Seminggu berlalu, kami bersiap akan pergi ke kota. "Pak, kami berangkat dulu ya," pamitku pada bapak."Iya, nak. Hati-hati di jalan," jawab bapak.Setelah berpamitan dengan bapak, kamipun pergi ke rumah Bu Turi. Bu Turi sudah menunggu kami di depan teras rumahnya. Ah, aku jadi teringat kenanganku bersama Santi ketika masa sekolah dulu. Kami sering bermain bersama. Bila tidak di rumahku, pasti di rumah Santi."Ayo bu, kita berangkat," ajakku pada Ibu Turi, beliau pun mengangguk dan menaiki mobil. Bu Turi duduk di jok belakang. "Perjalanannya bakalan lama bu, kalau capek nanti bilang ya, biar istirahat dulu," ujar Mas Anjar."Iya nak. Berarti nanti sampai sana malam, nak?" tanya Bu Turi.Mas Anjar melihat jam yang melingkar di tangannya."Iya bu, kemungkinan jam 7 malam," jawab Mas Anjar.Kami menempuh perjalanan jauh dan beberapa kali kami berhenti di rest area.***Mobil sudah sampai di pelataran rumah. Kamipun mulai turun. Selalu saja, Mas Anjar dengan sigap membantuku menggendong
"Kalau ibu ini siapa, Nak?" Aku dan Mas Anjar saling berpandangan, apa yang harus kujawab? Tapi kemudian Mas Anjar mengangguk, seakan tahu apa yang kupikirkan."Oh iya pak, bu, perkenalkan ini Ibu Turi, beliau ibunda Santi dari kampung," ucapku kemudian dengan dada berdebar-debar.Bu Turi terlihat menganggukkan kepalanya, sedangkan mereka terdiam mematung. Sudah terlihat ketegangan diantara mereka."Oh, jadi ini ibunya. Tolong dong bu, kalau punya anak gadis dididik yang benar," sindir Ibu Darmawan dengan tatapan tak suka."Maksudnya gimana ya, bu?" tanya Bu Turi, dia memang tak tahu kalau yang ada dihadapannya adalah besannya sendiri."Maaf pak, bu, biar saya jelaskan dulu. Begini pak, bu, Bu Turi ini baru datang kesini ingin menemui Santi. Beliau sangat rindu pada anaknya. Karena selama beberapa tahun belakangan ini, Santi tidak pernah pulang maupun berkirim kabar. Ibu Turi juga tidak tahu menahu tentang pernikahan Santi dan suaminya," jelasku dengan nada gemetar. Ya aku takut seka
"Nak, kami pamit pulang duluan ya, kalian berhati-hatilah sama mereka," ucap ibu lagi."Baik pak, bu, hati-hati dijalan," sahutku. Mereka memesan taksi, dan akhirnya memghilang dari pandangan. Sedangkan Mas Rendy masih berdiri terpaku ditempatnya. "Bu, bagaimana? Apa kita juga mau pulang?" tanyaku pada Bu Turi. Bu Turi masih nangis sesenggukan. Aku bisa merasakan betapa hatinya merasakan sakit yang luar biasa, antara malu dan juga marah.Mas Anjar datang mendekat, tadi dia pergi keluar mengajak Sofia. Dia paham bahwa amarah perdebatan tadi tidak bagus untuk tumbuh kembang Sofia. Takut anak itu trauma."Bagaimana? Apa kita mau pulang?" tanya Mas Anjar."Tunggu sebentar lagi ya, kita tenangin Bu Turi dulu," sahutku."Aaaaahhhh...!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam. Mas Rendy berlari ke dalam, menghampiri Santi, rupanya dia terjatuh di kamar mandi. Bu Turi juga berlari menghampiri Santi, terlihat kepanikan di wajahnya."Aauu, Mas, perutku sakit sekali," erangnya kesakitan.
Hari ini libur kerjaku. Aku masih bersantai di depan TV, sedangkan Santi dia sedang memasak di dapur. Entahlah masak apa, dari tadi gak selesai-selesai. Wanita itu sekarang sudah berubah, tidak seperti dulu, Perutnya sudah besar, tubuhnyapun terlihat gemuk. Tidak seseksi yang dulu.Tok... Tok... Tok... Terdengar suara pintu diketuk."Pagi-pagi siapa yang datang?" aku berbicara sendiri, sambil kulirik jam yang ada didinding, waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.Aku membuka pintu, dan tercengang melihat kedatangan mereka.Bapak dan ibu, Winda serta lelaki itu, lelaki yang katanya calon suaminya yang baru. Serta seorang ibu paruh baya, entahlah siapa dia. "Mas, siapa yang datang?" tanya Santi dari belakang. Wanita itu berjalan ke depan dengan langkah yang agak susah.Santipun tak kalah terkejutnya melihat mereka. Mulutnya menganga, seakan shock melihat kedatangan mereka. "Ehem-ehem ... Ini ada tamu kok tidak dipersilahkan masuk," sindir lelaki itu dengan sedikit senyuman di wajahnya. D
Aku merasa gengsi padanya. Aku beranjak untuk mencari pinjaman. Pasti bapak akan membantuku meskipun aku akan dimaki-maki terlebih dahulu. Dari pada harus dibantu oleh dia."Rendy, tunggu Ren! Yang penting nyawa istrimu selamat dulu! Ini perkara hidup dan mati. Aku bersedia menanggung semua biaya rumah sakit ini," tukasnya lagi mencegat langkahku. "Jangan kau pentingkan egomu sendiri, tapi kau mengabaikan keselamatan mereka. Dua nyawa Ren, sang ibu dan bayinya, kau tidak mau kehilangan mereka, bukan?" Aku terdiam. Ya, dia memang benar. Ada yang lebih penting dari sekadar ego."Mas, terimalah bantuan Mas Anjar, kasihan Santi dan juga bayinya, mas," Winda ikut menimpali. Aku memandangnya dengan penuh rindu, ah, kenapa dia jadi makin cantik setelah bercerai denganku. Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menenangkan gejolak di hati."Baiklah," ucapku menyetujuinya.Kami kembali masuk ke dalam rumah sakit. Dan lelaki itu membayar semua biaya administrasinya, lunas.Santi pun segera diba
Aku beranjak dan melajukan motorku ke rumah bapak. Beliau terlihat bercanda bersama dengan ibu. Melihat keharmonisan mereka membuatku iri. Harusnya kalau aku tidak mempermainkan pernikahanku, pasti sekarang aku bisa berbahagia bersama Winda. Ah bodohnya aku!"Assalamualaikum...""Waalaikum salam... Alhamdulillah kamu datang, Nak," sambut ibu. Aku terdiam. Bagaimana memulainya, apa yang harus kukatakan pada mereka."Bagaimana, mana hasilnya?" tanya bapak.Tanpa menjawab, kuserahkan amplop hasil tes DNA itu. Raut wajah bapak mulai berubah. Shock dan seakan tak percaya apa yang dilihatnya itu benar."Jadi dia bukan anakmu?" tanya bapak memastikan.Aku justru tergugu mendengar ucapannya. Kupeluk tubuh ibu. Wanita yang sudah melahirkanku dan merawatku sampai besar. "Astaghfirullah hal'adzim ... Dia berhubungan tidak hanya dengan satu lelaki!" ketus bapak.Aku masih menangis dipelukan ibu. Sungguh, aku benar-benar menyesal, menyesal sudah menikahi Santi. Bapak dan ibupun tampak shock deng
Pikiranku benar-benar kalut. Hatiku remuk redam. Hancur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kulajukan motorku ke terminal bus, mencari bus menuju ke kampung halaman Winda. Sesampainya disana, tak ada bus yang bisa membawaku ke kota tujuan, karena semuanya sudah berangkat. Ya, awak bus akan berangkat ke tujuan sesuai dengan jadwal yang ditentukan pada jam-jam tertentu. Ada jadwal bus lagi ke tempat yang kutuju, tapi nanti malam, sekitar pukul 20.00 WIB, jadi aku harus menunggu beberapa jam lagi.Aku menghempaskan nafas kasar. Kalau aku naik motor, bisa habis badanku termakan oleh angin. Apalagi perjalanan jauh akan membuat capek setengah mati. Tapi kalau naik bus, aku harus menunggu lama, bisa-bisa aku telat sampai sana. Ah, apa yang harus kulakukan? Triing... Triing... Triing...Nada ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Semenjak bapak menaikkan upahku, aku mulai memegang ponsel kembali. Sebuah panggilan dari Santi, aku abaikan. Namun berulang kali Santi terus meneleponku,
Aarrggghhh, sial! umpatku dalam hati. Mungkin penumpang lainpun merasa kesal karena kejadian yang tak terduga ini. Namun melihat mereka masih bercengkrama riang satu sama lain. Berbeda denganku, aku merutuki diri sendiri. Rencanaku gagal lagi. "Kalau mau istirahat di dalam bus, silahkan saja. Tapi panas, karena AC gak nyala," cetus kenek bus itu lagi."Tidak, pak. Kami disini saja, lebih adem," celetuk salah seorang penumpang itu, entah siapa, akupun tak mengenalinya.Aku duduk sambil memeluk lutut, wajahku kubenamkan ke bawah. Menunggu berjam-jam adalah hal yang sangat membosankan. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?Jam setengah 6 pagi, suasana mulai terang, pak sopir dan sang kenek bus mulai memeriksa dan memperbaiki bus itu.Aku sudah mulai resah, bagaimana ini? Apakah memang aku tak diizinkan kembali pada Winda? Setelah menunggu satu setengah jam lamanya, bus itupun mulai bisa dioperasikan kembali. Kami menaiki bus satu persatu. Alhamdulillah, bus mulai berja
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba