Selama SMA sampai kelulusan itu tiba, Winda tak pernah sekalipun punya pacar. Berbeda denganku yang pernah dua kali merasakan pacaran. Manisnya masa remaja, berpacaran dengan teman seangkatan. Entahlah Winda mungkin tak seperti remaja normal yang merasakan jatuh cinta. Atau dia pura-pura menahannya karena malu dengan kondisi keluarga?Setelah lulus sekolah, kulihat wajahnya begitu mendung. Aku tahu alasannya, dia tak bisa melanjutkan kuliah karena bapaknya tidak mampu. Tidak ada biaya untuk untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi."Jadi, kamu gak nerusin kuliah, Win?" tanyaku basa-basi. Aku ingin melihat ekspresinya si bintang kelas. "Tidak San, mungkin aku akan langsung mencari pekerjaan buat bantu-bantu bapak," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum. Padahal aku tahu, hatinya begitu sedih karena tak bisa melawan takdirnya sendiri."Yah sayang banget, kita gak bisa bareng lagi. Padahal kamu sangat pintar, Win. Kenapa gak kuliah s
1 tahun berlaluAku masih belum menemukan pekerjaan yang cocok. Beberapa kali ibu memarahiku gara-gara kerjaanku hanya bermalas-malasan di rumah."Santi, kapan kamu mau kerja?! Disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk malas-malasan! Noh lihat si Winda, meskipun gak kuliah dia kerja jadi kasir. Sekarang malah udah punya suami kaya, kerjaannya bagus!" omel ibuku. Ibuku memang cerewet gak senang lihat anaknya nyantai."Iya, iya bu, Santi juga lagi cari-cari kerjaan nih yang gajinya besar. Bukan kasir seperti Winda, gajinya kan kecil cuma UMR 1jt'an doang. Aku mau lah yang gajinya 2 juta atau lebih tinggi dari itu. Ibu yang sabar dulu dong, doa'in anaknya biar dapat kerjaan yang enak. Jangan lagi-lagi banding-bandingin sama Winda. Beda level bu, aku anak kuliahan sedangkan dia cuma lulusan SMA. Aku pasti dapat yang lebih baik dari dia," tukasku. "Buktikan kalau begitu!" ibu menimpali dengan nada ketus.Aku menghela nafas panjang. Lalu kembali berbaring, masa bodoh ucapan ibu. Tenang saja b
"Assalamualaikum ..." salam sapa dari luar."Waalaikum salam ..." jawabku.Lelaki itu masuk, karena memang pintu masih terbuka. Sungguh aku terpesona melihatnya. Lelaki yang juga suami Winda jauh lebih ganteng setelah kulihat aslinya."Waalaikum salam, mas udah pulang?" sambut istrinya sambil menyalami tangan Mas Rendy. Untuk beberapa jeda aku tertegun melihatnya."Iya Dek, maaf. Mas lembur lagi," jawabnya sambil sesekali melirik ke arahku. Mungkin dia bertanya-tanya siapa aku. "Oh iya mas, ini sahabatku, namanya Santi. Dia datang dari kampung yang sama denganku," ucap Winda memperkenalkanku.Aku mengangguk sambil tersenyum, senyuman yang kubuat semanis mungkin. Berharap dia akan terpesona denganku. Dari sinipun bisa dinilai tentang penampilanku dan Winda sangat jauh berbeda. Bajuku sangat modis dan trendy tak seperti Winda yang hanya memakai daster motif bunga-bunga meskipun ia masih terlihat cantik natural."Santi, ini suamiku, Mas Rendy namanya," ucap Winda lagi mengenalkannya.K
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa sadar kami larut dalam obrolan yang ringan, sedangkan Winda tengah berbenah kamar yang akan ditempati olehku."San, kamarnya sudah rapi. Silakan kalau mau istirahat dulu. Semoga nyaman ya.""I-iya, terima kasih, Winda," sahutku. "Aku permisi dulu ya, Win, Mas," lanjutku lagi."Iya Santi, selamat istirahat," ujar Winda sambil tersenyum.Yess! Pekikku dalam hati saat menutup pintu kamar. Pandanganku memindai sekeliling. Aku melihat desain yang sederhana tapi tampak elegan. Winda pintar sekali menata rumah ini. Membuat penghuni rumah merasa nyaman dan damai. Lihat saja, Win! Suatu saat rumah ini akan jadi milikku. Begitu juga dengan suamimu yang tampan itu.***Paginya, Winda sudah rajin memasak sarapan untuk kami bersama. "Mas, istrimu itu lho benar-benar istri idaman. Pagi-pagi dah masak buat sarapan," pujiku saat Winda tengah menghidangkan sarapan.Winda hanya tersenyum, begitupun dengan Mas Rendy. "Iya, makanya aku cinta. Selain cantik dia j
"Santi, mana sarapannya?" tanyaku pagi itu. Santi terlihat masih menggeliat malas di tempat tidurnya.Lagi-lagi aku hanya mengembuskan nafas kesalku. Ah, kenapa dia berbeda sekali sama Winda. Meskipun aku tak memperhatikan Winda tiap hari tetapi dia selalu bangun tiap jam 3 pagi lalu sholat dan melakukan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu rumah tangga. Pagi-pagi ketika aku bangun, sarapan dan teh manis sudah tersedia di meja.Aku melongok ke belakang, tumpukan pakaian kotor masih teronggok di sudut ruangan. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dia malas sekali. Ah, lebih baik aku pergi saja. Tapi apa yang harus kulakukan? "Mas, kamu sudah bangun?" tanyanya ketika aku ingin pergi."Iya," jawabku singkat."Kamu mau kemana, mas?" tanya Santi lagi."Cari angin, sumpek di rumah terus," jawabku sekenanya."Jadi kamu sumpek lihat aku, mas!" tukasnya dengan ketus. Tak kupedulikan dirinya yang sedang marah."Mas!" bentaknya lagi.Dia menghadang langkahku. "Ya, ada apa?""Kenapa
Aku berlalu ke Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar kendaraan bermotorku yang mulai menipis. Kudengar suara adzan berkumandang. Hatiku seperti tertampar berkali-kali, selama ini aku telah lalai, lalai akan perintahMU.Kupacu motorku mendekat ke arah masjid. Aku memohon ampunannya, aku ingin bertaubat. Aku ingin menjadi lebih baik lagi. Ya Allah, ampuni hambamu ini yang sudah hina.Setelah merenung cukup lama, aku pulang walaupun tak bersemangat.Aku mengetuk pintu, rupanya pintu tidak dikunci. "Assalamualaikum..." ucapku memberi salam, tak ada sahutan dari dalam. Aku melenggang masuk. Kulihat Santi sedang bersantai di ruang TV sambil ngemil jajanan, sampahnya berserakan dimana-mana."Santi, seharian ini apa yang kamu lakukan? Kenapa rumah kotor sekali?" tegurku. Dia menoleh sejenak, lalu kembali menonton TV."Santi, kalau suami datang harusnya disambut, bukan dicuekin kayak gini," tukasku lagi. Emosiku kembali membuncah melihat wanita malas itu. Duh, kenapa aku bisa sampai terjerat
Aku terdiam mendengar ucapan Santi. Dia yang tadinya lembut kembali berkata dengan nada tinggi. Hormon pada ibu hamil memang tak stabil. Tapi dia benar, aku selaku kepala rumah tangga, harusnya lebih giat lagi mencari nafkah untuk mereka, bukan justru menyuruhnya bekerja.Kepalaku terasa begitu penat. Pusing dan berdenyut. Aku memejamkan mata sebentar sambil mengurut keningku. Sekarang, tanggung jawab rumah tangga sepenuhnya ada padaku. Pening sekali memikirkannya. Apalagi aku harus mulai menabung untuk biaya lahiran Santi. Anak yang dikandungnya, anakku juga. Ah, aku harus mulai dari mana?Aku membersihkan sisa-sisa makanan Santi diatas meja. Aku harus lebih bersabar padanya, tidak boleh marah-marah. Mungkin dia stress juga dengan kehamilannya. Aku harus terima semuanya, kelebihan serta kekurangannya. Mungkin ini karmaku karena telah menyia-nyiakan Winda. Aku menyesal, memang benar, penyesalan itu selalu datang terlambat. Dan karena hal itu aku tak bisa memperbaiki semuanya. ***Pag
Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya akta cerai itu sudah resmi kuterima. Mas Rendy tak pernah datang saat proses sidang perceraian, membuat masalah ini makin mudah. Masa iddahpun sudah aku lewati dengan baik. Ocehan para tetangga membuatku mantap untuk pergi dari rumah mertua.Kukemasi barang-barangku dan juga Sofia. Sebelumnya aku sudah berpamitan dengan bapak dan ibu. Meskipun mereka keberatan dengan keputusan yang kuambil, tapi mereka tak bisa menahanku lagi. Bukan, bukan karena aku sudah jadi janda jadi ingin bebas. Tidak seperti itu, aku hanya ingin menghormati mereka. Agar mereka tak lagi menjadi gunjingan para warga.Namun karena kebaikan bapak dan ibu mertuaku, mereka menyewakan sebuah rumah untuk kami tinggali. Aku menolak, tapi bapak keukeuh untuk membantuku, dengan alasan Sofia adalah tanggungjawab mereka karena ayahnya ( Mas Rendy ) memang tak memberi kami nafkah selama ini.Bapak dan ibupun mengantar kami pindahan. Sebenarnya berat juga, karena selama ini mereka san