Hari ini libur kerjaku. Aku masih bersantai di depan TV, sedangkan Santi dia sedang memasak di dapur. Entahlah masak apa, dari tadi gak selesai-selesai. Wanita itu sekarang sudah berubah, tidak seperti dulu, Perutnya sudah besar, tubuhnyapun terlihat gemuk. Tidak seseksi yang dulu.Tok... Tok... Tok... Terdengar suara pintu diketuk."Pagi-pagi siapa yang datang?" aku berbicara sendiri, sambil kulirik jam yang ada didinding, waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.Aku membuka pintu, dan tercengang melihat kedatangan mereka.Bapak dan ibu, Winda serta lelaki itu, lelaki yang katanya calon suaminya yang baru. Serta seorang ibu paruh baya, entahlah siapa dia. "Mas, siapa yang datang?" tanya Santi dari belakang. Wanita itu berjalan ke depan dengan langkah yang agak susah.Santipun tak kalah terkejutnya melihat mereka. Mulutnya menganga, seakan shock melihat kedatangan mereka. "Ehem-ehem ... Ini ada tamu kok tidak dipersilahkan masuk," sindir lelaki itu dengan sedikit senyuman di wajahnya. D
Aku merasa gengsi padanya. Aku beranjak untuk mencari pinjaman. Pasti bapak akan membantuku meskipun aku akan dimaki-maki terlebih dahulu. Dari pada harus dibantu oleh dia."Rendy, tunggu Ren! Yang penting nyawa istrimu selamat dulu! Ini perkara hidup dan mati. Aku bersedia menanggung semua biaya rumah sakit ini," tukasnya lagi mencegat langkahku. "Jangan kau pentingkan egomu sendiri, tapi kau mengabaikan keselamatan mereka. Dua nyawa Ren, sang ibu dan bayinya, kau tidak mau kehilangan mereka, bukan?" Aku terdiam. Ya, dia memang benar. Ada yang lebih penting dari sekadar ego."Mas, terimalah bantuan Mas Anjar, kasihan Santi dan juga bayinya, mas," Winda ikut menimpali. Aku memandangnya dengan penuh rindu, ah, kenapa dia jadi makin cantik setelah bercerai denganku. Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menenangkan gejolak di hati."Baiklah," ucapku menyetujuinya.Kami kembali masuk ke dalam rumah sakit. Dan lelaki itu membayar semua biaya administrasinya, lunas.Santi pun segera diba
Aku beranjak dan melajukan motorku ke rumah bapak. Beliau terlihat bercanda bersama dengan ibu. Melihat keharmonisan mereka membuatku iri. Harusnya kalau aku tidak mempermainkan pernikahanku, pasti sekarang aku bisa berbahagia bersama Winda. Ah bodohnya aku!"Assalamualaikum...""Waalaikum salam... Alhamdulillah kamu datang, Nak," sambut ibu. Aku terdiam. Bagaimana memulainya, apa yang harus kukatakan pada mereka."Bagaimana, mana hasilnya?" tanya bapak.Tanpa menjawab, kuserahkan amplop hasil tes DNA itu. Raut wajah bapak mulai berubah. Shock dan seakan tak percaya apa yang dilihatnya itu benar."Jadi dia bukan anakmu?" tanya bapak memastikan.Aku justru tergugu mendengar ucapannya. Kupeluk tubuh ibu. Wanita yang sudah melahirkanku dan merawatku sampai besar. "Astaghfirullah hal'adzim ... Dia berhubungan tidak hanya dengan satu lelaki!" ketus bapak.Aku masih menangis dipelukan ibu. Sungguh, aku benar-benar menyesal, menyesal sudah menikahi Santi. Bapak dan ibupun tampak shock deng
Pikiranku benar-benar kalut. Hatiku remuk redam. Hancur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kulajukan motorku ke terminal bus, mencari bus menuju ke kampung halaman Winda. Sesampainya disana, tak ada bus yang bisa membawaku ke kota tujuan, karena semuanya sudah berangkat. Ya, awak bus akan berangkat ke tujuan sesuai dengan jadwal yang ditentukan pada jam-jam tertentu. Ada jadwal bus lagi ke tempat yang kutuju, tapi nanti malam, sekitar pukul 20.00 WIB, jadi aku harus menunggu beberapa jam lagi.Aku menghempaskan nafas kasar. Kalau aku naik motor, bisa habis badanku termakan oleh angin. Apalagi perjalanan jauh akan membuat capek setengah mati. Tapi kalau naik bus, aku harus menunggu lama, bisa-bisa aku telat sampai sana. Ah, apa yang harus kulakukan? Triing... Triing... Triing...Nada ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Semenjak bapak menaikkan upahku, aku mulai memegang ponsel kembali. Sebuah panggilan dari Santi, aku abaikan. Namun berulang kali Santi terus meneleponku,
Aarrggghhh, sial! umpatku dalam hati. Mungkin penumpang lainpun merasa kesal karena kejadian yang tak terduga ini. Namun melihat mereka masih bercengkrama riang satu sama lain. Berbeda denganku, aku merutuki diri sendiri. Rencanaku gagal lagi. "Kalau mau istirahat di dalam bus, silahkan saja. Tapi panas, karena AC gak nyala," cetus kenek bus itu lagi."Tidak, pak. Kami disini saja, lebih adem," celetuk salah seorang penumpang itu, entah siapa, akupun tak mengenalinya.Aku duduk sambil memeluk lutut, wajahku kubenamkan ke bawah. Menunggu berjam-jam adalah hal yang sangat membosankan. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?Jam setengah 6 pagi, suasana mulai terang, pak sopir dan sang kenek bus mulai memeriksa dan memperbaiki bus itu.Aku sudah mulai resah, bagaimana ini? Apakah memang aku tak diizinkan kembali pada Winda? Setelah menunggu satu setengah jam lamanya, bus itupun mulai bisa dioperasikan kembali. Kami menaiki bus satu persatu. Alhamdulillah, bus mulai berja
Persiapan pernikahan sudah selesai, semuanya berjalan dengan baik, para tetangga sudah membantu kami. Acara yang sederhana justru disambut meriah oleh warga desa. Mereka sangat antusias dan mereka saling bergotong royong membuat dekorasi dari hasil karya handmade. Sungguh mengagumkan! Walau bunga-bunga itu terbuat dari plastik kresek warna-warni, dan papannya dari bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa. Sehingga hasilnya pun tak kalah keindahannya. Detik-detik menuju akad membuat jantungku berpacu cepat, tidak bisa terkontrol lagi. Ah, kenapa jatuh cinta lagi rasanya semanis ini. Ada tegang, resah dan bahagia bercampur jadi satu.Pak penghulu sudah datang, kamipun mulai disandingkan bersama di tempat akad. Para saksi sudah berkumpul. Tak luput bapak dan ibu mertuaku yang dulu juga sudah hadir sejak kemarin. Ada yang tahu apa yang kurasakan saat ini? Jantungku berdegup tak menentu."Apakah semuanya sudah siap?" tanya pak penghulu."Siap, pak," jawab kami serentak."Baik, kita mulai
Hanya berdua dengannya di kamarku ini membuatku merasa canggung setengah mati. Jantungku berdegup tak menentu. Ah, aku gugup sekali, apakah Mas Anjar merasakan hal yang sama? Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang merasakan kegugupan ini."Hei, kenapa berdiam diri saja disitu?" tanyanya sambil beranjak dari tidurnya lalu mendekat kearahku berdiri."Mas, kenapa lihatin aku begitu?" sahutku salah tingkah."Hmmm, pangling. Mas baru lihat penampilanmu setelah lepas jilbab. Cantik," pujinya sambil membelai lembut rambutku. "Rambut panjangmu juga indah," tambahnya lagi.Aku hanya menunduk, malu sekali rasanya. Sudah kupastikan wajahku merona merah karena tersipu malu dengan ucapannya. Jantung berdegup makin kencang, sulit untuk diredam."Kenapa? Jangan malu, mas kan sudah jadi suamimu," sahutnya lagi. Ia meraih daguku dan tersenyum manis.Triing ... Triing ... Nada dering ponselku mengagetkan kami."Handphonemu bunyi, Dek," kata Mas Anjar sambil meraih ponselku. "Siapa mas, yang telepo
"Benarkah?""Iya pak, bu, desa ini sekarang punya pertanian sendiri, terus ada bank sampah juga yang menampung hasil karya para warga. Semua ide itu dari Mas Anjar," pujiku lagi. Aku menoleh, kulihat Mas Anjar hanya tersenyum."Ya, kami akan lihat-lihat dulu," jawab Pak Darmawan sambil menyesap kopinya. Aku berlalu ke belakang untuk kembali mencuci piring. "Mas bantu ya, dek, biar cepat selesai, terus kita bisa jalan-jalan bersama," ujar Mas Anjar. Dari kapan dia disini?Aku hanya mengangguk dan tersenyum.Kami berjalan-jalan bersama melihat ladang sayur milik warga. Semuanya masih sama, hijau dan subur."Disini yang tadinya semak-semak itu bukan?" tanya Pak Darmawan pada Mas Anjar."Iya pak, betul. Kami memanfaatkan lahan kosong, agar bisa ditanami sayur mayur.""Hebat ini, bisa subur kayak gini, pakai pupuk apa?""Kami mengutamakan pupuk organik pak, dari sisa-sisa sampah makanan yang ada kami campur jadi satu lalu diolah, kadang pakai pupuk kandang, kami memanfaatkan apa yang ada