“Latifah, ta’ali! Tolong ambilkan mushaf Al Quran sama isi air zamzam, tempat minum Ummi sudah kosong. Pastikan airnya tidak dingin ya.” Aku mengangguk patuh dan beranjak. Kuedarkan pandanganku, memang di dalam masjidil Harom ini banyak mushaf Al Quran yang disimpan di dalam rak. Berarti galon-galon besar yang berjajar di hampir setiap tempat itu berisi air zam-zam.Kuambil mushaf Al Quran yang berada di rak dekat kami dua buah, satu untuk majikanku dan satu untukku. Kuberikan dulu mushaf pada Ummi lalu mengambil tempat minum. Pantesan majikanku wanti-wanti ngisi air zamzamnya jangan yang dingin. Ternyata galon-galon ini kebanyakan berisi air dingin. Dari belasan galon yang berjajar pada satu tempat, hanya ada dua galon yang berisi air tidak dingin. Saat kembali, kulihat Ayu masih khusyu berdoa. “Kamu berdoa apa aja, La? Khusyu banget sampat nangis-nangis gitu,” tanya Ayu agak berbisik sambil menyelonjorkan kakinya selesai salat Subuh.“Sam
“Masya Allah, kamu Lala kan?” seorang wanita mengamatiku saat aku selesai berwudlu. Mataku terbelalak, tak mengira akan bertemu lagi dengan Bu Mulia di Masjidil Harom.“Masya Allah, Bu Mulia. Untung kita ketemu di tempat wudlu jadi saya nggak pakai niqob.”“Kamu apa kabar? Alhamdulillah ya doa kamu untuk umroh sudah terkabul.”“Alhamdulillah, Bu, berkat doa ibu juga.”“Majikan kamu pasti baik sekali ya, makanya baru sebentar kerja sudah diajak umroh.”“Betul, Bu Alhamdulillah rejeki saya dapat majikan yang luar biasa baiknya. Tapi ah maaf sekali saya enggak bisa lama-lama ini ditungguin majikan.” Aku berkata dengan nada menyesal. Sebenarnya memang masih ingin berbincang lama.“Ya, udah yuk aku juga mau kembali ke tempat teman-teman.”Kami pun mengobrol sebentar sambil berjalan ke tempat rombongan di depan ka’bah. Ternyata tempat duduk kami berdekatan. Bu Mulia sangat antusias saat mengetahui kami akan mampir ke pasar kurma terbesar di kota Mekah.
Setelah lelah berfoto kami pun tertidur dan terbangun dengan suara alarm di ponsel. Ah untunglah tak ada panggilan telpon dari majikanku di kamar sebelah. Kulirik jam di ponsel yang menunjukkan angka 10.00. Masih banyak waktu sebelum salat Dzuhur dan makan siang.“Yu, kok orang-orang di bawah kayak yang hormat gitu ya sama keluarganya Ummi.” Aku mengemukakan rasa penasaran pada sahabatku.“Ya karena ini hotel punya keluarga majikan kita.” Ayu menjawab kalem.“Seriusan? Masya Allah. Ummi itu rendah hati banget ya. Beliau tak arogan pada kita yang hanya khadimatnya. Padahal keluarganya tajir melintir.”Ting!Ting!“Berisik. Perasaan dari tadi notifikasi di hape kamu bunyi terus kayak orang penting aja.”Aku mengecek posnelku dan terbelalak saat mendapati postinganku diserbu netizen. Ayu melongok ke ponselku dengan antusias, rupanya dia menyadari sesuatu.“Wow! Postingan kamu jangan-jangan bakal viral xix
Setelah salat Dzuhur aku melayani majikanku makan siang yang diantarkan petugas hotel ke kamar kami. Setelah selesai lanjut aku makan di kamar sama sahabatku.“Ternyata begini ya makanan hotel bintang lima, cantik bikin enggak tega mau makan.” Aku mengagumi makanan yang ditata cantik dalam wadah-wadah cantik pula. Ayu tertawa sambil mengunyah entah ikan apa. Tak lupa kufoto sebelum makan. Perempuan Jawa itu kembali tertawa melihat kebiasaan baruku.Selesai makan kami turun ke lobi untuk berangkat ke pasar kurma. Bu Mulia dan beberapa orang temannya sudah siap dengan taxi mereka.Setelah melaju beberapa puluh menit mobil kami berhenti di tempat parkir bangunan besar. Oh ini ya pasar kurma yang katanya dijual hingga tujuh ratus lebih jenis kurma. Turun dari mobil langsung kuturunkan kursi roda dibantu Ahmad. Taxi rombongan Bu Mulia sampai tak lama kemudian.“Kamu sering ikut belanja ke sini?” tanyaku pada Ayu.“Beberapa kali. Setiap m
Ummi mengangguk saat aku minta izin. Ayu bilang capek ingin duduk saja saat kuajak.“Ibu hebat bisa tahu semua jenis kurma. Katanya di sini ada ratusan jenis kan ya?”“Oh ya? Saya malah baru tahu di sini sampe ratusan jenis. Sebenarnya tidak semua jenis kurma saya hafal, hanya mungkin belasan jenis saja yang biasa kami jual.”“Indonesia sini … sini … murah-murah. Mau yang mana? Jangan marah, nanti cepat mati.” Aku menoleh pada beberapa pedagang yang mengatakan hal yang sama. Lho kok, mereka orang Arab, dikira orang Indonesia.“Jangan heran, para pedagang memang banyak yang suka menawarkan dengan Bahasa Indonesia. Meski kadang bahasanya lucu. Jamaah Indonesia kan banyak sekali, jadi sebagai pedagang tentu saja mereka merasa perlu bisa berbahasa Indonesia meski sedikit.”Aku manggut-manggut. Ilmu bisnis baru saja kudapatkan.“Jadi jamaah umroh tak perlu khawatir buat belanja karena tak dapat berbahasa Arab.” Kami me
Aku menghampiri majikan sambil menjinjing beberapa kilo kurma aneka jenis. Ummi menunjuk pada bawaanku seolah bertanya buat apa?“Mau ngirim ke Indonesia. Persiapan Ramadhan.”Saat mau masuk mobil ternyata anak-anak Ummi sudah menunggu dan belanjaan Madam sudah masuk semua di bagasi.“Kamu mau jualan ya banyak banget beli kurmanya,” tanya Ayu pelan. Mungkin dia tak enak ngobrol dengan Bahasa Indonesia di depan majikan khawatir dikira lagi ngegosip.“Insya Allah, Yu, doakan ya. Mau penjajakan dulu.”Tak lama kemudian di dalam mobil menjadi senyap. Rupanya semuanya mengantuk setelah mabit di depan ka’bah ditambah kelelahan berkeliling di pasar barusan. Tapi aku sama sekali tak bisa tidur, obrolan dengan Bu Mulia memenuhi kepalaku. Beliau menyemangatiku untuk memulai bisnis kurma. Bukan hanya memotivasi tapi beliau pun bersedia menjadi mentor hingga usahaku berhasil. Dan sesekali mungkin kami bisa bekerja sama bila aku ada kesempatan me
“Shodaqolloohuladziim.” Kusudahi tilawahku saat melihat Ayu duduk di atas sajadah di depanku.“Ada apa?”“Ajari aku ngaji yang bagus kayak kamu ya, La.” Katanya sambil mengelus-elus mukena sederhana yang kubawa dari kampung. Aku mengernyitkan dahi.“Apanya yang mau diajarin, bacaan kamu udah lancar begitu.” Kami biasa tilawah bersama setelah tahajud sambil menunggu waktu Subuh. “Bacaannya sih lancar tapi tak sebagus bacaan kamu. Bacaan kamu itu tajwidnya bagus banget, jadi enak didengarnya. Mau yah yah? Dosa lho menyembunyikan ilmu,” ujarnya merayu. Aku tersenyum sambil mencubit pipinya.“Baiklah, mulai besok ya belajar tahsinnya. Hari ini kan kita harus siap-siap. Eh jadi kan kita ke kebun kurma?”“Jadi dong. Aku tuh selalu suka kalau disuruh bantu-bantu panen kurma. Sesekali menghirup udara bebas, suntuk di rumah terus.”“Kemaren kan kita udah ngeborong kurma, mubadzir dong!”“Enggak lah. Ummi sama Madam itu kalau Ramdhan sedekahnya jorjoran. Eh, kok aku tiba-tiba kepikiran ngajuin
Kebun kurma saudaranya Ummi ternyata tak terlalu jauh dari rumah. Agak dekat dengan masjid Quba juga. Masya Allah, rasanya seperti mimpi kami bisa mampir salat duha di masjid pertama yang dibangun oleh Nabi Mahammad ini. Kata Madam sengaja kita berangkat pagi biar lebih nyaman di kebunnya belum terlalu panas.Di sepanjang jalan kota Madinah tumbuh pohon kurma tapi aku belum melihat yang tengah berbuah. Jadi rasanya takjub saat masuk kebun kurma yang tengah berbuah lebat. Suara burung yang beterbangan memakan buah kurma menambah keindahan suasana pagi ini. Aku terus melihat ke atas dengan takjub sambil mendorong kursi roda Ummi saat Ayu mencolek lenganku.“Tutup mulutnya, Neng. Nanti tahi burung masuk hihi.” Aku tersipu.“Itu kenapa dikarungin?” tunjukku pada tandan kurma yang ditutup karung.“Biar nggak dimakan burung sama biar cepet matang, katanya.”Ummi memberiku kesempatan untuk keliling melihat-lihat kebun sebentar dan meninggal