Share

50. Kecewa

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2022-08-03 15:11:55

Aku beranjak dan melajukan motorku ke rumah bapak. Beliau terlihat bercanda bersama dengan ibu. Melihat keharmonisan mereka membuatku iri. Harusnya kalau aku tidak mempermainkan pernikahanku, pasti sekarang aku bisa berbahagia bersama Winda. Ah bodohnya aku!

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam... Alhamdulillah kamu datang, Nak," sambut ibu.

Aku terdiam. Bagaimana memulainya, apa yang harus kukatakan pada mereka.

"Bagaimana, mana hasilnya?" tanya bapak.

Tanpa menjawab, kuserahkan amplop hasil tes DNA itu. Raut wajah bapak mulai berubah. Shock dan seakan tak percaya apa yang dilihatnya itu benar.

"Jadi dia bukan anakmu?" tanya bapak memastikan.

Aku justru tergugu mendengar ucapannya. Kupeluk tubuh ibu. Wanita yang sudah melahirkanku dan merawatku sampai besar.

"Astaghfirullah hal'adzim ... Dia berhubungan tidak hanya dengan satu lelaki!" ketus bapak.

Aku masih menangis dipelukan ibu. Sungguh, aku benar-benar menyesal, menyesal sudah menikahi Santi. Bapak dan ibupun tampak shock deng
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   51. Berita Duka

    Pikiranku benar-benar kalut. Hatiku remuk redam. Hancur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kulajukan motorku ke terminal bus, mencari bus menuju ke kampung halaman Winda. Sesampainya disana, tak ada bus yang bisa membawaku ke kota tujuan, karena semuanya sudah berangkat. Ya, awak bus akan berangkat ke tujuan sesuai dengan jadwal yang ditentukan pada jam-jam tertentu. Ada jadwal bus lagi ke tempat yang kutuju, tapi nanti malam, sekitar pukul 20.00 WIB, jadi aku harus menunggu beberapa jam lagi.Aku menghempaskan nafas kasar. Kalau aku naik motor, bisa habis badanku termakan oleh angin. Apalagi perjalanan jauh akan membuat capek setengah mati. Tapi kalau naik bus, aku harus menunggu lama, bisa-bisa aku telat sampai sana. Ah, apa yang harus kulakukan? Triing... Triing... Triing...Nada ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Semenjak bapak menaikkan upahku, aku mulai memegang ponsel kembali. Sebuah panggilan dari Santi, aku abaikan. Namun berulang kali Santi terus meneleponku,

    Last Updated : 2022-08-04
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   52. Gagal Rencana

    Aarrggghhh, sial! umpatku dalam hati. Mungkin penumpang lainpun merasa kesal karena kejadian yang tak terduga ini. Namun melihat mereka masih bercengkrama riang satu sama lain. Berbeda denganku, aku merutuki diri sendiri. Rencanaku gagal lagi. "Kalau mau istirahat di dalam bus, silahkan saja. Tapi panas, karena AC gak nyala," cetus kenek bus itu lagi."Tidak, pak. Kami disini saja, lebih adem," celetuk salah seorang penumpang itu, entah siapa, akupun tak mengenalinya.Aku duduk sambil memeluk lutut, wajahku kubenamkan ke bawah. Menunggu berjam-jam adalah hal yang sangat membosankan. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?Jam setengah 6 pagi, suasana mulai terang, pak sopir dan sang kenek bus mulai memeriksa dan memperbaiki bus itu.Aku sudah mulai resah, bagaimana ini? Apakah memang aku tak diizinkan kembali pada Winda? Setelah menunggu satu setengah jam lamanya, bus itupun mulai bisa dioperasikan kembali. Kami menaiki bus satu persatu. Alhamdulillah, bus mulai berja

    Last Updated : 2022-08-07
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   53. Hari Bahagia

    Persiapan pernikahan sudah selesai, semuanya berjalan dengan baik, para tetangga sudah membantu kami. Acara yang sederhana justru disambut meriah oleh warga desa. Mereka sangat antusias dan mereka saling bergotong royong membuat dekorasi dari hasil karya handmade. Sungguh mengagumkan! Walau bunga-bunga itu terbuat dari plastik kresek warna-warni, dan papannya dari bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa. Sehingga hasilnya pun tak kalah keindahannya. Detik-detik menuju akad membuat jantungku berpacu cepat, tidak bisa terkontrol lagi. Ah, kenapa jatuh cinta lagi rasanya semanis ini. Ada tegang, resah dan bahagia bercampur jadi satu.Pak penghulu sudah datang, kamipun mulai disandingkan bersama di tempat akad. Para saksi sudah berkumpul. Tak luput bapak dan ibu mertuaku yang dulu juga sudah hadir sejak kemarin. Ada yang tahu apa yang kurasakan saat ini? Jantungku berdegup tak menentu."Apakah semuanya sudah siap?" tanya pak penghulu."Siap, pak," jawab kami serentak."Baik, kita mulai

    Last Updated : 2022-08-08
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   54. Malam yang canggung

    Hanya berdua dengannya di kamarku ini membuatku merasa canggung setengah mati. Jantungku berdegup tak menentu. Ah, aku gugup sekali, apakah Mas Anjar merasakan hal yang sama? Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang merasakan kegugupan ini."Hei, kenapa berdiam diri saja disitu?" tanyanya sambil beranjak dari tidurnya lalu mendekat kearahku berdiri."Mas, kenapa lihatin aku begitu?" sahutku salah tingkah."Hmmm, pangling. Mas baru lihat penampilanmu setelah lepas jilbab. Cantik," pujinya sambil membelai lembut rambutku. "Rambut panjangmu juga indah," tambahnya lagi.Aku hanya menunduk, malu sekali rasanya. Sudah kupastikan wajahku merona merah karena tersipu malu dengan ucapannya. Jantung berdegup makin kencang, sulit untuk diredam."Kenapa? Jangan malu, mas kan sudah jadi suamimu," sahutnya lagi. Ia meraih daguku dan tersenyum manis.Triing ... Triing ... Nada dering ponselku mengagetkan kami."Handphonemu bunyi, Dek," kata Mas Anjar sambil meraih ponselku. "Siapa mas, yang telepo

    Last Updated : 2022-08-09
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   55. Permintaan Maaf

    "Benarkah?""Iya pak, bu, desa ini sekarang punya pertanian sendiri, terus ada bank sampah juga yang menampung hasil karya para warga. Semua ide itu dari Mas Anjar," pujiku lagi. Aku menoleh, kulihat Mas Anjar hanya tersenyum."Ya, kami akan lihat-lihat dulu," jawab Pak Darmawan sambil menyesap kopinya. Aku berlalu ke belakang untuk kembali mencuci piring. "Mas bantu ya, dek, biar cepat selesai, terus kita bisa jalan-jalan bersama," ujar Mas Anjar. Dari kapan dia disini?Aku hanya mengangguk dan tersenyum.Kami berjalan-jalan bersama melihat ladang sayur milik warga. Semuanya masih sama, hijau dan subur."Disini yang tadinya semak-semak itu bukan?" tanya Pak Darmawan pada Mas Anjar."Iya pak, betul. Kami memanfaatkan lahan kosong, agar bisa ditanami sayur mayur.""Hebat ini, bisa subur kayak gini, pakai pupuk apa?""Kami mengutamakan pupuk organik pak, dari sisa-sisa sampah makanan yang ada kami campur jadi satu lalu diolah, kadang pakai pupuk kandang, kami memanfaatkan apa yang ada

    Last Updated : 2022-08-11
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   56. Hancur

    POV SantiHancur, hidupku hancur sudah. Semua bermula karena kedatangan Winda ke rumah kami. Winda bersama ibuku, ada Mas Anjar, bapak dan ibu mertuaku juga. Entah kenapa mereka bisa datang secara bersamaan. Lalu, yang membuatku bertanya-tanya, kenapa ada Mas Anjar? Dan sepertinya mereka sangat dekat, bahkan Mas Anjarlah yang menggendong anaknya Winda.Ibuku juga terlihat sangat shock ketika tahu kalau aku menikah dengan mantan suami Winda. Hingga ada perdebatan antara ibu dan ibu mertuaku. "Tidak mungkin bagaimana? Lihatlah kenyataannya seperti ini. Putrimu itu seorang pelakor! Dan sialnya putraku ikut tergoda akan bujuk rayunya!" seru ibu mertuaku lagi, sungguh memuakkan. Ia pasti selalu membela Winda.Aku tertunduk, memanglah benar yang ia tuduhkan. Tapi harga diriku terasa diinjak-injak dicaci maki begini."Kenapa kau berbuat seperti ini, Santi ...! kenapa?? Bertahun-tahun kau tidak pulang, inikah hasil yang ibu dapat?! Kau torehkan nama baik keluarga demi hal sekotor ini?!" bent

    Last Updated : 2022-08-12
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   57. Percobaan bunuh diri

    Mas Rendy terlihat sangat marah. Dia bahkan mengancam akan menceraikanku setelah masa nifasku habis. Mas Rendy pergi meninggalkanku begitu saja. Hancur sudah, hatiku porak poranda"Mas... Tunggu mas, jangan pergi! Maafin aku, mas!" rengekku menghiba, tapi tak ia hiraukan lagi.Dia sudah tidak peduli lagi dengan teriakanku. Kulihat ibu memegangi dadanya, nafasnya terlihat makin sesak dan tersengal-sengal."Bu, ibu kenapa bu?" Aku menghampiri ibu.Bruukk ...! Ibu terjatuh, ia sudah tak kuat menopang tubuhnya sendiri."Ibuuuuuu ....!" pekikku.Aku segera berlari keluar dan meminta tolong. Tak lama para tetangga mulai berdatangan, dan mengangkat tubuh ibu ke atas Sofa.Aku mencoba menghubungi Mas Rendy berkali-kali namun dia tetap mengabaikanku. Ah, bagaimana ini. Rasa khawatir begitu menyelimuti diri.Entah sudah panggilan ke berapa, akhirnya Mas Rendy mengangkat teleponku. Aku menyuruhnya pulang karena terjadi sesuatu pada ibu.Tak berselang lama, Mas Rendypun pulang dan memeriksa kead

    Last Updated : 2022-08-14
  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   58. Ratap penyesalan

    "Aku sudah kehilangan dia, harusnya aku menemaninya disaat yang terakhir, tapi aku malah meninggalkan dia sendirian, ibu macam apa aku ini ... Aku memang tak pantas jadi seorang ibu maupun seorang istri!" rutukku sendiri. Aku benar-benar menyesali kebodohanku sendiri.Aku makin tergugu. Pilu. Berkali-kali aku menghela nafas panjang. "Maaf," sambungku lagi."Kenapa harus minta maaf? Kau bisa ceritakan apa masalahmu, aku siap mendengarkan. Kamu pasti sangat butuh teman curhat," sahutnya lagi.Aku memandang kearahnya. Menatap dalam manik matanya. Mencari kebenaran apa yang sebenarnya dia pikirkan."Jangan mencurigaiku seperti itu. Aku tidak akan berbuat jahat terhadapmu," tukasnya lagi seakan tahu apa yang aku pikirkan.Dia menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh tahu, dimana suamimu?"Aku memggeleng perlahan membuatnya bingung, ia menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti."Suamiku sudah pergi," jawabku dengan mata berkaca-kaca.Mengingat semua yang terjadi begitu cepat, kehilangan ib

    Last Updated : 2022-08-16

Latest chapter

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 81

    Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 80

    Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 79

    Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 78

    Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 77

    Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 76

    "Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 75

    pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 74

    "Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada

  • Perempuan Yang Merebut Suamiku   Part 73

    POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba

DMCA.com Protection Status