Home / Romansa / Perempuan Tanah Adat / Batuka Tando di Duo Gonjong

Share

Batuka Tando di Duo Gonjong

Author: Zuinal 'Aini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah.

“Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling.

“Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya.

Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.”

“Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya.

“Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah.

“Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumnya. Namun, itulah keunikan dari anak semata wayang mereka, terlihat ceria dan seperti anak-anak di luar, tetapi memiliki pola pikir yang matang. Alasan Nina untuk kuliah dan menjadi guru salah satu buktinya.

Nina baru saja pulang dari Padang setelah kuliah terakhirnya di hari Jum’at ini selesai. Jadwal ‘batuka tando’ yang akan dilaksanakan esok hari membuatnya harus segera kembali ke kampung, meski baru lima hari menjalankan aktivitasnya sebagai mahasiswa. Beruntung, jadwal kuliah terakhirnya berakhir di pukul tiga sore, sehingga Nina tidak terlalu malam sampai di rumah dan bisa beristirahat dengan cukup.

---

Kabut pagi sudah melewati tebing-tebing kokoh Lembah Harau. Burung berkicau indah menikmati sinar mentari yang menyelinap di sela dedaunan. Nina yang sudah selesai berberes untuk acara hari ini masih betah memandangi langit biru di tepian jendela rumah gadang. Mata gadis itu terlihat berbinar, tak kalah cerah dibandingkan cuaca hari ini. Pikirannya masih melayang mengingat ajakan Zul untuk menikah dengannya di sore itu. Sebuah senyum terukir hangat karena dia bersyukur bahwa Zul yang akan menemaninya di sisa hidup. Tak ada lagi desakan untuk menikah, tidak ada lagi gunjingan tetangga, dan yang paling disyukuri adalah Zul yang selalu mendukung Nina dalam menggapai setiap mimpi-mimpinya.

“Nina!” panggil Wati di ambang pintu masuk menuju ruang tengah.

“Iya Mak?” sahut Nina gercap.

“Kamu sudah selesai?” tanya Wati memastikan. Dirinya juga sudah siap denga baju kuruang khas Minang dan tangkuluak yang digunakan di kepala.

“Sudah Mak,” jawab Nina pelan.

“Ayo! Kalau begitu, sekarang kita berangkat ke rumah Zul,” ajak Wati.

Tangan perempuan paruh baya yang mulai terlihat keriput itu tergantung di udara, menunggu Nina untuk meraihnya. Mata Wati berkaca-kaca melihat Nina yang berjalan dengan senyum hangat ke arahnya. Bayi mungil yang dua puluh satu tahun silam masih menggeliat di tangan suaminya sudah tumbuh besar menjadi gadis cantik. Bayangan dari Nina sejak bayi, balita, anak-anak, remaja bergantian terlihat di mata Wati, hingga Nina yang sekarang tiba di depannya meraih tangan yang menggantung tadi.

“Ayo, Mak!” ajak Nina dengan senyum yang mengembang.

Para rombongan niniak mamak, kedua orang tua, dan sesepuh adat dari pihak keluarga Nina sudah bersiap di luar rumah. Kue-kue dan buah-buahan manis sudah tersusun rapi di atas dulang yang dibawa para dunsanak. Tak lupa sirih dan pinang lengkap yang akan diberikan kepada pihak keluarga Zul juga sudah tersusun di dalam carano. Sirih melambangkan kulit manusia, sedangkan pinang melambangkan daging, dan ketika keduanya dimakan akan menghasilkan air ludah bewarna merah yang melambangkan darah. Arti sirih dan pinang memiliki makna sebagai pemersatu kedua keluarga dalam prosesi lamaran adat Minang.

Perjalanan menuju rumah Zul ditempuh dengan berjalan kaki oleh Nina dan rombongan. Jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh menjadi alasannya. Suara tawa dan cerita ringan antara sesama kerabat mengiringi perjalanan mereka. Hanya ada suka, bahagia, dan momen yang hangat. Hal yang sudah lama tidak Nina rasakan di saat masa-masa tumbuhnya menjadi perempuan dewasa.

“Assalamu’alaikum,” seru Dahnunir ketika sampai di depan rumah gadang milik keluarga Zul.

“Waalaikumsalam,” jawab Ridwan. Dua kepala keluarga itu langsung bersalaman diiringin dengan senyum yang lebar.

Suasana hangat antara kedua keluarga sangat terasa ketika keluarga Zul menyambut kedatangan rombongan keluarga Nina dengan sangat baik. Ajakkan segera masuk mengiringi langkah kedua keluarga menuju ruang tengah untuk memulai acara hari ini. Bawaan dari keluarga Nina juga sudah diterima baik oleh pihak keluarga Zul. Sedangkan sirih dan pinang masih dipegang oleh pihak keluarga Nina karena akan diserahkan nanti sebagai tanda lamaran resmi antara kedua keluarga.

Ruang tengah rumah gadang milik keluarga Zul sudah terisi penuh oleh para kerebata keluarga serta sesepuh adat yang berperan penting untuk kelanjutan acara hari ini. Mamak serta orang tua Zul sudah duduk berhadapan dengan Mamak dan orang tua dari Nina. Percakapan mereka dimulai dengan basa-basi pembuka acara dari keluarga Nina dan dibalas oleh keluarga Zul yang berlangsung selama sepuluh menit.

“Baiklah … sebelumnya, kami dari keluarga besar Dahnunir mengucapkan terimakasih atas sambutan hangat dari keluarga besar saudara Ridwan,” ucap Mamak Nina.

Kalimat pembuka menuju ke inti acara dari Mamak Nina membuat seluruh kerabat yang ada di ruang tengah menghentikan aktivitas mereka. Pembicaraan santai dan tawa ringan padam seketika. Suasana menjadi lebih serius, setiap telinga dan pandangan tertuju kepada Mamak dari kedua pihak.

“Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin Allah SWT … saya sebagai Mamak dari keluarga besar Dahnunir hendak menyampaikan niat baik kami untuk menyatukan dua keluarga besar kita,” tutur Mamak Nina.

Seluruh yang ada di dalam rumah terlihat semakin serius, termasuk Nina dan Zul. Dua insan yang sedang duduk sejajar dengan Mamak dan kedua orang tua mereka terlihat sedikit menundukan pandangan. Jantung mereka sama-sama berdetak lebih cepat. Sebuah do’a atas kelancaran niat baik ini selalu terucap di dalam hati mereka berdua.

“Adapun penyatuan dua keluarga besar ini tentunya dengan sebuah ikatan pernikahan. Oleh sebab itu, kami dari pihak keluarga perempuan berniat meminang Zulfikar untuk menikah dengan kemenakan kami, Nina,” jelas Mamak Nina tegas dan penuh pengharapan.

Seluruh pandangan langsung terarah kepada pihak keluarga Zul, mununggu jawaban dari Mamak Zul. Beberapa detik kemudian deheman dari Mamak Zul menjadi kode bahwa dirinya akan menjawab tawaran lamaran tersebut.

“Bismillahirrahmanirrahim … Alhamdulillah hi rabbil’alamin, bersyukur atas izin Allah SWT untuk mempertemukan dua keluarga besar kita di hari ini. Saya sebagai Mamak, perwakilan dari keluarga besar Ridwan menyambut dengan baik hati atas niat baik keluarga besar Dahnunir untuk menjadikan kita satu keluarga,” ucap Mamak Zul yang diiringi senyuman hangat dari semua kerabat.

“Tentunya saya sangat senang dengan tawaran pinangan tersebut. Namun, setiap keputusan tetap harus saya tanyakan kepada kemenakan kami yaitu Zulfikar,” tutur Mamak Zul.

Seluruh mata tertuju kepada Zul, terkhusus mata Mamaknya yang menatap sangat dalam. “Zulfikar?”

“Iya Mamak,” ucap Zul pelan.

“Apakah engkau bersedia menerima pinangan dari keluarga besar Nina untuk menyatukan dua keluarga besar kita dan menjadi imam bagi Nina?” Pertanyaan sakral ini berhasil membuat jantung Zul berdebar semakin cepat, begitupun Nina yang menatap sahabat kecilnya itu dengan penuh pengharapan.

Zul mengambil napas dan mengeluarkannya pelan agar perasaan tenang bisa menyelimuti dirinya kembali. Mata laki-laki Minang itu menatap Mamaknya dengan yakin tanpa sedikit pun keraguan.

“Insyaallah saya siap menjadi imam bagi Nina di dalam kehidupan ini, dan saya menerima pinangan tersebut,” jawab Zul tegas.

Alhamdulillah …

Rasa syukur serentak mengudara di dalam ruang tengah rumah gadang tersebut. Senyum dari seluruh kerabat membuat suasana semakin hangat. Tentu saja senyum tipis penuh makna dari Zul dan Nina menggambarkan betapa bahagianya perasaan dua insan tersebut.

“Baiklah, jawaban dari kemenakan kami, Zulfikar merupakan penerimaan pinangan dari keluarga besar Dahnunir kepada keluarga besar Ridwan,” ucap Mamak Zul. Menutup perannya mewakili keluarga pihak laki-laki.

“Alhamdulillah hi rabbil’alamin, dengan penerimaan tersebut, maka terimalah pinang dan sirih yang kami bawa ini sebagai tanda bahwa dua keluarga kita sudah sepakat untuk bersatu,” ucap Mamak Nina. Tangannya mengambil pinang dan sirih di dalam carano yang disodorkan oleh kerabat perempuan. Begitupun dengan Mamak Zul, keduanya sama-sama memakan pinang dan sirih tersebut sebagai simbol sudah terjadinya perjanjian antara dua keluarga.

“Dan, terima jugalah keris pusaka dari keluarga kami sebagai tanda pengikat pertunangan antara Nina dengan Zulfikar,” lanjut Mamak Nina. Kerabat perempuan lain segera menyerahkan keris pusaka tersebut kepada kerabat perempuan dari pihak laki-laki.

“Kami terima keris pusaka dari keluarga besar Dahnunir, dan terima jugalah keris pusaka dari keluarga ini sebagai tanda sudah terjadinya ikatan pertunangan antara Zul dan Nina,” ucap Mamak Zul. Keris pusaka dari keluarganya juga sudah diterima oleh keluarga Nina. Pertukaran dua keris pusaka tersebut menjadi akhir dari proses inti acara ‘batuka tando’ antara keluarga Nina dengan keluarga Zul.

Related chapters

  • Perempuan Tanah Adat   Namanya Nina

    (1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan

  • Perempuan Tanah Adat   Perpisahan di Ujung Senja

    “Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin

  • Perempuan Tanah Adat   Adat yang Menyiksa Telinga

    (Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak

  • Perempuan Tanah Adat   Keributan di Alek Gadang

    Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be

  • Perempuan Tanah Adat   Tawaran Tak Terduga

    Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi

  • Perempuan Tanah Adat   Percakapan Selepas Isya

    Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da

Latest chapter

  • Perempuan Tanah Adat   Batuka Tando di Duo Gonjong

    “Assalamu’alaikum,” ucap Nina. Napasnya masih terangah-engah ketika memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” jawab Wati dan Dahnunir serentak. Kening mereka mengerut melihat kondisi Nina seperti baru saja dikejar maling. “Kamu kenapa Nina?” tanya Wati panik. Tangannya segera menggenggam lengan Nina yang baru saja duduk di hadapannya. Nina menggeleng sembari mengatur napas agar lebih tenang. “Nina tidak kenapa-napa kok.” “Lalu kenapa napas kamu sesak begitu, Nak?” Sekarang giliran Dahnunir yang bertanya. “Hehe … Nina tadi berlari setelah turun dari ojek, supaya bisa cepat sampai ke rumah, dan cepat istirahat, esok kan hari penting,” jelas Nina dengan semangat yang menggebu-gebu diiringi napasnya yang masih terengah-engah. “Ya Allah, Nak … dasar,” ucap Dahnunir dan Wati serentak. Mereka sama-sama menggeleng melihat tingkah laku anak satu-satunya yang akan segera menikah, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun sikap seperti orang dewasa pada umumn

  • Perempuan Tanah Adat   Percakapan Selepas Isya

    Senja sudah berganti menjadi malam, Nina bersama kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan makan malam setelah sholat Isya. Seperti biasa, mereka akan berbincang di tengah rumah sembari menunggu pukul sepuluh malam untuk tidur. Dulu ketika Nina kecil, Ayahnya sering menceritakan cerita-cerita rakyat dari daerah Minangkabau seperti cerita Malin Kundang, Lagenda Danau Kembar, Asal Mula Nama Minangkabau, dan masih banyak lagi. Namun, agak sedikit berbeda dengan hari ini, permasalahan yang belum selesai antara Nina dan Amaknya akan menjadi topik percakapan utama."Ahmm," sindir Dahnunir sebagai tanda percakapan akan dimulai. Nina terlihat lebih tegang dan cemas dibandingkan dari tadi siang, sedangkan Amaknya terlihat lebih tenang."Jadi Nina, tadi Ayah dan Amak sudah bicara ... benar kata kamu, tak seharusnya kami membiarkan anak semata wayang menikah dengan seorang yang akan membuatnya sengsara, tapi kalau bisa, kamu segera mulai mencari seseorang untuk dijadikan imam da

  • Perempuan Tanah Adat   Tawaran Tak Terduga

    Pesta pernikahan Rinda akhirnya selesai di pukul sebelas malam. Tidak ada lagi tamu yang datang dan para sanak kerabat sudah selesai membereskan segala perlengkapan yang digunakan selama pesta ini berlangsung. Tinggal tenda, pelaminan, kursi, meja, dan hiasan pesta yang perlu dibereskan oleh pihak pelaminan esok hari.Rumah gadang milik keluarga besar Lastri masih terlihat terang benderang. Mulai dari yang paling tua hingga paling kecil tengah sibuk membuka kado-kado pernikahan serta menghitung uang dari amplop yang diberikan tamu. Sedangkan anak daro dan marapulai alias Rinda dan suaminya baru saja selesai berberes.Suasana di rumah itu terlihat sangat hangat dan ramai meski seluruh kerabat sudah lelah dengan acara hari ini. Berbeda sekali dengan yang dirasakan Nina, bukan hanya fisik yang lelah, tetapi batin pun ikut lelah. Kejadian dan perkataan Badrul tadi siang masih terngiang di pikiran, belum lagi dengan Amaknya yang berusaha keras menyuruh Nina untuk memaklumi

  • Perempuan Tanah Adat   Keributan di Alek Gadang

    Sabtu pagi yang dinantikan oleh keluarga besar Lastri akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari H dari pesta pernikahan Rinda—sepupu Nina—dengan Sulaiman. Pesta pernikahan dengan prosesi adat Minang Koto Nan Gadang ini disebut Alek Gadang. Rumah gonjong yang juga menjadi kediaman Wati dan keluarga sudah disibukkan sejak pagi. Anak daro (Mempelai wanita) sedang dirias oleh penata rias dari kota Payakumbuh. Beberapa kerabat keluarga juga sedang bersiap mengenakan baju seragam untuk pesta hari ini, termasuk Nina yang sudah selesai dengan dandanannya. Baju kurung bewarna merah muda sepanjang lutut dengan bawahan rok sonket menjadi busana yang dikenakan Nina dan kerabat wanita lainnya. Kerudung persegi bewarna selaras dan sedikit riasan tipis membuat salah satu bunga kampung itu terlihat lebih cantik dari biasanya. Sifatnya yang terbilang janggal dibandingkan anak gadis lain di kampung tertutupi dengan tampilan feminimnya hari ini. Tenda dan pelaminan be

  • Perempuan Tanah Adat   Adat yang Menyiksa Telinga

    (Padang Rukam, 1996) Suasana dapua (dapur) rumah gadang di kediaman Wati sudah dipenuhi induak-induak kampuang (ibu-ibu kampung) yang tengah sibuk dengan kegiatan maracik-racik (memasak bersama) sebelum pesta pernikahan Rinda—anak perempuan dari Lastri—akan di gelar esok hari. Meski acara tersebut digelar di rumah gadang keluarga Wati dan Lastri, tetapi yang menghuni rumah tersebut sehari-hari adalah Wati dan keluarganya. Pilihan Lastri yang ikut suaminya ke rantau menjadi alasan kenapa hanya Uninya sekeluarga yang menempati rumah gadang tersebut, sehingga setelah proses pernikahan adat ini selesai Lastri akan kembali ke Pariaman, begitu pun Rinda. Memasak gulai dan beberapa samba (lauk) seperti ayam bumbu, ikan nila goreng, randang, serta kegiatan kupas mengupas bumbu rempah dengan lihai dilakukan oleh induak-induak kampuang tersebut. Wati yang baru saja barundiang dengan bundo kanduang dan Mamak dari pihak mempelai laki-lak

  • Perempuan Tanah Adat   Perpisahan di Ujung Senja

    “Alif ... Ba ... Ta ... Sa ...”Suara anak-anak yang tengah mengaji memenuhi surau kecil di Jorong Padang Rukam. Nina dengan kerudung hitam sepinggang mengintip laki-laki yang menjadi guru ngaji muda di surau itu. Seperti sudah memiliki ikatan batin, mata kecoklatan milik Zulfikar atau sering dipanggil Zul oleh Nina—satu-satunya teman perempuan yang masih dekat dengannya dari kecil sampai sekarang—menangkap sosok dari balik jendela kayu tersebut.Nina tersenyum memperlihat deretan giginya yang rapi. Tangannya melambai-lambai, memberi isyarat kepada Zul untuk menemuinya di luar. Zul dengan wajahnya yang menenangkan, memberi kode kepada Nina untuk menunggu sebentar. Laki-laki yang memiliki darah turunan India dari buyutnya terdahulu menjadi incaran banyak ibu-ibu kampung untuk dinikahkan dengan anak gadis mereka. Namun, karena alasan masih muda dan belum cukup ilmu, baik ilmu hidup ataupun ilmu agama membuat laki-laki berkulit kunin

  • Perempuan Tanah Adat   Namanya Nina

    (1 Juni 1976) “Bu! Bu Bidan!” Napas Lastri yang masih terengah-engah tidak membuat suaranya padam dari gemuruh hujan tengah malam itu. Lecitan cahaya putih yang menyambar di langit tidak membuatnya takut. Lagi, Lastri menggedor-gedor pintu rumah salah satu bidan desa di Jorong Padang Rukam, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota. Wajahnya penuh kecemasan karena bidan tersebut belum juga membukakan pintu. Ya, Lastri paham sekarang sudah pukul dua belas lewat lima menit, sudah pasti orang-orang tengah terlelap tidur, belum lagi hujan lebat membuat hawa tengah malam ini semakin dingin, tidur pun akan semakin nyenyak tentunya. Namun, bayangan Wati, Uninya yang tengah berkontraksi hebat membuatnya tidak peduli dengan kondisi saat ini. “Assalamu’ailakum! Bu Bidan!” teriak Lastri kembali, tangannya yang kurus bewarna sawo matang mulai bergetar. Tubuhnya yang basah mulai menggigil karena payung yang dia bawa tidak membuatnya terhindar dari percikan air hujan

DMCA.com Protection Status