Share

Perempuan Tanah Adat
Perempuan Tanah Adat
Penulis: Zuinal 'Aini

Namanya Nina

Penulis: Zuinal 'Aini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

(1 Juni 1976)

“Bu! Bu Bidan!” 

Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. 

“Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan yang diterbangkan oleh angin. 

“Waalaikumsalam.” 

Akhirnya suara Bu Bidan terdengar juga. Lampu ruang depan yang tadinya gelap, sekarang sudah terang. Suara kunci rumah yang terbuka pun membuat Lastri tak sabar.

“Bu Bidan ... Uni Wati mau lahiran, dia sudah kontraksi sejak setengah jam yang lalu. Tolong Bu Bidan!” papar Lastri terburu-buru, dia tidak ingin mengulur waktu, takutnya terjadi hal-hal buruk terhadap Uni (Kakak perempuan) dan calon keponakannya. Tanpa menunda waktu, Lastri dan Bu Bidan segera berjalan cepat menerpa hujan yang semakin lebat. Kilat sudah tidak ada lagi, tetapi suara gemuruh masih saja bersautan di ujung langit.

“Ayo Wati! Tarik napas lagi ... satu ... dua ... tiga.” 

Instruksi dari Bidan diikuti Wati beriringan dengan rasa sakit yang sedang dia tanggung. Tangan kirinya mencengkram erat tepian dipan tempat dia bersalin, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat tangan Dahnunir, suaminya yang juga terlihat mengikuti intruksi Bu Bidan. Setelah perjuangan yang cukup lama, akhirnya suara bayi perempuan berhasil mengalahkan gemuruh yang masih bersenandung malam itu.

Dahnunir segera meraih bayi perempuannya dari tangan Bidan. Iqomah berkumandang sangat indah di rungan persegi berdinding papan, tempat Wati mempertaruhkan nyawanya selama proses bersalin tadi. Tangisan lantang dari bayi kecil yang diberi nama Nina itu mampu menenangkan perempuan berumur dua puluh satu tahun yang masih terkulai lemas di atas dipan. Air matanya masih saja mengalir membasahi pipi sedari tadi, rasa sakit yang dia terima selama proses persalinan tadi lenyap seketika. Rasa bahagia sangat tergambar dari sorot matanya yang masih terlihat lemah. Senyum paling indah dia hadiahkan kepada dirinya karena sudah menjadi ibu ketika melihat makhluk munyil yang sedang diiqomahkan itu bergelinjat di tangan Dahnunir.

---

“Nina! Turun! Ya Allah Nak ... kau gadih, jan mode laki-laki parangai Nak.” [Kamu anak gadis, jangan bertingkah laku seperti laki-laki] Suara lantang dari Wati di sore hari dekat surau tempat suaminya mengajar mengaji bukanlah hal langka bagi masyarakat sekitar, termasuk Nina yang sudah berusia sepuluh tahun.

Nina tersenyum dari atas pohon jambu biji, menatap Amaknya yang membawa kayu rotan. Cengiran dari bibir tebal milik gadis tomboy itu berhasil membuat hati Wati samakin kesal. 

“Kalau Nina turun, janji dulu jan dilacuik (jangan dipukul),” memelas Nina dengan wajah pucat bercampur cemas. Dia hapal betul, kalau Amaknya sedang marah sambil membawa rotan berarti ada jatah biru di tangan atau kakinya saat itu juga.

Perempuan berumur tiga puluh satu tahun itu menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti kenapa anak gadisnya seperti ini, keras kepala, terlalu bersemangat dengan pikiran-pikirannya, seperti ingin jago silat sehebat Ayahnya yang juga seorang guru silat, ingin merantau ketika sudah lulus sekolah nanti, dan satu dari banyak mimpinya adalah menjadi guru, menjadi seperti Kartini yang hebat dalam membagi ilmu yang ada padanya kepada lingkungan. Mimpi Nina yang seperti itu terlalu bertolak belakang dengan kodratnya sebagai perempuan. Belum lagi dengan prinsip Amaknya yang kental akan adat istiadat. Wati lebih ingin anak perempuannya lebih lemah lembut dan kalem, belajar mengaji sambil belajar memasak dan mengikuti acara-acara adat yang sering diadakan di jorong tempat dia tinggal.

“Nina ... turun Nak,” pinta Dahnunir pelan. 

Suara hangat Ayahnya mampu membuat wajah cemas tadi langsung berubah ceria, senyum lebar dari bibir Nina memperlihatkan kecantikan alami khas perempuan Minang, turunan Amaknya. Mata gadis itu sayu, tetapi iris mata khas bewarna hitam selalu terlihat tajam. Hidungnya tidak terlalu mancung dan tidak terlalu pesek, cukup membantu Nina kecil agar terelak dari ejekan anak-anak kampung yang sering mengejek hidung pesek bagi pemilik hidung pesek di sana. Alis hitam tegas turunan Ayahnya memperkuat tatapan mata Nina dan rambut hitam pekat lurus serta warna kulit sawo matang membuatnya terlihat akan menjadi salah satu primadona kampung nantinya. Namun, karena sifatnya yang terlalu berani membuat harapan Wati buyar. Teguran para tetangga semenjak Nina kecil untuk mengubah sikap anak semata wayangnya itu semakin membuat Wati tertekan. Bisa-bisa tidak ada Anak Bujang (Laki-laki yang belum menikah) mau menikahinya nanti, begitu bisik tetangga kepadanya.

--- 

“Amak! Ayah! Nina lulus!” Teriakan itu menggema hebat ke seluruh ruangan di rumah gadang ini, mulai dari ruang depan menjalar ke ruang tengah, ruang kamar bahkan dapur yang terletak di belakang rumah.

Wati dan Dahnunir yang tengah bercakap di ruang tengah sembari mendengar lagu dari radio sore itu, ikut tergelenjak ketika deru kaki Nina yang sedang berlari menuju mereka mampu membuat rumah berbahan kayu ini bergetar. Nina yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas beberapa bulan lalu, akhirnya mendapatkan informasi bahwa dia lulus seleksi masuk kuliah jalur PMDK dari surat kabar yang diterimanya hari itu. Sesuai harapan, dia lulus di IKIP Padang (UNP saat ini) dengan jurusan D2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar. 

Dahnunir memandangi anak gadis semata wayangnya penuh bangga. “Alhamdulillah Nak, Ayah bangga sama kamu.” 

Nina mengangguk, menyetujui pernyataan dari Ayahnya. Senyum penuh semangat khas miliknya terbentang dengan sorot mata yang berbinar. Namun, senyum dan sorot mata itu sedikit pudar ketika Nina mendapati Amaknya yang tidak terlalu menyukai kabar baik tersebut.

“Amak? (Ibu?)” panggil Nina pelan.

Sebenarnya suara gadis itu sedikit bergetar menahan tangis melihat ekspresi Wati. Gadis berambut sebahu itu tahu betul bahwa Amaknya masih menentang keras dirinya untuk kuliah dan menjadi guru.

Wati beralih menatap anak gadisnya yang ikut murung melihatnya. “Kamu yakin, Nina? Mau kuliah?” tanya Wati, suaranya lemah mengisyaratkan bahwa dia berharap anak gadisnya mau berubah pikiran.

Mata hitam milik Nina menatap lekat-lekat Amaknya. Sekarang dia sudah berjongkok sembari menggenggam hangat tangan Wati yang mulai keriput. Kepalanya mengangguk pasti. Sorot matanya kembali berbinar. 

“Nina yakin Mak. Amak percaya sama Nina ya? Setelah kuliah ini selesai, Nina akan menikah kok. Sekarang Nina masih sembilan belas tahun, terlalu muda untuk menikah,” papar Nina meyakinkan perempuan paruh baya yang masih terlihat gusar.

“Tapi Nak—“

“Benar kata Nina, Wati.” Kali ini Dahnunir yang angkat bicara. Tatapan hangat dari laki-laki yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun pernikahan, berhasil membuatnya sedikit lebih tenang.

“Anak gadis kita masih terlalu muda untuk dinikahkan, biarlah dia mencari ilmu sebagai bekal untuk menjadi istri dan ibu yang baik nantinya,” jelas Dahnunir. Tangannya yang lebar mengusap lembut pundak istrinya. 

Wati akhirnya mengalah. Pertahanannya kembali runtuh setelah beberapa kali dibujuk suaminya untuk menuruti keinginan Nina. Mulai dari belajar silat, ikut Ayahnya menjadi guru mengaji, ikut seleksi masuk perguruan tinggi, dan sekarang harus mengikhlaskan anaknya merantau ke Padang untuk kuliah, dan akan semakin jauh darinya. Meski berat hati dan harus menebalkan telinga dari omongan tetangga, Wati merasa masih bisa mengubah anak gadisnya menjadi sedikit lebih kemayu, dan selama Nina kuliah, perempuan itu berencana mulai mencarikan jodoh. Berharap Nina bisa merubah pikiran, setidaknya menikah saat masih kuliah bukanlah masalah.

--- 

Bab terkait

  • Perempuan Tanah Adat   Perpisahan di Ujung Senja

    “Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin

  • Perempuan Tanah Adat   Adat yang Menyiksa Telinga

    (Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak

  • Perempuan Tanah Adat   Keributan di Alek Gadang

    Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be

  • Perempuan Tanah Adat   Tawaran Tak Terduga

    Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi

  • Perempuan Tanah Adat   Percakapan Selepas Isya

    Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da

  • Perempuan Tanah Adat   Batuka Tando di Duo Gonjong

    “Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn

Bab terbaru

  • Perempuan Tanah Adat   Batuka Tando di Duo Gonjong

    “Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn

  • Perempuan Tanah Adat   Percakapan Selepas Isya

    Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da

  • Perempuan Tanah Adat   Tawaran Tak Terduga

    Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi

  • Perempuan Tanah Adat   Keributan di Alek Gadang

    Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be

  • Perempuan Tanah Adat   Adat yang Menyiksa Telinga

    (Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak

  • Perempuan Tanah Adat   Perpisahan di Ujung Senja

    “Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin

  • Perempuan Tanah Adat   Namanya Nina

    (1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan

DMCA.com Protection Status