“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”
Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.
Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kuning langsat, berhidung mancung, dan bertubuh kekar itu banyak menolak tawaran untuk bertunangan. Untung saja dia anak laki-laki dan ibunya tidak mendasaknya untuk segera cepat menikah seperti ibu-ibu yang memiliki anak gadis, sehingga nasibnya sedikit lebih tenang dibandingkan dengan nasib Nina.
“Ahmm.”
Deheman dari Ayah Nina yang merupakan guru ngaji utama di surau berhasil membuatnya tergelenjak. Tawa dari anak-anak kecil langsung mengudara melihat ekspresi Nina yang terbilang lawak. Gadis yang akan menjadi mahasiswa itu menyengir ke arah Ayahnya dan berjalan menuju teras surau, duduk memandangi hamparan sawah berwarna hijau muda sembari menunggu teman masa kecilnya selesai mengajar ngaji.
“Assaamu’alaikum.”
Suara lembut dari laki-laki yang sedari tadi Nina tunggu berhasil membuat lamunannya buyar. Seperti kebiasaanya, senyum yang penuh semangat selalu dia lontarkan sebelum menyapa balik orang-orang terdekat, anak kecil dan orang yang lebih tua darinya.
“Waalaikumsalam,” sahut Nina, tangannya menepuk lantai di sebelah kiri, bermaksud menyuruh Zul untuk duduk di sebelahnya. Tentu saja mereka tidak sedang berduaan, banyak anak-anak kecil yang tadinya mengaji sekarang sedang bermain melepas kebosanan mereka. Ayah Nina dan beberapa warga juga ada di dalam surau sedang berunding urusan kampung ataupun meminta nasihat dari permasalah mereka kepada Dahnunir, yang bisa dibilang cadiak pandainya di kampung ini.
Tidak ada percakapan dari dua insan yang masih muda itu. Posisi duduk mereka sama, kaki berselonjor dari ambang teras, tangan mereka menjadi pasak dari badan mereka di lantai teras surau tersebut. Bedanya, Nina mengenakan celan longgar dengan baju kurung selutut, sedangkan Zul mengenakan kain sarung coklat motif kotak-kotak yang tertutup oleh baju koko bewarna putih sebatas pinggul. Peci putih menjadi pelengkap tampilan guru ngaji ala Zul sore itu. Mata mereka sama-sama memandangi hamparan sawah dan sesekali tergelak melihat anak-anak kecil berlarian dan nyaris tercebur ke sawah yang masih basah.
“Jadi, kamu sebentar lagi merantau nih,” sindir Zul, membuka percakapan di pukul lima sore.
Nina mengangguk, dia tersenyum, tetapi berbeda dari senyuman ketika menyambut Zul. Senyum yang ini lebih menggambarkan rasa sedih. “Kamu bakal rindu sama awak (aku) pasti,” seru Nina membuat Zul tergelak.
“Dasar, tak mau mengaku kalau dia yang bakal rindu,” ejek Zul membuat Nina ikut tertawa. Benar-benar tidak ada rasa malu dari gadis ini terhadap Zul. Kalau saja gadis-gadis lain di posisi Nina, sudah dipastikan akan salah tingkah dan malu-malu. Mungkin karena sifat Nina yang begitu pula membuat Zul betah berteman dengannya.
“Ya ... gini-gini aku harus jaim juga kan, Zul? Biar orang-orang kampung sadar kalau aku juga perempuan tulen,” bela Nina membuat Zul terdiam. Matanya menatap Nina dari samping.
“Kenapa?” tanya gadis berkerudung hitam itu, mengetahui kawannya sedang memandanginya.
Zul mengabil napas sejenak. “Tak usahlah seperti itu. Menurutku, kamu tidak ada kurangnya, kamu unik dengan cara kamu sendiri, malahan akan aneh kalau kamu seperti gadis-gadis lain,” ucap Zul membuat Nina gugup.
“Apa sih Zul? Jangan begitu omonganmu, nanti makin berat rindu yang kamu tanggung kalau sudah aku tinggal ke rantau,” gurau Nina dengan wajah yang serius. Lagi, Zul tergelak melihat gadis ajaib di sebelahnya.
“Kamu memang tidak berubah dari dulu,” ucap Zul, lalu dia kembali memandangi hamparan sawah yang mulai terlihat kekuningan akibat pantulan dari sinar matahari yang berangsur redup.
---
Flashback on.
(Padang Rukam, 1986)
“Zul! Tolong awak! Capek, capek!” teriak Nina. [Zul! Tolong saya! Cepat, cepat!]
Gadis itu sedang berdiri di dalam sawah yang baru selesai dibajak. Tangan kecilnya terlihat menahan pancingan belut di pematang sawah dekat surau. Sedangkan dari arah surau terlihat Zulfikar sedang berlari terengah-engah dengan tubuh kecilnya menuju Nina.
“Wah hebat kamu!” seru Zul melihat belut tangkapan Nina siang itu.
Gadis kecil berumur sepuluh tahun itu tersenyum bangga meski tubuhnya sudah dipenuhi lunau. Tak mau kotor sendiri, tangan kecil milik Nina segera melempar lunau dari sawah ke baju putih milik Zul. Laki-laki yang berumur sama dengannya tak mau kalah, rasa kesal juga merasukinya sehingga mereka berdua berakhir dengan perkelahian di dalam sawah. Ya, teriakan dari amak-amak mereka menjadi akhir dari pertengkaran dua anak kecil tersebut.
Bedak tebal, baju kurung bewarna merah muda dengan bawahan rok rimpel hitam, dan jilbab putih sebahu menjadi seragam mengaji Nina di pukul empat sore setelah sholat Ashar. Peci putih, baju koko putih dan celana dasar hitam menjadi baju seragam mengaji untuk Zul. Nina sudah duduk tegap di depan bangku panjang yang dijadikan meja tempat Al-Qur’an atau Iqra di surau. Sedangkan Zul lebih santai dibandingkan Nina. Dua sejoli ini memang memiliki sifat bertolak belakang, tetapi pola pikir mereka bisa dibilang sama dan satu frekuensi sehingga perkelahian apapun tidak akan membuat mereka menjadi musuh.
“Aku sudah juz lima belas loh zul, kamu ndak usah bangga begitu punya teman sehebat aku,” seru Nina bangga. Zul yang sudah biasa dengan sikap optimis, tetapi lebih ke menyombongkan diri milik Nina hanya mengangguk-ngangguk saja.
“Apalah dayaku yang sudah khatam ini Nina.”
Mata Nina terbelalak mendengar ucapan Zul. Tidak percaya dengan ucapan temannya sudah pasti menjadi hal yang menggantung di pikiran gadis kecil ini. Hal itu pula yang membuatnya bertanya kepada guru ngaji alias Ayahnya sendiri. Jawaban iya dari Ayah membuat Nina mendengus kesal, apalagi dengan gaya Zul yang terlihat mencibirnya.
“Zul? Cita-cita kamu apa?” Pertanyaan pertama dari Nina yang tergolong serius membuat Zul menghentikan kegiatannya bermain kelereng selepas mengaji.
“Cita-cita? Hmm ... apa ya?” tanya Zul kembali, membuat Nina melihatnya heran.
“Kalau aku mau jadi guru Zul,” ucap Nina dengan senyum penuh semangat.
“Guru? Kenapa?” Zul kembali bertanya kepada teman perempuannya sembari memainkan kelereng di tanah.
“Karena aku mau seperti Kartini, Zul. Kau tau Kartini?” Sekarang giliran Nina yang bertanya kepada temannya. Dia ikut berjongkok menunggu giliran setelah Zul menjentik satu kelereng ke arah tumpukan kelereng di dalam lingkaran yang dibuat.
Zul hanya mengangguk. “Pernah dengar di sekolah,” jawab Zul seadanya.
Sekarang giliran Nina yang menjentik kelereng itu. Wajahnya masam mendengar jawaban dari Zul.
“Dia itu perempuan yang berhasil membuat orang-orang tidak memandang rendah perempuan lagi Zul. Seseorang yang bisa memberikan ilmu bermanfaat bagi lingkungannya,” jelas Nina antusias meski Zul tidak terlalu mengerti dengan ucapan gadis di hadapannya.
“Owh.” Hanya itu yang terlontar dari mulut tipis bewarna merah muda alami milik Zul.
“Kamu tau? Dengan aku menjadi guru, aku bisa memberi tahu murid-muridku nanti bagaimana menghargai orang-orang, khusunya perempuan. Apalagi yang sifatnya seperti aku Zul,” papar Nina dengan raut wajah yang sedikit suram.
Zul yang menyadari bahwa temannya sedang sedih, akhirnya berbicara lebih banyak dari sebelumnya. “Aku yakin kamu bisa Nin, kamu kan hebat, berbeda dari anak perempuan lain. Kami itu spesial, bisa kuat dan berani, meski kalau jatuh dan dipukul rotan tetap menangis,” ledek Zul di akhir perkataannya.
Nina semakin cemberut meski perasaanya sedikit lebih tenang. “Apa sih Zul? Wajar aku menangis, jatuh dan dipukul rotan itu sakit. Kamu bisa mengejekku saja, mentang-mentang Ibumu ndak pamberang (pemarah) seperti Amakku,” ujar Nina yang semakin berbisik ketika mengatakan Amaknya tukang marah.
Zul tersenyum melihat temannya kesal. “Sudahlah, lanjut main seh lah!” ajak Zul. Kemudian dua sejoli berlawanan jenis itu kembali asik dengan permainan mereka.
Flashback off
---
“Nin?” panggil Zul membuat kenangan mereka delapan tahun lalu berakhir di pikiran Nina.
Nina yang dipanggil segera melirik ke arah Zul yang masih memandang lurus ke arah persawahan. Langit sore sudah mulai menjadi merah saga, menandakan senja akan segera tiba.
“Sepertinya aku sudah tau satu cita-citaku,” papar Zulfikar, lalu menoleh ke arah temannya.
Nina yang mendengar ucapan dari guru ngaji muda itu sontak bersemangat. Matanya kembali berbinar, karena teman satu-satunya yang paling dekat, akhirnya menemukan impiannya juga.
“Apa?” tanya Nina antusias.
“Menjadi guru ngaji dan ... guru silat,” jawab Zul pelan. Senyuman manis dan sorot mata yang tegas darinya membuat Nina percaya bahwa pilihan tersebut sudah dipikirkan oleh Zul matang-matang. Namun, apapun pilihannya, seorang Nina tetap butuh alasan kenapa seseorang membuat sebuah pilihan.
“Oh ya? Kenapa Zul? Sayang sekali tidak memanfaatkan tampang kamu yang ganteng itu, bisa jadi artis kalau pergi ke Ibu Kota,” seru Nina sembari tergelak. Dia masih saja bergurau di tengah percakapan serius ini.
“E eh, kamu bilang aku ganteng ya? Ciee ....” goda Zul, berhasil membuat gelak Nina tadi padam dalam sekejap.
“Enak saja, itu yang kudengar dari gadis-gadis apalagi ibu-ibu kampung ya. Wuu ....” seru Nina membela dirinya, tak terima jika dia mengakui Zul memang ganteng.
Zul kembali tergelak melihat teman masa kecilnya sudah menjadi gadis cantik. “Iyolah tuh,” ejek laki-laki berpeci putih itu membuat Nina semakin kesal, “Aku mau jadi guru ngaji, biar seimbang. Kamu mengajar ilmu hidup di dunia, aku yang mengajar ilmu agama,” lanjut Zul penuh percaya diri.
Nina yang mendengarkan, tiba-tiba menatap hangat laki-laki berpeci putih di sebelahnya. Seutas senyum tergores dari bibir Nina. Dia merasa lega dan bersyukur mempunyai teman seperti Zul.
“Hati-hati di rantau orang ya Nin? Jaga diri kamu, ingat selalu ... kamu itu gadis Minang! Harus paham agama dan tau batasan.” Begitu nasihat yang Nina dengar dari sahabatnya sebelum besok pergi ke Padang.
“Ciee ... manga Uda Zul jo Uni Nina baduo di siko? Bacewek yo?” [Cie ... ngapain Bang Zul dan Kak Nina berdua di sini? Pacaran ya] Ucapan melantur dari anak-anak kampung yang tengah bersiap untuk sholat magrib berjama’ah, berhasil membuat Zul dan Nina ternganga.
“Bacewek? Ma buliah dek agama, bisa zina beko,” sahut Nina cepat, mulutnya menyerocos tanpa mengolah kata-kata yang dia ucapkan terlebih dahulu. [Pacaran? Mana boleh di dalam agama, bisa zina nanti]
Dahi anak-anak tadi mengernyit, tidak begitu memahami kata-kata dari Nina. “Hah? Zina? Apo (Apa) tuh?” tanya salah satu dari lima orang anak yang menertawai Nina dan Zul tadi.
Mendengar pertanyaan yang belum bisa dijelaskan oleh dirinya membuat Nina gelagapan. Dia menelan ludah, sedangkan Zul berusaha menahan tawa atas kejadian yang menimpa Nina.
“Matilah!” bisik Nina di sela kebingungannya. Zul yang diharapkan bisa membantu malah mengangkat bahu sebagi tanda tidak ingin ikut campur dengan urusan Nina.
“A ... sholat lai sholat!” ajak Nina kepada anak-anak yang menunggu jawaban darinya. Untung saja azan magrib segera berkumandang, jadi dia bisa lari dari pertanyaan konyol yang menjadi bumerang baginya.
---
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan