Mendengar rengekan Sofia membuat hatiku bahagia, lampu hijau sudah kudapatkan dari anakku.
"Sofia, biar ayah pulang dulu ya, nak. Sini gendong sama ibu, nak," ucap Winda sambil meraih Sofia dari gendonganku.
"Tidak mau," jawab Sofia. Dia membenamkan wajahnya di dadaku dan lebih merekatkan rangkulannya.
"Sofia sayang..."
"Sofia masih mau sama ayah. Ayah jangan pulang," rengeknya lagi.
"Iya, iya Sofia sama ayah," jawabku berusaha menenangkannya.
Aku paham, dia pasti rindu denganku. Selama ini aku selalu cuek padanya. Aku cukup lama menggendongnya sampai Sofia tertidur dalam dekapanku. Baru kali ini aku merasakan benar-benar menjadi seorang ayah. Rasanya sungguh menyenangkan. Saat ada seseorang yang tak ingin jauh dariku. Kuharap selanjutnya Winda pun akan bersikap sama, tak mau jauh dariku.
"Ini Sofia mau ditidurkan dimana?" tanyaku.
"Di kamarmu yang dulu, mas," jawab Winda.
Aku mengangguk. Segera kubarin
"Sudah ayo pulang dulu, kalau sekarang aku tak bisa berpikir jernih. Lagipula tidak baik, wanita hamil malam-malam masih di luar rumah.""Aku mau menginap disini, Winda tidak ada di rumah kan?" ucapnya tiba-tiba membuatku tercengang."Tidak, tidak boleh! Kau harus pulang. Apa nanti kata tetangga kalau kita digerebek? Kita belum sah jadi suami istri!" tegasku lagi. Kepalaku saat ini benar-benar pusing.Santi justru tersenyum. "Tidak apa-apa, kita katakan semuanya tentang hubungan kita. Aku tak masalah kalau digerebek dan dipaksa nikah denganmu, aku akan setuju."Ah, wanita ini benar-benar gila. Apa dia tak tahu malu?"Tidak, tidak. Jangan menambah masalah lagi. Kau harus pulang dulu," elakku. Aku tak mau masalahnya bertambah runyam."Tapi mas, aku mau kau bertanggungjawab terhadapku!" desaknya lagi. Santi masih menatapku tajam. "Iya, iya.""Janji ya, mas ... Kalau tidak, sekarang juga aku akan menelepon dan mengatakan semuanya pada Winda.""Iya, iya," jawabku. Ah sekarang kenapa aku
"Ya Allah, mohon tunjukkan kebenarannya. Mohon tunjukkan kalau ada yang disembunyikan dari suamiku. Aku tak ingin salah pilih lagi. Kalau memang mas Rendy masih berjodoh denganku, berikan kemantapan dalam hati untuk menerimanya kembali. Tapi kalau memang harus berakhir, tunjukkan alasannya. Alasan yang benar-benar bisa membuatku lepas darinya." Sebuah doa yang selalu aku panjatkan tiap pagi sebelum waktu subuh.Dan hari ini, hari terakhir hukuman Mas Rendy. Dia pasti akan mengajakku pulang, tapi kenapa aku merasa gamang? Aku akui, selama satu bulan ini Mas Rendy sudah banyak berubah. Dia selalu memberiku nafkah tiap hari yang dia titipkan pada bapak. Haruskah aku memberinya satu kesempatan lagi? Atau bagaimana? Masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, kenapa perselingkuhannya belum terkuak juga? Dia menutupinya begitu rapat. Apakah dia sudah tak berhubungan lagi dengan wanita itu? Sebenarnya siapa wanita itu? Haruskah aku menerima suamiku kembali tanpa tahu dia telah berkhianat deng
"Ibu....!" teriak kami serentak. Dengan sigap Mas Rendy membopong ibu ke kamarnya.Bapakpun terlihat panik, tapi wajahnya memendam amarah begitu dalam. Aku sama khawatirnya dengan bapak. Hatiku hancur berkeping-keping. Hatiku hancur tercabik-cabik karena pengkhianatan mereka. Pengkhianatan dari orang-orang terdekatku, suamiku dan sahabatku sendiri? Mereka begitu tega bermain api di belakangku?Aku mendekatkan minyak kayu putih ke hidung ibu, sambil sesekali memijat kepalanya berharap agar ibu cepat sadar. Bapak juga memijat telapak kaki ibu.Tak berselang lama ibu sadar, wanita paruh baya itu langsung memelukku dengan erat. Air matanya tumpah tak tertahankan lagi. Ibu sepertinya sangat shock mendengar kenyataan ini.Sebenarnya hatiku juga sangat sakit, aku tak bisa menahan hancurnya hatiku tapi aku sudah menyiapkan hatiku sejak lama tentang kemungkinan terburuk ini. Namun sungguh, aku tak pernah menyangka wanita selingkuhan suamiku itu adalah Santi, sahabatku sendiri."Rendy, bapak pe
"Sudahlah mas, buat apa kamu memohon-mohon lagi. Tidak ada gunanya juga kamu disini! Baiknya kita pergi saja dari sini, Mas!" sergah Santi. Dia sudah merasa kesal luar biasa."Diam kau, Santi! Gara-gara kamu semuanya jadi berantakan! Tidak jelas juga anak siapa yang kau kandung itu!" bentak Mas Rendy membuat kami semua terperanjat."Apa kau bilang, mas? Jadi kau tidak mengakui anak ini?!" tukas Santi dengan nada tinggi."Ya! Bahkan aku tidak tahu kamu sudah tidur dengan siapa saja!""Cukup!! Hentikan!! Kalian kalau mau ribut, silahkan di luar, jangan disini!" seru bapak lagi.Santi langsung berlalu pergi tanpa sepatah kata apapun. Sebelum pergi, ia sempat memandangku dengan sinis, seolah punya dendam yang tak berkesudahan."Dek, mas mau bicara berdua saja denganmu. Tolong ikut mas sebentar," ucapnya lagi. Dia menarik tanganku hingga ke teras depan rumah.Tiba-tiba saja Mas Rendy memelukku dengan erat. "Tidak adakah sisa cintamu untukku, dek? Mas minta walaupun itu hanya sedikit," ucap
Lima tahun menikah dan selama tiga tahun dikhianati, kejam memang. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama ini aku selalu positif thinking pada mereka. Aku tak pernah menyangka Mas Rendy berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Apa aku yang terlalu bodoh dan naif ketika Santi seringkali datang berkunjung ke rumah. Tak ada rasa curiga sedikitpun terhadap mereka. Bahkan aku tak pernah mengira hubungan mereka sejauh itu, sampai melakukan sebuah dosa besar. Selama ini, Mas Rendy jarang memberikan nafkah untukku, tapi setiap bulannya ibu mertua selalu memberi uang jajan untuk Sofia. Serta usaha online shop kecil-kecilan yang kurintis bisa menghidupi kehidupan kami sekeluarga. Ya, aku tak pernah berpikir Mas Rendy berselingkuh. Kupikir uang gajinya dia tabung sendiri, bukan untuk foya-foya. ***Pagi itu Bi Minah, izin tidak bekerja karena anaknya sedang sakit."Biar saya aja bu yang pergi ke pasar ..." ucapku sambil meraih tas keranjang untuk membeli sayur dan keperluan dapur."Apa
"Iya, ibu mengerti. Kamu masih perlu waktu untuk menata hati. Ngomong-ngomong ini Mas Farid ketemu di jalan?""Iya, bu," jawab Mas Farid."Mas Farid udah nyelamatin aku, bu."Ibu nampak tersenyum. "Oalah.. Terima kasih ya, nak.""Iya, bu,""Ya sudah, ibu buatkan teh dulu ya ..." ucap ibu sambil berlalu.Tak berselang lama ibu keluar sambil membawakan teh untuk kami."Silahkan diminum dulu, Nak.""Iya, terima kasih, Bu."Mas Farid menyesap teh buatan ibu. "Begini, bu, mbak, kepala kantor cabang tempat saya bekerja, beliau mau pesan bunga buatan mbak. Beliau minta dibuatkan standing flower dengan bentuk bunga mawar warna pink yang ada lampunya, biar bisa nyala kalau malam, katanya biar bisa dijadikan lampu tidur juga. Terus satu lagi beliau juga pesan bunga sudut ruangan yang bentuknya bulat-bulat mirip bola gitu lho mbak. Kira-kira gimana mbak, bisa?" tanya Mas Farid."Tapi kalau pengerjaannya lama gimana, Mas?" tanyaku."Gak masalah, beliau mau nunggu kok.""Alhamdulillah, ya saya u
"Aaaarrrgghh...! Kacau semuanya!" teriakku sangat frustasi. Ini semua gara-gara Santi, padahal sedikit lagi Winda akan menerimaku kembali."Kacau gimana sih, mas? Kapan kamu mau nikahi aku?" tanya Santi."Ya itu semua gara-gara kamu. Rencanaku gagal sudah.""Rencana buat balikan sama Winda lagi?" tanya Santi sambil terus menatapku.Aku menoleh dan memandangnya. Ah, kenapa aku bisa sampai terjerat oleh Santi. Dia ternyata licik."Kenapa diam, mas? Bukankah dulu kau ingin berpisah darinya? Sekarang kenapa berubah pikiran? Lagian Winda sudah gak mau sama kamu lagi, mas! Heran, ngapain masih ngarepin dia?""Santi... Santi... Andai saja kamu lebih bersabar sedikit lagi, kita gak akan kayak gini. Aku pasti akan nikahin kamu. Kalau sekarang bagaimana? Aku sama sekali gak punya uang. Bapak juga pasti tidak akan menerimaku bekerja di kebunnya lagi. Rumah inipun hasil dari belas kasih Winda. Kau pikir sekarang, kita mau makan apa nanti?" ujarku penuh penyesalan. Kuhela nafas panjang, rasanya ak
"Saudara Rendy Darmawan Bin Darmawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Santi Monika Binti Jaelani dengan maskawinnya berupa kalung emas berat 10 gram, tunai!" Suara Pak Penghulu terdengar lantang. Aku yang tengah duduk di samping Mas Rendy, ikut berdebar-debar dibuatnya. Semoga saja Mas Rendy bisa mengucapkan qobul itu dengan lancar, agar aku tidak malu.“Saya terima nikah dan kawinnya Santi Monika Binti Jaelani dengan mas kawin yang tersebut diatas tunai," ucap Mas Rendy, membuat hatiku lega."Gimana, saksi? Sah?""Saah!!""Alhamdulillah."Yess! Akhirnya aku sah juga jadi istrinya Mas Rendy. Setelah drama panjang yang kulalui. Apalagi tadi pagi Mas Rendy sempat menghilang entah kemana. Aku sempat khawatir kalau Mas Rendy tidak balik lagi, mau ditaruh dimana mukaku? Kalian bisa tahu raut wajahku yang begitu panik dan cemas takut kalau-kalau aku ditinggalkan begitu saja. Mungkin bagus juga kalau dibikin sinetron.'Calon suamiku kabur di hari pernikahanku.' Melankolis bang