Setelah semalaman tidurku tak nyenyak, mataku sudah seperti mata panda, kantung hitam di bawah mata tampak begitu kentara. Apalagi, hampir semalam air mata terus saja jatuh berderai, membuat kedua mata ini begitu sembab. Pagi-pagi sekali aku sudah keluar untuk membeli sarapan bubur untuk anakku. Suami? Biarkan saja, bukankah dia punya banyak uang? Biar dia beli sendiri. Aku masih dongkol karenanya. Karena sikapnya yang begitu tega kepada kami. Aku baru mengalami sendiri, jadi beginilah rasanya dikhianati? Sakit sekali, sangat sakit.
Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Meski di luar sana sudah terang, tapi jam segini dia belum bangun, aku sudah membangunkannya tiap subuh, namun hanya makian yang kudapat. Ah, ternyata perjuangan menjadi istrimu terlalu berat. Melebihi beratnya rindu Dilan pada kekasihnya.
Setelah menyuapi anakku sarapan, aku kembali melakukan aktivitasku sebagai ibu rumah tangga. Mencuci dan beberes rumah, semua kuhandle sendiri. Tak berselang lama, kulihat suamiku terbangun dan berlalu menuju meja makan.
"Dek, kok kosong? Mana sarapannya?" tanyanya dengan nada berteriak. Aku tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ada apa mas?" tanyaku.
"Ini mana sarapannya? Kamu gak masak?" tanyanya lagi.
"Enggak, mas. Berasnya sudah habis."
"Beli dong di warung," perintahnya.
"Mana uangnya?" tanyaku sembari menodongkan tangan ke arahnya. Sesungguhnya aku ingin lihat ekspresinya dan bagaimana responnya jika tengah terdesak.
"Pakai uangmu dulu lah, kan kamu jualan," sahutnya lagi, membuat hati ini kesal.
Aku menghela napas dalam-dalam. "Udah dipake mas, buat modal belanja lagi,” jawabku enteng.
"Emangnya gak ada simpanan sedikitpun?"
Aku menggeleng perlahan. Dia menghela nafas panjang, mengeluarkan karbon dioksida itu melalui mulutnya.
"Mas kan yang punya gaji, katanya gaji mas juga besar, terus kemana gaji mas yang lima juta itu? Aku minta jatah juga kadang-kadang, kamu cuma ngasih 20rb. Masa iya gaji mas habis gitu aja?" Aku balik memberondongnya dengan pertanyaan.
"Ah itu... Itu...." jawabnya gugup. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Aku berlalu meninggalkannya, tentu saja kau tak bisa menjawabnya, uang gajimu udah kau habiskan untuk selingkuhanmu itu, benar kan? Hebat banget ya dia, bisa sampai memorotimu habis-habisan? Sedangkan aku sendiri yang istri sahnya selalu hidup dalam kekurangan.
***
Aku sedang menyiapkan makan siang seadanya. Ya, akhirnya aku mengalah untuk membeli beras dua kilo di warung, bisa untuk beberapa hari kedepan. Sedangkan sayurnya aku memetik kangkung di belakang rumah, setiap aku beli kangkung di warung, batangnya tidak kubuang, tapi ditanam lagi. Ternyata kangkung-kangkung itu tumbuh dengan subur, karena tiap hari aku siram dengan air cucian beras. Sementara untuk lauknya aku mencari sisa-sisa di kulkas. Untung saja masih ada telor satu biji dan tepung terigu, aku membuatnya jadi telor crispy agar terlihat banyak. Selesai sudah tinggal memanggil anak dan suamiku yang masih malas-malasan di depan televisi.
"Mas, makan dulu," ajakku. Kasihan juga dia dari pagi tidak makan, entah kenapa rasanya tak tega.
"Nah itu punya uang!” sahutnya sumringah.
"Iya, tapi cuma cukup buat beli beras dua kilo,” jawabku.
Dia beranjak ke meja makan dan membuka tudung saji. Sekilas raut wajahnya kecewa ketika hidangan makanan yang ada dihadapannya tidak sesuai dengan seleranya.
"Gak ada ayam goreng, Dek?" protesnya.
Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Sudahlah tak ngasih duit, tapi protes saja! Pertanyaannya macam anak kecil aja. Sofia aja menerima apapun masakanku.
"Sini uangnya, nanti aku belikan ayam goreng," sahutku yang membuatnya terbungkam.
Dia menyendokkan makanan ke mulutnya, mungkin karena lapar atau masakanku memang enak, dia memakannya dengan lahap.
Tok ... Tok ... Tok ... Terdengar suara pintu diketuk.
"Assalamualaikum ..." sapa suara seseorang dari luar.
"Waalaikum salam," jawabku.
"Biar aku saja yang buka pintu," sela suamiku, dia sudah menghabiskan makanannya. Kemudian beranjak ke depan.
"Kamu siapa? Nyari siapa?" tanya suamiku dengan nada tidak bersahabat.
"Mbak Windanya ada?"
"Ada apa kamu cari istriku?" tanya suamiku masih dengan nada ketus.
"Siapa mas yang datang?" tanyaku menghampirinya.
"Oh jadi ini ya kelakuanmu di belakangku?" tanya suamiku dengan mata membulat.
"Apa maksudmu, Mas?" tanyaku tak mengerti.
"Udah selingkuh, berlagak bego pula!" hardiknya yang membuatku makin tak mengerti. Kutengok kearah luar, rupanya mas Farid, seorang kurir ekspedisi yang biasa menjemput paket yang akan kukirimkan.
"Mas, kamu pulang dulu ya. Maaf, nanti aku yang antar sendiri paketnya,” ucapku padanya. Aku jadi tak enak hati, tiba-tiba dia menjadi sasaran amarahnya.
"Oh iya mbak, maaf mengganggu," sahutnya yang kemudian pergi bersama motornya.
"Puas kamu, Mas? Kamu malu-maluin aku di depan orang, mana nuduh sembarangan pula!" omelku padanya.
"Ya siapa tahu kamu memang punya hubungan dengannya! Selama ini aku juga gak pernah lihat apa yang kau lakukan di rumah seharian!"
"Astaghfirullah... Jaga ucapanmu, mas! Aku masih punya iman. Kamu gak usah deh nyari-nyari kesalahanku untuk menutupi kebohonganmu!"
"Bohong? Bohong apa?" Lelaki itu mengernyitkan keningnya. Rona wajahnya berubah.
"Aku tahu, mas. Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku!" ucapku sambil berlalu.
Enak saja dia menuduhku sembarangan, padahal dia sendiri yang berselingkuh. Untuk menutupi kebohongannya dia malah menuduhku? Dasar lelaki tak tahu diri!
Hah, tapi rupanya dia punya rasa cemburu juga ya? Padahal cuma seorang kurir yang biasa datang ke rumah untuk menjemput paketan.
"Maafkan aku" ucap suamiku. Dia menghampiriku yang sedang mencuci piring bekas makan kami tadi. Aku terdiam, malas sekali menanggapinya.
"Winda, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil.
"Ayo apa mas?" tanyaku heran.
"Pinjami mas uang, kamu pasti punya tabungan, kan?"
"Uang? Uang dari mana mas?"
"Uang jualan kamu, mas pinjam dulu. Mas ada perlu diluar"
"Perlu apa? Aku gak punya. Aku sudah bilang kan mas, uangnya udah aku belikan modal daganganku lagi."
"Dasar istri pelit!" dumelnya seraya meninggalkanku.
Gak ngaca! Bukankah dirimu yang pelit? Dasar lelaki aneh!
Kulihat dia pergi mengeluarkan motornya, tanpa berpamitan denganku. Aku menghela nafas panjang. Paling-paling menemui selingkuhannya itu. Kenapa aku merasa menjadi wanita bodoh sedunia, hanya dimanfaatkan dan dibohongi saja selama bertahun-tahun. Rasanya sudah tak kuat untuk bertahan. Lelah.
Aku kembali melakukan aktivitasku sebagai penjual online. Tentu saja online sambil membalas chat para customerku. Aku jualan apa saja, gamis, jilbab, alat rumah tangga dan lain-lain sesuai dengan pesanan customer. Alhamdulillah setahun belakangan ini, bisa punya penghasilan sendiri sebagai reseller. Semua barang dagangan aku taruh di gudang yang tak terpakai, bahkan suamiku sendiri gak pernah masuk ke ruangan itu. Cukup aman bagiku menaruh barang-barang dagangan disana, karena aku yang memegang kuncinya.
"Dari mana saja mas, jam segini baru pulang?" tanyaku saat membukakan pintu untuknya. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia berangkat dari tadi siang, kemana saja dia? Tak berpikirkah kalau istrinya khawatir?"Bukan urusanmu," jawabnya ketus."Oh kalau bukan urusanku, harusnya gak usah pulang sekalian!” sahutku lagi. Aku benar-benar kesal dengan sikap Mas Rendy yang seenaknya sendiri."Lho kok gitu? Menyesal aku pulang!""Kamu pergi sampai gak inget anak istri nungguin di rumah, yang khawatir nungguin kamu!”"Di rumah juga mau ngapain? liat mukamu yang jelek itu?"Deg! Ya Allah, segitu tak berharganya kah aku di matanya? Baiklah, aku takkan terpuruk lagi. Berpisah? Belum saatnya. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Lihat saja nanti. Akan kuatur waktu yang tepat untuk menggugat cerai. Kau pikir aku hanya ist
Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar nyaring, diiringi suara salam dari luar."Assalamualaikum ...""Waalaikum salam ..."Aku bergegas membuka pintu. Aku takjub ternyata yang datang adalah ibu mertuaku."Bu ..." sapaku sembari menyalaminya, mencium punggung tangannya dengan takdzim."Kamu sehat, Nak?" tanya ibu mertuaku dengan lembut."Alhamdulillah sehat. Mari masuk, Bu.”"Iya, Nak," jawab ibu sambil tersenyum.Ibu memasuki rumah. Sofia berlari menyambut neneknya dan mereka saling berpelukan. Begitu dekat keduanya karena ibu mertuaku sangat menyayangi Sofia. Kalian bisa lihat bukan? Ibu mertuaku sangat baik terhadap kami, tapi tidak dengan anaknya."Lho kamu gak kerja, Nak?" tanya ibu saat melihat mas Rendy malas-malasan di depan tv.Mas Rendy terlonjak
Keesokan harinya...Pagi-pagi sekali mas Rendy sudah bangun, mandi dan diapun berpakaian sangat rapi."Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku penasaran."Ngelamar kerja.""Ooh""Mas gak mungkin nganggur terus kayak gini. Di rumah juga pusing, kamu ngomel-ngomel terus," ucap mas Rendy.Dia memakai sepatu pantofelnya, lalu menyisir rambutnya. Penampilannya terlihat begitu necis, bukan seperti untuk melamar kerja tapi lebih tepatnya seperti orang yang mau berkencan. Aroma parfum menguar dari tubuhnya. Ganteng, iya memang ganteng. Tapi lebih ganteng aktor idolaku."Dek, mas pinjam uangmu dulu, nanti kalau mas dapat kerja, terus gajian langsung dibalikin," katanya lagi. Aku menoleh kearahnya. Benarkah laki-laki ini sama sekali gak punya uang?"Ayolah dek...""Tapi dengan satu syarat...""Apa itu?""Kalau mas sudah diterima kerja. Semua gaji mas, aku yang pegang.""Tapi itu terlalu berat, Dek ..."
Aku tak habis pikir dengan istriku, setelah aku di PHK sepertinya dia santai-santai saja. Seperti tak ada beban yang dirasakannya. Berbeda denganku, aku sangat stress dibuatnya. Ah sialnya, aku tak punya pegangan uang sedikitpun karena aku sudah memberikan sebagian besar gajiku pada Santi, wanita yang sangat kucintai. Dia sangat cantik, dia bisa memuaskanku seperti yang kuinginkan. Berbeda dengan Winda yang makin kesini penampilannya makin tak karuan. Kucel, wajahnya pun jadi kusam. Padahal dulu sebelum dia menikah denganku, wajahnya begitu ayu. Sampai-sampai aku harus bersaing dengan beberapa lelaki yang juga ingin meminangnya. Ah, menyesal juga aku sudah menikahi Winda.Itu yang membuatku marah-marah terus pada Winda, dia tak bisa menjaga penampilannya. Ya, dia memang sibuk mengurus anak serta pekerjaan rumah tangga dan juga jualan onlinenya, sampai-sampai dia lupa kalau diapun wajib merawat dirinya sendiri. Aku jadi bosan melihatnya. Untung saja ada Santi. Santi wanita yan
Semenjak kejadian tadi sore, aku mendiamkan suamiku. Tak kupedulikan apa yang dilakukannya. Hatiku terlalu sakit. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Sepertinya ini bukan lagi rumahku, rumah yang diberikan oleh orang tua Mas Rendy sebagai hadiah pernikahan kami, kini tak memberikan rasa nyaman lagi terhadapku. Aku ingin pergi dari sini, tapi mau kemana? Aku tak punya sanak saudara. Mereka semua jauh, beda provinsi.Aku tergugu di dalam kamar anakku. Menangisi nasibku sendiri yang begitu pedih."Ibu, ibu kenapa?" tanya Sofia begitu polos.Aku segera memeluk tubuh mungilnya. Untung saja tadi saat Mas Rendy berlaku kasar padaku, Sofia tak melihatnya. Dia tengah asyik bermainan di kamar."Nak, bagaimana kalau kita pergi dari rumah ini?" tanyaku pada si kecil."Memangnya mau kemana, Bu?" tanya gadis kecil itu dengan polos."Kemana saja, kamu mau kan ikut ibu, Nak?"Sofia mengangguk, gadis kecil itu mengusap lembut butiran bening yang m
Di kediaman Pak Darmawan.Ibu termenung sendiri di teras rumahnya, sembari menikmati semilir angin yang berhembus."Ada apa, Bu? Apa yang ibu pikirkan?" tanya Pak Darmawan, ayah Rendy."Sepertinya ibu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, kemudian duduk disamping ibu."Iya, pak. Ibu lagi mikirin Rendy sama Winda, sepertinya mereka sedang ada masalah," jawab ibu sambil menatap suaminya."Ya wajar to bu, setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya. Apalagi mereka baru lima tahun menikah.""Ibu juga paham pak, tapi ibu tak habis pikir....""Kenapa bu?""Ibu tak habis pikir kenapa Rendy bisa sampai menampar istrinya itu?""Apaa?""Iya pak, kemarin ibu lihat pipi Winda memerah, terus matanya juga sembab, meskipun dia bilang tidak apa-apa tapi pasti ada masalah serius yang sedang mereka hadapi. Tapi kan tidak seharusnya Rendy bersikap kasar pada istrinya itu.""Iya, kamu benar bu. Tidak seharusnya Rendy ber
"Mau lihat kontrakan," jawabku.Tiba-tiba Mas Rendy berlutut lagi di hadapanku. "Tolong jangan pergi, mas mohon dek, maafin mas...""Siapa yang mau pergi?"Deg. Suara seseorang mengagetkan kami. Kami semua menoleh, bapak dan ibu mertuaku sudah berdiri tak jauh dari kami."Ada apa ini?" Ibu kembali menegaskan pertanyaannya.Mas Rendy bangkit dan berdiri di sampingku. Kami menyalami mereka dengan takdzim."Mari masuk dulu, pak, bu," ajakku. Berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa rasanya cukup sulit.Mereka masuk dan duduk di sofa, begitu pula denganku dan Mas Rendy. Sedangkan Sofia bergelayut manja di pangkuan neneknya."Sofia, Sofia masuk dulu ke kamar ya, nenek sama kakek mau bicara sama ayah dan ibu kamu, nanti kalau sudah selesai nenek akan main sama kamu," ucap ibu mertuaku."Baik, nek," jawabnya dengan polos. Kemudian gadis kecil itupun pergi meninggalkan kami.Suasana cukup tegang, ibu dan bapak memandangi ka
Aku tersenyum mendengar ucapan bapak mertuaku. Sungguh mereka benar-benar tulus menyayangiku.Aku mengemasi beberapa bajuku dan baju Sofia lagi dan barang jualan onlineku, tidak terlalu banyak memang.Waktu satu bulan yang diberikan bapak untuk kami, mudah-mudahan bisa membuat pikiranku waras kembali.Tak butuh waktu lama, Mang Johar datang dengan mobil pick-upnya."Jangan sungkan di rumah kami ya, nak. Rumah kami, rumah kamu juga," ucap ibu sambil merangkulku.Aku mengangguk sembari tersenyum. Sedangkan Mas Rendy dia berdiri mematung dengan tatapan sendu."Kami pulang dulu ya, Rendy. Ingat pesan bapak, waktumu cuma satu bulan. Satu bulan untukmu berubah. Setelah itu, Winda yang akan memutuskannya. Apakah bisa menerimamu kembali atau....""Baik, pak. Aku akan berusaha dengan keras agar Winda mau menerimaku kembali," jawab Mas Rendy memotong perkataan bapaknya."Aku menyalami tangan suamiku."Maafin mas