Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi tersebut kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairan pun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah.
Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda.
“Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,” gumamnya sembari berlalu menuju kamar.
***
Setelah merasa sedikit tenang, Adrian kembali ke kamarnya. Berbaring di atas ranjang. Resah dengan pikirannya sendiri. Baginya, sepertiga malam terakhir kali ini, terasa berjalan sangat lambat.
“Apa Kak Rin akan baik-baik saja, kalau surat gugatan itu aku berikan padanya?”
Surat gugatan cerai itu masih tersimpan rapi di dalam laci meja di sisi ranjang Adrian. Mengingat keberadaan surat itu, mau tidak mau membuatnya gelisah. Ada rasa khawatir jauh dalam relung batin laki-laki berkulit bersih itu. Alih-alih, berusaha membantu kakak iparnya keluar dari kemelut gangguan mood yang dialaminya, justru hal tersebut bisa saja membuat gangguan mood Airin semakin parah. “Kenapa sampai sekarang, Kak Sandy tidak berusaha mengobati Kak Rin?” Pertanyaan demi pertanyaan terus berkutat dalam pikirannya. Dan semuanya terasa menggelisahkan.
***
Suara kokok ayam terdengar dari kejauhan, sebagai pertanda bahwa mentari bersiap untuk menempati singgasananya. Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja di tempatnya yang baru, ia pun mulai menyiapkan segalanya. Laki-laki itu pun menyempatkan diri mengintip ke dalam kamar kakak iparnya. Karena ia merasa, kamar Airin terlalu hening.
Adrian menemukan Airin yang tengah terlelap seperti bayi. Di lantai kamar, tampak sisa putung dan abu rokok berserakan. Dengan bergegas, laki-laki itu pun membereskan semua. Menyapu dan mengepel kamar Airin dengan hati-hati, nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin Airin terbangun lalu mulai berulah di hari pertamanya bekerja.
Adrian bergerak cepat, membereskan rumah serta menyiapkan sarapan. Setelah semuanya beres, laki-laki tampan itu pun berangkat tanpa pamit kepada kakak iparnya.
Adrian tak lagi sempat memikirkan banyak hal. Ia hanya ingin menemui Sandy di tempat kerja, lalu memohon kepada kakak laki-lakinya itu. Bahwa ia tidak ingin menemani Airin lagi, karena hidupnya terlalu berharga untuk tertawan di sana. Lagi pula, ia pun tidak merasa yakin bisa menangani Airin dengan baik.
Setelah berbasa-basi dengan beberapa staf di unit tempat kerjanya seusai praktek, Adrian mulai mencari Sandy di unit bedah. Wajahnya cerah, ketika ia menangkap sosok laki-laki yang tengah berbicara serius dengan seorang dokter cantik berkaca mata.
“Permisi,” Adrian menegur.
Sandy berbalik, sebuah senyum merekah di bibirnya. “Hai, Yan.”
Adrian tersenyum, lalu mengangguk ke arah Hanna.
“Kamu ingat dengan dia?” tanya Sandy seraya menepuk bahu Hanna lembut.
Adrian menatap Hanna sesaat. Sebelum ia berujar, Sandy telah kembali bicara.
“Dia Hanna, teman SMA kakak dulu.”
“Oh!” Adrian manggut-manggut.
Hanna tersenyum ramah, seraya mengulurkan tangan menyalami Adrian yang di sambut dengan uluran tangan Adrian.
“Hai, Kak,” sapa Adrian ramah.
“Yan, ternyata kamu nggak terlalu jauh berubah, ya,” Hanna berujar.
Adrian tertawa. “Aku masih begini-begini saja, Kak.”
“Bagaimana hari pertamamu bekerja?” tanya Sandy kemudian. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Sandy.
Adrian tersenyum, “Ya. Semua berjalan lancar.”
“Aku senang kamu bekerja di sini, Adrian,” Hanna berujar, “oh iya, kamu bisa, kan, menjadi saksi di hari pernikahan kami nanti,” sambungnya.
Adrian tertegun, lalu menatap Sandy yang juga tengah menatap ke arahnya.
“Kami akan menikah bulan depan,” terang Sandy cepat.
“Oh,” Adrian tersenyum, “ baguslah,” ujarnya sambil manggut-manggut, penuh keraguan.
“Kak,” Adrian kembali berujar setelah sempat terdiam sepersekian detik, sambil menatap ke arah Sandy. “Boleh kita bicara sebentar?”
“Ya,” Sandy menjawab cepat.
“Baiklah,” Hanna memotong. “Sebaiknya, aku tinggalkan kalian,” ujar Hanna tersenyum. setelah mengangguk ke arah Adrian, perempuan berkuncir kuda itu pun berlalu.
“Apa Kakak sudah gila,” ujar Adrian penuh tekanan, setelah kepergian Hanna.
“Apa kamu sudah berikan amplop itu pada Airin, Yan?” tanya Sandy balik bertanya.
“Aku nggak bisa memberikannya, Kak. Hari ini mood-nya sedang tidak baik,” terang Adrian.
“Kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan, Yan. Perubahan mood yang dialami Airin itu semakin parah. Jadi, buat apa kamu tahan-tahan lagi.”
“Ayolah, Kak. Bagaimana bisa Kakak berbuat seperti ini.”
“Aku hanya manusia biasa, Yan.”
Adrian menatap Sandy dengan frustasi. Bahkan ia tak yakin bahwa Sandy bisa memahami kondisinya.
“Sudahlah!” Sandy berujar kemudian. “Abaikan saja Airin. Bila kamu memang tidak tahan dengan perilakunya, tinggalkan saja dia,” ujar laki-laki itu pada akhirnya dengan kesal.
Adrian terdiam sambil menatap ke arah Sandy dengan tatapan mata kecewa. Laki-laki itu pun beringsut mundur, kemudian berbalik meninggalkan Sandy. Pikirannya buntu. Rasanya saat itu juga, ia ingin meledakkan kakak laki-laki itu hingga berkeping-keping.
***
Matahari mulai tergelincir ke ufuk timur. Pendar kemerahan mulai terlukis di ujung cakrawala. Airin duduk bersengkil di jendela dapur. Matanya mengawasi tanaman dalam pot yang tersusun di antara tanaman perdu.
“Ya Tuhan, aku tahu. Ada banyak hal yang mampu membuat seorang merasa bahagia, dan banyak hal juga yang bisa membuat orang merasa muak. Bukankah begitu, Tuhan? Aku pikir, semakin ke sini, aku pun merasa semakin muak. Aku bosan menulis, aku bosan berpikir, aku bosan melakukan apa pun. Aku tak ingin menjadi orang yang terus memeras otak dengan kisah-kisah absurd dalam novel-novelku itu. Aku pikir, mungkin aku akan menjadi gila. Kenapa aku merasa sefrustasi ini? Padahal, aku tidak memikirkan apa pun. Ah! Sandy… hanya laki-laki itu yang kupikirkan. Kenapa dia pergi tanpa pesan? Kenapa dia menghilang? Apakah memang nasibku yang harus terus-menerus mengalami kehilangan?Mengapa tidak Kau buat saja aku yang menghilang?”
Airin kembali menatap sekeliling ruang dapur. Ruangan itu nampak berbeda. Sepertinya, Adrian telah merapikannya. Dan, baginya ini terlalu sempurna.
Airin bangkit dari duduk, menyusuri laci, membukanya satu persatu. Lalu berpikir sebentar, coba mengingat-ngingat sesuatu.
“Di mana aku meletakkannya, ya? Apa Adrian memindahkannya? Atau justru, anak itu membuangnya?” Airin bergumam. Dengan cepat ia keluar menuju teras samping. Membongkar plastik tempat sampah yang masih nampak baru. Bibirnya berdesis, ketika matanya menatap botol-botol vibe kosong di sana.
“Ah! Adrian…” Airin merutuk.
***
Sore itu Airin pergi ke toserba untuk mencari beberapa barang yang ia butuhkan. Kepenatan mulai menjangkitinya. Banyak hal yang berkutat di dalam kepala. Ia mulai memilih-milih dan membeli beberapa bahan makanan seperti mi, sarden, dan beberapa makanan kaleng lainnya.
Airin berdiri cukup lama di hadapan counter penjual daging. Menimang-nimang daging apa yang harus ia beli. Ataukah, sebaiknya ia membeli ikan atau ayam saja? Sampai seseorang perempuan tiba-tiba menabraknya.
“Upss… maaf, Mbak,” ujar perempuan yang ternyata adalah Hanna. Ia nampak sedang menelpon seseorang, hingga tidak menyadari keberadaan Airin yang berdiri di sana. Perempuan itu menjatuhkan beberapa barang bawaannya berupa kaleng-kaleng berisi manisan buah. Dengan cepat, Airin membantu memunguti kaleng-kaleng tersebut.
“Sebentar, ya.” Hanna menutup ponselnya, lalu dengan kikuk menerima kaleng-kaleng yang diserahkan Airin padanya.
“Makasih,” ujarnya kemudian. Airin hanya mengangguk.
Lalu, perempuan itu pun berlalu. Meninggalkan Airin yang masih berdiri di tempatnya sembari menatap tumpukan kaleng berisi manisan buah yang tersusun tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Bukankah, Sandy menyukainya?”
Tidak jauh dari tempat Airin berdiri, Hanna kembali melakukan panggilan dengan ponselnya. Namun belum sempat ia menekan tombol panggilnya, Sandy telah muncul di ujung rak, tidak jauh dari tempatnya berada.
“Sandy!” Hanna berseru, lalu perempuan itu pun berlari ke arah laki-laki yang nampak tampan dengan kemeja biru langitnya itu. Sandy tersenyum, menggandeng Hanna dan mereka pun berlalu.
Seperti tersadar, Airin pun berbalik. Ia mendengar ada seseorang yang mengucapkan nama ‘Sandy’, ketika ia benar-benar sedang memikirkan keberadaan laki-laki itu. Airin pun menyapu arah pandangnya ke seluruh penjuru toserba yang dapat terjangkau oleh netranya. “Sandy… kupikir aku melihatnya,” desah Airin. Perempuan itu mulai berjalan menyusuri toserba, dan ia melihat gambaran sepasang kekasih dari balik jendela di luar sana. Mereka berjalan beriring dan saling merangkul. “Sa-Sandi…” Mata Airin membulat, tatapannya pun terpaku di sana.
Jangan lupa like dan save, ya... Saya tunggu masukan dan komentarnya, tapi tetap dengan cara menghargai literasi dan sampaikanlah dengan sopan. ^ ^
Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana-kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan.Ketika rasa lelah mulai menindihnya. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tidak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala.Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelisah
Adrian mendorong pintu kamar Airin. Ia melihat Airin menangis dalam mimpinya. Dengan cepat Adrian berusaha membangunkan kakak iparnya.“Kak, Kak Rin… Kak Rin, Banguun…” Adrian menguncang-guncang badan Airin. Hingga beberapa menit berlalu, Airin pun berhasil dibangunkan.“Kak… sudah, tidak apa-apa, Kak…” Adrian mengusap wajah Airin yang berpeluh dan bercampur air mata.“Kakak mimpi buruk?”Airin nampak mengatur napasnya, lalu mengangguk.“Aku ambilkan air minum, ya?” Adrian berlalu meninggalkan Airin yang tercenung.“Mimpi itu datang lagi… kenapa, mimpi itu selalu datang akhir-akhir ini?” Airin bertanya dalam hati.Adrian kembali dengan segelas air dan memberikannya kepada Airin. “Minumlah, Kak.”Airin menerima air itu lalu menandaskannya.“Adrian, sudah. Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tidur lagi saja,” ujar Airin.“Kakak yakin?”Airin mengangguk. Adrian pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Airin sendiri di kamarnya.Malam itu, Airin dan Adrian sama-sama tidak dapat memejamkan mata. Me
Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya.“Yan…” suara Airin terdengar lemah.Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin.“Sandy telah mengkhianatiku…”Adrian masih diam.“A-aku melihatnya semalam…”“Iya, Kak.”Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?”Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. ***Berkali-kali sudah, Adrian hanya melihat A
Sandy merasakan kegeraman menghimpitnya, usai menghabiskan makan siang bersama Mario. Bagaimana bisa, laki-laki itu dapat berpikir demikian. Apa dia ingin menjadi pahlawan dalam kehidupan Airin. Damn! Bukankah, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Sandy adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari Airin?Bahkan, mood Sandy benar-benar berantakan saat ia bertemu Hanna.“Kenapa Mario bisa merusak mood-mu, Sayang?” Hanna bertanya.“Ada sedikit perbedaan persepsi, Han. Tapi, sudahlah. Kami sudah membereskannya.”Hanna terdiam. Apalagi Sandy benar-benar terlihat dingin. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu selalu terlihat hangat ketika menghabiskan waktu bersamanya.“Oh iya, tentang perceraian itu? Apa kamu sudah membereskannya?” tanya Hanna hati-hati.“Aku akan segera membereskannya. Jadi, jangan khawatir.”Hanna tidak bicara lagi. Rasanya percuma membahas apa pun dengan Sandy, ketika ia dalam kondisi mood yang tidak baik.***Adrian dikejutkan oleh kedatangan Hanna, kekasih gelap ka
Airin menatap kosong ke luar jendela. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang diperolehnya siang tadi. Sebuah dokumen perceraian dari Sandy telah berada di tangannya. Tanpa perlu adanya persetujuan, dokumen itu telah sah dikeluarkan. Airin dinyatakan ‘raib’! Airin melihat dunianya hancur. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Sandy begitu tega melakukan ini padanya. Apakah laki-laki itu begitu membencinya? Hingga ia mampu mengarang cerita demi sebuah dokumen. *** Seperti hari-hari yang lewat, Adrian pulang bersama memerahnya mentari di ufuk timur. Ada hawa aneh menyelimutinya, sejak laki-laki itu menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Ia mendapati Airin tegah duduk di sofa dengan mata sembab. Belakangan ini, mata perempuan itu memang selalu terlihat sembab. Namun, entah kali ini mengapa terasa begitu berbeda. “Kak, ada apa?” tanyanya pelan. Airin menunjuk ke arah meja. Adrian menuju tempat yang ditunjuk Airin dan menemukan sebuah dokumen perceraian di sana. Pelan-pelan dibacanya
Airin berlari ke lantai dua, diikuti oleh Adrian. Perempuan itu dengan kasar membuka pintu kamar adik iparnya lalu menuju lemari tempat Adrian menyimpan pakaian dan beberapa barang lainnya. Dilemparkan semua pakaian Adrian keluar.“Kak…dengarkan penjelasanku dulu, kumohon,” Adrian coba menyentuh Airin, tapi ditepis dengan kasar oleh perempuan itu.“Keluar kamu dari sini, Yan! Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.”“Kak, kumohon…”Airin berbalik. Ia menatap Adrian dengan marah. “Kamu pengkhianat!” pekiknya. “Keluar, Yan! Keluar dari rumah ini!”“Kakak boleh menghukum aku, Kak. Tapi, dengarkan aku dulu!”Airin mendorong Adrian, laki-laki itu bergeming di tempatnya.“Keluar…!” Airin terus mendorong, Adrian coba meraih tangan mantan kakak iparnya. Namun, bukan malah menghentikannya, justru perempuan itu semakin menjadi. Airin memukuli tubuh dan wajah Adrian yang tetap berdiri tidak bergerak. Airin dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar dari kamar sambil terus memukulinya,
Airin hanya diobservasi semalaman di rumah sakit. Setelahnya, ia diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, Airin kembali mengurung diri dalam kamarnya. Yang tentu saja, hal tersebut membuat Adrian kembali dirundung kecemasan. Dan, perilaku Airin yang demikian berimbas kepada konditenya di rumah sakit. Adrian beberapa kali izin tidak praktek. Sehingga ia pun menjadi bahan perbincangan di kalangan rumah sakit.Kabar burung terkait Adrian itu pun sampai ke telinga Sandy. Mereka berkata, “Adrian sedang sibuk mengurus kekasihnya yang mencoba bunuh diri dengan memotong nadinya. Itu sebabnya, dokter muda itu sering tidak praktek. Karena sibuk mengurusi pacarnya”.“Mungkin, pacarnya cemburuan. Dokter Adrian, kan, ganteng. Mana ramah lagi dengan semua orang,” ujar salah seorang perawat di nurse station poliklinik.“Tapi, kenapa juga pacarnya harus mencoba bunuh diri, sih?” tanya perawat lainnya.“Segala hal bisa saja terjadi. Apalagi di zaman sekarang. Kalau aku jadi pacarnya Dokter Adrian mungki
“Apa yang membuatmu lari dari Airin?”“Karena aku lelah menghadapi perilakunya,”“Tapi, kamu adalah seorang dokter? Seharusnya kamu tahu, Airin itu bipolar?”“Dokter pun manusia. Aku bukan dewa maupun Tuhan yang memahami segalanya.”“Kamu gila Sandy. Airin itu perempuan yang luar biasa!”“Ya. Dia perempuan yang luar biasa. Dan, aku adalah lelaki yang gagal melindungi jiwanya!”Sandy terbangun dari tidur dengan keringat mengucur deras. Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang selalu mengingatkan bahwa Airin mengidap bipolar. Dan, lari darinya merupakan satu kesalahan besar.“What the hell,” desah laki-laki tampan itu, lalu bangkit menuju kamar mandi. Mengguyur kepalanya dengan shower. Hingga 45 menit pun berlalu. Itu adalah waktu terlama yang ia habiskan di dalam kamar mandi.Sandy keluar dari kamar mandi, setelah menutupi tubuhnya dengan baju mandi berwarna coklat muda. Laki-laki itu tertegun, tatkala melihat Hanna telah duduk manis di atas sofa berwarna putih tulang yang berada tepat di ruan
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan