"Kereeen. Apa pas melakukan gagasan ini langsung berhasil, Mas?""Tidak serta merta seperti itu. Butuh waktu dan proses yang panjang. Untuk mengatur banyak orang juga tidak semudah itu, banyak pro dan kontra. Awalnya mereka tidak setuju dengan pendapat mas. Banyak suara-suara sumbang, perdebatanpun sering kali terjadi. Walaupun beberapa kali mas memberikan pengarahan, mereka seakan tidak mau mendengar. Mereka bilang karena mas ini masih muda, tidak punya pengalaman apa-apa, tidak boleh ngatur-ngatur orang tua sembarangan..."Mas Anjar menghela nafas dalam-dalam, mungkin awal-awal dulu adalah perjuangan tersulitnya."Tapi, mas dibantu beberapa warga yang mendukung gagasan mas, mereka berjuang sekuat tenaga agar bisa membuktikan bahwa pendapat mas itu benar. Termasuk bapakmu, punya andil besar pada kemajuan desa ini. Sebenarnya mereka-mereka itu perintis yang sesungguhnya. Kalau mas hanya memberikan ide dan motivasi saja buat mereka-mereka."Aku manggut-manggut mendengar penuturan cerit
"Mas Anjar gaspoool...! Jangan kasih kendoor maas!" teriaknya yang diiringi kekehan yang lain. Masih terdengar dengan jelas ditelingaku, mereka masih membicarakan kami."Maaf ya, mereka memang suka bercanda. Jangan dimasukkan ke hati ya, dek," ucap Mas Anjar ketika sudah mulai jauh dari kerumunan mereka."Iya, mas.""Kamu jangan berkecil hati, apapun keadaanmu, mas terima apa adanya," sambungnya lagi."Iya, Mas. Terima kasih"Mas sayang sama kalian, jadilah bagian dari hidup mas, jangan pernah menyesali keputusan ini ya," lanjut Mas Anjar lagi.Aku tersenyum. Rasanya begitu damai mendengar ungkapan cintanya. "Iya, mas. Mas ini ya hobi banget menghibur orang, kadang lucu kadang romantis.""Hahaha, iya biar hidupmu lebih berwarna," sahut Mas Anjar lagi.Kami masih berjalan menuju rumah, Mas Anjar memanglah sangat terkenal, mereka semua mengenali dan menyapa kami dengan ramah. "Nak, nak, tunggu nak!" teriak suara seseorang. Kami berhenti dan menoleh. Seorang wanita paruh baya berlari-la
Seminggu berlalu, kami bersiap akan pergi ke kota. "Pak, kami berangkat dulu ya," pamitku pada bapak."Iya, nak. Hati-hati di jalan," jawab bapak.Setelah berpamitan dengan bapak, kamipun pergi ke rumah Bu Turi. Bu Turi sudah menunggu kami di depan teras rumahnya. Ah, aku jadi teringat kenanganku bersama Santi ketika masa sekolah dulu. Kami sering bermain bersama. Bila tidak di rumahku, pasti di rumah Santi."Ayo bu, kita berangkat," ajakku pada Ibu Turi, beliau pun mengangguk dan menaiki mobil. Bu Turi duduk di jok belakang. "Perjalanannya bakalan lama bu, kalau capek nanti bilang ya, biar istirahat dulu," ujar Mas Anjar."Iya nak. Berarti nanti sampai sana malam, nak?" tanya Bu Turi.Mas Anjar melihat jam yang melingkar di tangannya."Iya bu, kemungkinan jam 7 malam," jawab Mas Anjar.Kami menempuh perjalanan jauh dan beberapa kali kami berhenti di rest area.***Mobil sudah sampai di pelataran rumah. Kamipun mulai turun. Selalu saja, Mas Anjar dengan sigap membantuku menggendong
"Kalau ibu ini siapa, Nak?" Aku dan Mas Anjar saling berpandangan, apa yang harus kujawab? Tapi kemudian Mas Anjar mengangguk, seakan tahu apa yang kupikirkan."Oh iya pak, bu, perkenalkan ini Ibu Turi, beliau ibunda Santi dari kampung," ucapku kemudian dengan dada berdebar-debar.Bu Turi terlihat menganggukkan kepalanya, sedangkan mereka terdiam mematung. Sudah terlihat ketegangan diantara mereka."Oh, jadi ini ibunya. Tolong dong bu, kalau punya anak gadis dididik yang benar," sindir Ibu Darmawan dengan tatapan tak suka."Maksudnya gimana ya, bu?" tanya Bu Turi, dia memang tak tahu kalau yang ada dihadapannya adalah besannya sendiri."Maaf pak, bu, biar saya jelaskan dulu. Begini pak, bu, Bu Turi ini baru datang kesini ingin menemui Santi. Beliau sangat rindu pada anaknya. Karena selama beberapa tahun belakangan ini, Santi tidak pernah pulang maupun berkirim kabar. Ibu Turi juga tidak tahu menahu tentang pernikahan Santi dan suaminya," jelasku dengan nada gemetar. Ya aku takut seka
"Nak, kami pamit pulang duluan ya, kalian berhati-hatilah sama mereka," ucap ibu lagi."Baik pak, bu, hati-hati dijalan," sahutku. Mereka memesan taksi, dan akhirnya memghilang dari pandangan. Sedangkan Mas Rendy masih berdiri terpaku ditempatnya. "Bu, bagaimana? Apa kita juga mau pulang?" tanyaku pada Bu Turi. Bu Turi masih nangis sesenggukan. Aku bisa merasakan betapa hatinya merasakan sakit yang luar biasa, antara malu dan juga marah.Mas Anjar datang mendekat, tadi dia pergi keluar mengajak Sofia. Dia paham bahwa amarah perdebatan tadi tidak bagus untuk tumbuh kembang Sofia. Takut anak itu trauma."Bagaimana? Apa kita mau pulang?" tanya Mas Anjar."Tunggu sebentar lagi ya, kita tenangin Bu Turi dulu," sahutku."Aaaaahhhh...!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam. Mas Rendy berlari ke dalam, menghampiri Santi, rupanya dia terjatuh di kamar mandi. Bu Turi juga berlari menghampiri Santi, terlihat kepanikan di wajahnya."Aauu, Mas, perutku sakit sekali," erangnya kesakitan.
Hari ini libur kerjaku. Aku masih bersantai di depan TV, sedangkan Santi dia sedang memasak di dapur. Entahlah masak apa, dari tadi gak selesai-selesai. Wanita itu sekarang sudah berubah, tidak seperti dulu, Perutnya sudah besar, tubuhnyapun terlihat gemuk. Tidak seseksi yang dulu.Tok... Tok... Tok... Terdengar suara pintu diketuk."Pagi-pagi siapa yang datang?" aku berbicara sendiri, sambil kulirik jam yang ada didinding, waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.Aku membuka pintu, dan tercengang melihat kedatangan mereka.Bapak dan ibu, Winda serta lelaki itu, lelaki yang katanya calon suaminya yang baru. Serta seorang ibu paruh baya, entahlah siapa dia. "Mas, siapa yang datang?" tanya Santi dari belakang. Wanita itu berjalan ke depan dengan langkah yang agak susah.Santipun tak kalah terkejutnya melihat mereka. Mulutnya menganga, seakan shock melihat kedatangan mereka. "Ehem-ehem ... Ini ada tamu kok tidak dipersilahkan masuk," sindir lelaki itu dengan sedikit senyuman di wajahnya. D
Aku merasa gengsi padanya. Aku beranjak untuk mencari pinjaman. Pasti bapak akan membantuku meskipun aku akan dimaki-maki terlebih dahulu. Dari pada harus dibantu oleh dia."Rendy, tunggu Ren! Yang penting nyawa istrimu selamat dulu! Ini perkara hidup dan mati. Aku bersedia menanggung semua biaya rumah sakit ini," tukasnya lagi mencegat langkahku. "Jangan kau pentingkan egomu sendiri, tapi kau mengabaikan keselamatan mereka. Dua nyawa Ren, sang ibu dan bayinya, kau tidak mau kehilangan mereka, bukan?" Aku terdiam. Ya, dia memang benar. Ada yang lebih penting dari sekadar ego."Mas, terimalah bantuan Mas Anjar, kasihan Santi dan juga bayinya, mas," Winda ikut menimpali. Aku memandangnya dengan penuh rindu, ah, kenapa dia jadi makin cantik setelah bercerai denganku. Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menenangkan gejolak di hati."Baiklah," ucapku menyetujuinya.Kami kembali masuk ke dalam rumah sakit. Dan lelaki itu membayar semua biaya administrasinya, lunas.Santi pun segera diba
Aku beranjak dan melajukan motorku ke rumah bapak. Beliau terlihat bercanda bersama dengan ibu. Melihat keharmonisan mereka membuatku iri. Harusnya kalau aku tidak mempermainkan pernikahanku, pasti sekarang aku bisa berbahagia bersama Winda. Ah bodohnya aku!"Assalamualaikum...""Waalaikum salam... Alhamdulillah kamu datang, Nak," sambut ibu. Aku terdiam. Bagaimana memulainya, apa yang harus kukatakan pada mereka."Bagaimana, mana hasilnya?" tanya bapak.Tanpa menjawab, kuserahkan amplop hasil tes DNA itu. Raut wajah bapak mulai berubah. Shock dan seakan tak percaya apa yang dilihatnya itu benar."Jadi dia bukan anakmu?" tanya bapak memastikan.Aku justru tergugu mendengar ucapannya. Kupeluk tubuh ibu. Wanita yang sudah melahirkanku dan merawatku sampai besar. "Astaghfirullah hal'adzim ... Dia berhubungan tidak hanya dengan satu lelaki!" ketus bapak.Aku masih menangis dipelukan ibu. Sungguh, aku benar-benar menyesal, menyesal sudah menikahi Santi. Bapak dan ibupun tampak shock deng