Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang.
Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini.
Tenda dan pelaminan bernuansa adat Minang sudah berdiri kokoh di halaman rumah gadang. Menu makanan yang sudah dibuat di acara maracik-racik kemarin telah terhidang di atas meja prasmanan. Meja bundar yang dikelilingi kursi plastik beralas kain putih sebagai tempat untuk tamu undangan menyantap makanan juga terlihat rapi di dalam tenda. Para penanti tamu di depan pintu masuk tenda sudah bersiap menunggu tamu undangan yang akan datang, tak lupa tempat amplop seperti gonjong rumah gadang telah berdiri kokoh di sebelah meja buku tamu.
Susana di dalam rumah gadang pun tak jauh berbeda. Sudah terhampar kain putih di sepanjang ruang tengah dengan tatanan kue serta lauk-pauk khas Minang di atasnya. Hidangan tersebut diperuntukkan untuk tamu undangan khusus dari keluarga mempelai laki-laki yang akan tiba setelah proses penjemputan dari pihak mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki.
Nina yang terlihat lebih ayu dari biasanya, sekarang sudah berada di ambang pintu kamar ujung rumah gadang, tempat Rinda baru selesai berhias dan sebagai kamar pengantin hari ini. Gadis Minang dengan sejuta mimpi itu berjalan menuju adik sepupunya. Senyum mereka bertemu dipantulan cermin meja rias.
“Uni ....” rengek Rinda kepada Nina yang sudah memeluk pundaknya. Matanya berair, tetapi enggan untuk meluapkan karena riasannya akan berantakan jika menangis.
“Eh eh, masa anak daro menangis di hari bahagianya,” ujar Nina sembari tersenyum hangat kepada perempuan yang berusia dua tahun di bawahnya.
Perempuan yang dipanggil anak daro itu berusaha menggeleng meski suntiang di atas kepalanya terasa sangat berat. Matanya masih berair, sekarang bibirnya cemberut. “Tapi Rinda malangkahi (melangkahi) Uni ... maaf Uni,” rengeknya lagi.
Tangan kecil nan padat milik Nina segera menyambar tisu di atas meja rias. “Ndak ada yang perlu dimaafkan Rinda, jodoh, maut tidak ada yang tahu. Berarti takdir Allah menyuruh Rinda menikah dahulu, lagian Uni masih kuliah. Jadi jangan sedih lagi, ya?” bujuk Nina sembari memberikan tisu kepada adik sepupunya. Anak gadis yang sudah menjadi istri orang itu pun mengangguk, mengiyakan perkataan Uninya. Tangannya yang sudah dihiasi inai perlahan mengusap air di kelopak mata dengan hati-hati.
---
Matahari sudah sedikit condong dari puncak langit ke arah barat. Nina baru saja menyelesaikan sholat dzuhur di kamarnya. Kasur sangat menggoda perempuan itu untuk beristirahat memanjakan badannya yang masih letih, sebab setelah pulang kemarin dia hanya tidur selama empat jam, setelah itu dia harus sholat tahajud dan subuh, serta membantu keluarga di rumah bersiap untuk pesta hari ini. Mungkin sepuluh menit cukup bagi Nina untuk merebah. Namun, baru saja akan melangkah menuju kasur ,Wati sudah terlebih dahulu menengoki anak gadisnya ke kamar.
“Nina?” panggil Wati pelan. Sedikit terkejut, langkah kaki Nina langsung terhenti di tepian kasur.
“Iya Amak?” sahut Nina. Badannya segera berbalik menghadap Wati.
Wati berjalan pelan menuju anaknya, matanya menatap dalam mata Nina. “Kamu ndak lupa kan? Mau berkenalan dengan Badrul?” Pertanyaan dari Wati berhasil membuat tubuh Nina semakin letih. Usahanya menyibukkan diri menyambut dan mengajak tamu yang dikenal untuk berbicara sedari tadi agar bisa mengelak dari permintaan amaknya semalam, akhirnya sia-sia.
Nina menghela napas pasrah. Sorot matanya murung dan sangat terlihat jelas oleh Wati. “Iya Mak, nanti Nina ajak bicara dia, tapi cocok tidaknya biar Nina yang tentukan,” pintanya tegas.
Anak gadis itu segera berdiri, mengambil kerundung yang dia letakkan di sandaran kursi belajar. “Ayo Mak! Tamu undangan semakin rami (ramai),” ajak Nina kepada Amaknya, tak ingin pembicaraan ini semakin panjang.
Seperti janjinya kepada Wati, gadis berbaju merah muda dengan bawahan rok songket itu sedang berjalan menuju bujang-bujang kampung (pemuda kampung) yang tengah duduk di kursi depan meja tamu. Matanya menangkap para pemuda tersebut sedang mengenakan baju putih yang dipadukan dengan celana batik. Bukannya menuju Badrul, kaki Nina malah melangkah menuju sahabat kecilnya, Zul. Mereka terseyum dari kejauhan karena Zul juga menyadari kedatangan Nina sedari tadi.
“Hmm ... tumben rancak (cantik),” goda Zul membuat gadis itu memukul bahunya cukup keras.
“Aduh,” ringis yang dipukul, membuat wajah Nina panik dan beberapa pemuda lainnya melihat ke arah mereka, termasuk Badrul.
“Owalah ... jadi Nak Gadih yang babeda surang sudah jadi gadis rancak yo,” sahut Badrul dari ujung membuat Nina dan Zul menghentikan candaan mereka. [Owalah, jadi gadis aneh sudah menjadi gadis cantik ya]
“Assalamu’alaikum Uda,” ucap Nina menyauti Badrul yang berjalan ke arahnya. Zul yang tengah duduk menatap teman perempuannya heran, tidak biasanya dia lunak kepada laki-laki yang tak begitu dia kenal.
Badrul tak menjawab salam Nina, dia berhenti di depan gadis tersebut sembari memperhatikan. “Masih sibuk kuliah kau Nina?” Pertanyaan dari laki-laki berwajah bringas ini hanya dijawab anggukan oleh Nina.
“Berarti masih lama awak menunggu, keburu anak gadis lain pula yang melamar awak nanti,” ucap Badrul angkuh, tatapan matanya memandang rendah gadis di hadapannya.
“Maksud Uda?” Dahi Nina mengernyit, berusaha memastikan maksud ucapan yang baru saja dilontarkan Badrul.
“Sama taulah awak, kalau hanya aku yang mau berkenalan dengan kau, kalau tidak ... sudah jadi perawan tua kau Nina. Jadi, hentikan kuliahmu itu, menikah dengan awak tak perlu repot jadi guru, cukup pandai ka dapua,” papar Badrul dengan angkuh.
Nina mengepalkan tangan kirinya, hatinya benar-benar terluka sekaligus marah dengan ucapan Badrul. Air matanya menggantung di kelopak mata, berusaha menahan emosi. Tangan kanannya tak terkendali melayang ke pipi kiri Badrul dengan sangat cepat.
Plak!
Semua orang di dekat meja tamu terdiam melihat kejadian tersebut. Mata Badrul melotot berang, kepalan tinju di tangan kananya tanpa basa-basi melayang ke arah wajah Nina. “Dasar permpuan tak tau untung!”
Beberapa gadis penanti tamu terpekik membayangkan apa yang akan terjadi kepada Nina. Namun, tangan kokoh milik Zul berhasil menangkis pukulan tersebut, tepat sebelum mengenai pipi Nina. Gadis yang baru selamat dari pukulan itu tidak bergerak sedikit pun, matanya masih manatap tajam laki-laki yang sudah menghina harga dirinya di depan banyak orang, di acara spesial adik sepupu yang disayanginya pula.
“Jaga sikapmu Badrul, kau laki-laki Minang, tak seharusnya kasar kepada perempuan,” ucap Zul tegas, membuat pandangan setiap orang di sana menatap Badrul dengan tatapan jijik. Laki-laki yang tinjunya masih ditahan itu terlihat sedikit risih dengan tatapan yang dia dapat.
Badrul melepas tangannya dengan paksa.”Untung belum aku iyakan tawaran Amak kau!” teriaknya kemudian melangkah pergi meninggalkan tenda pesta.
Semua orang menatap Nina kasihan, tak seorang pun yang berani menegur ataupun berusaha merangkulnya saat ini. Kakinya masih membatu selama beberapa detik, matanya terpejam dan setetes air mata turun membasahi pipinya. Dia tak menyangka begitu terhinanya dirinya, belum lagi pernyataan Badrul yang mengatakan bahwa Amak lah yang memaksa laki-laki tersebut untuk mau berkenalan dengannya hari ini. Apakah mengejar mimpi dan telat menikah dari usia standar di kampung adalah aib bagi Amaknya? Tidak ingin merusak acara dan menjadi pusat perhatian, akhirnya Nina memilih pergi meninggalkan setiap mata yang menatapnya kasihan, meski ada satu mata yang terlihat lebih berang melihat gadis ini dihina di dapan banyak orang. Ya, Zulfikar sangat marah saat ini, tetapi masih mampu dia tahan.
Nina masih termenung menatap hamparan sawah di belakang rumahnya. Memang sedikit berjarak dari lokasi pesta, dan hal itu yang diharapkannya saat ini. Kini dia sedang duduk di tepian bandar, tempat air untuk perairan sawah mengalir. Kakinya dicelupkan ke dalam air jernih yang mengalir tanpa hambatan, sengaja dibiarkan basah agar kesejukan air itu bisa membuatnya lebih tenang. Di sisi kanannya sudah ada Zul yang sedang bersila. Mereka tidak bicara semenjak lima menit yang lalu.
“Zul?” panggil Nina pelan, matanya tetap memandang hamparan sawah di depannya.
“Iya?” sahut yang dipanggil. Laki-laki di sebelahnya masih betah menatap Nina sedari tadi.
“Memangnya salah ya kalau perempuan mengejar impian mereka? Dua puluh tahun kan belum terlalu tua Zul, kenapa orang-orang menganggapku sudah perawan tua ya?” papar Nina dengan suara yang lemah. Meski tidak mengeluarkan air mata, tetapi Zul tahu temannya ini sedang menangis, bahkan meronta-ronta di dalam dirinya. Hanya saja dia malu memperlihatkan kepada Zul saat ini.
“Tidak ada yang salah, mereka saja yang pahamnya berbeda. Kamu berpaham lebih luas, menganggap bahwa hidup tak hanya sebatas adat di kampung saja, sedangkan mereka tidak mau melihat luas seperti kamu. Sebagian Manusia memang begitu Nin, mereka sering tidak siap dengan perubahan dan mengucilkan jika ada yang berbeda pendapat dengan mereka,” jawab Zul pelan. Laki-laki satu ini selalu memiliki jawaban yang tidak menyudutkan salah satu pihak, itulah nilai lebih darinya bagi Nina dan mungkin karena itu juga Nina betah berkawan dengannya.
Nina sekarang menatap Zul perlahan, yang ditatap segera mengalihkan pandangan ke arah aliran air di depannya. Gadis itu masih menatap dan mengambil napas dalam. “Mungkin laki-laki seperti kau yang harus kunikahi Zul,” ucap Nina pelan. Tatapan matanya sangat tulus, sampai-sampai dia tidak sadar makna besar dari ucapannya bagi Zul.
Mungkin tidak terlihat, tetapi tangan laki-laki idaman gadis kampung ini sudah mengepal, berusaha menahan getar di dada setelah mendengar ucapan dari teman masa kecilnya. Meski berat, tetapi dia menoleh perlahan ke arah Nina yang masih menatapnya. Kedua tatapan itu beradu tanpa ada penghalang di antaranya. Hanya suara air yang mengalir, dedaunan dari batang padi yang bergesek akibat angin yang berhembus di pukul setengah tiga sore. Sepuluh detik mereka saling menatap sampai akhirnya mereka paham dengan situasi canggung yang sedang terjadi.
Mereka sama-sama membuang tatapan ke arah hamparan sawah. Rasa gugup menghampiri kedua Insan tersebut. Nina memilih pamit dahulu, beralasan harus segara kembali ke tempat acara hari ini, takutnya para dunsanak (kerabat) mengkhawatirkannya setelah kejadian yang cukup menegangkan tadi. Sedangkan Zul memilih tetap di tempatnya, berusaha menenangkan diri yang dikuasai oleh perasaan berdebar yang dulunya belum pernah dirasa berlebihan selama berada bersama Nina.
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan