Perempuan itu berdiri di hadapan seorang laki-laki yang menatapnya khawatir.
“Alenna,” ujarnya, “coba dengarkan aku sebentar saja, Sayang.” Tatapnya penuh permohonan. Perempuan bernama Alenna itu bergeming. Matanya yang hitam pekat menatap tajam ke arah laki-laki itu, hingga membuatnya salah tingkah. “A-aku mencintaimu, Al, sumpah!" kembali laki-laki yang bernama Rafael itu berujar; berusaha meyakinkan kekasihnya. Hawa dingin menghantam tengkuknya. Ia bisa mendengar suaranya yang terdengar parau di antara kegelisahan batinnya sendiri. “Aku sangat mencintaimu, Al,” ulangnya kembali–pelan namun penuh kesungguhan. Setidaknya, ia harus berusaha terlihat dan terdengar sungguh-sungguh, walaupun ia sendiri tidak terlalu yakin akan hal itu. Angin dingin terus berhembus di antara keduanya. Angin yang membawa sisa-sisa hujan di bulan Desember yang dengan sukses berhasil membekukan otak Rafael untuk bekerja lebih baik di hadapan Alenna, perempuan yang hampir lima bulan menjadi tunangannya itu. Alenna tersenyum sinis. “Kita berhubungan telah cukup lama, Raf. Apa kau ingat itu?” “Y-ya, tentu saja, Sayang.” “Walaupun kita bertunangan baru lima bulan, rasanya tidak ada artinya dibanding dengan kebersamaan yang tengah kita lalui selama 4 tahun terakhir,” Alenna berujar seraya menatap jalan yang nampak lengang. Lalu, tatapan matanya kembali mengarah pada kekasihnya. “Apakah itu tidak berarti bagimu, Raf?” “Te-tentu saja berarti…” Alenna tersenyum. “Sebesar apa artinya untukmu?” Rafael terdiam. Ia tahu, sebesar apa pun kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, pasti akan terasa salah bagi perempuan dihadapannya. Ini adalah kali pertama ia mengkhianati kekasihnya, setelah hampir 4 tahun mereka menjalin hubungan dan berakhir dengan pertunangan. Kala itu, Rafael berpikir dengan bertunangan segalanya akan menjadi lebih baik, dibanding mereka tinggal bersama tanpa kejelasan hubungan alias kumpul kebo. Rafael ingin segalanya menjadi lebih baik. Bertahan di negara orang dengan seorang perempuan menderita Antisocial Personality Disorder bukanlah sesuatu yang mudah bagi laki-laki berlesung pipit itu. Namun, ia harus bertahan. “Lupakan saja, Raf,” perempuan berkulit putih pucat itu berujar datar. “Kalau itu terlalu sulit bagimu, kamu tidak perlu menjawabnya. Dan, lupakan kalau kamu pernah mencintaiku. Aku benar-benar tidak mengharapkanmu lagi.” “Al,” Rafa mendesah–frustasi. “Ayolah, Sayang. Kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin, kan?” Alenna yang terlihat menawan dalam balutan jaket kulit hitamnya pun terdiam. Tak ada satu kata yang meluncur dari bibir dengan polesan lipstick warna marun itu, selain tarikan napas panjang yang dihembuskannya pelan. Perilaku Alenna tentu saja membuat Rafael semakin merasa kikuk. “Sial!” jerit hati laki-laki berhidung bangir itu. Kegelisahan mulai merayapinya, karena tidak mampu memaknai arti tatapan mata Alenna. “Alenna…” kembali Rafael berujar, lalu diam untuk sesaat-mengatur napas. Berusaha menemukan kembali ketenangannya sendiri. “Maafkan aku, Sayang.” Pada akhirnya, laki-laki itu berujar pelan. Setelah dirasa mampu mengendalikan suasana hatinya lagi, “Aku bersumpah, Sayang. A-aku khilaf!” sambungnya. Lagi ia berkata dengan lebih tegas, “Alenna, percayalah... aku berjanji akan memperbaiki semuanya.” “Baik.” Mata Alenna menatap lurus-lurus ke arah laki-laki berambut hitam itu. “Tapi… bagaimana caranya? Bagaimana kamu memperbaiki keadaan ini? Meminta aku memafkanmu dan memaklumi perbuatanmu?” tanyanya datar. “Lalu, membiarkan semua berjalan seperti semula. Hmmm... aku bermanis ria; membangunkanmu di pagi hari dengan secangkir kopi kemudian setelah itu kita bercinta? Apa dengan cara yang demikian, Raf?” Rafael terdiam. Tidak ada satu jawaban pun yang terlintas dalam benaknya. Ia hanya mampu bungkam seribu bahasa; ia semakin merasa tersudut. Hatinya sakit sekaligus bingung. Tidak tahu lagi harus menyalahkan siapa. Apakah harus menyalahkan Dena? Perempuan yang telah membuatnya memberikan segalanya, karena ia telah berhasil membuat Rafael melupakan sebagian beban hidup yang menghimpitnya. Ini gila! Itu sebabnya, kenapa ia begitu benci perselingkuhan. Namun, alih-alih menghindarinya, justru ia malah melakukan kebodohan itu. Menenggelamkan diri dalam pelukan perempuan lain. Damn! “Rafa…” suara Alenna kembali menyadarkan laki-laki itu. “Bagaimana caramu memperbaiki sakit hatiku, Raf? Bagaimana kamu bisa membuatku melupakan perbuatanmu dan kita saling berbagi kecupan atau pelukan lagi, tanpa aku mengingat bahwa dengan bibir yang sama, kamu telah mengecup bibir perempuan lain atau dengan lengan yang sama, kamu telah memeluk perempuan lain? Kataksnlah. Jangan hanya diam.” Rafael menunduk, memejamkan mata; limbung. “Ah! Ayolah Raf, kamu membuatku frustasi…” Alenna nampak gemas dengan laki-laki yang berdiri di hadapannya seperti seorang pesakitan. Ia ingin laki-laki itu mendebatnya. Setidaknya, ia harus tahu apa yang akan dilakukannya setelah ia mengkhianat. Ia harus tahu, bagaimana cara membuatnya percaya kembali padanya. Walaupun, rasanya akan sangat tidak mungkin, seorang antisosial seperti dia akan mudah percaya pada orang lain. Dengan perlahan, Alenna berjalan mendekati Rafael yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. Laki-laki itu bergeming. Pikirannya dipenuhi oleh prasangka. “Apa yang akan dilakukan perempuan ini,” bisik batinnya. “Sebaiknya dia melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan ketika kemarahannya meledak.” “Tampar dan ludahi wajahku, Al. Itu sudah lebih dari cukup,” kembali Rafael berbisik dalam hati. Rafael sudah cukup terbiasa menerima kemarahan Alenna di saat ia kedapatan tengah melakukan kesalahan. Tapi, bagaimana dengan kesalahan kali ini? Bukankah, perempuan yang cemburu dapat melakukan apa saja? Apalagi, ketika ia menemukan kekasihnya tengah bercinta dengan perempuan lain. “Ah!” Rafael nyaris menggila di malam yang dingin itu. “Baiklah.” Kembali Rafael berujar dalam hati, mencoba kembali menenangkan diri. “Ini adalah kesalahan. Mungkin, hal terburuknya, Alenna akan memutuskan pertunangan kami, lalu meninggalkanku sambil melempar cincin yang melingkar di jari manisnya ke dalam got. That’s all! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan Rafael.” Rafael terus masuk ke dalam pemikirannya sendiri. Menimbang-nimbang. Hingga pada satu titik, ia menemukan keraguan dalam analisanya sendiri. “Rasanya mustahil, kalau Alenna akan meninggalkanku. Bukankah Alenna sangat mencintaiku? Jadi, tidak mungkin dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.” Kepala Rafael dijejali kembali oleh keraguan. Laki-laki itu mencoba memikirkan segala kemungkinan serta skenario apa yang harus dilakukannya, demi meyakinkan perempuan yang memiliki perilaku ‘sedikit psikopat’ ini. Sebuah ide terlintas. Nampaknya, Rafael harus memainkan sedikit drama, dengan menyusun sebuah skenario pengakuan dosa. Mengungkapkan rasa penyesalannya sambil menangis, lalu memohon maaf dan bersedia menerima hukuman apa pun, selain perpisahan. Kalau perlu, berusaha meyakinkan Alenna, bahwa seorang Rafael tidak bisa hidup tanpanya. Pasti, ‘sebatu’ apa pun seorang perempuan, akan luluh bila mendengar kata-kata seperti itu. Rafael pun mulai menguatkan diri. Ia tahu, menghadapi Alenna bukanlah perihal yang mudah. Beberapa imajinasi berkelindan dalam pikiran laki-laki berbadan tegap itu. Namun, tiba-tiba semua buyar. Ketika tubuh mungil tunangannya memaut dengan tubuhnya. Dekapan perempuan itu serasa hangat dalam dinginnya hawa di malam yang merangkak pelan menuju dini hari itu. Rafael terdiam. Dengan penuh keraguan, dibalasnya dekapan Alenna. Tangis perempuan itu pun pecah. Hingga membuat Rafael jatuh dalam rasa sesal. Tapi tetap saja, ia merasakan adanya keganjilan. “Bukan!” bisik Rafael dalam hati. Ini salah! Seharusnya bukan Alenna yang menangis, tapi aku. Bukan seperti itu skenarionya? Alenna tidak pernah menangis. Lalu, kenapa sekarang dia harus menangis?” “Kamu tahu, Sayang,” Alenna berujar setelah tangisnya mereda. Mematahkan lamunan Rafael seketika. “Bukankah, dua bulan lagi kita akan menikah?” tanya Alenna dengan suara sedikit berbisik. Rafael mengangguk, sembari mengusap kepala Alenna yang lembab oleh sisa gerimis. “Tapi, kenapa kamu melakukan itu?” kembali perempuan berwajah tirus itu bertanya, masih dengan intonasi suara yang sama. Rafael menghela napas panjang. Ia merasa bingung, bagaimana harus menyusun kata. “Tahukah kamu, Sayang?” Alenna melonggarkan pelukannya, matanya menatap kekasihnya tajam. “Siapa pun tak boleh memilikimu?” Alenna kembali mendekap Rafael, setelah berujar demikian. Keheningan tercipta di antara keduanya. “Karena kau adalah milikku, Rafa…” suara Alenna kembali terdengar. Rafael masih tetap bungkam. Ada rasa aneh menjalar di dadanya. Entah rasa sesal atau apalah. Laki-laki itu tidak mampu memaknai keanehan itu sebagai pertanda apa pun. “Rafa…” desah Alenna, “Rafaku… kenapa kamu mengkhianatiku?” Setelahnya, keheningan kembali terjadi. Angin dingin berhembus, menggiring malam yang semakin larut. Bintang-bintang yang tertutup mega seolah enggan mengintip. Mereka meredupkan kerlipnya, begitu pun cahaya bulan yang bersembunyi, setelah hujan deras mengguyur kota itu. Seolah, bulan enggan membagi pijarnya terhadap jalan setapak yang diterangi oleh keremangan lampu jalan, tempat di mana Alenna dan Rafael berdiri mematung; saling mendekap. Air mata mengalir membasahi pipi Alenna yang dingin. Perlahan, dilepasnya dekapan tangan yang melingkari tubuh Rafael, kekasihnya, bersamaan dengan ambruknya tubuh laki-laki itu ke bumi. Cairan merah merembes membasahi kemeja biru langit dengan noda lipstick marun di dadanya. Rafael tidak perlu lagi menjawab atau memberi alasan mengapa ia mengkhianati Alenna. Karena bagi Alenna sendiri, ia tidak mau tahu atau bahkan tidak perlu tahu, betapa susahnya hidup menjadi seorang Rafael yang mengikat diri pada perempuan sepertinya. Alenna, perempuan berkulit pucat itu, menatap Rafael yang juga tengah menatapnya dengan tatapan memohon pertolongan. Tangan laki-laki itu menekan perutnya yang mengalirkan cairan merah tanpa henti. “Aku mencintaimu, Rafael,” ujar Alenna dingin. “Itu sebabnya, aku tak rela kamu dimiliki oleh siapa pun…” Usai Alenna berujar demikian, Rafael menghembuskan napas terakhirnya. Perempuan itu mendesah, sambil menatap ke arah jasad kekasihnya yang tergeletak di atas konblok basah yang mulai memerah. “Teeeet. Teeeet…” Bunyi bel terdengar berkali-kali. “Damn!” Airin memekik. Seketika ia menggebrak meja. Lalu bangkit meninggalkan meja kerjanya dengan tergesa menuju pintu depan. Perempuan itu menarik gerendel pintu dengan kasar. Pintu pun terbuka. Mata Airin menyipit karena sinar mentari yang menerpa. Seorang laki-laki tampak berdiri di hadapannya dengan membawa dua buah botol susu. Wajah ramahnya menatap ke arah perempuan berkaos toska itu. “Selamat pagi, Bu. Maaf, saya mau bertanya, apa Ibu masih mau berlangganan susu? Karena susu-susu yang saya antar, sepertinya masih ada di situ,” ujar laki-laki pengantar susu sambil menunjuk ke arah 6 buah botol susu yang masih utuh dan mulai basi, berjejer di sisi pot berisi tanaman zamioculcas. Airin mau tidak mau mengikuti arah telunjuk laki-laki penjual susu itu. “Ah,” bibir Airin terbuka. Sepertinya, ia melupakan botol-botol susu itu. Pantas saja, kalau laki-laki di hadapannya memencet bel dengan tidak sabaran. Airin memang pernah berpesan pada si penjual susu, bahwa ia cukup meletakkan susu pesanannya di depan pintu. Karena saat ia mengantar Sandy berangkat bekerja, Airin akan mengambil botol itu dan membawanya masuk. Atau, bisa saja, Sandy yang akan membawa botol itu masuk sepulangnya bekerja. Laki-laki itu tahu, bahwa istrinya pasti tengah sibuk dengan tulisannya. Namun, sepertinya Airin melupakan sesuatu bahwa Sandy sudah hampir seminggu belum kembali ke rumah. Dan, hingga detik ini, Airin tidak dapat menghubunginya. Laki-laki itu seolah hilang ditelan bumi. “Apa saya masih harus mengantarkan susu, Bu?” tanya penjual susu itu kembali yang serta merta memaksa Airin memutuskan ingatannya tentang Sandy, suaminya. “Hmmm…bolehlah,” jawab Airin ragu sambil mengambil dua botol susu dari tangan laki-laki di hadapannya itu. “Oh ya, kamu bawa saja susu-susu itu!” perintah Airin sambil menunjuk ke arah deretan susu di samping pot. “Saya akan tetap membayarnya. Sebentar…” Airin berujar, lalu menutup pintu. Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Perempuan itu berdiri di sana sembari menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada penjual susu. “Ambil saja kembaliannya,” ujar Airin cepat. Lalu pintu kembali di tutup. Tukang susu garuk-garuk kepala. Ternyata benar, isu yang berkembang tentang pemilik rumah ini. “Perempuan itu ternyata benar-benar aneh,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Laki-laki itu pun mengangkat 6 botol susu yang ditelantarkan Airin di beranda rumahnya. Kemudian segera berlalu dari sana. *** Airin memasukan susu itu ke dalam lemari es yang telah mengeluarkan bau tidak sedap. “Apa yang busuk di sini,” gumamnya, sambil matanya menatap ke arah sayuran hijau yang ditumpuk tak rapi. Dengan cepat, perempuan itu mengeluarkan semua isi lemari es-nya; memilah-milah mana yang masih layak untuk di olah dan mana yang harus dibuang ke tempat sampah. “Apa seharusnya aku membuat cerita berbeda saja?” desahnya tiba-tiba. Perempuan itu menghentikan aktivitas memilih-milih sayuran yang terserak di lantai dapur. “Salahkah kalau aku membunuh lelaki itu?” kembali ia bertanya sembari mengernyitkan dahi. “Tapi, Rafael itu memang pantas mati.” Perempuan itu terus bergumam sendiri sambil duduk berjongkok di hadapan kol yang mulai membusuk dan beberapa sayuran yang layu bahkan mengering. “Ah! Cerita yang berakhir dengan kematian akan nampak membosankan,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Airin berdiri menuju jendela. Isi kulkas yang tadi dibongkarnya masih tergeletak tidak rapi di atas lantai. Perempuan itu menatap ke luar jendela. Langit tampak buram, awan hitam yang menyerupai mozaik-mozaik, mengaburkan mentari yang mulai terbenam. Membuat senja terlihat kurang menawan. “Sebentar lagi hujan turun,” gumamnya. Airin menggaruk-garuk kepala. Ia menatap ke arah wastafel yang penuh dengan piring-piring kotor. Seekor kecoa nampak berjalan dengan santai melewati pinggiran wastafel tempat cuci piring. Cangkir-cangkir kopi tergeletak sembarangan. Remah-remah kripik dan roti kering nampak berjatuhan di bawah wastafel. Airin berdecak. “Damn! Ternyata, hidupku sama berantakannya dengan dapur sialan ini,” rutuknya kemudian. Suara gemuruh mulai terdengar. Membuat perempuan berkulit bersih itu kembali menatap langit. Sekelumit bayangan muncul di antara kapas abu-abu yang menempati posisinya di langit sana. Wajah Sandy Keenan terbentuk tanpa di duga-duga. Perempuan itu bergeming. Menatap lurus, jauh menembus bayangan wajah suaminya yang tersenyum lalu menghilang di hapus rintik-rintik air. Ada rasa yang begitu menyedihkan bergelayut dalam relung hatinya. Rasanya seperti tersilet-silet, hingga menimbulkan rasa mual yang teramat sangat. Airin mulai menatap senja yang hilang tertelan rinai hujan. Ia pun melorot jatuh di sisi jendela. Menyadari dirinya bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang hidup di antara fase manik dan depresi. “Kesendirian lebih baik. Di banding menyulitkan hidup kekasihmu. Bukan begitu, Airin?” Hanya kata-kata seperti itu yang mampu dibisikannya sebagai penguat, ketika ia menyadari Sandy telah pergi dari hidupnya. Laki-laki itu menghilang. “Ayolah Airin, kamu boleh lelah. Tapi, tidak boleh berhenti…” desahnya sambil mengusap air mata yang keluar perlahan membasahi pipi. Hanya terus berusaha menguatkan diri semampunya. Hanya itu yang Airin bisa. Langkah kakinya yang labil, bukanlah kehendak dirinya. Ia tidak pernah meminta langkah kakinya untuk berlari kencang, tidak pernah juga meminta untuk berhenti, bahkan ia pun terkadang tak ingin berbalik arah. Namun, kakinya memaksa untuk berbalik. Airin lelah. Tapi, dia tidak punya pilihan kecuali menjalani semuanya. Rasa rindunya pada Sandy mungkin mampu membunuh rasa sakit hatinya. Walaupun, alter ego-nya tak terima! Ia selalu berusaha memaki Airin. Mencemo’ohnya sebagai perempuan lemah. Tidak jarang, Airin berjuang melawan alter ego-nya yang selalu mencibir dan memakinya dalam pergunjingan yang panjang. Hingga ia jatuh pada kondisi tidak berdaya. Rasa sakit dan nelangsa membaur menjadi satu membentuk kubangan-kubangan yang dipenuhi lumpur dendam. “Bagaimana, kalau kamu pecahkan semua piring-piring itu? Agar kamu bisa meluapkan semua kekesalanmu. Menjeritlah…memakilah...” bisik alter ego-nya. “Atau… kamu akhiri saja semua ini. Toh, tidak akan ada satu orang pun yang peduli kalau kamu mati?” Airin pun terdiam. “Apakah tidak ada satu hal pun yang lebih baik dari kematian?” bisiknya pelan ***Airin berbaring di atas ranjang, setelah bersitegang dengan alter ego-nya sendiri. Tidak ada satu sayuran pun yang tersisa di atas lantai, ketika kemarahan merasukinya. Semua nampak busuk! Itu pula yang menjadi alasan baginya tidak menyisakan satu sayuran pun untuk dikembalikan ke dalam lemari pendingin, tapi justru ia lemparkan ke tempat sampah. Hari itu pun, Airin membereskan rumahnya selama 8 jam, setelah hampir 3 hari ia tidak memejamkan mata, merangkai 200 halaman cerita tanpa jeda.Perempuan itu tersentak dari atas ranjang, ketika ia menangkap suara dari lantai bawah. Ia bangkit dari tidurnya, lalu dengan segera berlari menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Matanya menangkap sesosok laki-laki tengah menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa seraya memejamkan mata.Airin tersenyum. Lalu menghambur ke arah laki-laki itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti – menahan diri untuk tidak mendekat di kala jarak mereka hanya selangkah saja. Suara dengkuran halus terdengar pelan. Nampaknya, S
Airin memasuki sebuah kantor penerbitan. Disapanya beberapa staf yang nampak tidak asing baginya dengan ramah.“Hai, Airy!” Seorang perempuan bertubuh gempal dengan kulit putih menghampirinya. Matanya tampak berbinar. Ada gurat bahagia yang terpancar di wajahnya tatkala perempuan bernama pena Airy itu datang.“Hai, Juli.” Airin tersenyum melihat Juli yang terlihat berbeda dengan kamisol warna kuning gadingnya itu. “Wow, cantiknya…” puji Airin kepada sahabat sekaligus editornya itu.“Ini kamisol baru, loh.” Juli tertawa seraya berputar. “Bagimana, cantikkan?”“Warnanya lembut banget. Dan, cocok banget sama kulitmu,” ujar Airin. “Cantik banget, deh.” Airin mengacungkan jempolnya seraya berdecak.“Cukup membahas kamisolnya, Ry. Aku ingin mengucapkan selamat dulu. Buku terakhirmu diminati banyak orang. Selamat, ya!” ujar Juli antusias.Airin tersenyum. “Terima kasih, Jul. Kalau bukan karena kejelianmu dan promosi yang luar biasa, apalah arti buku-buku yang kutulis. Sekali lagi, makasih, y
Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Gelas-gelas sisa kopi berserakan di lantai. Airin terkapar di atas tempat tidurnya. Mata hitamnya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu seolah-olah melihat masa depannya sendiri melalui langit-langit yang berhias bintang-bintang berbahan fosfor itu. Menyaksikan dunia yang dibangunnya runtuh tanpa mampu berbuat apa pun, bukanlah impiannya. Bahkan, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap demikian. Airin sama sekali tidak memiliki harapan untuk bertahan, dalam kemelutnya sendirian.Kepergian Sandy menjadi puncak depresinya. Ia merasakan lelah yang teramat sangat. Sepulangnya menginap semalaman di rumah sakit, saat orang-orang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan kemarin. Rasa lelah bukan hanya menyerang fisik Airin, tapi juga pikirannya.Di atas pembaringan, Airin menarik napas panjang. Diangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencoba menggapai udara kosong di hadapannya. Sedang satu tangan lainnya bermain dengan rokok ya
Santa Maria merupakan sebuah rumah sakit kecil dengan bangunan yang tampak suram dan terletak di pinggiran kota. Tidak banyak tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit itu. Namun, Adrian Keenan, adik Sandy Keenan memilih bekerja di tempat yang ‘katanya’ katanya tidak memiliki masa depan itu. Ia akan dengan senang hati melayani pasien-pasien skizofrenia dengan berbagai macam kondisi yang membelit mereka.Siang itu, setelah bercengkerama dengan beberapa pasien yang datang dengan permasalahan mereka, Adrian duduk di bawah pohon akasia yang berada di belakang bangunan rumah sakit. Laki-laki itu menikmati secangkir kopi, ditemani sebatang rokok yang dihisapnya dalam. “Adrian…” Sebuah suara mengejutkannya. Ia melihat Tania tengah berjalan ke arahnya.“Tania? Wow, ini kejutan.” Adrian berujar seraya tersenyum pada perempuan yang tengah berjalan mendekatinya. Laki-laki itu membuang dan menginjak putung rokoknya.“Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Tania duduk di samping
Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy, kakaknya, setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota dan melepasnya walau dengan berat hati. “Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita datang,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya. Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya.” Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa tidak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis, sih?” “Sungguh, Adrian. Aku sedang tidak ingin bermanis-manis dengaanmu.” Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja.” Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu lelah mengemudi, beristirahatlah.” “Baik, Sayang.” Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lal
Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu. “Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi
-8- Ketika Depresi itu Datang Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah. Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda. “Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,”
Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana- kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan. Ketika rasa lelah mulai menjangkiti. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala. Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap, Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelis
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan