Adzan ashar berkumandang. Mas Anjar bangkit dari duduknya."Dek, boleh numpang sholat? Atau mau sholat berjamaah lagi kayak waktu dzuhur tadi?"Waktu sholat dzuhur tadi kami memang sholat berjamaah bersama, tapi itu dilakukan di Panti, bersama dengan para pengurus dan anak-anak panti. Dan Mas Anjar lah yang menjadi imamnya."Oh iya boleh, mas. Aku siapkan dulu sajadah sama sarungnya ya.""Oke."Tak butuh waktu lama, kamipun sholat berjamaah. Aku beranjak setelah selesai berdoa. Namun rupanya Mas Anjar masih berdzikir. Aku sempat menoleh sebentar, Mas Anjar tengah khusyuk dalam beribadah. Masyaallah, aku jadi makin tersanjung. Hal ini tak pernah dilakukan oleh Mas Rendy, ya kami jarang melakukan sholat berjamaah bersama. Bahkan Mas Rendy terkesan lalai menjalankan kewajibannya.Selagi dia sedang berdzikir dan berdoa, aku berlalu ke dapur untuk membuat cemilan, yang sederhana saja dan seadanya bahan yang kupunya. Pisang goreng coklat keju, kesukaan putri kecilku. Aroma wangi gurih dan
"Dek, aku menyukaimu," ungkap Mas Anjar. Dia selalu bilang begitu sejak kami masih sama-sama satu sekolah. Bukan hanya satu kali, dia menyatakannya sampai beberapa kali dan dia tak pantang menyerah. Padahal banyak perempuan yang mengejar dirinya tapi dia tak jua berpaling. Justru dia makin gigih dengan perasaannya kepadaku. Pernah suatu ketika dia mengajakku menikah, aku menolaknya lagi. Kenapa aku tega melakukannya? Itu karena aku ingin menjaga perasaan Santi. Aku tak ingin sahabatku terluka karena keputusanku. Kalau ditanya apakah aku juga menyukainya? Hmm, mungkin bisa dibilang begitu. Siapa sih yang tidak suka dengan Mas Anjar. Dia lelaki yang baik dan nyaris sempurna. Dan anehnya hatiku merasa damai bila berada di dekatnya. Tapi karena waktu dan keadaan tak berpihak pada kami, aku menikah dengan orang lain. Aku belajar mencintai suamiku, toh selama ini aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Apalagi awalnya, suamiku bersikap manis dan baik padaku. Pikirku, dengan menik
"Tapi selama ini aku merasa nyaman dengan mbak. Jujur aku salut sama mbak, mbak wanita yang mandiri, tegar, cerdas dan juga cantik."Aku tersenyum kecil. "Makasih atas pujiannya lho, hehehe.""Jadi aku beneran ditolak nih, Mbak? Apa gak ada kesempatan untukku? Mungkin suatu saat nanti?" Ia balik bertanya dengan nada lirih. Kulihat wajah Mas Farid tampak kecewa.Aku tersenyum kecil, merasa tak enak padanya. Pasalnya Mas Farid bukanlah tipeku. Usia Mas Farid masih jauh di bawahku, dia terlalu muda takutnya emosinya masih belum stabil, apalagi aku hanya seorang single mom. Selain butuh suami, akupun membutuhkan ayah untuk anakku. Ya, meskipun kadar kedewasaan seseorang tak bisa diukur dengan umur. Tapi hati tak bisa dipaksa, aku lebih menyukai seorang lelaki yang usianya minimal sepadan maupun lebih tua dariku, lebih dewasa."Maaf ya mas, aku gak mau memberikan harapan palsu. Lebih baik aku putuskan sekarang. Aku tidak bisa menjalin hubungan lebih dari ini. Maaaaaaf banget," jawabku hat
"Mas, tolong lepaskan aku!" seruku lagi sambil meronta ingin lepas dari dekapannya. "Kenapa sih kamu bersikap seperti ini mas! Tolong lepaskan aku!" Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. "Mas, tolonglah. Jangan bertindak seperti anak kecil lagi," tukasku dengan nada bergetar. Mataku sudah terasa panas dan mengembun. Kulihat binar mata kecewa di wajahnya.Dia menghela nafas kasar. "Ah, maafkan aku dek. Aku kangen sekali padamu," ujarnya seraya mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat frustasi. Entahlah kenapa bisa seperti itu. Apa kehidupannya dengan Santi tak membuatnya bahagia?"Oh iya, dimana Sofia? Aku ingin bertemu dengannya," sambungnya lagi. Tanpa permisi dia langsung masuk dan memeriksa semua ruangan. "Sofia sayang, ini ayah nak..." ucap Mas Rendy menghampiri Sofia yang masih tertidur di kamarnya. Tiba-tiba tubuh mungil Sofia langsung digendongnya."Aku akan bawa Sofia. Biar dia tinggal bersamaku," tukas Mas Rendy. Aku terbelalak kaget mendengarnya. Enak saja di
Aku menoleh ke arah Mas Anjar. Diapun menoleh kearahku, pandangan kami bertemu. Dia tersenyum simpul. Sofia masih berada dalam gendongannya, sepertinya anakku merasa nyaman dengannya. Ya Allah, apakah benar Mas Anjar adalah jodoh yang baik yang engkau kirimkan sebagai pengganti suamiku yang dulu?"Hei bung, sepertinya cintamu bertepuk sebelah tangan. Kau lihat? Winda tak ada reaksi apapun ketika ditanya tentang pernikahan," ejek Mas Rendy."Kau salah mas, aku akan menikah dengannya," jawabku spontan, entah ada kekuatan dari mana aku bisa menjawabnya seperti itu. Aku hanya ingin Mas Rendy cepat pergi dari sini."Hah, Aku tidak percaya ini! Kalau sampai Santi melahirkan dan kalian belum menikah, kau harus ingat ini bung, akan kurebut dia kembali," tukas Mas Rendy kemudian melenggang pergi bersama motornya.Aku menjatuhkan tubuhku diatas kursi yang ada di teras. Pagi-pagi sudah menguras emosi. Lagi-lagi kuembuskan nafas dalam-dalam untuk sekadar menghilangkan penat."Sudah tenang sekaran
Aku langsung memeluk tubuh renta dihadapanku. Lama, cukup lama. Tak ada yang bersuara, kami tenggelam dalam perasaan masing-masing."Bapak sehat?" tanyaku."Alhamdulillah, iya nak. Bapak sehat. Ayo, ayo nak, masuk dulu," perintah bapak. Kamipun masuk dan dengan segera bapak menutup pintu kembali. Kamipun duduk di kursi tua yang sudah usang. Tiba-tiba hatiku terasa tertampar berkali-kali, apakah kehidupan bapak selama ini cukup?"Ini, ini putrimu, nduk? Cucu kakek?" tanya bapak penuh haru."Iya pak, dia yang waktu itu dibawa masih bayi pak," jawabku. "Sofia sayang, salim dulu sama kakek," ucapku.Sofia mengangguk dan turun dari pangkuan Mas Anjar lalu menyalami tangan bapak serta memeluknya. Bapak mengangkat tubuh mungil Sofia dan memangkunya."Cucu kakek sekarang sudah besar ya..." ucap bapak sambil sesekali menciumi pipi cucunya itu."Gimana kabarmu, nduk? Kalian baik-baik saja? Terus mana suamimu? Kenapa kalian cuma bertiga? Suamimu gak ikut pulang?" tanya bapak dengan tatapan pena
Deg ... deg ... deg ... Jantungku mulai berdebar-debar lagi. Haruskah kukatakan pada bapak, kalau Mas Anjar memang masih menyukaiku dan akan melamarku besok?"Kenapa bapak bicara seperti itu?" tanyaku."Iya nak, setelah kamu menikah, bapak tak melihat sekalipun dia dekat sama seorang wanita. Hari-harinya dia lakukan untuk bekerja. Dia memberdayakan orang-orang seperti bapak untuk mengolah lahan kosong untuk ditanami sayur mayur. Dia juga memberdayakan para pemuda dan ibu-ibu untuk mengolah bank sampah, sampah-sampah bekas makanan diolah jadi pupuk kompos, dan pupuk itu digunakan bersama di ladang-ladang yang kami punya."Bapak menghela nafas panjang, lalu matanya menerawang menatap langit-langit rumah."Sedangkan sampah plastik dipilah-pilah lagi, bungkus-bungkus kopi maupun minuman sachet dianyam jadi kerajinan tangan, ada yang dibuat tas, tikar bahkan kotak tissue. Sedangkan bungkus jajanan yang gak ada kembarannya dirawis kecil-kecil untuk isian bantal sofa. Kresek-kresek warna wa
Aku dan Mas Anjar saling berpandangan. Aku tak memikirkan sampai hal ini. Ah, aku pasrah saja. Terserah apa yang akan dikatakan Mas Anjar.Mas Anjar tersenyum."Izinkan aku mengurus persiapan dan berkas-berkasnya dulu, pak. Aku butuh waktu dua mingguan lagi agar benar-benar bisa menikahi Winda," jawab Mas Anjar yang terdengar begitu mantap dan tegas."Baiklah, kami serahkan semua keputusan padamu, Nak. Kami dukung sepenuhnya. Semoga saja nanti dilancarkan sampai hari H," jawab Pak Wibowo lagi."Aamiin ... Aamiin ..." sahut yang lain dengan serempak."Mohon maaf, karena kalian belum muhrim, jadi tidak ada acara tukar cincin," tukas Pak Wibowo lagi."Kemarikan tanganmu, nak Winda. Biar ibu yang memakaikan cincin di jarimu sebagai tanda tali pertunangan," sahut Ibu Wibowo. Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku. Bu Wibowo melingkarkan cincin di jari manisku. Aku benar-benar terhanyut dalam suasana haru ini."Alhamdulillah, acara inti sudah selesai, kalian sudah bertunangan. Tapi ingat,
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba