(Padang Rukam, 1996)
Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda.
Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-laki, sekarang sedang berjalan menuju dapua untuk berbincang dan membantu kegiatan di sana.
Kalau yang namanya berkumpul dan acara adat, apalagi ibu-ibu sudah bisa dipastikan agenda bagunjiang tidak akan terlewatkan. Mulai dari membicarakan anak Si Anu yang akan menikah bulan depan, anak Si Anu yang masih saja menjadi bujang lapuak (laki-laki matang yang belum menikah) di usia yang sudah menginjak kepala tiga, dan tentu saja membanggakan anak sendiri adalah topik pembicaraan yang selalu ada.
Wati hanya mendengarkan gunjingan tersebut dan sesekali ikut tertawa mendengar sindiran-sindiran yang dilontarkan induak-induak kampuang. Bukan tanpa alasan, Wati sadar bahwa anak gadisnya juga belum menikah, belum lagi dengan pilihan Nina yang memilih kuliah menjadikannya gadis yang aneh karena tidak mengikuti kebiasaan di lingkungannya. Namun, yang namanya gunjing, sekuat apapun untuk bermain aman pasti ada saja mulut orang yang berhasil mengenai kita, termasuk Wati. Padahal dia adalah tuan rumah acara pernikahan ini.
“Wati ... ba a kaba Nina? Indak pulang inyo kini do?” tanya salah satu induak-induak yang tengah mengupas bawang merah. [Wati ... bagaimana kabar Nina? Dia tidak pulang?]
Perempuan yang sudah berkepala empat itu tersenyum menanggapi pertanyaan dari induak-induak tersebut. Dia paham betul dari pertanyaan ini akan menjadi awal dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya sakit kepala. “Alhamdulillah anak gadisku sehat. Dia sedang di dalam perjalanan ke sini, hanya bisa hadir besok, maklum kuliahnya sedang sibuk,” jawab Wati sangat berhati-hati. Raut wajahnya dipaksa tenang meski batinnya sangat resah.
“Ondeh ... lai aman tuh anak gadih di rantau surang?” sahut induak-induak lain yang juga sedang mengupas bawang. [Ya ampun ... apakah aman anak gadis hanya sendiri di rantau?]
“Insyaallah aman, dia kan berniat baik … mencari ilmu,” jawab Wati lagi, emosi di hatinya sudah mulai berkecamuk.
“Tapi Wati ... indak taragak ka baralek gadang? Anak gadih surangnyo, jan dituruikan bana, apolai inyo gadih Minang, harus labiah rajin ka dapua dari pado ka rantau.” [Tapi Wati ... Apa tidak ingin untuk segera mengadakan pesta pernikahan? Anak gadis semata wayang, jangan terlalu dituruti, apalagi dia gadis Minang, harus lebih rajin dan lihai ke dapur dari pada ke rantau]
Akhirnya kalimat yang sedari tadi diwanti-wanti oleh Wati terlontar juga dari mulut induak-induak. Hanya senyum simpul yang bisa perempuan itu berikan sebagai jawaban, dia tidak ingin pembicaraan tentang anak gadisnya berlanjut. Meski di dalam hatinya dia juga membenarkan perkataan tersebut.
---
“Assalamu’alaikum,” ujar Nina di ambang pintu rumahnya. Sekarang sudah pukul dua belas malam dan dia baru saja sampai di rumah. Meski sibuk dengan kuliahnya, gadis yang bercita-cita menjadi guru itu tetap menyempatkan diri untuk hadir di acara-acara adat yang sering diadakan di akhir minggu, karena baginya adat istiadat harus tetap dijaga meski dia juga sibuk mengejar dunia yang kini beranjak modren.
Badannya yang terlihat lebih kurus dibandingkan satu setengah tahun lalu saat baru menjadi mahasiswa, terlihat berjalan lunglai. Perjalanan empat jam setelah kuliah terakhirnya selesai, membuat Nina tidak sempat istirahat sejenak, apalagi makan. Gadis itu hanya membeli pragedel jagung, penekuk, dan sebungkus kerupuk balado di atas bus untuk mengganjal perut yang kosong.
“Waalaikumsalam,” sahut Amak dan Ayahnya Nina. Rumah gadang itu masih terang karena acara maracik-racik baru saja selesai, sehingga Wati dan Dahnunir belum terlelap ke alam tidurnya. Mereka berdua juga bercakap sejenak perihal perkataan ibu-ibu di acara maracik-racik tadi, sembari menunggu Nina datang.
