Deg ... deg ... deg ... Jantungku mulai berdebar-debar lagi. Haruskah kukatakan pada bapak, kalau Mas Anjar memang masih menyukaiku dan akan melamarku besok?"Kenapa bapak bicara seperti itu?" tanyaku."Iya nak, setelah kamu menikah, bapak tak melihat sekalipun dia dekat sama seorang wanita. Hari-harinya dia lakukan untuk bekerja. Dia memberdayakan orang-orang seperti bapak untuk mengolah lahan kosong untuk ditanami sayur mayur. Dia juga memberdayakan para pemuda dan ibu-ibu untuk mengolah bank sampah, sampah-sampah bekas makanan diolah jadi pupuk kompos, dan pupuk itu digunakan bersama di ladang-ladang yang kami punya."Bapak menghela nafas panjang, lalu matanya menerawang menatap langit-langit rumah."Sedangkan sampah plastik dipilah-pilah lagi, bungkus-bungkus kopi maupun minuman sachet dianyam jadi kerajinan tangan, ada yang dibuat tas, tikar bahkan kotak tissue. Sedangkan bungkus jajanan yang gak ada kembarannya dirawis kecil-kecil untuk isian bantal sofa. Kresek-kresek warna wa
Aku dan Mas Anjar saling berpandangan. Aku tak memikirkan sampai hal ini. Ah, aku pasrah saja. Terserah apa yang akan dikatakan Mas Anjar.Mas Anjar tersenyum."Izinkan aku mengurus persiapan dan berkas-berkasnya dulu, pak. Aku butuh waktu dua mingguan lagi agar benar-benar bisa menikahi Winda," jawab Mas Anjar yang terdengar begitu mantap dan tegas."Baiklah, kami serahkan semua keputusan padamu, Nak. Kami dukung sepenuhnya. Semoga saja nanti dilancarkan sampai hari H," jawab Pak Wibowo lagi."Aamiin ... Aamiin ..." sahut yang lain dengan serempak."Mohon maaf, karena kalian belum muhrim, jadi tidak ada acara tukar cincin," tukas Pak Wibowo lagi."Kemarikan tanganmu, nak Winda. Biar ibu yang memakaikan cincin di jarimu sebagai tanda tali pertunangan," sahut Ibu Wibowo. Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku. Bu Wibowo melingkarkan cincin di jari manisku. Aku benar-benar terhanyut dalam suasana haru ini."Alhamdulillah, acara inti sudah selesai, kalian sudah bertunangan. Tapi ingat,
"Kereeen. Apa pas melakukan gagasan ini langsung berhasil, Mas?""Tidak serta merta seperti itu. Butuh waktu dan proses yang panjang. Untuk mengatur banyak orang juga tidak semudah itu, banyak pro dan kontra. Awalnya mereka tidak setuju dengan pendapat mas. Banyak suara-suara sumbang, perdebatanpun sering kali terjadi. Walaupun beberapa kali mas memberikan pengarahan, mereka seakan tidak mau mendengar. Mereka bilang karena mas ini masih muda, tidak punya pengalaman apa-apa, tidak boleh ngatur-ngatur orang tua sembarangan..."Mas Anjar menghela nafas dalam-dalam, mungkin awal-awal dulu adalah perjuangan tersulitnya."Tapi, mas dibantu beberapa warga yang mendukung gagasan mas, mereka berjuang sekuat tenaga agar bisa membuktikan bahwa pendapat mas itu benar. Termasuk bapakmu, punya andil besar pada kemajuan desa ini. Sebenarnya mereka-mereka itu perintis yang sesungguhnya. Kalau mas hanya memberikan ide dan motivasi saja buat mereka-mereka."Aku manggut-manggut mendengar penuturan cerit
"Mas Anjar gaspoool...! Jangan kasih kendoor maas!" teriaknya yang diiringi kekehan yang lain. Masih terdengar dengan jelas ditelingaku, mereka masih membicarakan kami."Maaf ya, mereka memang suka bercanda. Jangan dimasukkan ke hati ya, dek," ucap Mas Anjar ketika sudah mulai jauh dari kerumunan mereka."Iya, mas.""Kamu jangan berkecil hati, apapun keadaanmu, mas terima apa adanya," sambungnya lagi."Iya, Mas. Terima kasih"Mas sayang sama kalian, jadilah bagian dari hidup mas, jangan pernah menyesali keputusan ini ya," lanjut Mas Anjar lagi.Aku tersenyum. Rasanya begitu damai mendengar ungkapan cintanya. "Iya, mas. Mas ini ya hobi banget menghibur orang, kadang lucu kadang romantis.""Hahaha, iya biar hidupmu lebih berwarna," sahut Mas Anjar lagi.Kami masih berjalan menuju rumah, Mas Anjar memanglah sangat terkenal, mereka semua mengenali dan menyapa kami dengan ramah. "Nak, nak, tunggu nak!" teriak suara seseorang. Kami berhenti dan menoleh. Seorang wanita paruh baya berlari-la
Seminggu berlalu, kami bersiap akan pergi ke kota. "Pak, kami berangkat dulu ya," pamitku pada bapak."Iya, nak. Hati-hati di jalan," jawab bapak.Setelah berpamitan dengan bapak, kamipun pergi ke rumah Bu Turi. Bu Turi sudah menunggu kami di depan teras rumahnya. Ah, aku jadi teringat kenanganku bersama Santi ketika masa sekolah dulu. Kami sering bermain bersama. Bila tidak di rumahku, pasti di rumah Santi."Ayo bu, kita berangkat," ajakku pada Ibu Turi, beliau pun mengangguk dan menaiki mobil. Bu Turi duduk di jok belakang. "Perjalanannya bakalan lama bu, kalau capek nanti bilang ya, biar istirahat dulu," ujar Mas Anjar."Iya nak. Berarti nanti sampai sana malam, nak?" tanya Bu Turi.Mas Anjar melihat jam yang melingkar di tangannya."Iya bu, kemungkinan jam 7 malam," jawab Mas Anjar.Kami menempuh perjalanan jauh dan beberapa kali kami berhenti di rest area.***Mobil sudah sampai di pelataran rumah. Kamipun mulai turun. Selalu saja, Mas Anjar dengan sigap membantuku menggendong
"Kalau ibu ini siapa, Nak?" Aku dan Mas Anjar saling berpandangan, apa yang harus kujawab? Tapi kemudian Mas Anjar mengangguk, seakan tahu apa yang kupikirkan."Oh iya pak, bu, perkenalkan ini Ibu Turi, beliau ibunda Santi dari kampung," ucapku kemudian dengan dada berdebar-debar.Bu Turi terlihat menganggukkan kepalanya, sedangkan mereka terdiam mematung. Sudah terlihat ketegangan diantara mereka."Oh, jadi ini ibunya. Tolong dong bu, kalau punya anak gadis dididik yang benar," sindir Ibu Darmawan dengan tatapan tak suka."Maksudnya gimana ya, bu?" tanya Bu Turi, dia memang tak tahu kalau yang ada dihadapannya adalah besannya sendiri."Maaf pak, bu, biar saya jelaskan dulu. Begini pak, bu, Bu Turi ini baru datang kesini ingin menemui Santi. Beliau sangat rindu pada anaknya. Karena selama beberapa tahun belakangan ini, Santi tidak pernah pulang maupun berkirim kabar. Ibu Turi juga tidak tahu menahu tentang pernikahan Santi dan suaminya," jelasku dengan nada gemetar. Ya aku takut seka
"Nak, kami pamit pulang duluan ya, kalian berhati-hatilah sama mereka," ucap ibu lagi."Baik pak, bu, hati-hati dijalan," sahutku. Mereka memesan taksi, dan akhirnya memghilang dari pandangan. Sedangkan Mas Rendy masih berdiri terpaku ditempatnya. "Bu, bagaimana? Apa kita juga mau pulang?" tanyaku pada Bu Turi. Bu Turi masih nangis sesenggukan. Aku bisa merasakan betapa hatinya merasakan sakit yang luar biasa, antara malu dan juga marah.Mas Anjar datang mendekat, tadi dia pergi keluar mengajak Sofia. Dia paham bahwa amarah perdebatan tadi tidak bagus untuk tumbuh kembang Sofia. Takut anak itu trauma."Bagaimana? Apa kita mau pulang?" tanya Mas Anjar."Tunggu sebentar lagi ya, kita tenangin Bu Turi dulu," sahutku."Aaaaahhhh...!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam. Mas Rendy berlari ke dalam, menghampiri Santi, rupanya dia terjatuh di kamar mandi. Bu Turi juga berlari menghampiri Santi, terlihat kepanikan di wajahnya."Aauu, Mas, perutku sakit sekali," erangnya kesakitan.
Hari ini libur kerjaku. Aku masih bersantai di depan TV, sedangkan Santi dia sedang memasak di dapur. Entahlah masak apa, dari tadi gak selesai-selesai. Wanita itu sekarang sudah berubah, tidak seperti dulu, Perutnya sudah besar, tubuhnyapun terlihat gemuk. Tidak seseksi yang dulu.Tok... Tok... Tok... Terdengar suara pintu diketuk."Pagi-pagi siapa yang datang?" aku berbicara sendiri, sambil kulirik jam yang ada didinding, waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.Aku membuka pintu, dan tercengang melihat kedatangan mereka.Bapak dan ibu, Winda serta lelaki itu, lelaki yang katanya calon suaminya yang baru. Serta seorang ibu paruh baya, entahlah siapa dia. "Mas, siapa yang datang?" tanya Santi dari belakang. Wanita itu berjalan ke depan dengan langkah yang agak susah.Santipun tak kalah terkejutnya melihat mereka. Mulutnya menganga, seakan shock melihat kedatangan mereka. "Ehem-ehem ... Ini ada tamu kok tidak dipersilahkan masuk," sindir lelaki itu dengan sedikit senyuman di wajahnya. D