"Dek, mas di PHK," ucapnya lesu. Dia duduk di sofa sembari melepaskan sepatunya. Wajahnya tertunduk dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya. Sesekali terdengar deru nafasnya yang begitu berat dan penat. Kulihat ia merentangkan tangannya di punggung sofa, lalu kembali mengembuskan nafas panjang.
"Dek, kenapa kamu diam saja?" tanyanya menolehku.
Aku masih bungkam. Entah apa yang harus kukatakan, akupun tidak tahu.
"Sebenarnya bukan di PHK, tapi PT bangkrut jadi semua karyawan dirumahkan tanpa pesangon apapun," jelasnya lagi tanpa kuminta. Ia kembali menggerakkan tubuh, memijat pelipisnya perlahan. Terlihat jelas kalau dia benar-benar pusing dengan masalah ini.
Aku menatapnya datar. 'Yess, rasain kamu mas!' batinku bersorak. Bukannya aku sedih tapi aku malah senang suamiku di-PHK, jadi tak ada yang dia sombongkan lagi. Malas aku berdebat dengannya. Dia tak pernah memberiku nafkah bila tidak kuminta. Dia sangat pelit dan juga perhitungan padahal untuk makan kami sekeluarga. Ya, seperti itulah perangai suamiku.
“Dek, aku ngomong sama kamu lho. Kok malah diam aja kayak patung?" tanyanya lagi dengan nada risau. Dia menatap ke arahku dengan tatapan tajam.
"Ya mau gimana lagi mas, ini kan udah takdir," jawabku sekenanya, aku masih berusaha memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Dia kembali mengambil nafas panjang untuk menghilangkan penatnya. "Dek, kamu masih punya simpanan kan?" tanyanya tanpa rasa bersalah.
Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Bahkan kamu menjatahku tak lebih dari 20ribu sehari, itupun jika aku minta. Lalu selama ini aku bersusah payah cari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan uang jajan anak kita. Masa dengan gampangnya kamu bertanya seperti itu? Ck!
"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, kamu tiap hari ngasih aku uang gak?" tanyaku agak emosi.
Dia terdiam. "Ya yang 20ribu itu?" jawabnya salah tingkah.
"Astaghfirullah hal adzim... Uang 20 ribu cukup apa sekarang mas? Itupun kamu ngasih 3 hari yang lalu. Memangnya kita gak butuh makan? Anakmu jajan itu dari mana coba? Selama ini aku dah coba bantu dengan jualan online buat memenuhi kebutuhan kita."
"Iya, iya! Mentang-mentang jualan online aja sombong!" sahutnya ketus. Ia membuang muka.
Astaghfirullah... Ya, selalu begitu berakhir dengan perdebatan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kau belum tahu saja omset penjualanku tiap bulan itu melebihi gajimu, mas. Aku menabungnya tanpa sepengetahuanmu, suamiku yang pelit. Itu saja banyak terpakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan gajimu yang 5 juta itu, entah tak tahu rimbanya. Aku tak pernah diizinkan untuk mengelola uang gajimu itu. Kau hanya memberiku 20ribu itupun jika kuminta. Saking capeknya tiap hari meminta, jadi kubiarkan saja. Kupikir kau akan peka tapi lagi-lagi hanya harapan semu belaka. Kau tak pernah tahu bagaimana inginku sebagai seorang istri.
Sebenarnya aku sudah muak bersamamu. Aku lelah denganmu. Aku ingin bercerai. Namun berkali-kali aku memikirkannya lagi. Jika berpisah denganmu, aku akan berstatus janda. Status janda itu yang membuatku berpikir ribuan kali. Aku takut mereka akan selalu mengolok-olokku. Aku juga tak ingin penilaian negatif melekat padaku. Meskipun rasa ini sudah mulai hambar terhadapmu. Karena berulangkali kau membuatku kecewa.
Dia kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Aku tersenyum kecil sambil berlalu ke belakang untuk membuatkan teh manis untuknya.
Saat kukembali, aku mendengar dia bercakap-cakap di dalam telepon.
"Sayang, tolong mengertilah, saat ini mas gak bisa ngasih kamu uang dulu. Mas habis kena PHK. Mas janji akan cari kerjaan lagi secepatnya agar bisa menjatahmu lagi," ucapnya ditelepon yang membuat hatiku runtuh. Seketika ada rasa sakit menyelinap di dalam dada. Nyeri, sangat nyeri.
"Iya, iya tenang saja. Aku pasti bertanggung jawab. Sampai ketemu nanti, I love you, sayang..."
Deg deg deg, jantungku berdegup kencang. Jadi selain pelit, dia juga berselingkuh? Apakah ini alasannya dia tak memberikan nafkah padaku? Dan selama ini uang gajinya dia berikan untuk selingkuhannya itu? Rasanya begitu perih, mendengar kenyataan ini, terlalu pahit bagiku. Bagaikan luka yang ditaburi garam.
Kuurungkan niatku untuk memberikannya teh manis. Aku berlalu ke belakang dan meletakkan teh itu di meja. Biarkan saja, biar dia puas telepon-teleponan dengan wanita jalangnya itu. Aku membasuh wajahku untuk mengusir kegelisahan, setelah itu aku berlalu ke kamar anakku. Anakku sudah terlelap tidur disana. Aku berbaring disampingnya, dan entah kenapa air mata ini tak bisa kubendung lagi. Biarpun perasaanku hambar terhadapnya, tapi aku masih merasakan sakit. Sakit yang menghujam sampai ulu hati, karena telah dikhianati oleh suami sendiri.
"Dek ... dek ..." panggilnya dari luar kamar. Aku memang sengaja mengunci pintu kamar anakku, agar dia tak bisa masuk. Tak sanggup berhadapan dengannya dengan sebuah kenyataan, ada wanita lain dalam hatinya.
"Dek ... dek ... Mas tahu kamu belum tidur," panggilnya lagi sembari mengetuk pintu.
Aku bangkit dengan malas. Sengaja kupasang wajah kusut dan rambut awut-awutan. Sebelumnya sudah kusapu air mataku. Entahlah sebenarnya aku menangisi apa? Nasibku? Ah, menyedihkan bukan?
Kubuka pintu. Suamiku masih berdiri disana. Dia tersenyum. Tunggu-tunggu, tumben-tumbenan dia tersenyum padaku, pasti ada maunya nih.
"Dek, layani mas yuk. Mas stress banget nih," pintanya sambil meraih tanganku.
Dih, jadi orang gak tahu diri banget nih laki! Dibiarin malah ngelunjak. Tadi habis telponan sama selingkuhan, kini malah memintaku melayaninya? Ckckck, dikira aku gak dengar percakapanmu, mas.
"Maaf mas, aku lagi datang bulan," jawabku tanpa berbohong. Hari ini memang sedang datang bulan, apa dia tak pernah mengingat jadwal tamu bulananku. Ah, walapun aku tak datang bulan, aku tidak akan siap untuk melakukannya. Apalagi membayangkan dia pernah bersama wanita lain.
Wajahnya tampak kecewa ketika mendengar jawabanku.
"Makanya aku tidur sama Sofia, biar kamu gak terganggu," jawabku asal. Sofia adalah putriku, dia baru berumur 4 tahun.
Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan dengan lelaki macam itu? Haruskah aku berpisah darinya? Tapi aku ingin lihat sejauh mana tanggung jawabnya terhadap keluarga, apalagi setelah dia kehilangan pekerjaan. Akankah dia sadar?
"Cih! Memangnya secantik apa, wajah pas-pasan aja berani-beraninya menolak ajakanku! Dasar istri tak tahu diri! Aaarrggghh..." umpatnya di dalam kamar.
"Mentang-mentang sekarang aku nganggur, jadi dia berani menolakku ya! Awas saja kau!" Berkali-kali dia menggerutu kesal. Aku yang ingin masuk ke dalam kamar langsung mengurungkan niatku dan kembali lagi ke kamar Sofia.
Kenapa kau tetap saja begitu, Mas? Apa aku selalu salah dimatamu? Kau anggap apa pernikahan kita? Apakah hanya pajangan dan status belaka?
