Aku tak habis pikir dengan istriku, setelah aku di PHK sepertinya dia santai-santai saja. Seperti tak ada beban yang dirasakannya. Berbeda denganku, aku sangat stress dibuatnya. Ah sialnya, aku tak punya pegangan uang sedikitpun karena aku sudah memberikan sebagian besar gajiku pada Santi, wanita yang sangat kucintai. Dia sangat cantik, dia bisa memuaskanku seperti yang kuinginkan. Berbeda dengan Winda yang makin kesini penampilannya makin tak karuan. Kucel, wajahnya pun jadi kusam. Padahal dulu sebelum dia menikah denganku, wajahnya begitu ayu. Sampai-sampai aku harus bersaing dengan beberapa lelaki yang juga ingin meminangnya. Ah, menyesal juga aku sudah menikahi Winda.
Itu yang membuatku marah-marah terus pada Winda, dia tak bisa menjaga penampilannya. Ya, dia memang sibuk mengurus anak serta pekerjaan rumah tangga dan juga jualan onlinenya, sampai-sampai dia lupa kalau diapun wajib merawat dirinya sendiri. Aku jadi bosan melihatnya. Untung saja ada Santi. Santi wanita yang cantik, pekerja kantoran. Bodynya seksi, wajahnya selalu terpoles make-up. Penampilannya trendy tidak kuno seperti Winda yang selalu pakai daster ataupun gamis dan jilbabnya yang selalu menutupi kepala kalau sedang berada diluar rumah. Beda level memang. Santi benar-benar wanita idamanku.
Kesal aku dibuatnya, Winda akhir-akhir ini sering balik membentakku, dia makin berani menyanggah ucapanku. Pun ketika aku ingin meminjam uangnya, dia berdalih uangnya sudah dipakai untuk modal jualan. Hah, sehebat apa sih dia? Berani-beraninya dia tak meminjamiku uang. Aku bilang hanya pinjam, pasti nanti aku balikin. Tapi lihat, ketika ibuku datang dia memborong bahan makanan di warung. Aneh kan? Berarti dia memang punya uang, hanya saja dia pelit sama suaminya sendiri.
Aku sudah muak. Akhirnya tadi pagi kurayu lagi agar dia mau meminjamiku uang namun dia hanya memberiku 100ribu itupun dengan syarat yang cukup sulit. Kalian tahu apa syaratnya? Syaratnya kalau nanti aku diterima kerja dan dapat gaji, semua gaji dia yang pegang. Ya, itu sangat sulit, karena nanti aku gak bisa senang-senang bersama Santi. Tapi apa boleh buat, aku menerima syaratnya itu, urusannya nanti dipikir belakangan. Toh dia kan sangat lugu, aku punya banyak alasan untuk mengelabuhinya.
Aku berangkat dengan sukacita walau cuma bawa uang 100 ribu. Rencananya setelah melamar pekerjaan, aku ingin mampir ke tempat Santi. Baru beberapa hari gak bertemu dengannya rasanya kangen sekali.
Aku membawa berkas-berkas yang aku siapkan semalam. Winda mana ngerti? Jadi aku sendiri yang menyiapkannya. Banyak Perusahaan yang aku singgahi, dari menitipkan beberapa berkas lamaran, ada juga yang langsung interview dengan pihak HRD. Namun sayangnya hari ini aku belum berhasil. Semua perusahaan yang kudatangi menolakku. Dengan berbagai macam alasan. Aku frustasi dibuatnya.
Kulajukan motorku ke kediaman Santi, dia belum pulang bekerja. Dengan sabar aku menunggunya selama 3 jam. Itu karena aku sangat ingin bertemu dengan pujaan hatiku.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, tapi tunggu-tunggu, dia diantar sama siapa? Mobil Avanza warna hitam. Santi turun dari mobil itu kemudian melambaikan tangannya.
Senyuman manis merekah dari bibirnya yang merah merona ketika mendapatiku berada di terasnya.
"Mas, udah lama?" sapanya dengan nada lemah lembut.
"Ah iya, aku nungguin kamu sampe 3 jam lho," jawabku sejujurnya.
"Oh ya?" sahutnya sembari membuka pintu. "Ayo, masuk dulu."
Aku mengikutinya dan duduk di sofa.
"Tadi siapa yang antarin kamu?" tanyaku penasaran.
"Oh itu cuma rekan kerja, kebetulan tadi motor aku mogok, aku tinggal di bengkel."
"Oh..." jawabku agak cemburu.
Aku mengikutinya saat dia berlalu ke belakang. Dia melepaskan blazernya membuat lekukan tubuhnya terlihat begitu kentara.
"Mau teh manis, mas?" tanyanya.
"Hmmm, boleh..."
Aku sudah tidak tahan lagi, kupeluk tubuhnya dari belakang.
"Aku kangen kamu," bisikku. Dia yang sedang mengaduk-aduk teh segera berbalik dan tersenyum.
"Aku juga," jawabnya.
Jantungku berdegup sangat kencang, seperti seorang remaja dimabuk asmara.
"Kapan kamu akan halalin aku?" tanyanya yang membuatku terhenyak. Ini sudah ke sekian kali dia menanyakan hal yang sama. Bukan, bukan aku tak mau menikahinya, tapi syaratnya terlalu berat. Santi ingin menikah denganku tapi aku harus bercerai dengan Winda terlebih dahulu. Itu tidak mungkin, ibu dan bapak sangat menyayangi Winda, mereka pasti takkan setuju kalau aku bercerai dengannya.
"Nanti ya sayang, aku belum dapat pekerjaan lagi," jawabku.
"Jadi kamu masih nganggur, mas?"
Aku mengangguk. Dia terlihat begitu kecewa. Santi melepaskan pelukanku. Dia terlihat menyibukkan diri dengan membuat minuman yang lain.
"Tadi aku udah lamar-lamar pekerjaan, tapi belum dapat."
Dia terdiam, sepertinya dia kecewa karena kali ini aku tidak memberikannya uang.
"Jadi jatah buat aku gak ada dong?" tanyanya yang membuatku meringis getir.
"Minggu kemarin 'kan udah aku kasih semua sama kamu, yang."
"Uangnya udah habis."
Aku cuma bisa melongo mendengar penuturannya.
"Ya sudah, sana pulang saja. Aku bukan istrimu yang bisa menerima apapun keadaanmu."
Bak disambar petir ketika mendengar pernyataannya. Aku kecewa, jadi dia mendekatiku hanya untuk uang saja? Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang?
"Tapi aku masih kangen sama kamu...." aku merajuk, seenggaknya aku ingin bersama lebih lama lagi.
"Mas boleh kesini lagi, tapi seperti biasa harus ada jatah untukku. Kalau gak ada, aku gak mau."
"Iya iya, aku akan berusaha. Ya sudah, aku pulang dulu..." pamitku. Dia hanya tersenyum kecut padaku.
Arrghh sial!! Bisa-bisanya dia mengusirku! Padahal selama ini aku selalu memberinya uang, justru lebih banyak kuberikan padanya daripada istriku sendiri.
Kulajukan motorku dengan perasaan emosi. Dasar PHK sialan! Kau membuatku tak ada harganya dihadapan Santi maupun Winda! Sepanjang jalan aku menggerutu kesal.
Sesampainya di rumah, aku tercengang melihat pemandangan yang tak mengenakan. Istriku bercengkrama dengan laki-laki lain?
"Oh jadi kayak gini kelakuanmu kalau aku gak ada di rumah?!"
Mereka menoleh, dan terkejut seperti dua sejoli yang kedapatan selingkuh. Aku menatap Winda dengan tatapan tajam. Hatiku terasa panas.
"Benar kan kalau kalian itu punya hubungan?"
Aku benar-benar emosi, tanpa ba-bi-bu aku memukul lelaki itu hingga terhuyung.
"Mas hentikan!" teriak Winda. Dia justru membela laki-laki itu? Aku yang ingin melayangkan tinju pada laki-laki itu justru mengenai Winda sampai dia terjatuh.
"Mbak, mbak gak apa-apa?" laki-laki itu justru ingin membantu Winda berdiri. Sungguh drama yang mengagumkan.
Prok... Prok... Prok...
"Hebat ya kalian! Sama-sama saling bela! Sejauh mana hubungan kalian, hah?!" cercaku masih dengan nada emosi.
"Mas, jangan main kasar dong sama istri sendiri! Kamu tuh salah paham, kami gak ada hubungan apa-apa. Hanya murni pekerjaan," jelas laki-laki itu. Ya, tentu saja mereka akan menyangkal dengan apa yang telah dilakukannya.
Laki-laki itu juga mengancam akan melaporkanku karena sudah melakukan KDRT. Benarkan? pasti ada apa-apanya, laki-laki itu pasti suka dengan istriku?! Kenapa kau tega mengkhianati aku, Winda! Sial, aargghh...!
Semenjak kejadian tadi sore, aku mendiamkan suamiku. Tak kupedulikan apa yang dilakukannya. Hatiku terlalu sakit. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Sepertinya ini bukan lagi rumahku, rumah yang diberikan oleh orang tua Mas Rendy sebagai hadiah pernikahan kami, kini tak memberikan rasa nyaman lagi terhadapku. Aku ingin pergi dari sini, tapi mau kemana? Aku tak punya sanak saudara. Mereka semua jauh, beda provinsi.Aku tergugu di dalam kamar anakku. Menangisi nasibku sendiri yang begitu pedih."Ibu, ibu kenapa?" tanya Sofia begitu polos.Aku segera memeluk tubuh mungilnya. Untung saja tadi saat Mas Rendy berlaku kasar padaku, Sofia tak melihatnya. Dia tengah asyik bermainan di kamar."Nak, bagaimana kalau kita pergi dari rumah ini?" tanyaku pada si kecil."Memangnya mau kemana, Bu?" tanya gadis kecil itu dengan polos."Kemana saja, kamu mau kan ikut ibu, Nak?"Sofia mengangguk, gadis kecil itu mengusap lembut butiran bening yang m
Di kediaman Pak Darmawan.Ibu termenung sendiri di teras rumahnya, sembari menikmati semilir angin yang berhembus."Ada apa, Bu? Apa yang ibu pikirkan?" tanya Pak Darmawan, ayah Rendy."Sepertinya ibu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, kemudian duduk disamping ibu."Iya, pak. Ibu lagi mikirin Rendy sama Winda, sepertinya mereka sedang ada masalah," jawab ibu sambil menatap suaminya."Ya wajar to bu, setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya. Apalagi mereka baru lima tahun menikah.""Ibu juga paham pak, tapi ibu tak habis pikir....""Kenapa bu?""Ibu tak habis pikir kenapa Rendy bisa sampai menampar istrinya itu?""Apaa?""Iya pak, kemarin ibu lihat pipi Winda memerah, terus matanya juga sembab, meskipun dia bilang tidak apa-apa tapi pasti ada masalah serius yang sedang mereka hadapi. Tapi kan tidak seharusnya Rendy bersikap kasar pada istrinya itu.""Iya, kamu benar bu. Tidak seharusnya Rendy ber
"Mau lihat kontrakan," jawabku.Tiba-tiba Mas Rendy berlutut lagi di hadapanku. "Tolong jangan pergi, mas mohon dek, maafin mas...""Siapa yang mau pergi?"Deg. Suara seseorang mengagetkan kami. Kami semua menoleh, bapak dan ibu mertuaku sudah berdiri tak jauh dari kami."Ada apa ini?" Ibu kembali menegaskan pertanyaannya.Mas Rendy bangkit dan berdiri di sampingku. Kami menyalami mereka dengan takdzim."Mari masuk dulu, pak, bu," ajakku. Berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa rasanya cukup sulit.Mereka masuk dan duduk di sofa, begitu pula denganku dan Mas Rendy. Sedangkan Sofia bergelayut manja di pangkuan neneknya."Sofia, Sofia masuk dulu ke kamar ya, nenek sama kakek mau bicara sama ayah dan ibu kamu, nanti kalau sudah selesai nenek akan main sama kamu," ucap ibu mertuaku."Baik, nek," jawabnya dengan polos. Kemudian gadis kecil itupun pergi meninggalkan kami.Suasana cukup tegang, ibu dan bapak memandangi ka
Aku tersenyum mendengar ucapan bapak mertuaku. Sungguh mereka benar-benar tulus menyayangiku.Aku mengemasi beberapa bajuku dan baju Sofia lagi dan barang jualan onlineku, tidak terlalu banyak memang.Waktu satu bulan yang diberikan bapak untuk kami, mudah-mudahan bisa membuat pikiranku waras kembali.Tak butuh waktu lama, Mang Johar datang dengan mobil pick-upnya."Jangan sungkan di rumah kami ya, nak. Rumah kami, rumah kamu juga," ucap ibu sambil merangkulku.Aku mengangguk sembari tersenyum. Sedangkan Mas Rendy dia berdiri mematung dengan tatapan sendu."Kami pulang dulu ya, Rendy. Ingat pesan bapak, waktumu cuma satu bulan. Satu bulan untukmu berubah. Setelah itu, Winda yang akan memutuskannya. Apakah bisa menerimamu kembali atau....""Baik, pak. Aku akan berusaha dengan keras agar Winda mau menerimaku kembali," jawab Mas Rendy memotong perkataan bapaknya."Aku menyalami tangan suamiku."Maafin mas
Seusai dari pantai, kami mampir di kebun anggur bapak. Kami disuruh metik sesukanya."Kakek, aku mau anggul. Itu yang di sebelah situ!" teriak Sofia berjingkrakan karena senang."Ayo sayang, kakek gendong. Ambil guntingnya dulu," sahut kakeknya tak kalah antusias.Aku menatap takjub kebun anggur milik bapak. Semuanya berbuah lebat."Ayo Nak, cicipin dulu. Cari yang langsung matang di pohonnya, pasti manis," tukas ibu mertuaku.Aku mengangguk, mencari anggur yang sekiranya sudah matang. Setelah kupetik aku mencicipinya."Hmmm ... Manis," lirihku."Gimana, Nak? Manis gak?""Manis, Bu."Ibu mertuaku tersenyum. "Petik aja yang agak banyak, nanti kita buat syrup anggur di rumah.""Wah, beneran nih, Bu.""Iya, petik aja. Bapak gak bakalan rugi kalau cuma petik satu keranjang. Haha." Ibu mertuaku tertawa. Ah sungguh menyenangkan sekali, punya mertua seperti orang tua sendiri.Kulihat kehid
Aku tak pernah menyangka masalahnya akan serumit ini, Winda yang kukenal dulu sangat penurut kini berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Walaupun aku memohon-mohon, tapi dia tetap sama. Sepertinya dia tak mau memaafkanku lagi. Padahal aku berjanji akan berubah. Ah, bodohnya aku. Winda pasti sangat kecewa terhadapku, sosok suami yang tak bertanggung jawab.Apalagi ketika bapak dan ibu tiba-tiba datang melihat aksiku yang 'nggak banget'. Aku disidang karenanya. Ya jujur sih, aku tak ingin kehilangan Winda. Sebenarnya dia istri yang sempurna dan tidak banyak menuntut. Aku memang yang sudah keterlaluan terhadapnya. Kupikir karena dia jualan online, makanya aku tak perlu memberinya nafkah. Karena dia tetap melayaniku dengan baik. Makanan walaupun sederhana tetap terhidang di meja makan.Plaaakk...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Bapakku yang melakukannya. Bapak dan ibu justru membela Winda, menantunya, bukan aku yang notabene anak kandungnya sendiri.
Aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal."Tidak, bu. Teh buatan ibu sangat enak," jawabku.Setelah meminum teh itu, akhirnya aku pulang tanpa bisa berbicara dengan Winda. Kenapa sih kalian menghukumku seperti ini?***Keesokan harinya, aku pergi bekerja ke kebun bapak. Kata bapak, hari ini jadwal pemberian pupuk. Aku bersama para pekerja lain memberi pupuk untuk tanaman anggur bapak. Kebun bapak sangatlah luas. Jadi walaupun pekerjaan ini mudah, tapi terasa begitu melelahkan.Sore hari waktunya pembagian upah untuk para pekerja."Nih buat kamu," ucap bapak memberikan uang sebesar 70 ribu rupiah."Pak, cuma segini?" tanyaku berharap bapak akan menambahkannya."Iya, bapak kan sudah bilang, tak ada hak istimewa untukmu. Semua pekerja sama upahnya," jawab bapak begitu tegas.Ya ampun pak, padahal aku anakmu sendiri tapi kenapa bapak begitu tega?"Ya sudah pak, terima kasih," uc
Tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Hatiku terasa panas terbakar cemburu. Kukepalkan tanganku, ingin sekali rasanya meninju lelaki itu. Mereka bahkan tak menyadari kehadiranku."Assalamualaikum," sapaku."Waalaikum salam," jawab mereka serempak. Mereka semua menoleh dengan pandangan terkejut. Terlebih lelaki itu, dia melihatku dengan tatapan tak suka.Aku menjabat tangan mereka satu persatu. Dan menerbitkan senyum penuh kepura-puraan."Rendy, duduk dulu nak," ucap ibu."Oh, mas, kamu datang," sapa istriku yang baru keluar sambil membawa bunga yang cantik. Dia tersenyum dan menyalami tanganku."Aku buatkan teh dulu ya," ucapnya lagi.Aku kembali menatap lelaki itu. Tapi dia terlihat begitu santai. Bukankah dia tahu kalau aku suami Winda? Kenapa dia sampai mengunjunginya kesini?"Rendy, ini lho namanya Mas Farid," ucap bapak memperkenalkan kami. Lelaki yang bernama Farid itu tersenyum padaku."Ada keperl