Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya. “Yan…” suara Airin terdengar lemah. Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin. “Sandy telah mengkhianatiku…” Adrian masih diam. “A-aku melihatnya semalam…” “Iya, Kak.” Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?” Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. **** Berkali-kali sudah, Adrian hany
Sandy merasakan kegeraman tersendiri, sepulangnya menghabiskan makan siang bersama Mario. Bagaimana bisa, laki-laki itu dapat berpikir demikian. Apa dia ingin menjadi pahlawan dalam kehidupan Airin. Damn! Bukankah, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Sandy adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari Airin? Bahkan, mood Sandy benar-benar berantakan saat ia bertemu Hanna. “Kenapa Mario bisa merusak mood-mu, Sayang?” Hanna bertanya. “Ada sedikit perbedaan persepsi, Han. Tapi, sudahlah. Kami sudah membereskannya.” Hanna terdiam. Apalagi Sandy benar-benar terlihat dingin. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu selalu terlihat hangat ketika menghabiskan waktu bersamanya. “Oh iya, tentang perceraian itu? Apa kamu sudah membereskannya?” tanya Hanna hati-hati. “Aku akan segera membereskannya. Jadi, jangan khawatir.” Hanna tidak bicara lagi. Rasanya percuma membahas apa pun dengan Sandy, ketika ia daam kondisi mood yang tidak baik. **** Adrian dikejutkan oleh kedatangan Hanna, kek
Airin menatap kosong ke luar jendela. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didapatkanya siang tadi. Sebuah dokumen perceraian dari Sandy telah berada di tangannya. Tanpa perlu adanya persetujuan, dokumen itu telah sah dikeluarkan. Airin dinyatakan ‘raib’! Airin melihat dunianya hancur. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Sandy begitu tega melakukan ini padanya. Apakah laki-laki itu begitu membencinya? Hingga ia mampu mengarang cerita demi sebuah dokumen? **** Adrian pulang ketika hari menjelang senja. Ia merasa aneh, tatkala mendapati Airin tegah duduk di sofa dengan mata sembab. “Kak, ada apa?” tanyanya pelan. Airin menunjuk ke arah meja. Adrian menuju tempat yang ditunjuk Airin dan menemukan sebuah dokumen perceraian di sana. Pelan-pelan dibacanya berita dalam kertas berwarna putih itu. Ia gemetar. “Sial!” rutuk laki-laki tampan itu dalam hati. “Bagaimana mungkin Sandy melakukan ini?” “Yan. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?” tanya Airin pelan. Adrian kembali
Airin berlari ke lantai dua, diikuti oleh Adrian. Perempuan itu dengan kasar membuka pintu kamar adik iparnya lalu menuju lemari tempat Adrian menyimpan pakaian dan beberapa barang lainnya. Dilemparkan semua pakaian Adrian keluar. “Kak…dengarkan penjelasanku dulu, kumohon,” Adrian coba menyentuh Airin, tapi ditepis dengan kasar oleh perempuan itu. “Keluar kamu dari sini, Yan! Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.” “Kak, kumohon…” Airin berbalik. Ia menatap Adrian dengan marah. “Kamu pengkhianat!” pekiknya. “Keluar, Yan! Keluar dari rumah ini!” “Kakak boleh menghukum aku, Kak. Tapi, dengarkan aku dulu!” Airin mendorong Adrian, laki-laki itu bergeming di tempatnya. “Keluar…!” Airin terus mendorong, Adrian coba meraih tangan mantan kakak iparnya. Namun, bukan malah menghentikannya, justru perempuan itu semakin menjadi. Airin memukuli tubuh dan wajah Adrian yang tetap berdiri tidak bergerak. Airin dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar dari kamar sambil terus memuku
Airin hanya diobservasi semalaman di rumah sakit. Setelahnya, ia diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, Airin kembali mengurung diri dalam kamarnya. Yang tentu saja, hal tersebut membuat Adrian merasa cemas. Perilaku Airin yang demikian berimbas kepada konditenya di rumah sakit. Adrian beberapa kali izin tidak praktek. Sehingga ia pun menjadi bahan perbincangan di rumah sakit. Kabar burung terkait Adrian itu pun sampai ke telinga Sandy. Mereka berkata, “Adrian sedang sibuk mengurus kekasihnya yang mencoba bunuh diri dengan memotong nadinya. Itu sebabnya, dokter muda itu sering tidak praktek. Karena sibuk mengurusi pacarnya”. “Mungkin, pacarnya cemburuan. Dokter Adrian kan tampan. Dia pun ramah dengan semua orang,” ujar salah seorang perawat di nurse station poliklinik. “Tapi, apa harus mencoba bunuh diri?” tanya perawat lainnya. “Segala hal bisa saja terjadi. Apalagi di zaman sekarang. Kalau aku jadi pacarnya Dokter Adrian mungkin aku juga bisa jadi posesif. Dokter Adrian itu lemb
“Apa yang membuatmu lari dari Airin?” “Karena aku lelah menghadapi perilakunya,” “Tapi, kamu adalah seorang dokter? Seharusnya kamu tahu, Airin itu bipolar?” “Dokter pun manusia. Aku bukan dewa maupun Tuhan yang memahami segalanya.” “Kamu gila Sandy. Airin itu perempuan yang luar biasa!” “Ya. Dia perempuan yang luar biasa. Dan, aku adalah lelaki yang gagal melindungi jiwanya!” Sandy terbangun dari tidur dengan keringat mengucur deras. Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang selalu mengingatkan bahwa Airin mengidap bipolar. Dan, lari darinya merupakan satu kesalahan besar. “What the hell,” desah laki-laki tampan itu, lalu bangkit menuju kamar mandi. Mengguyur kepalanya dengan shower. Hingga 45 menit pun berlalu. Itu adalah waktu terlama yang ia habiskan di dalam kamar mandi. Sandy keluar dari kamar mandi, setelah menutupi tubuhnya dengan baju mandi berwarna coklat muda. Laki-laki itu tertegun, tatkala melihat Hanna telah duduk manis di atas sofa berwarna putih tulang yang berada tepat
Seorang gadis kecil berlari di sekitar halaman rumah, lalu masuk ke dalam gudang kosong, meringkuk di sana dengan wajah ketakutan. Bunyi berderit terdengar dari daun pintu gudang yang dibuka dari luar. Gadis kecil itu mulai membekap mulutnya sendiri, berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. “Airin… di mana kamu?” Bocah yang dipanggil Airin itu nampak gemetar. Itu adalah suara pamannya. “Ayolah, berhenti main petak umpet. Bibimu sebentar lagi datang. Kenapa kamu harus membuang waktu paman.” Laki-laki itu bergerak mendekat dan semakin mendekat. “Ayolah, Bi…” bisik Airin dalam hati. “Segeralah pulang…” “Airin…Airin… ayolah!” Ketakutan Airin semakin membuncah. Namun, gadis cilik itu terus mencoba menahan tangisnya sendiri. Tubuh mungilnya pun gemetar sedemikan rupa. Ia seperti terayun-ayun. “Airin… Airin…. Kak Rin…” Tiba-tiba, sebuah suara yang berbeda memanggilnya dari tempat yang sangat jauh. “Ah!” Airin bangun dari tidurnya dengan air mata dan keringat ya
Adrian menghabiskan waktu untuk merenung di sepanjang perjalanannya pulang. Mengapa ia cemas terhadap Airin. Benarkah tersiram air panas hanyalah kecelakaan kecil yang tidak sengaja dilakukannya. Atau, itu salah satu bentuk dari self harm? Dan, Tania. Ia benar-benar kesal pada perempuan itu. Bukankah kecemburuannya tidak beralasan sama sekali. Namun, setelah mengumpati perempuan itu dalam hati, Adrian mulai melakukan proyeksi diri. Tentang apa yang dilihat Tania darinya. Apa Tania membaca kekhawatiran yang tak selayaknya. Ah! Ingatan Adrian terlempar pada beberapa masa ke belakang. Saat itu, Adrian masih SMA. Dan, Sandy pulang ke rumah untuk memperkenalkan Airin pada kedua orang tuanya. Di mata Adrian saat itu, Airin adalah perempuan tercantik yang pernah dilihatnya, walaupun ia tengah menjalin cinta monyet dengan salah satu teman SMA-nya, yang hingga detik ini, ia lupa siapa nama perempuan yang suka menuntut dibelikan whitening itu. Pernikahan Sandy dan Airin, benar-benar membuat A