Keesokan harinya...
Pagi-pagi sekali mas Rendy sudah bangun, mandi dan diapun berpakaian sangat rapi.
"Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku penasaran.
"Ngelamar kerja."
"Ooh"
"Mas gak mungkin nganggur terus kayak gini. Di rumah juga pusing, kamu ngomel-ngomel terus," ucap mas Rendy.
Dia memakai sepatu pantofelnya, lalu menyisir rambutnya. Penampilannya terlihat begitu necis, bukan seperti untuk melamar kerja tapi lebih tepatnya seperti orang yang mau berkencan. Aroma parfum menguar dari tubuhnya. Ganteng, iya memang ganteng. Tapi lebih ganteng aktor idolaku.
"Dek, mas pinjam uangmu dulu, nanti kalau mas dapat kerja, terus gajian langsung dibalikin," katanya lagi. Aku menoleh kearahnya. Benarkah laki-laki ini sama sekali gak punya uang?"Ayolah dek..."
"Tapi dengan satu syarat..."
"Apa itu?"
"Kalau mas sudah diterima kerja. Semua gaji mas, aku yang pegang."
"Tapi itu terlalu berat, Dek ..."
"Berat? Buat istrimu saja kamu merasa berat?"
"Kamu 'kan sudah punya penghasilan sendiri."
"Tapi aku butuh nafkah dari kamu. Aku gak mau cuma dijatah 20ribu lagi, itupun jarang-jarang."
Mas Rendy terdiam. Mungkin itu pilihan yang sulit baginya.
"Kalau gak mau ya sudah, silahkan cari utangan diluar. Tapi jangan libatkan aku."
Aku berlalu meninggalkannya ke belakang, menjemur pakaian yang tadi sudah dicuci.
"Ya, ya, baiklah. Mas terima syaratnya," kata mas Rendy, dia berjalan menghampiriku.
"Aku pegang kata-katamu mas. Kalau tidak, aku akan mengatakan semuanya pada ibu."
"Kamu mau ngadu?"
"Ya, dengan terpaksa. Ibu pasti akan lebih percaya padaku."
"Aaargghh... Oke oke! Ya udah mana sini."
"Mas tunggu didepan, nanti aku ambilkan"
Mas Rendy menuruti ucapanku. Dia menunggu dengan gusar di sofa ruang tamu sambil sesekali memainkan handphonenya.
"Nih..." ucapku sembari memberikan uang selembar seratus ribuan.
"Kok cuma segini dek?"
"Gak mau? Ya sudah, sini balikin."
"Iya, iya. Ya sudah, mas berangkat dulu," pamitnya.
Aku hanya mengangguk sembari menyalami tangannya. Bagaimanapun juga dia masih suamiku, jadi aku masih harus menghormatinya bukan?
***
Kegiatanku sekarang mulai bertambah membuat kerajinan tangan. Sebenarnya dari beberapa bulan yang lalu. Namun, aku mulai menekuninya akhir-akhir ini. Aku belajar membuat standing flower yang diberi hiasan lampu. Jadi selain bisa untuk menghias dalam ruangan pun juga bisa untuk lampu tidur. Selain itu juga belajar membuat bunga hias untuk pojok ruangan dan bunga hias yang diletakkan di atas meja. Aku belajar otodidak melalui tutorial yang bertebaran di sosial media.
Saat ini, aku sedang coba memfoto produkku di teras depan rumah sembari konsultasi dengan para crafter senior di grup kerajinan tangan, perihal hasil karyaku yang masih amatiran.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..."
Aku menoleh, rupanya mas Farid, kurir yang biasa wira-wiri untuk menjemput atau mengantar paketanku.
"Ini mbak, ada paket," ucapnya sembari menyerahkan paket itu padaku.
"Terima kasih ya, mas. Oh iya, aku juga nitip paket ya... Paket kemarin yang mau dikirimkan tapi gak jadi itu lho mas, aku malah gak sempat nganter. Untung saja customernya mau nunggu."
"Oh iya, mana biar sekalian aku bawa mbak."
"Tunggu sebentar ya, aku ambil ke dalam."
"Iya, mbak."
Tak berselang lama, aku menghampirinya kembali membawa 5 paket yang sudah aku packing dengan rapi.
"Ini mas," ucapku sembari menyerahkan paket-paket itu padanya.
"Oke. Nomor resi ya seperti biasa ya, nyusul."
"Iya. Siaaapp," sahutku sambil tersenyum.
"Waah ini produk baru, mbak? Bagus sekali ..." pujinya sambil melihat bunga-bunga yang aku buat.
"Iya mas, itu aku bikin sendiri," jawabku sambil tersenyum.
"Serius ini bikin sendiri?" tanyanya seakan tak percaya.
"Iya mas."
"Waah keren, mbak. Bisa bikin produk sebagus ini."
"Aku juga masih belajar kok mas."
"Masih belajar udah sebagus ini, apalagi kalau udah master!" selorohnya sambil tertawa kecil.
"Ini dijual gak mbak?"
"Emmmh, masih belum pede mas. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau ada yang pesan ya nanti aku buatkan."
"Coba aku update distatusku ya, siapa tahu teman kantor ada yang tertarik."
"Ah iya, boleh-boleh," jawabku sambil tersenyum.
"Oh jadi kayak gini kelakuanmu kalau aku gak ada di rumah?!"
Spontan kami menoleh, ada suamiku berdiri di sana. Matanya menatapku tajam, dadanya kembang kempis, wajahnya sudah memerah. Dia marah? Dia salah paham lagi?
"Kamu lagi? Benar kan kalau kalian itu punya hubungan?" Mas Rendy naik pitam. Tiba-tiba saja dia memukul mas Farid.
Buuugggt ... Pukulannya mengenai wajahnya. Mas Rendy bersiap hendak memukulnya kembali.
"Mas hentikan!" selaku. Aku yang ingin melerainya justru kena pukul oleh suamiku sendiri hingga aku jatuh tersungkur.
"Mbak, mbak gak apa-apa?" tanya mas Farid, dia berusaha membantuku berdiri.
"Maaf mas, aku bisa sendiri," jawabku menepis tangannya.
Prok... Prok... Prok...
"Hebat ya kalian! Sama-sama saling bela! Sejauh mana hubungan kalian, hah?! Sejauh mana?" cerca mas Rendy lagi, masih dengan nada emosi. Kenapa dia selalu menggunakan emosinya? Apa tidak lihat ada paket-paket diantara kami?
"Mas, jangan main kasar dong sama istri sendiri! Kamu tuh salah paham, kami gak ada hubungan apa-apa. Hanya murni pekerjaan. Aku kesini cuma mau ngambil paket-paketnya Mbak Winda!" jelas mas Farid.
Mas Rendy menyeringai. "Udah ketahuan selingkuh masih nyangkal! Gak mungkin kalau sekedar pekerjaan saling lempar senyum begitu!" jawabnya dengan ketus. "Selingkuh selingkuh aja gak usah alasan pekerjaan!" omelnya lagi.
Mas Rendy menarik krah baju mas Farid. "Kamu gak malu? Suka sama istri orang, hah?! Gadis di luaran sana banyak, ngapain kamu deketin istriku?!"
"Mas, cukup! Hentikan!!" leraiku lagi. Mas Rendy mendorong tubuh laki-laki itu.
Dan dia balik menamparku. Plaaakk...!!
"Dasar murahan! Jadi perempuan gak bisa jaga kehormatan!" mas Rendy kembali berkata kasar padaku. Panas dan perih di pipi ini mendapatkan tamparan yang kedua, terlebih hatiku. Mas Rendy sudah melakukan KDRT.
Mata ini sudah berair. Sakit rasanya dia menuduhku sembarangan. Bahkan mau dijelaskan seperti apapun tetap percuma, dia takkan mau mengerti. Dia yang selingkuh tapi justru menuduh dan menyalahkanku. Mungkin untuk menutupi kebusukannya.
"Mas, jaga ucapanmu! Aku bisa laporkan kasus ini. Kau bisa dipidana karena melakukan KDRT sama istri. Aku yang akan jadi saksinya!" tukas mas Farid membelaku.
"Kalau kamu tidak percaya sama kami, silahkan saja! Tapi jangan sakiti perempuan. Udah salah paham malah main kekerasan!" sambungnya lagi.
Mas Rendy menatapnya tajam. Dia melepaskan cengkraman tangannya di lenganku.
"Aku gak main-main dengan ucapanku mas. Kalau sekali lagi kau berbuat kasar, aku akan buat perhitungan padamu!" tukas mas Farid lagi yang membuat mas Rendy terbungkam.
"Maaf mbak, saya permisi dulu. Assalamualaikum," ucapnya sambil berlalu pergi dengan motornya dan membawa paket-paket yang sempat tertinggal.
Aku tak habis pikir dengan istriku, setelah aku di PHK sepertinya dia santai-santai saja. Seperti tak ada beban yang dirasakannya. Berbeda denganku, aku sangat stress dibuatnya. Ah sialnya, aku tak punya pegangan uang sedikitpun karena aku sudah memberikan sebagian besar gajiku pada Santi, wanita yang sangat kucintai. Dia sangat cantik, dia bisa memuaskanku seperti yang kuinginkan. Berbeda dengan Winda yang makin kesini penampilannya makin tak karuan. Kucel, wajahnya pun jadi kusam. Padahal dulu sebelum dia menikah denganku, wajahnya begitu ayu. Sampai-sampai aku harus bersaing dengan beberapa lelaki yang juga ingin meminangnya. Ah, menyesal juga aku sudah menikahi Winda.Itu yang membuatku marah-marah terus pada Winda, dia tak bisa menjaga penampilannya. Ya, dia memang sibuk mengurus anak serta pekerjaan rumah tangga dan juga jualan onlinenya, sampai-sampai dia lupa kalau diapun wajib merawat dirinya sendiri. Aku jadi bosan melihatnya. Untung saja ada Santi. Santi wanita yan
Semenjak kejadian tadi sore, aku mendiamkan suamiku. Tak kupedulikan apa yang dilakukannya. Hatiku terlalu sakit. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Sepertinya ini bukan lagi rumahku, rumah yang diberikan oleh orang tua Mas Rendy sebagai hadiah pernikahan kami, kini tak memberikan rasa nyaman lagi terhadapku. Aku ingin pergi dari sini, tapi mau kemana? Aku tak punya sanak saudara. Mereka semua jauh, beda provinsi.Aku tergugu di dalam kamar anakku. Menangisi nasibku sendiri yang begitu pedih."Ibu, ibu kenapa?" tanya Sofia begitu polos.Aku segera memeluk tubuh mungilnya. Untung saja tadi saat Mas Rendy berlaku kasar padaku, Sofia tak melihatnya. Dia tengah asyik bermainan di kamar."Nak, bagaimana kalau kita pergi dari rumah ini?" tanyaku pada si kecil."Memangnya mau kemana, Bu?" tanya gadis kecil itu dengan polos."Kemana saja, kamu mau kan ikut ibu, Nak?"Sofia mengangguk, gadis kecil itu mengusap lembut butiran bening yang m
Di kediaman Pak Darmawan.Ibu termenung sendiri di teras rumahnya, sembari menikmati semilir angin yang berhembus."Ada apa, Bu? Apa yang ibu pikirkan?" tanya Pak Darmawan, ayah Rendy."Sepertinya ibu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, kemudian duduk disamping ibu."Iya, pak. Ibu lagi mikirin Rendy sama Winda, sepertinya mereka sedang ada masalah," jawab ibu sambil menatap suaminya."Ya wajar to bu, setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya. Apalagi mereka baru lima tahun menikah.""Ibu juga paham pak, tapi ibu tak habis pikir....""Kenapa bu?""Ibu tak habis pikir kenapa Rendy bisa sampai menampar istrinya itu?""Apaa?""Iya pak, kemarin ibu lihat pipi Winda memerah, terus matanya juga sembab, meskipun dia bilang tidak apa-apa tapi pasti ada masalah serius yang sedang mereka hadapi. Tapi kan tidak seharusnya Rendy bersikap kasar pada istrinya itu.""Iya, kamu benar bu. Tidak seharusnya Rendy ber
"Mau lihat kontrakan," jawabku.Tiba-tiba Mas Rendy berlutut lagi di hadapanku. "Tolong jangan pergi, mas mohon dek, maafin mas...""Siapa yang mau pergi?"Deg. Suara seseorang mengagetkan kami. Kami semua menoleh, bapak dan ibu mertuaku sudah berdiri tak jauh dari kami."Ada apa ini?" Ibu kembali menegaskan pertanyaannya.Mas Rendy bangkit dan berdiri di sampingku. Kami menyalami mereka dengan takdzim."Mari masuk dulu, pak, bu," ajakku. Berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa rasanya cukup sulit.Mereka masuk dan duduk di sofa, begitu pula denganku dan Mas Rendy. Sedangkan Sofia bergelayut manja di pangkuan neneknya."Sofia, Sofia masuk dulu ke kamar ya, nenek sama kakek mau bicara sama ayah dan ibu kamu, nanti kalau sudah selesai nenek akan main sama kamu," ucap ibu mertuaku."Baik, nek," jawabnya dengan polos. Kemudian gadis kecil itupun pergi meninggalkan kami.Suasana cukup tegang, ibu dan bapak memandangi ka
Aku tersenyum mendengar ucapan bapak mertuaku. Sungguh mereka benar-benar tulus menyayangiku.Aku mengemasi beberapa bajuku dan baju Sofia lagi dan barang jualan onlineku, tidak terlalu banyak memang.Waktu satu bulan yang diberikan bapak untuk kami, mudah-mudahan bisa membuat pikiranku waras kembali.Tak butuh waktu lama, Mang Johar datang dengan mobil pick-upnya."Jangan sungkan di rumah kami ya, nak. Rumah kami, rumah kamu juga," ucap ibu sambil merangkulku.Aku mengangguk sembari tersenyum. Sedangkan Mas Rendy dia berdiri mematung dengan tatapan sendu."Kami pulang dulu ya, Rendy. Ingat pesan bapak, waktumu cuma satu bulan. Satu bulan untukmu berubah. Setelah itu, Winda yang akan memutuskannya. Apakah bisa menerimamu kembali atau....""Baik, pak. Aku akan berusaha dengan keras agar Winda mau menerimaku kembali," jawab Mas Rendy memotong perkataan bapaknya."Aku menyalami tangan suamiku."Maafin mas
Seusai dari pantai, kami mampir di kebun anggur bapak. Kami disuruh metik sesukanya."Kakek, aku mau anggul. Itu yang di sebelah situ!" teriak Sofia berjingkrakan karena senang."Ayo sayang, kakek gendong. Ambil guntingnya dulu," sahut kakeknya tak kalah antusias.Aku menatap takjub kebun anggur milik bapak. Semuanya berbuah lebat."Ayo Nak, cicipin dulu. Cari yang langsung matang di pohonnya, pasti manis," tukas ibu mertuaku.Aku mengangguk, mencari anggur yang sekiranya sudah matang. Setelah kupetik aku mencicipinya."Hmmm ... Manis," lirihku."Gimana, Nak? Manis gak?""Manis, Bu."Ibu mertuaku tersenyum. "Petik aja yang agak banyak, nanti kita buat syrup anggur di rumah.""Wah, beneran nih, Bu.""Iya, petik aja. Bapak gak bakalan rugi kalau cuma petik satu keranjang. Haha." Ibu mertuaku tertawa. Ah sungguh menyenangkan sekali, punya mertua seperti orang tua sendiri.Kulihat kehid
Aku tak pernah menyangka masalahnya akan serumit ini, Winda yang kukenal dulu sangat penurut kini berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Walaupun aku memohon-mohon, tapi dia tetap sama. Sepertinya dia tak mau memaafkanku lagi. Padahal aku berjanji akan berubah. Ah, bodohnya aku. Winda pasti sangat kecewa terhadapku, sosok suami yang tak bertanggung jawab.Apalagi ketika bapak dan ibu tiba-tiba datang melihat aksiku yang 'nggak banget'. Aku disidang karenanya. Ya jujur sih, aku tak ingin kehilangan Winda. Sebenarnya dia istri yang sempurna dan tidak banyak menuntut. Aku memang yang sudah keterlaluan terhadapnya. Kupikir karena dia jualan online, makanya aku tak perlu memberinya nafkah. Karena dia tetap melayaniku dengan baik. Makanan walaupun sederhana tetap terhidang di meja makan.Plaaakk...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Bapakku yang melakukannya. Bapak dan ibu justru membela Winda, menantunya, bukan aku yang notabene anak kandungnya sendiri.
Aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal."Tidak, bu. Teh buatan ibu sangat enak," jawabku.Setelah meminum teh itu, akhirnya aku pulang tanpa bisa berbicara dengan Winda. Kenapa sih kalian menghukumku seperti ini?***Keesokan harinya, aku pergi bekerja ke kebun bapak. Kata bapak, hari ini jadwal pemberian pupuk. Aku bersama para pekerja lain memberi pupuk untuk tanaman anggur bapak. Kebun bapak sangatlah luas. Jadi walaupun pekerjaan ini mudah, tapi terasa begitu melelahkan.Sore hari waktunya pembagian upah untuk para pekerja."Nih buat kamu," ucap bapak memberikan uang sebesar 70 ribu rupiah."Pak, cuma segini?" tanyaku berharap bapak akan menambahkannya."Iya, bapak kan sudah bilang, tak ada hak istimewa untukmu. Semua pekerja sama upahnya," jawab bapak begitu tegas.Ya ampun pak, padahal aku anakmu sendiri tapi kenapa bapak begitu tega?"Ya sudah pak, terima kasih," uc