Setelah semalaman tidurku tak nyenyak, mataku sudah seperti mata panda, kantung hitam di bawah mata tampak begitu kentara. Apalagi, hampir semalam air mata terus saja jatuh berderai, membuat kedua mata ini begitu sembab. Pagi-pagi sekali aku sudah keluar untuk membeli sarapan bubur untuk anakku. Suami? Biarkan saja, bukankah dia punya banyak uang? Biar dia beli sendiri. Aku masih dongkol karenanya. Karena sikapnya yang begitu tega kepada kami. Aku baru mengalami sendiri, jadi beginilah rasanya dikhianati? Sakit sekali, sangat sakit.Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Meski di luar sana sudah terang, tapi jam segini dia belum bangun, aku sudah membangunkannya tiap subuh, namun hanya makian yang kudapat. Ah, ternyata perjuangan menjadi istrimu terlalu berat. Melebihi beratnya rindu Dilan pada kekasihnya.Setelah menyuapi anakku sarapan, aku kembali melakukan aktivitasku sebagai ibu rumah t
"Dari mana saja mas, jam segini baru pulang?" tanyaku saat membukakan pintu untuknya. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia berangkat dari tadi siang, kemana saja dia? Tak berpikirkah kalau istrinya khawatir?"Bukan urusanmu," jawabnya ketus."Oh kalau bukan urusanku, harusnya gak usah pulang sekalian!” sahutku lagi. Aku benar-benar kesal dengan sikap Mas Rendy yang seenaknya sendiri."Lho kok gitu? Menyesal aku pulang!""Kamu pergi sampai gak inget anak istri nungguin di rumah, yang khawatir nungguin kamu!”"Di rumah juga mau ngapain? liat mukamu yang jelek itu?"Deg! Ya Allah, segitu tak berharganya kah aku di matanya? Baiklah, aku takkan terpuruk lagi. Berpisah? Belum saatnya. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Lihat saja nanti. Akan kuatur waktu yang tepat untuk menggugat cerai. Kau pikir aku hanya ist
Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar nyaring, diiringi suara salam dari luar."Assalamualaikum ...""Waalaikum salam ..."Aku bergegas membuka pintu. Aku takjub ternyata yang datang adalah ibu mertuaku."Bu ..." sapaku sembari menyalaminya, mencium punggung tangannya dengan takdzim."Kamu sehat, Nak?" tanya ibu mertuaku dengan lembut."Alhamdulillah sehat. Mari masuk, Bu.”"Iya, Nak," jawab ibu sambil tersenyum.Ibu memasuki rumah. Sofia berlari menyambut neneknya dan mereka saling berpelukan. Begitu dekat keduanya karena ibu mertuaku sangat menyayangi Sofia. Kalian bisa lihat bukan? Ibu mertuaku sangat baik terhadap kami, tapi tidak dengan anaknya."Lho kamu gak kerja, Nak?" tanya ibu saat melihat mas Rendy malas-malasan di depan tv.Mas Rendy terlonjak
Keesokan harinya...Pagi-pagi sekali mas Rendy sudah bangun, mandi dan diapun berpakaian sangat rapi."Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku penasaran."Ngelamar kerja.""Ooh""Mas gak mungkin nganggur terus kayak gini. Di rumah juga pusing, kamu ngomel-ngomel terus," ucap mas Rendy.Dia memakai sepatu pantofelnya, lalu menyisir rambutnya. Penampilannya terlihat begitu necis, bukan seperti untuk melamar kerja tapi lebih tepatnya seperti orang yang mau berkencan. Aroma parfum menguar dari tubuhnya. Ganteng, iya memang ganteng. Tapi lebih ganteng aktor idolaku."Dek, mas pinjam uangmu dulu, nanti kalau mas dapat kerja, terus gajian langsung dibalikin," katanya lagi. Aku menoleh kearahnya. Benarkah laki-laki ini sama sekali gak punya uang?"Ayolah dek...""Tapi dengan satu syarat...""Apa itu?""Kalau mas sudah diterima kerja. Semua gaji mas, aku yang pegang.""Tapi itu terlalu berat, Dek ..."
Aku tak habis pikir dengan istriku, setelah aku di PHK sepertinya dia santai-santai saja. Seperti tak ada beban yang dirasakannya. Berbeda denganku, aku sangat stress dibuatnya. Ah sialnya, aku tak punya pegangan uang sedikitpun karena aku sudah memberikan sebagian besar gajiku pada Santi, wanita yang sangat kucintai. Dia sangat cantik, dia bisa memuaskanku seperti yang kuinginkan. Berbeda dengan Winda yang makin kesini penampilannya makin tak karuan. Kucel, wajahnya pun jadi kusam. Padahal dulu sebelum dia menikah denganku, wajahnya begitu ayu. Sampai-sampai aku harus bersaing dengan beberapa lelaki yang juga ingin meminangnya. Ah, menyesal juga aku sudah menikahi Winda.Itu yang membuatku marah-marah terus pada Winda, dia tak bisa menjaga penampilannya. Ya, dia memang sibuk mengurus anak serta pekerjaan rumah tangga dan juga jualan onlinenya, sampai-sampai dia lupa kalau diapun wajib merawat dirinya sendiri. Aku jadi bosan melihatnya. Untung saja ada Santi. Santi wanita yan
Semenjak kejadian tadi sore, aku mendiamkan suamiku. Tak kupedulikan apa yang dilakukannya. Hatiku terlalu sakit. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Sepertinya ini bukan lagi rumahku, rumah yang diberikan oleh orang tua Mas Rendy sebagai hadiah pernikahan kami, kini tak memberikan rasa nyaman lagi terhadapku. Aku ingin pergi dari sini, tapi mau kemana? Aku tak punya sanak saudara. Mereka semua jauh, beda provinsi.Aku tergugu di dalam kamar anakku. Menangisi nasibku sendiri yang begitu pedih."Ibu, ibu kenapa?" tanya Sofia begitu polos.Aku segera memeluk tubuh mungilnya. Untung saja tadi saat Mas Rendy berlaku kasar padaku, Sofia tak melihatnya. Dia tengah asyik bermainan di kamar."Nak, bagaimana kalau kita pergi dari rumah ini?" tanyaku pada si kecil."Memangnya mau kemana, Bu?" tanya gadis kecil itu dengan polos."Kemana saja, kamu mau kan ikut ibu, Nak?"Sofia mengangguk, gadis kecil itu mengusap lembut butiran bening yang m
Di kediaman Pak Darmawan.Ibu termenung sendiri di teras rumahnya, sembari menikmati semilir angin yang berhembus."Ada apa, Bu? Apa yang ibu pikirkan?" tanya Pak Darmawan, ayah Rendy."Sepertinya ibu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, kemudian duduk disamping ibu."Iya, pak. Ibu lagi mikirin Rendy sama Winda, sepertinya mereka sedang ada masalah," jawab ibu sambil menatap suaminya."Ya wajar to bu, setiap rumah tangga pasti ada aja masalahnya. Apalagi mereka baru lima tahun menikah.""Ibu juga paham pak, tapi ibu tak habis pikir....""Kenapa bu?""Ibu tak habis pikir kenapa Rendy bisa sampai menampar istrinya itu?""Apaa?""Iya pak, kemarin ibu lihat pipi Winda memerah, terus matanya juga sembab, meskipun dia bilang tidak apa-apa tapi pasti ada masalah serius yang sedang mereka hadapi. Tapi kan tidak seharusnya Rendy bersikap kasar pada istrinya itu.""Iya, kamu benar bu. Tidak seharusnya Rendy ber
"Mau lihat kontrakan," jawabku.Tiba-tiba Mas Rendy berlutut lagi di hadapanku. "Tolong jangan pergi, mas mohon dek, maafin mas...""Siapa yang mau pergi?"Deg. Suara seseorang mengagetkan kami. Kami semua menoleh, bapak dan ibu mertuaku sudah berdiri tak jauh dari kami."Ada apa ini?" Ibu kembali menegaskan pertanyaannya.Mas Rendy bangkit dan berdiri di sampingku. Kami menyalami mereka dengan takdzim."Mari masuk dulu, pak, bu," ajakku. Berpura-pura untuk tak terjadi apa-apa rasanya cukup sulit.Mereka masuk dan duduk di sofa, begitu pula denganku dan Mas Rendy. Sedangkan Sofia bergelayut manja di pangkuan neneknya."Sofia, Sofia masuk dulu ke kamar ya, nenek sama kakek mau bicara sama ayah dan ibu kamu, nanti kalau sudah selesai nenek akan main sama kamu," ucap ibu mertuaku."Baik, nek," jawabnya dengan polos. Kemudian gadis kecil itupun pergi meninggalkan kami.Suasana cukup tegang, ibu dan bapak memandangi ka