si Agi itu ada selentingan kawin lagi dan sekarang tinggal di rumah istri mudanya.”Deg. Ada yang sakit di dalam sana, tanpa diundang setetes air turun di pipiku. Mang Dasep pasti salah informasi. Mas Agi kemarin-kemarin memang sedang galau, tapi dia bukan orang yang suka berkhianat.“Maaf ya, Mang, tapi Lala tak percaya. Mas Agi bukan orang seperti itu.”“Kamu jangan naif jadi perempuan. Laki-laki mana tahan ditinggal istrinya berbulan-bulan apalagi tahunan. Amang juga percaya tak percaya, tapi gimana ya bilangnya. Lihat saja sendiri fotonya.”Setelah telpon d
Selesai melayani Ummi aku membantu pekerjaan Ayu di dapur. Setelah itu aku mengelap perabotan rumah yang sebenarnya masih kinclong. Pokoknya aku harus bergerak dan melakukan banyak hal agar tak sempat melamun. Hingga malam hari setelah majikan tidur aku langsung tertidur karena kelelahan.“Sabar ya, jangan terlalu berprasangka buruk. Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya.” Ayu mengusap lenganku. Aku hanya mengangguk untuk perhatiannya. Saat bangun di sepertiga malam aku langsung ambil air wudlu. Waktu yang ditunggu untuk curhat sepuasnya pada Dia yang menciptakan diri ini dan seluruh makhluk. Aku tak tahu yang sebenarnya terjadi, tapi Dia selalu tahu. Aku tak mampu mengobati hatiku sendiri yang nelangsa dan putus as. Tapi dia Maha Pembolak-balik hati, mudah bagi-Nya mengganti rasa sedih dengan rasa bahagia. Aku hanya mengira-ngira apa yang dapat membuatku bahagia. Tapi Dia bener-benar mengetahui apa yang akan membuatku bahagia dan Dia juga kuasa memberikannya jika berkehendak.Selesai
Ini bukan kali pertama aku mendengar nama nasi mandhi. Dulu, saat pertama mendengar namanya, aku mempertajam pendengaran khawatir keliru. Yang namanya nasi ya pasti dimandiin alias dicuci dulu berasnya. Rasa penasaranku terjawab, saat Ayu menunjukkan sebuah video cara asli pembuatan nasi mandhi. Aku bengong, bikin nasi aja bisa seribet itu. Susah menjelaskannya, mesti melihat videonya langsung.“Memang aslinya lumayan ribet. Tapi tenang, kita akan bikin versi simpelnya,” kata Ayu sambil tertawa.Pemeran utama sajian tradisional yang berasal dari Yaman ini tetap nasi basmati yang panjang-panjang itu sama daging kambing. Konon katanya nasi basmati ini lebih menyehatkan dari pada nasi putih. Katanya sih karena kandungan gula dalam nasi putih lebih banyak, entah karena apa lagi. “Aku pertama kali lihat beras basmati pengen muntah lho. Panjang-panjang putih kekuningan gitu, mirip ulet. Tapi karena laper terpaksa aku makan juga. Eh ternyata rasanya enak, jadi doyan deh hehe.” Ayu terkekeh
“Dari cerita kamu kok aku ada merasa sesuatu yang sedikit janggal, tapi entah apa. Tapi kalau memang sudah mantap dan ibumu setuju ya lanjutkan aja. Semoga itu yang terbaik buat kamu.”“Iya, aku juga enggak punya alasan untuk menolak keinginan Mang Dasep buat nabung di matrialnya. Toh akhirnya juga uang aku memang buat beli bahan bangunan.”Sayangnya aku tak terlalu menganggap serius kekhawatiran sahabatku itu.“Eh, aku kok penasaran sama ipar kembar kamu itu, apa mereka enggak marah waktu tahu dikirim karpet murahan?” Ayu mengambil sepotong sambosa.Aku yang tengah minum spontan tertawa dan tersedak. Ayu menepuk-nepuk punggungku.“Yee … belum juga ngejawab udah ketawa aja, tersedak kan jadinya.”“Xixixi habisnya aku enggak kuat pengen ketawa pas ingat kejadian itu. Lucu banget. Sayangnya waktu itu kamu pergi lama banget sama Madam, jadi aku enggak ada temen ketawa. Xixixi.” Aku ngikik sambil memegang perutku. Nasi mand
Setelah salat dluha Ummi mengajak kami berkumpul di ruang keluarga. Ummi dan Madam mengenakan abaya biru dongker dengan border yang manis dilengkapi pashmina melilit cantik di kepala mereka. Keduanya terlihat cantik dan menawan dengan wajah khas Arabnya. Kami duduk lesehan di atas karpet tebal dengan bantal-bantal cantik sebagai sandaran. Aku mengambil posisi dekat Ummi Maimunah dan Ayu dekat Madam Hindun. Supaya mudah kalau mereka perlu sesuatu.Di depan kami televisi layar datar nyaris sebesar papan tulis tengah menampilkan moderator yang membuka acara. Sebentar lagi kajian dari seorang syaikh favorit Ummi akan segera di mulai. Semacam kuliah dluha kalau di Indonesia.“Matamu kenapa?” Ayu mencolek lenganku saat kami ke dapur untuk mengambil cangkir.“Kepikiran Mas Agi terus. Waktu sibuk aku bisa melupakan masalahku, tapi saat santai suka kepikiran. Aku takut.” Aku hampir menangis lagi.“Tarik napas panjang dan hembuskan pelan-pelan. Ka
“Kita akan berangkat pakai travel kayak di Indonesia atau gimana sih umroh di sini?”“Enggak lah. Kita berangkat rombongan keluarga aja cukup. Beda kalau mau ibadah haji, harus daftar dulu ke pemerintah. Umroh orang sini simpel banget, bisa dilakukan pulang pergi kalau mau. Seperti kamu dari Tasik main ke rumahku di Jogja, bisa PP kan, cuma ya lumayan capek.”“Kalau cuma beberapa jam ngapain ini kita nyiapin baju banyak ke koper?” tanganku yang tengah memasukkan pakaian Ummi Maimunah ke koper terhenti. Ayu sudah lebih dulu selesai packing pakaian Madam Hindun.“Oh iya lupa ngasih tahu. Ummi mau kita malam ini mabit depan ka’bah terus besok habis subuh istirahat di hotel. Sorenya kita mampir ke masjid Nabawi sebelum pulang.”“Masya Allah, kita juga mau nginep di hotel? Duh udah nggak sabar, seumur-umur aku belum pernah tidur di kamar hotel, gimana rasanya ya?”Ayu tertawa geli melihat kenorakanku. Biarlah, di depan dia aku tak ak