Nina tersenyum menyusul Amak dan Ayahnya ke ruang tengah. Terlihat jelas di matanya bahwa dia sangat kelelahan meski sudah berusaha bersemangat seperti biasa.
“Sudah makan Nak?” tanya Wati, khawatir melihat tubuh Nina yang sudah lebih kurus.
Nina menggeleng, dia meletakkan tas di lantai ruang tengah kemudian bergabung dengan orang tuanya. Anak gadis itu segera bersandar ke bahu Ayahnya yang lebih berdaging dibanding dulu. Biasa, faktor umur membuat tubuh kekar Dahnunir mulai kendor dan lebih berisi.
“Nak, panek bana kuliah yo? Kuruih anak gadih Ayah kini.” [Nak, kuliahnya cape ya? Kurus sekali anak gadis Ayah sekarang]
Ucapan dari Dahnunir hanya dibalas senyuman oleh Nina. Dia tidak mau mengeluh meski kuliahnya sedang sangat sibuk dan melelahkan. Sedikit saja dia mengeluh, bisa-bisa disuruh Amaknya berhenti kuliah, dan segera menikah. Jadi, akan sia-sia perjuangannya dalam mempertahankan dan memperjuangkan mimpi, apalagi harus sabar mendengar celotehan dari Amaknya yang mendesak untuk berkenalan dan bertunangan segera. Nina belum bisa membayangkan akan menjadi istri orang saat ini.
“Makan dulu Nak,” pinta Wati. Tangannya membawa sepiring nasi dengan lauk rendang, ikan nila, serta acar dari acara maracik-racik tadi. Dia bisa memaklumi anaknya lelah malam ini, jika di hari biasa mana boleh anak gadis bermanja-manja sembari menunggu ibunya membawakan nasi.
Nina memperbaiki duduknya dan bersimpuh, sebagaimana perempuan Minang duduk seharusnya. Dia terlihat lahap menyantap makanan tersebut, seperti mendapatkan air di padang pasir yang sangat panas, akhirnya perut kosong miliknya terisi juga dengan makanan yang semestinya.
“Nina? Alangkah baiknya kamu berkenalan dengan Badrul besok, sambil menyelam minum air lah, Nak. Kamu semakin tua, nanti tidak ada yang mau menikah denganmu.”
Seperti muqodimah guru-guru semasa sekolah dulu, ocehan dari Wati bukan lagi hal yang mengejutkan bagi Nina. Tidak tahu waktu, tidak tahu tempat, jika sempat Amaknya pasti mendesak gadis itu untuk menikah. Jika dulunya berhenti kuliah dan lebih baik menikah, sekarang Amak Nina memberikan pilihan menikah sambil kuliah. Ya, satu-satunya pilihan paling adil, tetapi Nina tetap keras kepala, dia takut jika menikah saat kuliah akan membuat fokusnya teralih dari belajar. Lagi pula Nina tidak ingin tergesa-gesa, baginya menikah itu adalah menemukan sosok pendamping hidup yang bersedia menerima dirinya apa adanya, mendukung mimpi-mimpinya, bukan hanya sekedar istri yang lihai ka dapua serta melayani suami saja.
Nina meneguk air putih di sebelah kirinya sebelum menjawab saran dari Wati. “Badrul? Anak Pak Heri yang punya peternakan kambing itu?” tanyanya memastikan.
Wati menangguk, sedangkan Dahnunir hanya pasrah mendengarkan pembicaraan ibu dan anak itu.
“Ih! Ndak mau Nina sama dia Mak, dia kasar dan suka merendahkan orang. Apalagi dia juga sering mengejek Nina dulu,” seru Nina membuat Amaknya sedikit kesal.
“Itu kan dulu Nin, manusia bisa berubah Nak, kamu juga semakin cantik sekarang. Setidaknya kenalan dulu, ya?” tawar Wati kembali. Matanya menatap Nina memelas, dia tahu betul kalau anak gadisnya tidak tahan melihat orang-orang memelas kepadanya. Ada beban tersendiri yang membuat Nina tidak bisa menolak, apalagi sekarang Amaknya sendiri yang begitu.
Nina akhirnya mengangguk dengan wajah yang masam. Dia sempat melihat ke arah Ayahnya untuk meminta bantuan, tetapi hanya kedipan mata pertanda untuk menuruti permintaan Amaknya yang gadis itu dapat.
---
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan