Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama.
"Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang.
"Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam dalam perjalanan hidumu kelak, Nak," jelas Dahnunir dengan suaranya yang tenang.
"Amak juga minta maaf Nak, sebagai seorang Ibu seharusnya tidak egois, sehingga memaksa kamu menikah dengan seseorang yang tidak baik adapnya," sambung Lastri, membuat Nina terharu, hatinya menjadi lebih tenang, tetapi juga gugup karena teringat persetujuan dengan Zul tadi sore.
"Terimakasih Ayah, Amak karena sudah memahami maksud Nina menolak perjodohan dengan Badrul kemarin. Dan, Nina juga minta maaf atas tindakan kasar tadi siang. Jujur, Nina sama sekali tidak bermaksud durhaka kepada Amak,” jelas Nina penuh penyesalan di dalam dirinya.
Ibu dan anak itu akhirnya kembali ke dalam frekuensi yang sama. Permasalahn yang menggantung sudah selesai, tetapi Nina masih saja terlihat gusar, dan tentu saja terlihat jelas oleh Dahnunir.
"Kamu kenapa, Nak? Kenapa terlihat gusar begitu?” tanya Dahnunir, matanya mampu menyelidik ke dalam bola mata Nina.
Gadis yang ditanyai terlihat semakin tegang. Tatapannya berusaha lari dari tatapan Ayahnya. Tangan berjari pendek dengan telapak tangan lebar miliknya mulai memelintir ujung baju, menandakan bahwa dirinya benar-benar sedang risau. Setelah beberapa detik, Nina berusaha mengambil napas panjang, kemudian menghembuskan secara perlahan, berusaha mencari ketenangan di dalam dirinya.
"Ni-Nina ingin menanggapi ucapan Ayah tadi, tentang segera menemukan seorang imam,” ujar Nina ragu.
Kening Dahnunir dan Wati serentak mengernyit. Mereka berdua menyadari ada sesuatu yang aneh dari ucapan Nina barusan, tetapi bukan tentang sesuatu yang buruk atau penolakan lagi.
Nina kembali mengambil napas panjang dan mengeluarkan secara perlahan. “Jika boleh memilih dan mengambil keputusan, Nina berniat untuk … untuk—“
“Untuk?” Serentak Dahnunir dan Lastri, tubuh mereka sedikit condong ke arah Nina karena suara anak itu terdengar semakin kecil.
“U-Untuk menikah dengan Zul," ucap Nina cepat, matanya terpejam menahan rasa takut jika kedua orang tuanya menolak niat baik ini.
"Masyallah Nak? Kamu sedang tidak bercanda kan?" tanya Lastri antusias, tangannya segera meraih tangan Nina dan menggenggam erat.
"I-insyaallah Mak. Tadi sore Zul memberi tahu Nina niat baik tersebut, dan Aku menyetujuinya. Apakah Ayah dan Amak setuju jika Nina bersama dia?" tanya Nina gugup.
"Tentunya kami ikut setuju Nina, kamu tahu mana yang terbaik bagimu, dan Zul adalah pemuda yang baik untuk dijadikan imam. Benarkan Wati?" tanya Dahnunir meminta persetujuan istrinya.
Wati mengangguk dengan semangat, matanya berlinang, tangannya segera menarik tubuh Nina untuk mendekapnya. "Terimakasih Nak, Amak bahagia atas pilihanmu."
Tak jauh berbeda dengan Wati, Nina pun ikut memeluk erat tubuh Amaknya. Air mata gadis itu ikut turun beriringan dengan rasa bahagia dan haru atas kabar baik ini. "Iya Mak, Nina harap ini juga pilihan terbaik dan diridhoi Allah."
Sama halnya dengan suasana di rumah Zul, kini anak laki-laki pertama dari tiga bersaudara itu tengah duduk bersama Ibu, Ayah, dan dua adik perempuannya. Berbincang selepas sholat Isya juga menjadi kebiasaan keluarga ini, Ayah Zul—Ridwan—pasti selalu bertanya tentang keseharian anak-anaknya atau sekedar memberikan nasihat tentang hidup. Namun, malam ini lebih menegangkan dari malam-malam sebelumnya, Zul yang meminta untuk segera berkumpul masih bergeming sembari menunduk di ruang tengah rumahnya.
"Ada masalah apa Nak?" tanya Upiak—Ibunya Zul.
Zul segera menaikkan pandangannya, matanya menatap mata Upiak yang teduh. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu masih menunggu anak sulungnya untuk menjawab.
"Awak ingin menyampaikan kabar baik kepada Ibu, Ayah, dan si Kembar," ucap Zul memulai percakapan malam ini.
"Kabar baik apa Yuang [panggilan anak laki-laki Minang]?" Kali ini Ridwan yang angkat bicara, rasa penasaran terlihat di sorot mata laki-laki berusia lima puluh tahun itu, sebab tak biasa Zul meminta berkumpul. Sangat berbeda dengan anak kembarnya—Dina dan Dini—yang setiap hari ada saja masalah yang diceritakan, padahal masalah yang mereka anggap penting hanya perihal kegalauan remaja berusia lima belas tahun tentang Nak Bujang ganteng dari desa sebelah.
Berbeda dengan Ayah mereka, Dina dan Dini malah terlihat berbisik seperti tahu apa yang akan dibicarakan Udanya. Mata kedua gadis itu bergantian melirik Zul yang ikut menatap mereka dengan aneh.
"Jadi begini, Awak sudah hendak menikah dan—”
"Nah! Kan, betul kita!" ucap Dina dan Dini serentak, memotong ucapan Uda mereka. Gadis-gadis tersebut terlihat sangat heboh dan antusias sampai-sampai sang Ayah melirik mengisyaratkan agar segera diam.
"Apakah kamu sudah ada calon Yuang?" tanya Upiak pelan. Suaranya yang lembut menjadi pelengkap jiwa keibuan yang menjadi ciri khasnya.
"Sudah Bu, Awak hendak menikahi Nina dan sudah Awak utarakan tadi," jawab Zul tanpa ada sedikit keraguan di dalam dirinya.
"Nah! Benar lagi!" Serentak si Kembar membuat suasana serius di rumah menjadi lebih hangat.
Zul tak bisa menahan senyum melihat tingkah adiknya, kepala laki-laki itu menggeleng. "Kalian pasti mendengar percakapan Uda dan Uni Nina tadi ya?" terka Zul membuat kedua adiknya cengengesan.
"Dasar kalian," ucap Zul, tak bisa berkata apa-apa lagi dengan dua adik ajaib bertingkah unik ini. Untung saja dia berteman dengan Nina dari dulu, sehingga tidak terlalu terkejut menghadapi kedua adiknya.
"Bagaimana Ibu, Ayah? Apakah Awak mendapatkan restu?" Ekspresi wajah Zul berubah menjadi serius.
Ridwan dan Upiak saling menatap lalu tersenyum hangat. Merek berdua mengangguk sebagai jawaban ‘iya’ dari pertanyaan Zul.
"Nina adalah pilihan yang tepat untuk kamu, Yuang," ucap Upiak.
"Benarkah, Bu?"
"Iya Yuang, perempuan dengan pemikiran terbuka seperti dia akan memberikan perubahan yang besar nantinya, dan Ibu juga sudah menduga kamu menaruh hati kepadanya sejak dulu," goda Upiak.
Zul tersipu malu ketika perasaan yang selama ini disembunyikannya malah terang-terangan dibongkar oleh Ibu sendiri. Namun, dia juga merasa bahagia bahwa kedua orang tua bahkan adiknya setuju dan juga menyukai Nina.
---
Sadaqallahul azim ...
Suasana di dalam surau tuo mulai terlihat lengang ketika anak-anak yang mengaji sudah asik bermain di halaman surau. Dahnunir terlihat sedang duduk di dekat mimbar tempat berceramah di hari Jum’at, matanya terlihat membaca tafsir qur’an di depannya. Berbeda dengan Zul yang masih sibuk memindahkan meja panjang untuk mengaji ke bagian belakang surau. Setelah meletakkan meja tersebut, Zul segera berdiri tegap menghadap jendela surau yang terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan aliran sungai kecil berjarak 5 meter dari surau.
“Kamu kenapa?”
“WAH!” teriak Zul terkejut mendengar pertanyaan dari Dahnunir yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya.
“Istighfar, bukan ‘WAH’,” ledek Dahnunir.
“I-iya Buya. Astaghfirullah hal ‘azim,” ucap Zul malu, tangannya menggaruk kepala bagian belakang.
“Kamu ada masalah apa? Kenapa terlihat risau dari tadi?” tanya Dahnunir pelan. Matanya memandang dalam ke bolah mata Zul.
Zul tersenyum ketika usahanya untuk terlihat tidak grogi, ternyata terlihat jelas oleh guru mengaji sekaligus guru silatnya ini. “Awak hendak mengajak Buya berbicara tentang masalah yang sangat pribadi bagi awak,” ujar Zul pelan.
Dahnunir tersenyum. “Silahkan bicara kalau begitu.”
“Jadi begini, mungkin … awak terdengar lancang dan terlalu percaya diri, tapi awak memilik niat baik untuk menikahi anak Buya, Nina,” jelas Zul tegas, matanya ikut menatap dalam ke bola mata Dahnunir.
Dahnunir tersenyum tipis, tangannya masih terlipat di belakang punggung. “Apa alasanmu ingin menikahi Nina?”
Zul terdiam untuk beberapa detik, matanya melirik ke arah kanan menandakan sedang berpikir. Perlahan kepalanya kembali tegak, dan tatapan matanya kembali terarah kepada Dahnunir.
“Apakah mencintai seseorang butuh alasan Buya?” tanya Zul sedikit bingung.
“Menurut kamu bagaimana?” tanya Dahnunir, mengembalikan pertanyaan tadi kepada pemuda di hadapannya.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Zul terlihat lebih yakin. Matanya menatap tegas Dahnunir. “Menurut awak … mencintai sesorang itu tidak perlu alasan. Cinta adalah perasaan murni dan suci yang difitrahkan kepada manusia, jika itu memiliki alasan berarti bukan cinta, hanya sekedar hawa nafsu belaka. Dan, jika cinta memang harus memiliki sebuah alasan, bukankah ketika alasan itu sudah terpenuhi, maka cinta akan hilang?”
Dahnunir cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan Zul. Senyumnya semakin melebar. Tangan kekar milik guru ngaji utama itu sudah berada di pundak Zul. Menggenggam dengan penuh keyakinan.
“Dan alasan kamu ingin menikahi Nina?” tanya Dahnunir dengan suara yang tegas.
“Karena saya ingin hidup bersamanya, dan … saya mencintainya karena Allah,” jawab Zul sama tegasnya.
Genggaman tangan Dahnunir mulai melunak. Tubuhnya kembali tegak dengan tatapan yang lebih rileks kepada Zul. “Baiklah, kalau begitu beritahu keluarga dan Mamakmu bahwa Sabtu besok saya dan Mamaknya Nina akan datang untuk melaksanakan lamaran dan prosesi batuka tando. Saya memberikan restu atas pilihanmu dengan Nina.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Zul merasakan bahagia bercampur haru yang luar biasa. Senyumnya terbentang lebar mendengar jawaban dari Dahnunir.
“Baiklah, terimakasih Buya,” ucap Zul pelan, sembari menahan air mata yang tergantung di kelopak matanya.
Dahnunir tersenyum, tangannya segera merangkul Zul dengan erat dan hangat. “Saya percaya denganmu, Nak.”
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn
Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da
Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi
Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be
(Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak
“Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin
(1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan