"Santi, mana sarapannya?" tanyaku pagi itu. Santi terlihat masih menggeliat malas di tempat tidurnya.Lagi-lagi aku hanya mengembuskan nafas kesalku. Ah, kenapa dia berbeda sekali sama Winda. Meskipun aku tak memperhatikan Winda tiap hari tetapi dia selalu bangun tiap jam 3 pagi lalu sholat dan melakukan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu rumah tangga. Pagi-pagi ketika aku bangun, sarapan dan teh manis sudah tersedia di meja.Aku melongok ke belakang, tumpukan pakaian kotor masih teronggok di sudut ruangan. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dia malas sekali. Ah, lebih baik aku pergi saja. Tapi apa yang harus kulakukan? "Mas, kamu sudah bangun?" tanyanya ketika aku ingin pergi."Iya," jawabku singkat."Kamu mau kemana, mas?" tanya Santi lagi."Cari angin, sumpek di rumah terus," jawabku sekenanya."Jadi kamu sumpek lihat aku, mas!" tukasnya dengan ketus. Tak kupedulikan dirinya yang sedang marah."Mas!" bentaknya lagi.Dia menghadang langkahku. "Ya, ada apa?""Kenapa
Aku berlalu ke Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar kendaraan bermotorku yang mulai menipis. Kudengar suara adzan berkumandang. Hatiku seperti tertampar berkali-kali, selama ini aku telah lalai, lalai akan perintahMU.Kupacu motorku mendekat ke arah masjid. Aku memohon ampunannya, aku ingin bertaubat. Aku ingin menjadi lebih baik lagi. Ya Allah, ampuni hambamu ini yang sudah hina.Setelah merenung cukup lama, aku pulang walaupun tak bersemangat.Aku mengetuk pintu, rupanya pintu tidak dikunci. "Assalamualaikum..." ucapku memberi salam, tak ada sahutan dari dalam. Aku melenggang masuk. Kulihat Santi sedang bersantai di ruang TV sambil ngemil jajanan, sampahnya berserakan dimana-mana."Santi, seharian ini apa yang kamu lakukan? Kenapa rumah kotor sekali?" tegurku. Dia menoleh sejenak, lalu kembali menonton TV."Santi, kalau suami datang harusnya disambut, bukan dicuekin kayak gini," tukasku lagi. Emosiku kembali membuncah melihat wanita malas itu. Duh, kenapa aku bisa sampai terjerat
Aku terdiam mendengar ucapan Santi. Dia yang tadinya lembut kembali berkata dengan nada tinggi. Hormon pada ibu hamil memang tak stabil. Tapi dia benar, aku selaku kepala rumah tangga, harusnya lebih giat lagi mencari nafkah untuk mereka, bukan justru menyuruhnya bekerja.Kepalaku terasa begitu penat. Pusing dan berdenyut. Aku memejamkan mata sebentar sambil mengurut keningku. Sekarang, tanggung jawab rumah tangga sepenuhnya ada padaku. Pening sekali memikirkannya. Apalagi aku harus mulai menabung untuk biaya lahiran Santi. Anak yang dikandungnya, anakku juga. Ah, aku harus mulai dari mana?Aku membersihkan sisa-sisa makanan Santi diatas meja. Aku harus lebih bersabar padanya, tidak boleh marah-marah. Mungkin dia stress juga dengan kehamilannya. Aku harus terima semuanya, kelebihan serta kekurangannya. Mungkin ini karmaku karena telah menyia-nyiakan Winda. Aku menyesal, memang benar, penyesalan itu selalu datang terlambat. Dan karena hal itu aku tak bisa memperbaiki semuanya. ***Pag
Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya akta cerai itu sudah resmi kuterima. Mas Rendy tak pernah datang saat proses sidang perceraian, membuat masalah ini makin mudah. Masa iddahpun sudah aku lewati dengan baik. Ocehan para tetangga membuatku mantap untuk pergi dari rumah mertua.Kukemasi barang-barangku dan juga Sofia. Sebelumnya aku sudah berpamitan dengan bapak dan ibu. Meskipun mereka keberatan dengan keputusan yang kuambil, tapi mereka tak bisa menahanku lagi. Bukan, bukan karena aku sudah jadi janda jadi ingin bebas. Tidak seperti itu, aku hanya ingin menghormati mereka. Agar mereka tak lagi menjadi gunjingan para warga.Namun karena kebaikan bapak dan ibu mertuaku, mereka menyewakan sebuah rumah untuk kami tinggali. Aku menolak, tapi bapak keukeuh untuk membantuku, dengan alasan Sofia adalah tanggungjawab mereka karena ayahnya ( Mas Rendy ) memang tak memberi kami nafkah selama ini.Bapak dan ibupun mengantar kami pindahan. Sebenarnya berat juga, karena selama ini mereka san
Belum juga dimasukkan ke dalam tas. Handphoneku kembali berdering. Entah kenapa banyak sekali yang menghubungiku hari ini. Kulihat nama yang tertera dilayar, panggilan dari ibu panti."Hallo, assalamualaikum.""Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.""Alhamdulillah, iya bu, ada apa?""Begini mbak, mbak apakah bisa datang kemari.""Iya bisa bu, ini saya lagi jalan kesana.""Alhamdulillah, iya mbak. Ini mau ada rapat tentang pengurus baru, siapa tahu mbak bisa bersinergi. Kami tunggu ya, mbak.""Baik, Bu. Sepuluh menit lagi sampai.""Iya mbak, hati-hati dijalan. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Kututup telepon dan memasukkan handphoneku ke dalam tas. Kembali kugandeng gadis kecilku yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi."Maaf ya sayang, lama ya nungguin ibu telepon?" tanyaku pada Sofia."Gak apa-apa kok bu, Sofia senang kalau ibu juga senang," jawabnya dengan polos.Kuciumi wajah cantik putriku."Ayo jalan lagi, nak."Sofia mengangguk, senyuman tulusnya selalu merekah
Dadaku bergemuruh, ada rasa sesal menyelinap di sudut hatiku. Sudah lama aku tidak pulang dan menemui bapak. Mungkin sudah 3 tahun tidak pulang, karena saat-saat itu, saat tersulit bagiku."Kalau boleh kita ngobrol dulu disini atau ... Kalau aku ikut pulang denganmu, boleh?" tanyanya lagi. "Hah?" Aku cukup terkejut mendengar jawabannya.Dia kembali memandangku dengan tatapan yang teduh. Lalu senyuman itu kembali terbit di tak bibirnya."Ya sudah, ayo ngobrol di rumah saja Mas," tukasku. Kamipun memesan taksi. Aku dan Sofia duduk di jok belakang, sedangkan Mas Anjar duduk di samping pak sopir.Tak butuh waktu lama kami sampai di kediamanku. Mas Anjar yang membayar tagihan taksi itu. Lalu dengan sigap dia menggendong Sofia lagi."Wah ... kamu tinggal disini Dek? Sepertinya nyaman," ujarnya sambil memperhatikan sekitar. "Iya mas, ayo silahkan masuk, duduk dulu ya ..."Aku berlalu ke dapur dan membuatkannya teh manis. Tak berselang lama aku kembali dengan segelas teh manis untuknya. L
Adzan ashar berkumandang. Mas Anjar bangkit dari duduknya."Dek, boleh numpang sholat? Atau mau sholat berjamaah lagi kayak waktu dzuhur tadi?"Waktu sholat dzuhur tadi kami memang sholat berjamaah bersama, tapi itu dilakukan di Panti, bersama dengan para pengurus dan anak-anak panti. Dan Mas Anjar lah yang menjadi imamnya."Oh iya boleh, mas. Aku siapkan dulu sajadah sama sarungnya ya.""Oke."Tak butuh waktu lama, kamipun sholat berjamaah. Aku beranjak setelah selesai berdoa. Namun rupanya Mas Anjar masih berdzikir. Aku sempat menoleh sebentar, Mas Anjar tengah khusyuk dalam beribadah. Masyaallah, aku jadi makin tersanjung. Hal ini tak pernah dilakukan oleh Mas Rendy, ya kami jarang melakukan sholat berjamaah bersama. Bahkan Mas Rendy terkesan lalai menjalankan kewajibannya.Selagi dia sedang berdzikir dan berdoa, aku berlalu ke dapur untuk membuat cemilan, yang sederhana saja dan seadanya bahan yang kupunya. Pisang goreng coklat keju, kesukaan putri kecilku. Aroma wangi gurih dan
"Dek, aku menyukaimu," ungkap Mas Anjar. Dia selalu bilang begitu sejak kami masih sama-sama satu sekolah. Bukan hanya satu kali, dia menyatakannya sampai beberapa kali dan dia tak pantang menyerah. Padahal banyak perempuan yang mengejar dirinya tapi dia tak jua berpaling. Justru dia makin gigih dengan perasaannya kepadaku. Pernah suatu ketika dia mengajakku menikah, aku menolaknya lagi. Kenapa aku tega melakukannya? Itu karena aku ingin menjaga perasaan Santi. Aku tak ingin sahabatku terluka karena keputusanku. Kalau ditanya apakah aku juga menyukainya? Hmm, mungkin bisa dibilang begitu. Siapa sih yang tidak suka dengan Mas Anjar. Dia lelaki yang baik dan nyaris sempurna. Dan anehnya hatiku merasa damai bila berada di dekatnya. Tapi karena waktu dan keadaan tak berpihak pada kami, aku menikah dengan orang lain. Aku belajar mencintai suamiku, toh selama ini aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Apalagi awalnya, suamiku bersikap manis dan baik padaku. Pikirku, dengan menik