"Aaaarrrgghh...! Kacau semuanya!" teriakku sangat frustasi. Ini semua gara-gara Santi, padahal sedikit lagi Winda akan menerimaku kembali."Kacau gimana sih, mas? Kapan kamu mau nikahi aku?" tanya Santi."Ya itu semua gara-gara kamu. Rencanaku gagal sudah.""Rencana buat balikan sama Winda lagi?" tanya Santi sambil terus menatapku.Aku menoleh dan memandangnya. Ah, kenapa aku bisa sampai terjerat oleh Santi. Dia ternyata licik."Kenapa diam, mas? Bukankah dulu kau ingin berpisah darinya? Sekarang kenapa berubah pikiran? Lagian Winda sudah gak mau sama kamu lagi, mas! Heran, ngapain masih ngarepin dia?""Santi... Santi... Andai saja kamu lebih bersabar sedikit lagi, kita gak akan kayak gini. Aku pasti akan nikahin kamu. Kalau sekarang bagaimana? Aku sama sekali gak punya uang. Bapak juga pasti tidak akan menerimaku bekerja di kebunnya lagi. Rumah inipun hasil dari belas kasih Winda. Kau pikir sekarang, kita mau makan apa nanti?" ujarku penuh penyesalan. Kuhela nafas panjang, rasanya ak
"Saudara Rendy Darmawan Bin Darmawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Santi Monika Binti Jaelani dengan maskawinnya berupa kalung emas berat 10 gram, tunai!" Suara Pak Penghulu terdengar lantang. Aku yang tengah duduk di samping Mas Rendy, ikut berdebar-debar dibuatnya. Semoga saja Mas Rendy bisa mengucapkan qobul itu dengan lancar, agar aku tidak malu.“Saya terima nikah dan kawinnya Santi Monika Binti Jaelani dengan mas kawin yang tersebut diatas tunai," ucap Mas Rendy, membuat hatiku lega."Gimana, saksi? Sah?""Saah!!""Alhamdulillah."Yess! Akhirnya aku sah juga jadi istrinya Mas Rendy. Setelah drama panjang yang kulalui. Apalagi tadi pagi Mas Rendy sempat menghilang entah kemana. Aku sempat khawatir kalau Mas Rendy tidak balik lagi, mau ditaruh dimana mukaku? Kalian bisa tahu raut wajahku yang begitu panik dan cemas takut kalau-kalau aku ditinggalkan begitu saja. Mungkin bagus juga kalau dibikin sinetron.'Calon suamiku kabur di hari pernikahanku.' Melankolis bang
Aku memandang Mas Rendy, sepertinya dia benar-benar tertidur. Saatnya kubuka aplikasi Facebookku, lalu mengunggah kemesraan kita. Aku ingin lihat bagaimana reaksi Winda. Apakah dia akan cemburu. Aku tersenyum sinis. Aku memasang pose yang menggoda dengan wajah yang kubuat seimut mungkin. Lalu segera aku klik kamera untuk mengambil gambarku berselfie ria. Agar terlihat ada seseorang di belakangku juga. Nah, ini pas banget fotonya. Sesuai dengan yang kuinginkan. Dan klik, terupload sukses fotoku bersama Mas Rendy yang sedang tertidur.'Terima kasih sayang, kamu sangat hot... Lupakan mantanmu dan kita buka lembaran baru. I love you my husband.' Sebuah status yang akan menamparmu, wanita sombong. Entah kenapa dulu aku mau jadi sahabatmu. Cukup disini saja persahabatan kita. Sekarang suamimu sudah jadi milikku. Tunggu saatnya nanti bapak dan ibu mertua akan berada dalam genggamanku juga.****Flashback*Gadis berkerudung itu berlari-lari sambil tersenyum ke arahku. Lalu dia memelukku. S
Selama SMA sampai kelulusan itu tiba, Winda tak pernah sekalipun punya pacar. Berbeda denganku yang pernah dua kali merasakan pacaran. Manisnya masa remaja, berpacaran dengan teman seangkatan. Entahlah Winda mungkin tak seperti remaja normal yang merasakan jatuh cinta. Atau dia pura-pura menahannya karena malu dengan kondisi keluarga?Setelah lulus sekolah, kulihat wajahnya begitu mendung. Aku tahu alasannya, dia tak bisa melanjutkan kuliah karena bapaknya tidak mampu. Tidak ada biaya untuk untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi."Jadi, kamu gak nerusin kuliah, Win?" tanyaku basa-basi. Aku ingin melihat ekspresinya si bintang kelas. "Tidak San, mungkin aku akan langsung mencari pekerjaan buat bantu-bantu bapak," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum. Padahal aku tahu, hatinya begitu sedih karena tak bisa melawan takdirnya sendiri."Yah sayang banget, kita gak bisa bareng lagi. Padahal kamu sangat pintar, Win. Kenapa gak kuliah s
1 tahun berlaluAku masih belum menemukan pekerjaan yang cocok. Beberapa kali ibu memarahiku gara-gara kerjaanku hanya bermalas-malasan di rumah."Santi, kapan kamu mau kerja?! Disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk malas-malasan! Noh lihat si Winda, meskipun gak kuliah dia kerja jadi kasir. Sekarang malah udah punya suami kaya, kerjaannya bagus!" omel ibuku. Ibuku memang cerewet gak senang lihat anaknya nyantai."Iya, iya bu, Santi juga lagi cari-cari kerjaan nih yang gajinya besar. Bukan kasir seperti Winda, gajinya kan kecil cuma UMR 1jt'an doang. Aku mau lah yang gajinya 2 juta atau lebih tinggi dari itu. Ibu yang sabar dulu dong, doa'in anaknya biar dapat kerjaan yang enak. Jangan lagi-lagi banding-bandingin sama Winda. Beda level bu, aku anak kuliahan sedangkan dia cuma lulusan SMA. Aku pasti dapat yang lebih baik dari dia," tukasku. "Buktikan kalau begitu!" ibu menimpali dengan nada ketus.Aku menghela nafas panjang. Lalu kembali berbaring, masa bodoh ucapan ibu. Tenang saja b
"Assalamualaikum ..." salam sapa dari luar."Waalaikum salam ..." jawabku.Lelaki itu masuk, karena memang pintu masih terbuka. Sungguh aku terpesona melihatnya. Lelaki yang juga suami Winda jauh lebih ganteng setelah kulihat aslinya."Waalaikum salam, mas udah pulang?" sambut istrinya sambil menyalami tangan Mas Rendy. Untuk beberapa jeda aku tertegun melihatnya."Iya Dek, maaf. Mas lembur lagi," jawabnya sambil sesekali melirik ke arahku. Mungkin dia bertanya-tanya siapa aku. "Oh iya mas, ini sahabatku, namanya Santi. Dia datang dari kampung yang sama denganku," ucap Winda memperkenalkanku.Aku mengangguk sambil tersenyum, senyuman yang kubuat semanis mungkin. Berharap dia akan terpesona denganku. Dari sinipun bisa dinilai tentang penampilanku dan Winda sangat jauh berbeda. Bajuku sangat modis dan trendy tak seperti Winda yang hanya memakai daster motif bunga-bunga meskipun ia masih terlihat cantik natural."Santi, ini suamiku, Mas Rendy namanya," ucap Winda lagi mengenalkannya.K
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa sadar kami larut dalam obrolan yang ringan, sedangkan Winda tengah berbenah kamar yang akan ditempati olehku."San, kamarnya sudah rapi. Silakan kalau mau istirahat dulu. Semoga nyaman ya.""I-iya, terima kasih, Winda," sahutku. "Aku permisi dulu ya, Win, Mas," lanjutku lagi."Iya Santi, selamat istirahat," ujar Winda sambil tersenyum.Yess! Pekikku dalam hati saat menutup pintu kamar. Pandanganku memindai sekeliling. Aku melihat desain yang sederhana tapi tampak elegan. Winda pintar sekali menata rumah ini. Membuat penghuni rumah merasa nyaman dan damai. Lihat saja, Win! Suatu saat rumah ini akan jadi milikku. Begitu juga dengan suamimu yang tampan itu.***Paginya, Winda sudah rajin memasak sarapan untuk kami bersama. "Mas, istrimu itu lho benar-benar istri idaman. Pagi-pagi dah masak buat sarapan," pujiku saat Winda tengah menghidangkan sarapan.Winda hanya tersenyum, begitupun dengan Mas Rendy. "Iya, makanya aku cinta. Selain cantik dia j
"Santi, mana sarapannya?" tanyaku pagi itu. Santi terlihat masih menggeliat malas di tempat tidurnya.Lagi-lagi aku hanya mengembuskan nafas kesalku. Ah, kenapa dia berbeda sekali sama Winda. Meskipun aku tak memperhatikan Winda tiap hari tetapi dia selalu bangun tiap jam 3 pagi lalu sholat dan melakukan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu rumah tangga. Pagi-pagi ketika aku bangun, sarapan dan teh manis sudah tersedia di meja.Aku melongok ke belakang, tumpukan pakaian kotor masih teronggok di sudut ruangan. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dia malas sekali. Ah, lebih baik aku pergi saja. Tapi apa yang harus kulakukan? "Mas, kamu sudah bangun?" tanyanya ketika aku ingin pergi."Iya," jawabku singkat."Kamu mau kemana, mas?" tanya Santi lagi."Cari angin, sumpek di rumah terus," jawabku sekenanya."Jadi kamu sumpek lihat aku, mas!" tukasnya dengan ketus. Tak kupedulikan dirinya yang sedang marah."Mas!" bentaknya lagi.Dia menghadang langkahku. "Ya, ada apa?""Kenapa
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba