Setelah salat dluha Ummi mengajak kami berkumpul di ruang keluarga. Ummi dan Madam mengenakan abaya biru dongker dengan border yang manis dilengkapi pashmina melilit cantik di kepala mereka. Keduanya terlihat cantik dan menawan dengan wajah khas Arabnya. Kami duduk lesehan di atas karpet tebal dengan bantal-bantal cantik sebagai sandaran. Aku mengambil posisi dekat Ummi Maimunah dan Ayu dekat Madam Hindun. Supaya mudah kalau mereka perlu sesuatu.Di depan kami televisi layar datar nyaris sebesar papan tulis tengah menampilkan moderator yang membuka acara. Sebentar lagi kajian dari seorang syaikh favorit Ummi akan segera di mulai. Semacam kuliah dluha kalau di Indonesia.“Matamu kenapa?” Ayu mencolek lenganku saat kami ke dapur untuk mengambil cangkir.“Kepikiran Mas Agi terus. Waktu sibuk aku bisa melupakan masalahku, tapi saat santai suka kepikiran. Aku takut.” Aku hampir menangis lagi.“Tarik napas panjang dan hembuskan pelan-pelan. Ka
“Kita akan berangkat pakai travel kayak di Indonesia atau gimana sih umroh di sini?”“Enggak lah. Kita berangkat rombongan keluarga aja cukup. Beda kalau mau ibadah haji, harus daftar dulu ke pemerintah. Umroh orang sini simpel banget, bisa dilakukan pulang pergi kalau mau. Seperti kamu dari Tasik main ke rumahku di Jogja, bisa PP kan, cuma ya lumayan capek.”“Kalau cuma beberapa jam ngapain ini kita nyiapin baju banyak ke koper?” tanganku yang tengah memasukkan pakaian Ummi Maimunah ke koper terhenti. Ayu sudah lebih dulu selesai packing pakaian Madam Hindun.“Oh iya lupa ngasih tahu. Ummi mau kita malam ini mabit depan ka’bah terus besok habis subuh istirahat di hotel. Sorenya kita mampir ke masjid Nabawi sebelum pulang.”“Masya Allah, kita juga mau nginep di hotel? Duh udah nggak sabar, seumur-umur aku belum pernah tidur di kamar hotel, gimana rasanya ya?”Ayu tertawa geli melihat kenorakanku. Biarlah, di depan dia aku tak ak
Selesai berkemas kami pun beristirahat untuk memulihkan tenaga. Baru juga merebahkan badan, hapeku berbunyi. Nomor Ibu.“Assalamualaikum Teteh … lagi istirahat ya maaf Ibu ganggu. Ini sodara-sodara mau minta doa sama Teteh di depan ka’bah katanya.” Terlihat wajah perempuan tercintaku di layar hape. Layar berubah dengan pemandangan tengah rumah. Karpet Turki tergelar anggun di sana di duduki para saudara yang semuanya berwajah cerah.“Lala doakan Uwak yaa ….”“Lala doakan Amang juga ….”“Lala, Imah juga doakan ….”Semuanya berebut ingin minta didoakan. Aku tertawa geli sekaligus terharu.“Bagaimana kalau ditulis dikertas aja, biar nanti Lala bacakan satu-satu depan ka’bah. Kalau disebutin khawatir lupa lagi kan banyak. Nanti tulisannya Lina fotoin ya, Lin.” Aku ngasih solusi. Pengang juga kupingku mendengar mereka berebut bicara.Beberapa saat aku ngobrol sama anak semata wayangku dan juga tantenya yan
Di pelataran Masjidil Harom tidak terlalu banyak orang seperti yang kukira. Syukurlah jadi aku tak kesulitan mendorong kursi roda Ummi. Memasuki Masjidil Harom aku masih biasa, hanya dada merasa mengembang saking bahagia. Lalu saat bangunan ka’bah hanya beberapa meter di depan kami, tenggorokanku seperti tercekik oleh air mata yang ingin berjejalan keluar. Terima kasih ya Allah, hamba yang hina ini Engkau perkenankan menjadi tamu-Mu dan akan menikmati jamuan kasih sayang-Mu. Bangunan kotak berwarna hitam itu adalah bangunan yang sama yang dipandang baginda Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam saat beribadah. Bangunan yang sama pula meski dalam bentuk lebih sederhana, yang dibangun Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagai tempat ibadah pertama. “Teteh sangat beruntung, baru beberapa bulan kerja sudah diajak umroh sama majikan. Kemarin Ceu Kiki cerita, dia baru diajak umroh setelah hampir dua tahun kerja. Itu pun setelah merengek-rengek karena sudah mau pulang tapi belum pernah umroh.
