Seusai dari pantai, kami mampir di kebun anggur bapak. Kami disuruh metik sesukanya.
"Kakek, aku mau anggul. Itu yang di sebelah situ!" teriak Sofia berjingkrakan karena senang.
"Ayo sayang, kakek gendong. Ambil guntingnya dulu," sahut kakeknya tak kalah antusias.
Aku menatap takjub kebun anggur milik bapak. Semuanya berbuah lebat.
"Ayo Nak, cicipin dulu. Cari yang langsung matang di pohonnya, pasti manis," tukas ibu mertuaku.
Aku mengangguk, mencari anggur yang sekiranya sudah matang. Setelah kupetik aku mencicipinya.
"Hmmm ... Manis," lirihku.
"Gimana, Nak? Manis gak?"
"Manis, Bu."
Ibu mertuaku tersenyum. "Petik aja yang agak banyak, nanti kita buat syrup anggur di rumah."
"Wah, beneran nih, Bu."
"Iya, petik aja. Bapak gak bakalan rugi kalau cuma petik satu keranjang. Haha." Ibu mertuaku tertawa. Ah sungguh menyenangkan sekali, punya mertua seperti orang tua sendiri.
Kulihat kehid
Aku tak pernah menyangka masalahnya akan serumit ini, Winda yang kukenal dulu sangat penurut kini berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Walaupun aku memohon-mohon, tapi dia tetap sama. Sepertinya dia tak mau memaafkanku lagi. Padahal aku berjanji akan berubah. Ah, bodohnya aku. Winda pasti sangat kecewa terhadapku, sosok suami yang tak bertanggung jawab.Apalagi ketika bapak dan ibu tiba-tiba datang melihat aksiku yang 'nggak banget'. Aku disidang karenanya. Ya jujur sih, aku tak ingin kehilangan Winda. Sebenarnya dia istri yang sempurna dan tidak banyak menuntut. Aku memang yang sudah keterlaluan terhadapnya. Kupikir karena dia jualan online, makanya aku tak perlu memberinya nafkah. Karena dia tetap melayaniku dengan baik. Makanan walaupun sederhana tetap terhidang di meja makan.Plaaakk...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Bapakku yang melakukannya. Bapak dan ibu justru membela Winda, menantunya, bukan aku yang notabene anak kandungnya sendiri.
Aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal."Tidak, bu. Teh buatan ibu sangat enak," jawabku.Setelah meminum teh itu, akhirnya aku pulang tanpa bisa berbicara dengan Winda. Kenapa sih kalian menghukumku seperti ini?***Keesokan harinya, aku pergi bekerja ke kebun bapak. Kata bapak, hari ini jadwal pemberian pupuk. Aku bersama para pekerja lain memberi pupuk untuk tanaman anggur bapak. Kebun bapak sangatlah luas. Jadi walaupun pekerjaan ini mudah, tapi terasa begitu melelahkan.Sore hari waktunya pembagian upah untuk para pekerja."Nih buat kamu," ucap bapak memberikan uang sebesar 70 ribu rupiah."Pak, cuma segini?" tanyaku berharap bapak akan menambahkannya."Iya, bapak kan sudah bilang, tak ada hak istimewa untukmu. Semua pekerja sama upahnya," jawab bapak begitu tegas.Ya ampun pak, padahal aku anakmu sendiri tapi kenapa bapak begitu tega?"Ya sudah pak, terima kasih," uc
Tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Hatiku terasa panas terbakar cemburu. Kukepalkan tanganku, ingin sekali rasanya meninju lelaki itu. Mereka bahkan tak menyadari kehadiranku."Assalamualaikum," sapaku."Waalaikum salam," jawab mereka serempak. Mereka semua menoleh dengan pandangan terkejut. Terlebih lelaki itu, dia melihatku dengan tatapan tak suka.Aku menjabat tangan mereka satu persatu. Dan menerbitkan senyum penuh kepura-puraan."Rendy, duduk dulu nak," ucap ibu."Oh, mas, kamu datang," sapa istriku yang baru keluar sambil membawa bunga yang cantik. Dia tersenyum dan menyalami tanganku."Aku buatkan teh dulu ya," ucapnya lagi.Aku kembali menatap lelaki itu. Tapi dia terlihat begitu santai. Bukankah dia tahu kalau aku suami Winda? Kenapa dia sampai mengunjunginya kesini?"Rendy, ini lho namanya Mas Farid," ucap bapak memperkenalkan kami. Lelaki yang bernama Farid itu tersenyum padaku."Ada keperl
Mendengar rengekan Sofia membuat hatiku bahagia, lampu hijau sudah kudapatkan dari anakku."Sofia, biar ayah pulang dulu ya, nak. Sini gendong sama ibu, nak," ucap Winda sambil meraih Sofia dari gendonganku."Tidak mau," jawab Sofia. Dia membenamkan wajahnya di dadaku dan lebih merekatkan rangkulannya."Sofia sayang...""Sofia masih mau sama ayah. Ayah jangan pulang," rengeknya lagi."Iya, iya Sofia sama ayah," jawabku berusaha menenangkannya.Aku paham, dia pasti rindu denganku. Selama ini aku selalu cuek padanya. Aku cukup lama menggendongnya sampai Sofia tertidur dalam dekapanku. Baru kali ini aku merasakan benar-benar menjadi seorang ayah. Rasanya sungguh menyenangkan. Saat ada seseorang yang tak ingin jauh dariku. Kuharap selanjutnya Winda pun akan bersikap sama, tak mau jauh dariku."Ini Sofia mau ditidurkan dimana?" tanyaku."Di kamarmu yang dulu, mas," jawab Winda.Aku mengangguk. Segera kubarin
"Sudah ayo pulang dulu, kalau sekarang aku tak bisa berpikir jernih. Lagipula tidak baik, wanita hamil malam-malam masih di luar rumah.""Aku mau menginap disini, Winda tidak ada di rumah kan?" ucapnya tiba-tiba membuatku tercengang."Tidak, tidak boleh! Kau harus pulang. Apa nanti kata tetangga kalau kita digerebek? Kita belum sah jadi suami istri!" tegasku lagi. Kepalaku saat ini benar-benar pusing.Santi justru tersenyum. "Tidak apa-apa, kita katakan semuanya tentang hubungan kita. Aku tak masalah kalau digerebek dan dipaksa nikah denganmu, aku akan setuju."Ah, wanita ini benar-benar gila. Apa dia tak tahu malu?"Tidak, tidak. Jangan menambah masalah lagi. Kau harus pulang dulu," elakku. Aku tak mau masalahnya bertambah runyam."Tapi mas, aku mau kau bertanggungjawab terhadapku!" desaknya lagi. Santi masih menatapku tajam. "Iya, iya.""Janji ya, mas ... Kalau tidak, sekarang juga aku akan menelepon dan mengatakan semuanya pada Winda.""Iya, iya," jawabku. Ah sekarang kenapa aku
"Ya Allah, mohon tunjukkan kebenarannya. Mohon tunjukkan kalau ada yang disembunyikan dari suamiku. Aku tak ingin salah pilih lagi. Kalau memang mas Rendy masih berjodoh denganku, berikan kemantapan dalam hati untuk menerimanya kembali. Tapi kalau memang harus berakhir, tunjukkan alasannya. Alasan yang benar-benar bisa membuatku lepas darinya." Sebuah doa yang selalu aku panjatkan tiap pagi sebelum waktu subuh.Dan hari ini, hari terakhir hukuman Mas Rendy. Dia pasti akan mengajakku pulang, tapi kenapa aku merasa gamang? Aku akui, selama satu bulan ini Mas Rendy sudah banyak berubah. Dia selalu memberiku nafkah tiap hari yang dia titipkan pada bapak. Haruskah aku memberinya satu kesempatan lagi? Atau bagaimana? Masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, kenapa perselingkuhannya belum terkuak juga? Dia menutupinya begitu rapat. Apakah dia sudah tak berhubungan lagi dengan wanita itu? Sebenarnya siapa wanita itu? Haruskah aku menerima suamiku kembali tanpa tahu dia telah berkhianat deng
"Ibu....!" teriak kami serentak. Dengan sigap Mas Rendy membopong ibu ke kamarnya.Bapakpun terlihat panik, tapi wajahnya memendam amarah begitu dalam. Aku sama khawatirnya dengan bapak. Hatiku hancur berkeping-keping. Hatiku hancur tercabik-cabik karena pengkhianatan mereka. Pengkhianatan dari orang-orang terdekatku, suamiku dan sahabatku sendiri? Mereka begitu tega bermain api di belakangku?Aku mendekatkan minyak kayu putih ke hidung ibu, sambil sesekali memijat kepalanya berharap agar ibu cepat sadar. Bapak juga memijat telapak kaki ibu.Tak berselang lama ibu sadar, wanita paruh baya itu langsung memelukku dengan erat. Air matanya tumpah tak tertahankan lagi. Ibu sepertinya sangat shock mendengar kenyataan ini.Sebenarnya hatiku juga sangat sakit, aku tak bisa menahan hancurnya hatiku tapi aku sudah menyiapkan hatiku sejak lama tentang kemungkinan terburuk ini. Namun sungguh, aku tak pernah menyangka wanita selingkuhan suamiku itu adalah Santi, sahabatku sendiri."Rendy, bapak pe
"Sudahlah mas, buat apa kamu memohon-mohon lagi. Tidak ada gunanya juga kamu disini! Baiknya kita pergi saja dari sini, Mas!" sergah Santi. Dia sudah merasa kesal luar biasa."Diam kau, Santi! Gara-gara kamu semuanya jadi berantakan! Tidak jelas juga anak siapa yang kau kandung itu!" bentak Mas Rendy membuat kami semua terperanjat."Apa kau bilang, mas? Jadi kau tidak mengakui anak ini?!" tukas Santi dengan nada tinggi."Ya! Bahkan aku tidak tahu kamu sudah tidur dengan siapa saja!""Cukup!! Hentikan!! Kalian kalau mau ribut, silahkan di luar, jangan disini!" seru bapak lagi.Santi langsung berlalu pergi tanpa sepatah kata apapun. Sebelum pergi, ia sempat memandangku dengan sinis, seolah punya dendam yang tak berkesudahan."Dek, mas mau bicara berdua saja denganmu. Tolong ikut mas sebentar," ucapnya lagi. Dia menarik tanganku hingga ke teras depan rumah.Tiba-tiba saja Mas Rendy memelukku dengan erat. "Tidak adakah sisa cintamu untukku, dek? Mas minta walaupun itu hanya sedikit," ucap
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba