Di kediaman Pak Darmawan.
Ibu termenung sendiri di teras rumahnya, sembari menikmati semilir angin yang berhembus.
"Ada apa, Bu? Apa yang ibu pikirkan?" tanya Pak Darmawan, ayah Rendy.
"Sepertinya ibu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, kemudian duduk disamping ibu.
"Iya, pak. Ibu lagi mikirin Rendy sama Winda, sepertinya mereka sedang ada masalah," jawab ibu sambil menatap suaminya.
"Ya wajar to bu, setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya. Apalagi mereka baru lima tahun menikah."
"Ibu juga paham pak, tapi ibu tak habis pikir...."
"Kenapa bu?"
"Ibu tak habis pikir kenapa Rendy bisa sampai menampar istrinya itu?"
"Apaa?"
"Iya pak, kemarin ibu lihat pipi Winda memerah, terus matanya juga sembab, meskipun dia bilang tidak apa-apa tapi pasti ada masalah serius yang sedang mereka hadapi. Tapi kan tidak seharusnya Rendy bersikap kasar pada istrinya itu."
"Iya, kamu benar bu. Tidak seharusnya Rendy ber
"Mau lihat kontrakan," jawabku.Tiba-tiba Mas Rendy berlutut lagi di hadapanku. "Tolong jangan pergi, mas mohon dek, maafin mas...""Siapa yang mau pergi?"Deg. Suara seseorang mengagetkan kami. Kami semua menoleh, bapak dan ibu mertuaku sudah berdiri tak jauh dari kami."Ada apa ini?" Ibu kembali menegaskan pertanyaannya.Mas Rendy bangkit dan berdiri di sampingku. Kami menyalami mereka dengan takdzim."Mari masuk dulu, pak, bu," ajakku. Berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa rasanya cukup sulit.Mereka masuk dan duduk di sofa, begitu pula denganku dan Mas Rendy. Sedangkan Sofia bergelayut manja di pangkuan neneknya."Sofia, Sofia masuk dulu ke kamar ya, nenek sama kakek mau bicara sama ayah dan ibu kamu, nanti kalau sudah selesai nenek akan main sama kamu," ucap ibu mertuaku."Baik, nek," jawabnya dengan polos. Kemudian gadis kecil itupun pergi meninggalkan kami.Suasana cukup tegang, ibu dan bapak memandangi ka
Aku tersenyum mendengar ucapan bapak mertuaku. Sungguh mereka benar-benar tulus menyayangiku.Aku mengemasi beberapa bajuku dan baju Sofia lagi dan barang jualan onlineku, tidak terlalu banyak memang.Waktu satu bulan yang diberikan bapak untuk kami, mudah-mudahan bisa membuat pikiranku waras kembali.Tak butuh waktu lama, Mang Johar datang dengan mobil pick-upnya."Jangan sungkan di rumah kami ya, nak. Rumah kami, rumah kamu juga," ucap ibu sambil merangkulku.Aku mengangguk sembari tersenyum. Sedangkan Mas Rendy dia berdiri mematung dengan tatapan sendu."Kami pulang dulu ya, Rendy. Ingat pesan bapak, waktumu cuma satu bulan. Satu bulan untukmu berubah. Setelah itu, Winda yang akan memutuskannya. Apakah bisa menerimamu kembali atau....""Baik, pak. Aku akan berusaha dengan keras agar Winda mau menerimaku kembali," jawab Mas Rendy memotong perkataan bapaknya."Aku menyalami tangan suamiku."Maafin mas
Seusai dari pantai, kami mampir di kebun anggur bapak. Kami disuruh metik sesukanya."Kakek, aku mau anggul. Itu yang di sebelah situ!" teriak Sofia berjingkrakan karena senang."Ayo sayang, kakek gendong. Ambil guntingnya dulu," sahut kakeknya tak kalah antusias.Aku menatap takjub kebun anggur milik bapak. Semuanya berbuah lebat."Ayo Nak, cicipin dulu. Cari yang langsung matang di pohonnya, pasti manis," tukas ibu mertuaku.Aku mengangguk, mencari anggur yang sekiranya sudah matang. Setelah kupetik aku mencicipinya."Hmmm ... Manis," lirihku."Gimana, Nak? Manis gak?""Manis, Bu."Ibu mertuaku tersenyum. "Petik aja yang agak banyak, nanti kita buat syrup anggur di rumah.""Wah, beneran nih, Bu.""Iya, petik aja. Bapak gak bakalan rugi kalau cuma petik satu keranjang. Haha." Ibu mertuaku tertawa. Ah sungguh menyenangkan sekali, punya mertua seperti orang tua sendiri.Kulihat kehid
Aku tak pernah menyangka masalahnya akan serumit ini, Winda yang kukenal dulu sangat penurut kini berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Walaupun aku memohon-mohon, tapi dia tetap sama. Sepertinya dia tak mau memaafkanku lagi. Padahal aku berjanji akan berubah. Ah, bodohnya aku. Winda pasti sangat kecewa terhadapku, sosok suami yang tak bertanggung jawab.Apalagi ketika bapak dan ibu tiba-tiba datang melihat aksiku yang 'nggak banget'. Aku disidang karenanya. Ya jujur sih, aku tak ingin kehilangan Winda. Sebenarnya dia istri yang sempurna dan tidak banyak menuntut. Aku memang yang sudah keterlaluan terhadapnya. Kupikir karena dia jualan online, makanya aku tak perlu memberinya nafkah. Karena dia tetap melayaniku dengan baik. Makanan walaupun sederhana tetap terhidang di meja makan.Plaaakk...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Bapakku yang melakukannya. Bapak dan ibu justru membela Winda, menantunya, bukan aku yang notabene anak kandungnya sendiri.
Aku tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal."Tidak, bu. Teh buatan ibu sangat enak," jawabku.Setelah meminum teh itu, akhirnya aku pulang tanpa bisa berbicara dengan Winda. Kenapa sih kalian menghukumku seperti ini?***Keesokan harinya, aku pergi bekerja ke kebun bapak. Kata bapak, hari ini jadwal pemberian pupuk. Aku bersama para pekerja lain memberi pupuk untuk tanaman anggur bapak. Kebun bapak sangatlah luas. Jadi walaupun pekerjaan ini mudah, tapi terasa begitu melelahkan.Sore hari waktunya pembagian upah untuk para pekerja."Nih buat kamu," ucap bapak memberikan uang sebesar 70 ribu rupiah."Pak, cuma segini?" tanyaku berharap bapak akan menambahkannya."Iya, bapak kan sudah bilang, tak ada hak istimewa untukmu. Semua pekerja sama upahnya," jawab bapak begitu tegas.Ya ampun pak, padahal aku anakmu sendiri tapi kenapa bapak begitu tega?"Ya sudah pak, terima kasih," uc
Tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Hatiku terasa panas terbakar cemburu. Kukepalkan tanganku, ingin sekali rasanya meninju lelaki itu. Mereka bahkan tak menyadari kehadiranku."Assalamualaikum," sapaku."Waalaikum salam," jawab mereka serempak. Mereka semua menoleh dengan pandangan terkejut. Terlebih lelaki itu, dia melihatku dengan tatapan tak suka.Aku menjabat tangan mereka satu persatu. Dan menerbitkan senyum penuh kepura-puraan."Rendy, duduk dulu nak," ucap ibu."Oh, mas, kamu datang," sapa istriku yang baru keluar sambil membawa bunga yang cantik. Dia tersenyum dan menyalami tanganku."Aku buatkan teh dulu ya," ucapnya lagi.Aku kembali menatap lelaki itu. Tapi dia terlihat begitu santai. Bukankah dia tahu kalau aku suami Winda? Kenapa dia sampai mengunjunginya kesini?"Rendy, ini lho namanya Mas Farid," ucap bapak memperkenalkan kami. Lelaki yang bernama Farid itu tersenyum padaku."Ada keperl
Mendengar rengekan Sofia membuat hatiku bahagia, lampu hijau sudah kudapatkan dari anakku."Sofia, biar ayah pulang dulu ya, nak. Sini gendong sama ibu, nak," ucap Winda sambil meraih Sofia dari gendonganku."Tidak mau," jawab Sofia. Dia membenamkan wajahnya di dadaku dan lebih merekatkan rangkulannya."Sofia sayang...""Sofia masih mau sama ayah. Ayah jangan pulang," rengeknya lagi."Iya, iya Sofia sama ayah," jawabku berusaha menenangkannya.Aku paham, dia pasti rindu denganku. Selama ini aku selalu cuek padanya. Aku cukup lama menggendongnya sampai Sofia tertidur dalam dekapanku. Baru kali ini aku merasakan benar-benar menjadi seorang ayah. Rasanya sungguh menyenangkan. Saat ada seseorang yang tak ingin jauh dariku. Kuharap selanjutnya Winda pun akan bersikap sama, tak mau jauh dariku."Ini Sofia mau ditidurkan dimana?" tanyaku."Di kamarmu yang dulu, mas," jawab Winda.Aku mengangguk. Segera kubarin
"Sudah ayo pulang dulu, kalau sekarang aku tak bisa berpikir jernih. Lagipula tidak baik, wanita hamil malam-malam masih di luar rumah.""Aku mau menginap disini, Winda tidak ada di rumah kan?" ucapnya tiba-tiba membuatku tercengang."Tidak, tidak boleh! Kau harus pulang. Apa nanti kata tetangga kalau kita digerebek? Kita belum sah jadi suami istri!" tegasku lagi. Kepalaku saat ini benar-benar pusing.Santi justru tersenyum. "Tidak apa-apa, kita katakan semuanya tentang hubungan kita. Aku tak masalah kalau digerebek dan dipaksa nikah denganmu, aku akan setuju."Ah, wanita ini benar-benar gila. Apa dia tak tahu malu?"Tidak, tidak. Jangan menambah masalah lagi. Kau harus pulang dulu," elakku. Aku tak mau masalahnya bertambah runyam."Tapi mas, aku mau kau bertanggungjawab terhadapku!" desaknya lagi. Santi masih menatapku tajam. "Iya, iya.""Janji ya, mas ... Kalau tidak, sekarang juga aku akan menelepon dan mengatakan semuanya pada Winda.""Iya, iya," jawabku. Ah sekarang kenapa aku