"Iya, ibu mengerti. Kamu masih perlu waktu untuk menata hati. Ngomong-ngomong ini Mas Farid ketemu di jalan?""Iya, bu," jawab Mas Farid."Mas Farid udah nyelamatin aku, bu."Ibu nampak tersenyum. "Oalah.. Terima kasih ya, nak.""Iya, bu,""Ya sudah, ibu buatkan teh dulu ya ..." ucap ibu sambil berlalu.Tak berselang lama ibu keluar sambil membawakan teh untuk kami."Silahkan diminum dulu, Nak.""Iya, terima kasih, Bu."Mas Farid menyesap teh buatan ibu. "Begini, bu, mbak, kepala kantor cabang tempat saya bekerja, beliau mau pesan bunga buatan mbak. Beliau minta dibuatkan standing flower dengan bentuk bunga mawar warna pink yang ada lampunya, biar bisa nyala kalau malam, katanya biar bisa dijadikan lampu tidur juga. Terus satu lagi beliau juga pesan bunga sudut ruangan yang bentuknya bulat-bulat mirip bola gitu lho mbak. Kira-kira gimana mbak, bisa?" tanya Mas Farid."Tapi kalau pengerjaannya lama gimana, Mas?" tanyaku."Gak masalah, beliau mau nunggu kok.""Alhamdulillah, ya saya u
"Aaaarrrgghh...! Kacau semuanya!" teriakku sangat frustasi. Ini semua gara-gara Santi, padahal sedikit lagi Winda akan menerimaku kembali."Kacau gimana sih, mas? Kapan kamu mau nikahi aku?" tanya Santi."Ya itu semua gara-gara kamu. Rencanaku gagal sudah.""Rencana buat balikan sama Winda lagi?" tanya Santi sambil terus menatapku.Aku menoleh dan memandangnya. Ah, kenapa aku bisa sampai terjerat oleh Santi. Dia ternyata licik."Kenapa diam, mas? Bukankah dulu kau ingin berpisah darinya? Sekarang kenapa berubah pikiran? Lagian Winda sudah gak mau sama kamu lagi, mas! Heran, ngapain masih ngarepin dia?""Santi... Santi... Andai saja kamu lebih bersabar sedikit lagi, kita gak akan kayak gini. Aku pasti akan nikahin kamu. Kalau sekarang bagaimana? Aku sama sekali gak punya uang. Bapak juga pasti tidak akan menerimaku bekerja di kebunnya lagi. Rumah inipun hasil dari belas kasih Winda. Kau pikir sekarang, kita mau makan apa nanti?" ujarku penuh penyesalan. Kuhela nafas panjang, rasanya ak
"Saudara Rendy Darmawan Bin Darmawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Santi Monika Binti Jaelani dengan maskawinnya berupa kalung emas berat 10 gram, tunai!" Suara Pak Penghulu terdengar lantang. Aku yang tengah duduk di samping Mas Rendy, ikut berdebar-debar dibuatnya. Semoga saja Mas Rendy bisa mengucapkan qobul itu dengan lancar, agar aku tidak malu.“Saya terima nikah dan kawinnya Santi Monika Binti Jaelani dengan mas kawin yang tersebut diatas tunai," ucap Mas Rendy, membuat hatiku lega."Gimana, saksi? Sah?""Saah!!""Alhamdulillah."Yess! Akhirnya aku sah juga jadi istrinya Mas Rendy. Setelah drama panjang yang kulalui. Apalagi tadi pagi Mas Rendy sempat menghilang entah kemana. Aku sempat khawatir kalau Mas Rendy tidak balik lagi, mau ditaruh dimana mukaku? Kalian bisa tahu raut wajahku yang begitu panik dan cemas takut kalau-kalau aku ditinggalkan begitu saja. Mungkin bagus juga kalau dibikin sinetron.'Calon suamiku kabur di hari pernikahanku.' Melankolis bang
Aku memandang Mas Rendy, sepertinya dia benar-benar tertidur. Saatnya kubuka aplikasi Facebookku, lalu mengunggah kemesraan kita. Aku ingin lihat bagaimana reaksi Winda. Apakah dia akan cemburu. Aku tersenyum sinis. Aku memasang pose yang menggoda dengan wajah yang kubuat seimut mungkin. Lalu segera aku klik kamera untuk mengambil gambarku berselfie ria. Agar terlihat ada seseorang di belakangku juga. Nah, ini pas banget fotonya. Sesuai dengan yang kuinginkan. Dan klik, terupload sukses fotoku bersama Mas Rendy yang sedang tertidur.'Terima kasih sayang, kamu sangat hot... Lupakan mantanmu dan kita buka lembaran baru. I love you my husband.' Sebuah status yang akan menamparmu, wanita sombong. Entah kenapa dulu aku mau jadi sahabatmu. Cukup disini saja persahabatan kita. Sekarang suamimu sudah jadi milikku. Tunggu saatnya nanti bapak dan ibu mertua akan berada dalam genggamanku juga.****Flashback*Gadis berkerudung itu berlari-lari sambil tersenyum ke arahku. Lalu dia memelukku. S
Selama SMA sampai kelulusan itu tiba, Winda tak pernah sekalipun punya pacar. Berbeda denganku yang pernah dua kali merasakan pacaran. Manisnya masa remaja, berpacaran dengan teman seangkatan. Entahlah Winda mungkin tak seperti remaja normal yang merasakan jatuh cinta. Atau dia pura-pura menahannya karena malu dengan kondisi keluarga?Setelah lulus sekolah, kulihat wajahnya begitu mendung. Aku tahu alasannya, dia tak bisa melanjutkan kuliah karena bapaknya tidak mampu. Tidak ada biaya untuk untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi."Jadi, kamu gak nerusin kuliah, Win?" tanyaku basa-basi. Aku ingin melihat ekspresinya si bintang kelas. "Tidak San, mungkin aku akan langsung mencari pekerjaan buat bantu-bantu bapak," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum. Padahal aku tahu, hatinya begitu sedih karena tak bisa melawan takdirnya sendiri."Yah sayang banget, kita gak bisa bareng lagi. Padahal kamu sangat pintar, Win. Kenapa gak kuliah s
1 tahun berlaluAku masih belum menemukan pekerjaan yang cocok. Beberapa kali ibu memarahiku gara-gara kerjaanku hanya bermalas-malasan di rumah."Santi, kapan kamu mau kerja?! Disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk malas-malasan! Noh lihat si Winda, meskipun gak kuliah dia kerja jadi kasir. Sekarang malah udah punya suami kaya, kerjaannya bagus!" omel ibuku. Ibuku memang cerewet gak senang lihat anaknya nyantai."Iya, iya bu, Santi juga lagi cari-cari kerjaan nih yang gajinya besar. Bukan kasir seperti Winda, gajinya kan kecil cuma UMR 1jt'an doang. Aku mau lah yang gajinya 2 juta atau lebih tinggi dari itu. Ibu yang sabar dulu dong, doa'in anaknya biar dapat kerjaan yang enak. Jangan lagi-lagi banding-bandingin sama Winda. Beda level bu, aku anak kuliahan sedangkan dia cuma lulusan SMA. Aku pasti dapat yang lebih baik dari dia," tukasku. "Buktikan kalau begitu!" ibu menimpali dengan nada ketus.Aku menghela nafas panjang. Lalu kembali berbaring, masa bodoh ucapan ibu. Tenang saja b
"Assalamualaikum ..." salam sapa dari luar."Waalaikum salam ..." jawabku.Lelaki itu masuk, karena memang pintu masih terbuka. Sungguh aku terpesona melihatnya. Lelaki yang juga suami Winda jauh lebih ganteng setelah kulihat aslinya."Waalaikum salam, mas udah pulang?" sambut istrinya sambil menyalami tangan Mas Rendy. Untuk beberapa jeda aku tertegun melihatnya."Iya Dek, maaf. Mas lembur lagi," jawabnya sambil sesekali melirik ke arahku. Mungkin dia bertanya-tanya siapa aku. "Oh iya mas, ini sahabatku, namanya Santi. Dia datang dari kampung yang sama denganku," ucap Winda memperkenalkanku.Aku mengangguk sambil tersenyum, senyuman yang kubuat semanis mungkin. Berharap dia akan terpesona denganku. Dari sinipun bisa dinilai tentang penampilanku dan Winda sangat jauh berbeda. Bajuku sangat modis dan trendy tak seperti Winda yang hanya memakai daster motif bunga-bunga meskipun ia masih terlihat cantik natural."Santi, ini suamiku, Mas Rendy namanya," ucap Winda lagi mengenalkannya.K
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa sadar kami larut dalam obrolan yang ringan, sedangkan Winda tengah berbenah kamar yang akan ditempati olehku."San, kamarnya sudah rapi. Silakan kalau mau istirahat dulu. Semoga nyaman ya.""I-iya, terima kasih, Winda," sahutku. "Aku permisi dulu ya, Win, Mas," lanjutku lagi."Iya Santi, selamat istirahat," ujar Winda sambil tersenyum.Yess! Pekikku dalam hati saat menutup pintu kamar. Pandanganku memindai sekeliling. Aku melihat desain yang sederhana tapi tampak elegan. Winda pintar sekali menata rumah ini. Membuat penghuni rumah merasa nyaman dan damai. Lihat saja, Win! Suatu saat rumah ini akan jadi milikku. Begitu juga dengan suamimu yang tampan itu.***Paginya, Winda sudah rajin memasak sarapan untuk kami bersama. "Mas, istrimu itu lho benar-benar istri idaman. Pagi-pagi dah masak buat sarapan," pujiku saat Winda tengah menghidangkan sarapan.Winda hanya tersenyum, begitupun dengan Mas Rendy. "Iya, makanya aku cinta. Selain cantik dia j