“Latifah, ta’ali! Tolong ambilkan mushaf Al Quran sama isi air zamzam, tempat minum Ummi sudah kosong. Pastikan airnya tidak dingin ya.” Aku mengangguk patuh dan beranjak. Kuedarkan pandanganku, memang di dalam masjidil Harom ini banyak mushaf Al Quran yang disimpan di dalam rak. Berarti galon-galon besar yang berjajar di hampir setiap tempat itu berisi air zam-zam.Kuambil mushaf Al Quran yang berada di rak dekat kami dua buah, satu untuk majikanku dan satu untukku. Kuberikan dulu mushaf pada Ummi lalu mengambil tempat minum. Pantesan majikanku wanti-wanti ngisi air zamzamnya jangan yang dingin. Ternyata galon-galon ini kebanyakan berisi air dingin. Dari belasan galon yang berjajar pada satu tempat, hanya ada dua galon yang berisi air tidak dingin. Saat kembali, kulihat Ayu masih khusyu berdoa. “Kamu berdoa apa aja, La? Khusyu banget sampat nangis-nangis gitu,” tanya Ayu agak berbisik sambil menyelonjorkan kakinya selesai salat Subuh.“Sam
“Masya Allah, kamu Lala kan?” seorang wanita mengamatiku saat aku selesai berwudlu. Mataku terbelalak, tak mengira akan bertemu lagi dengan Bu Mulia di Masjidil Harom.“Masya Allah, Bu Mulia. Untung kita ketemu di tempat wudlu jadi saya nggak pakai niqob.”“Kamu apa kabar? Alhamdulillah ya doa kamu untuk umroh sudah terkabul.”“Alhamdulillah, Bu, berkat doa ibu juga.”“Majikan kamu pasti baik sekali ya, makanya baru sebentar kerja sudah diajak umroh.”“Betul, Bu Alhamdulillah rejeki saya dapat majikan yang luar biasa baiknya. Tapi ah maaf sekali saya enggak bisa lama-lama ini ditungguin majikan.” Aku berkata dengan nada menyesal. Sebenarnya memang masih ingin berbincang lama.“Ya, udah yuk aku juga mau kembali ke tempat teman-teman.”Kami pun mengobrol sebentar sambil berjalan ke tempat rombongan di depan ka’bah. Ternyata tempat duduk kami berdekatan. Bu Mulia sangat antusias saat mengetahui kami akan mampir ke pasar kurma terbesar di kota Mekah.
Setelah lelah berfoto kami pun tertidur dan terbangun dengan suara alarm di ponsel. Ah untunglah tak ada panggilan telpon dari majikanku di kamar sebelah. Kulirik jam di ponsel yang menunjukkan angka 10.00. Masih banyak waktu sebelum salat Dzuhur dan makan siang.“Yu, kok orang-orang di bawah kayak yang hormat gitu ya sama keluarganya Ummi.” Aku mengemukakan rasa penasaran pada sahabatku.“Ya karena ini hotel punya keluarga majikan kita.” Ayu menjawab kalem.“Seriusan? Masya Allah. Ummi itu rendah hati banget ya. Beliau tak arogan pada kita yang hanya khadimatnya. Padahal keluarganya tajir melintir.”Ting!Ting!“Berisik. Perasaan dari tadi notifikasi di hape kamu bunyi terus kayak orang penting aja.”Aku mengecek posnelku dan terbelalak saat mendapati postinganku diserbu netizen. Ayu melongok ke ponselku dengan antusias, rupanya dia menyadari sesuatu.“Wow! Postingan kamu jangan-jangan bakal viral xix
Setelah salat Dzuhur aku melayani majikanku makan siang yang diantarkan petugas hotel ke kamar kami. Setelah selesai lanjut aku makan di kamar sama sahabatku.“Ternyata begini ya makanan hotel bintang lima, cantik bikin enggak tega mau makan.” Aku mengagumi makanan yang ditata cantik dalam wadah-wadah cantik pula. Ayu tertawa sambil mengunyah entah ikan apa. Tak lupa kufoto sebelum makan. Perempuan Jawa itu kembali tertawa melihat kebiasaan baruku.Selesai makan kami turun ke lobi untuk berangkat ke pasar kurma. Bu Mulia dan beberapa orang temannya sudah siap dengan taxi mereka.Setelah melaju beberapa puluh menit mobil kami berhenti di tempat parkir bangunan besar. Oh ini ya pasar kurma yang katanya dijual hingga tujuh ratus lebih jenis kurma. Turun dari mobil langsung kuturunkan kursi roda dibantu Ahmad. Taxi rombongan Bu Mulia sampai tak lama kemudian.“Kamu sering ikut belanja ke sini?” tanyaku pada Ayu.“Beberapa kali. Setiap m