Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.
Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.
Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi sifat Badrul.
Beralasan lelah dan harus kembali esok hari ke kota Padang berhasil membuat Nina terlepas dari kegiatan malam ini yang tak kunjung selesai. Setidaknya dengan segera tidur bisa membuat gadis itu melupakan masalah sejenak, dan berharap esok hari sudah kembali ceria. Namun, harapan hanya sebatas angan, di pagi harinya, setelah Nina selesai memasak dan berniat untuk sarapan pagi, pertanyaan tentang perjodohan dengan Badrul kembali memburu.
"Jadi gimana Nin? Kamu mau kan memaafkan Badrul? Maklumi saja karena dia terbiasa dimanja oleh orang tuanya, makanya kelakuan anak itu sedikit seenaknya saja," desak Wati kepada Nina.
Nina meletakkan sendok nasi gorengnya dengan punuh emosi. Gadis itu tidak bisa menahan amarah di dalam dirinya lagi.
"Mak! Bagi Nina menikah itu bukan hanya sekedar memiliki suami, menerima nafkah darinya, melayaninya, dan menjawab pertanyaan dari tetangga!" bentak Nina tanpa kendali membuat Dahnunir dan Wati terkejut, sebab selama ini anak gadis mereka tidak pernah berbicara dengan nada tinggi.
Dahnunir memahami perasaan Nina, pada dasarnya laki-laki paruh baya itu juga sangat kesal atas tindakan Badrul kemarin. Sama sekali tidak mencerminkan imam yang baik bagi Nina. Namun, berbeda dengan Lastri, perempuan itu ikut terpancing emosi melihat anaknya membentak.
"Nina! Sejak kapan kau bisa membentak orang tua seperti itu? Apa ini yang kau dapatkan selama kuliah di Padang? Kalau tau begini lebih baik kau tidak usah kuliah!" umpat wati. Perempuan paruh baya itu segera dengan tangan menggantung kokoh di kedua pinggang. Dadanya terlihat naik turun setelah melepas emosi yang selama ini tertahan.
Nina menatap Amaknya dengan mata berkaca-kaca. Belum pernah dia melihat Wati semarah ini, padahal maksudnya tadi bukanlah melawan atau membentak. Hanya saja gadis itu ingin dipahami saja.
"Mak, Nina ndak mau hidup dengan laki-laki yang tidak bisa menghargai perempuan seperti Dia. Apakah Amak rela melihat sisa hidup Nina tersiksa dengan laki-laki seperti dia? Coba pikirkan bagaimana hidup Nina kedepannya jika menikah dengan Dia Mak," lirih Nina, air matanya jatuh perlahan.
Wati yang tadinya dipenuhi emosi langsung terdiam setelah mendengar ucapan anak gadisnya. Separuh hatinya membenarkan perkataan Nina, separuh lagi merasa gengsi untuk mengakui bahwa yang dia tekankan kepada anaknya memang salah.
"Terserah kau Nina! Amak sudah lelah dengan keras kepala kau!" ucap Wati lalu pergi ke belakang meninggalkan Nina dan suaminya.
Nina menghela napas berat, air matanya masih bercucuran tanpa henti. Hatinya terasa sesak, pikirannya semakin kacau.
"Nak ...." panggil Dahnunir lembut, tangannya merangkul Nina erat membuat gadis itu menangis sejadi-jadinya di pelukan Dahnunir.
---
Angin sore berhembus lebih cepat dari biasanya, kerudung persegi bewarna hitam milik Nina ikut diterbangkan. Mata gadis itu menatap kosong aliran sungai di depannya, kemudian hembusan napas panjang dan berat kembali keluar dari mulutnya. Rencana ke Padang hari ini dibatalkan Nina karena dia tidak ingin pergi meninggalkan masalah yang belum selesai, apalagi dengan Amaknya. Hidup gadis itu tidak akan tenang jika masih ada masalah yang tergantung, bisa-bisa kuliahnya di dua semester terakhir ini berantakan karena restu dari Amak yang sudah susah didapat semakin diperparah dengan masalah yang saat ini dihadapi.
"Kayanya semakin stres nih, dua hari lagi mungkin sudah jadi gila ya?"
Gurauan dari Zul berhasil membuyarkan lamunan Nina. Gadis itu tidak menyangka bahwa temannya akan datang ke tepian sungai tempat biasanya dia menenangkan diri ketika ada masalah.
"Apa sih Zul, ndak lucu ah! Hatiku benar-benar kacau sekarang, becandamu tidak dibutuhkan sama sekali," kesal Nina, pipinya mengembang, sedangkan bibirnya cemberut.
Di dalam hatinya, Zul gemas melihat tingkah Nina seperti saat ini. Hasrat untuk mencubit pipi gadis di sebelahnya sangat tinggi, tetapi dia sadar kalau mereka bukanlah muhrim dan tidak ada alasan lain juga untuk melakukannya.
"Iya, aku paham Nin dengan masalah kamu saat ini," ucap Zul santai, laki-laki itu ikut duduk di batu sungai yang berada di sebelah kanan Nina.
Nina mengernyitkan dahinya. "Tau dari mana?"
"Dari Ayahmu, makanya aku bisa tau kamu di sini," jawab Zul tanpa beban.
Nina mengangguk paham, karena memang sudah dari dulu ketika dirinya dimarahi Amak, dan Zul tahu kabar tersebut, pasti akan mendatanginya di sungai kecil ini. Pertemanan dan kedekatan mereka berdua tidak diragukan lagi, seisi kampung pun tidak akan curiga dengan mereka berdua, malahan beberapa orang memprediksi mereka akan berjodoh nantinya. Namun, isu-isu tersebut tidak diambil pusing oleh Zul dan Nina.
"Nin," panggil Zul membuat Nina menoleh ke arahnya.
"Hmm?" respon Nina tidak bersemangat.
"Bagaimana kalau kita menikah saja?" tawar Zul terdengar enteng, tetapi hatinya berdebar sangat kencang dan kepalan tangan yang dia buat berhasil meredam rasa gugup yang sedari tadi dia lawan, ketika berjalan menuju sungai ini.
Nina tidak langsung merespon, hatinya juga berdebar kencang saat ini. Hembusan angin, suara aliran sungai menjadi saksi suasana canggung sekaligus menegangkan bagi dua isan itu.
"Hah?" respon Nina kemudian, matanya membulat menatap Zul yang juga menatapnya.
"Aku setuju dengan katamu kemarin. Sepertinya perempuan seperti kamu yang harusnya aku nikahi. Perempuan yang tidak berlebihan, tahu apa yang dia tuju, bersemangat dan mengerti bahwa setiap orang memiliki karakternya masing-masing," jelas Zul membuat Nina semakin terdiam.
"Dan, aku sudah mengenal kamu dari kecil, tidak masalah jika menghabiskan sisa hidup bersama kamu, Nina," lanjut Zul tegas.
Degupan jantung Nina semakin kencang, jika saja diibaratkan kembang api, mungkin saat ini sudah bermekar indah di langit. "Zul, a-aku," ucap Nina terbata.
"Ambil napas dulu Nin, jangan dipaksakan, jadi gagap kan," goda Zul membuat Nina kesal dan memukul lengannya.
"Kamu ini, sudah serius malah dibawa becanda!" rajuk Nina, tetapi yang dilakukan Zul berhasil membuat rasa gugup di hatinya mereda. Perasaan gadis itu sudah lebih tenang dari sebelumnya.
"Ya … karena kalau terlalu serius bukan ciri khas kita," ucap Zul sembari mengusap lengannya yang sakit.
"Zul." Kali ini suara Nina terdengar serius membuat Zul menatapnya juga serius. "Aku sangat bahagia mendengar semua ini dari kamu, tapi … kamu yakin dengan pilihan ini?"
Zul mengangguk tanpa berpikir terlebih dahulu. "Sangat yakin, lagi pula aku kasian karena kamu diteror permintaan menikah terus, membantu teman semasa kecil tidak masalah kan?"
Nina mendengus kesal. "Zul! Pernikahan bukan hal main-main ya!" teriaknya kesal.
"Iya Nina, makanya aku ajak kamu menikah,” jawab Zul enteng.
"Zul! Ah!" gerutu Nina, gadis itu segera berdiri dan mundur dua langkah memberikan jarak antara mereka berdua.
"Ka-kalau begitu kamu tahu kan, harus bagaimana selanjutnya?" tanya Nina gugup, gadis itu tidak memandang ke dalam bola mata Zul lagi. Dia merasa malu.
"Iya, besok aku akan menemui Ayah dan Amakmu untuk memberi tahu niat baik ini, sehingga mereka dan Mamak bisa bersiap untuk melakukan proses lamaran sekaligus batuka tando (bertunangan)" ucap Zul perlahan.
Nina tersenyum lembut begitu pun Zul. "Aku juga akan memberi tahu Ayah dan Amak nanti, sebagai tanda persetujuan untuk keputusan penting ini. Hmm ... yasudah, sebaiknya aku segera pulang, nanti terjadi hal yang tidak-tidak, mumpung setan belum muncul," ucap Nina, kemudian berbalik meninggalkan Zul dengan tergesa.
Zul yang ditinggalkan hanya senyum-senyum sembari menggelengkan kepala melihat tingkah laku Nina. Setelah dia memastikan punggung Nina sudah tidak terlihat, raut wajahnya tiba-tiba berubah seperti seseorang yang baru saja lega setelah mengalami hal menegangkan. Tangan laki-laki itu terlihat mengusap dada dengan cepat, matanya terpejam.
"Alhamdulillah, terimakasih Ya Rabb atas kelancaran niatku sejak SMA dulu," ucap Zul perlahan.
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan