Beranda / Romansa / Perempuan Kopi / Adrian dan Logikanya (7)

Share

Adrian dan Logikanya (7)

last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 07:00:53

Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu.

“Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis.

Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi dari rumah.”

“Bagaimana kabarnya?” tanya Sandy.

“Kakak belum menjawab pertanyaanku?”

Sandy terdiam sembari melemparkan pandangannya ke arah kolam. Sebuah patung bangau putih berdiri dengan satu kaki nampak hidup di tengah kolam dengan bunga-bunga teratai berwarna putih mukim di atas permukaan airnya yang hijau.

“Apa yang ingin kamu ketahui, Yan?” tanyanya tanpa menatap ke arah Adrian. Ia masih sibuk menatap ke arah teratai-teratai yang nampak cantik itu.

“Semuanya, Kak. Kenapa Kakak pergi meninggalkan Kak Rin, apa yang terjadi pada kalian berdua?”

Sandy kembali terdiam, lalu ia menatap ke arah adik laki-lakinya. “Aku tak tahu harus memulai darimana, Yan.”

Adrian terdiam untuk sesaat. Ia nampak berpikir, lalu kembali berujar, “Kak, mungkinkah Kak Rin melakukan satu kesalahan atau justru Kakaklah yang membuat kesalahan?”

“Seharusnya, semua bisa diselesaikan dengan baik, Kak,” Adrian kembali berujar.  

Sandy nampak menghela napas. “Airin tidak bisa lagi diajak bicara dengan baik, Yan,” keluh Sandy.

Adrian menatap Sandy tak percaya, “Tidak mungkin, Kak. Aku kenal Kak Rin dengan baik.”

“Tapi sekarang, kamu tidak akan bisa mengenali Airin, Yan. Dia sudah berubah. Dia bukan lagi Airin yang lembut seperti dulu.”

“Apa maksud, Kakak?”

“Setahun belakangan ini, Airin dinyatakan mengidap Bipolar.”

Adrian terdiam.

“Dan, hingga saat ini, ia masih menyangkal.”

“Apa Kakak yakin?”

“Seandainya dia tidak menyangkal, pastinya dia menjalani pengobatannya, kan?”

Adrian nampak berpikir, ada rasa sesak memenuhi kalbunya yang dia sendiri tidak tahu mengapa.

Sandy berkata lagi, “Bagiku, Airin menjadi sosok orang lain, Yan. Dia mulai hidup dalam dunianya sendiri. Kadang begitu energik hingga aku lelah menuruti kemauan isi dalam kepalanya. Namun, kadang ia merasa begitu sedih, hingga aku sendiri frustasi dibuatnya.”

Adrian menatap Sandy.

“Aku menyerah, Yan. Sungguh.”

“Lalu, kalau Kakak menyerah, untuk apa Kakak memintaku datang dan bekerja di sini dan memaksa aku untuk tinggal bersama Kak Rin?”

“Karena aku tidak bisa membiarkannya sendiri, Yan.”

Adrian menatap Sandy bingung. “Kalau begitu, kenapa Kakak meninggalkannya?”

“Karena aku salah.”

“Ya Tuhan…” Adrian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Aku berbuat kesalahan pada Airin. Sialnya, aku  tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

“Kak… sudah. Hentikan! Kakak membuat kepalaku terasa sakit.”

“Maafkan aku…” ujar Sandy tulus.

Adrian menunduk sembari memainkan jemari tangannya sesaat, lalu kembali melempar pandangannya jauh ke depan.

Sandy pun terdiam. Banyangan Airin tiba-tiba muncul tanpa ia minta. Perempuan jelita itu nampak berdiri di depan jendela dapur dengan membawa secangkir kopi; tercenung.

Adrian menarik napas panjang, “Kenapa semua menjadi sangat menyebalkan,” desah Adrian. “Seharusnya, Kak Sandy tidak melibatkanku dengan cara seperti ini. Apakah dengan menghilang darinya dan mengutus aku ke sana, merupakan satu-satunya ide terbaik yang bisa Kakak pikirkan?”

Sandy menghela napas.

“Baiklah. Jadi, apa rencana kakak setelah ini?” tanya Adrian, matanya kini beralih ke arah bocah-bocah yang tengah berlarian kesana- kemari.

“Aku akan menikah lagi.”

Adrian menatap Sandy sesaat, menggelengkan kepala. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, dan maju beberapa langkah.

“Adrian. Aku titip Airin padamu, ya?” ujar Sandy, ia bangkit; berdiri di belakang Adrian.

Adrian berbalik dengan cepat, seraya melayangkan tinjunya ke wajah Sandy. Serta merta, serangan Adrian yang tak diduga-duga  itu, membuat Sandy terjungkal. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

“Kak! Apa kakak tahu, kalau aku sudah mulai muak sekarang?” Wajah Adrian memerah menahan marah. “Aku tak pernah menyangka, hal ini akan terjadi, Kak,” ujarnya gemas. “Dan, aku sangat menyesal. Seharusnya, aku tidak perlu mendengarkan Kakak.”

Sandy berusaha bangkit. “Aku tidak punya pilihan lagi, Yan,” ujarnya sembari terhuyung. “Semuanya sudah terjadi. Dan, aku tidak sanggup membereskannya, kecuali mengikuti jalannya saja.”

Adrian terdiam. Matanya yang nampak berkaca-kaca, menatap Sandy dengan kesal.

“Berikan ini pada Airin.” Sandy menyerahkan amplop coklat yang semenjak tadi tersimpan dari balik hoddie-nya kepada Adrian. Laki-laki itu pun menerimanya  dengan ragu. Setelahnya, Sandy berbalik, meninggalkan Adrian yang termangu sendiri.

****

Hujan turun di penghujung senja. Meninggalkan jejak pada kaca jendela sebuah kafe. Adrian menatap jalan yang nampak samar di antara rinai hujan, dari dalam kafe. Secangkir latte menunggu dengan cantik di hadapannya. Di sisi cangkir itu, tergeletak secarik kertas bertajuk  Surat Gugatan Cerai.

“Kak Sandy sepertinya mulai gila,” gerutu Adrian. “Kalau dia mau menceraikan Kak Rin, buat apa menyuruhku menjaganya? Ya Tuhan…”

Kepala Adrian berdenyut. Dengan cepat, diminumnya latte di hadapannya hingga tandas. Kemudian diletakkan cangkir sisa latte itu kembali di atas meja dengan kasar, hingga menimbulkan suara ‘prak’. Para pengunjung kafe sekilas menatap ke arah Adrian, lalu kembali dengan aktivitasnya masing-masing.

Adrian nampak menarik napas panjang. Laki-laki itu kembali teringat akan kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika kakak laki-lakinya itu secara tiba-tiba menghubunginya. Semula, ia pikir, Sandy murni hanya ingin memberikannya sebuah pekerjaan. Namun, keanehan mulai mengganjal hatinya, ketika laki-laki itu memberikan syarat bahwa ia harus tinggal bersama Airin. Setelah memintanya menjaga Airin, Sandy justru menitipkan surat gugatan cerai kepadanya, untuk diserahkan kepada kakak iparnya itu. Bukankah, itu konyol? Secara tidak langsung, kakak laki-lakinya itu telah membunuhnya tanpa harus capek-capek menikamnya dengan pisau dapur berkali-kali.

Otak Adrian berputar dengan cepat. Apa yang akan dikatakannya pada Airin sesampainya di rumah nanti. Airin tak pernah tahu, bahwa kedatangannya adalah atas perintah Sandy. Laki-laki itu telah mengatur segalanya, termasuk pekerjaan baru yang akan ditempati oleh Adrian. Karena bagi Sandy, itulah satu-satunya alasan yang paling masuk akal bagi Adrian untuk bisa mendekati Airin dengan dalih menumpang di rumah yang dibangunnya bersama Airin. Selama laki-laki itu mampu berpura-pura, bahwa ia tidak tahu kalau sebenarnya Sandy telah pergi meninggalkan Airin. Ah! Adrian benar-benar merasa serba salah.

Semakin ia memikirkan kelakuan kakak laki-lakinya itu, semakin ingin rasanya Adrian menghabisi kakaknya. Terlebih lagi, ia mengetahui bahwa kakak iparnya adalah perempuan yang baik. Airin tidak akan tega mengusir Adrian, meskipun hubungannya dengan Sandy bermasalah.

****

Adrian kembali ke rumah Airin, setelah jarum jam menunjukan pukul 21.30. Nampaknya, Airin tengah dalam kondisi baik. Ia menyiapkan beberapa hidangan untuk makan malam mereka. Perempuan berkulit pucat itu tak banyak bertanya, ia hanya menanyakan apakah adik iparnya itu sudah makan malam atau belum. Adrian lega. Setidaknya, ia tidak perlu bercerita kepada Airin ke mana saja ia menghabiskan waktu seharian ini.

Adrian menikmati masakan Airin lagi dengan santai tanpa banyak pikiran. Rasa masakan Airin terbilang cukup lezat, walaupun sederhana. Satu-satunya masakan yang paling disukainya adalah omelet. Dulu, ketika mereka masih tinggal bersama di kediaman keluarga Keenan, Airin rajin membuatkan Adrian omelet sebelum laki-laki itu berangkat ke sekolah.

Airin tersenyum melihat adik iparnya makan dengan lahap.

“Besok, kamu mau sarapan apa?” tanya perempuan itu.

“Omelet,” jawab Adrian mantap.

Airin tertawa. “Baiklah. Tapi, aku tidak janji, ya?”

Andrian tersenyum. Di matanya, Airin tampak semakin menggemaskan. Apa kurangnya Airin? Mengapa Sandy tega meninggalkannya?

“Yan? Kamu melamun?” suara Airin membuat Adrian tersadar.

“Hmm….enggak apa-apa, Kak. Cuma sedikit kepikiran saja. Kan, besok pertama kali aku kerja di kota.”

Airin tertawa, “Tidak ada bedanya, Yan, di kota maupun di desa.

Adrian tersenyum.

“Hmmm…” Airin menatap Adrian dalam.

“Ada apa, Kak? Apa yang kakak pikirkan?”

“Yan, boleh kamu cari tahu tentang Sandy?”

Adrian terdiam.

“Mungkin, besok kamu bisa tanyakan rekan-rekan dokter yang satu kerjaan sama kamu. Siapa tahu di antara mereka ada yang mengenal Sandy,” ujar Airin.

“Apa Kakak tidak memiliki kontak teman dekatnya?” tanya Adrian.

Airin menggeleng. “Tidak ada satu temannya pun yang aku kenal, Yan. Aku pernah beberapa kali mengunjungi tempat prakteknya. Tapi sepertinya, Sandy sudah tidak praktek lagi di sana.”

“Nanti aku coba cari tahu, ya, Kak.”

Airin tersenyum. “Makasih, Yan.”

Ganti Adrian tersenyum. Walaupun, ia merasakan debaran aneh dalam dadanya. Debaran yang ingin diledakkannya saat itu juga.

Setelah makan, Adrian membereskan piring-piring yang kotor dan mencucinya di wastafel. Sedangkan Airin membereskan piring berisi lauk pauk dan menyimpannya ke dalam lemari penyimpanan. Sesekali, Adrian mencuri pandang ke arah kakak iparnya. Ada rasa iba bergelayut dalam relung hatinya.

“Kak, aku naik ke kamar, ya,” Adrian berujar setelah merapikan semua piring yang dicucinya ke atas rak.

Airin mengangguk. “Istirahat, Yan. Jangan terlalu banyak pikiran. Dan, jangan tidur terlalu malam, ya? Karena kita tak pernah tahu, apa yang terjadi besok.” 

Entah, pernyataan Airin itu berupa pesan atau himbauan. Adrian tidak berniat memberikan jawaban apa pun, kecuali hanya menatap kakak iparnya sesaat, kemudian melanjutkan langkahnya menaiki tangga, menuju lantai atas.

Di dalam kamarnya, laki-laki berambut ikal itu sengaja tidak menyalakan lampu. Ia duduk di sisi jendela, sembari menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan setelah hujan sore tadi. Bulan bersinar sempurna sebagai penghias jubah malam yang tak menanggalkan pekatnya.

Adrian jatuh dalam perenungan. Mulai menimbang-nimbang setiap kemungkinan. Menyusuri tiap hal yang akan dilakukannya, lalu mulai melakukan pemetaan. Ini benar atau salah, baik atau tidak, dan boleh atau tidak boleh. Kepalanya mulai berdenyut. Resah dalam kegalauan hatinya sendiri.

Pelan-pelan ia mulai melakukan ketukan pada pergelangan tangan kirinya dengan ujung jari telunjuk kanan. “Ya Tuhan. Lama-lama, aku bisa gila dengan kondisi seperti ini.” Desahnya sambil terus melakukan tapping atau ketukan. “Sandy, sialan kamu!”

Adrian yang mulai merasa tertekan di hari pertamanya bertemu Sandy, mulai meng-EFT[1] dirinya sendiri. Menerapkan ilmu yang dimilikinya sebagai dokter spesialis jiwa untuk mengontrol emosinya. Ini adalah satu-satunya hal terbaik dan bijaksana yang bisa dilakukan oleh laki-laki bermata teduh itu, setidaknya untuk saat ini.

****

Adrian terbangun oleh suara tangisan di pagi hari. Dengan malas, tangannya coba meraih jam beker yang berada di atas meja. Jarum jam menunjukan pukul 03.30. Laki-laki tampan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit.

Dengan malas, ia  keluar dari kamar, mencari sumber suara. Menuruni anak tangga menuju dapur. Airin di sana. Ia tengah duduk bersimpuh di bawah jendela dapur; terisak-isak sendirian.

“Kak Rin. Kakak kenapa?” tanya Adrian sembari berjalan mendekat.

Airin menatap Adrian, lalu mengusap air matanya cepat dengan punggung tangan. “Enggak apa-apa Yan. Maaf mengganggu…” ujarnya lalu bangkit dari duduk dan dengan terhuyung, ia berlalu meninggalkan Adrian.

Adrian menatap kepergian Airin lalu kembali melemparkan pandangan ke bekas tempat Airin duduk. Sebotol vibe dan gelas sloki tergeletak di sana dengan sisa abu dan beberapa putung rokok dalam asbak. Adrian terpana. []

[1] EFT: Emotional Freedom Technique

Bab terkait

  • Perempuan Kopi   Ketika Depresi itu Datang (8)

    -8- Ketika Depresi itu Datang Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah. Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda. “Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,”

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Perempuan Kopi    Ke Mana Sandyku Pergi (9)

    Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana- kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan. Ketika rasa lelah mulai menjangkiti. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala. Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap, Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelis

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Perempuan Kopi   Mimpi Buruk Airin (10)

    Adrian mendorong pintu kamar Airin. Ia melihat Airin menangis dalam mimpinya. Dengan cepat Adrian berusaha membangunkan kakak iparnya. “Kak, Kak Rin… Kak Rin, Banguun…” Adrian menguncang-guncang badan Airin. Hingga beberapa menit berlalu, Airin pun berhasil dibangunkan. “Kak… sudah, tidak apa-apa, Kak…” Adrian mengusap wajah Airin yang berpeluh dan bercampur air mata. “Kakak mimpi buruk?” Airin nampak mengatur napasnya, lalu mengangguk. “Aku ambilkan air minum, ya?” Adrian berlalu meninggalkan Airin yang tercenung. “Mimpi itu datang lagi… kenapa, mimpi itu selalu datang akhir-akhir ini?” Airin bertanya dalam hati. Adrian kembali dengan segelas air dan memberikannya kepada Airin. “Minumlah, Kak.” Airin menerima air itu lalu menandaskannya. “Adrian, sudah. Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tidur lagi saja,” ujar Airin. “Kakak yakin?” Airin mengangguk. Adrian pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Airin sendiri di kamarnya. Malam itu, Airin dan Adrian sama-sama tidak dapat memejam

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Perempuan Kopi   Terkuaknya satu Rahasia (11)

    Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya. “Yan…” suara Airin terdengar lemah. Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin. “Sandy telah mengkhianatiku…” Adrian masih diam. “A-aku melihatnya semalam…” “Iya, Kak.” Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?” Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. **** Berkali-kali sudah, Adrian hany

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Dicampakkan (12)

    Sandy merasakan kegeraman tersendiri, sepulangnya menghabiskan makan siang bersama Mario. Bagaimana bisa, laki-laki itu dapat berpikir demikian. Apa dia ingin menjadi pahlawan dalam kehidupan Airin. Damn! Bukankah, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Sandy adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari Airin? Bahkan, mood Sandy benar-benar berantakan saat ia bertemu Hanna. “Kenapa Mario bisa merusak mood-mu, Sayang?” Hanna bertanya. “Ada sedikit perbedaan persepsi, Han. Tapi, sudahlah. Kami sudah membereskannya.” Hanna terdiam. Apalagi Sandy benar-benar terlihat dingin. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu selalu terlihat hangat ketika menghabiskan waktu bersamanya. “Oh iya, tentang perceraian itu? Apa kamu sudah membereskannya?” tanya Hanna hati-hati. “Aku akan segera membereskannya. Jadi, jangan khawatir.” Hanna tidak bicara lagi. Rasanya percuma membahas apa pun dengan Sandy, ketika ia daam kondisi mood yang tidak baik. **** Adrian dikejutkan oleh kedatangan Hanna, kek

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09
  • Perempuan Kopi   Airin dan Amarahnya (13)

    Airin menatap kosong ke luar jendela. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didapatkanya siang tadi. Sebuah dokumen perceraian dari Sandy telah berada di tangannya. Tanpa perlu adanya persetujuan, dokumen itu telah sah dikeluarkan. Airin dinyatakan ‘raib’! Airin melihat dunianya hancur. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Sandy begitu tega melakukan ini padanya. Apakah laki-laki itu begitu membencinya? Hingga ia mampu mengarang cerita demi sebuah dokumen? **** Adrian pulang ketika hari menjelang senja. Ia merasa aneh, tatkala mendapati Airin tegah duduk di sofa dengan mata sembab. “Kak, ada apa?” tanyanya pelan. Airin menunjuk ke arah meja. Adrian menuju tempat yang ditunjuk Airin dan menemukan sebuah dokumen perceraian di sana. Pelan-pelan dibacanya berita dalam kertas berwarna putih itu. Ia gemetar. “Sial!” rutuk laki-laki tampan itu dalam hati. “Bagaimana mungkin Sandy melakukan ini?” “Yan. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?” tanya Airin pelan. Adrian kembali

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-24
  • Perempuan Kopi   Kubur Aku di Hari Pernikahanmu (14)

    Airin berlari ke lantai dua, diikuti oleh Adrian. Perempuan itu dengan kasar membuka pintu kamar adik iparnya lalu menuju lemari tempat Adrian menyimpan pakaian dan beberapa barang lainnya. Dilemparkan semua pakaian Adrian keluar. “Kak…dengarkan penjelasanku dulu, kumohon,” Adrian coba menyentuh Airin, tapi ditepis dengan kasar oleh perempuan itu. “Keluar kamu dari sini, Yan! Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.” “Kak, kumohon…” Airin berbalik. Ia menatap Adrian dengan marah. “Kamu pengkhianat!” pekiknya. “Keluar, Yan! Keluar dari rumah ini!” “Kakak boleh menghukum aku, Kak. Tapi, dengarkan aku dulu!” Airin mendorong Adrian, laki-laki itu bergeming di tempatnya. “Keluar…!” Airin terus mendorong, Adrian coba meraih tangan mantan kakak iparnya. Namun, bukan malah menghentikannya, justru perempuan itu semakin menjadi. Airin memukuli tubuh dan wajah Adrian yang tetap berdiri tidak bergerak. Airin dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar dari kamar sambil terus memuku

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-28
  • Perempuan Kopi   Tuhan, Izinkan Aku Menjaganya (15)

    Airin hanya diobservasi semalaman di rumah sakit. Setelahnya, ia diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, Airin kembali mengurung diri dalam kamarnya. Yang tentu saja, hal tersebut membuat Adrian merasa cemas. Perilaku Airin yang demikian berimbas kepada konditenya di rumah sakit. Adrian beberapa kali izin tidak praktek. Sehingga ia pun menjadi bahan perbincangan di rumah sakit. Kabar burung terkait Adrian itu pun sampai ke telinga Sandy. Mereka berkata, “Adrian sedang sibuk mengurus kekasihnya yang mencoba bunuh diri dengan memotong nadinya. Itu sebabnya, dokter muda itu sering tidak praktek. Karena sibuk mengurusi pacarnya”. “Mungkin, pacarnya cemburuan. Dokter Adrian kan tampan. Dia pun ramah dengan semua orang,” ujar salah seorang perawat di nurse station poliklinik. “Tapi, apa harus mencoba bunuh diri?” tanya perawat lainnya. “Segala hal bisa saja terjadi. Apalagi di zaman sekarang. Kalau aku jadi pacarnya Dokter Adrian mungkin aku juga bisa jadi posesif. Dokter Adrian itu lemb

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29

Bab terbaru

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

  • Perempuan Kopi   Ulang Tahun Moza (72)

    Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar

  • Perempuan Kopi   Perempuan yang Berbeda (71)

    Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kendali (70)

    Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status