Adrian memutuskan untuk mengikuti keinginan Sandy, kakaknya, setelah mengikat Tania dalam sebuah pertunangan. Sejujurnya, Tania tidak menginginkan skenario seperti ini. Namun, ia tidak bisa menahan kebulatan tekad Adrian untuk pergi ke ibu kota dan melepasnya walau dengan berat hati.
“Tania, bersabarlah sampai waktu pernikahan kita datang,” ujar Adrian sore itu yang terlihat tampan dengan jaket levis belelnya.
Tania tersenyum masam. “Setialah padaku, jangan pernah sekali pun kamu berani berpaling. Atau kamu akan rasakan akibatnya.”
Adrian tertawa. “Kamu menyeramkan, Sayang. Kenapa tidak bisa berlaku seperti Taniaku yang manis, sih?”
“Sungguh, Adrian. Aku sedang tidak ingin bermanis-manis dengaanmu.”
Lagi Adrian tersenyum. “Tapi, kamu tetap terlihat manis, kok. Tenang saja.”
Mau tidak mau, Tania pun tersenyum. Lalu berujar, “Pergilah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau kamu lelah mengemudi, beristirahatlah.”
“Baik, Sayang.”
Adrian mengecup kening Tania dengan lembut, lalu masuk ke dalam mobilnya. Laki-laki itu melajukan mobilnya dengan pelan menuju jalan besar.
****
Mentari menampakan sinarnya yang hangat. Membias, menerangi kuntum demi kuntum bunga morning glory yang tergantung di beranda rumah Airin. Beberapa botol susu lagi-lagi berjejer di samping pohon dollar atau tumbuhan zamioculcas. Seorang laki-laki tampan dengan jaket levis belel berdiri di depan pintu, sembari beberapa kali menekan bel.
Bunyi bel itu terdengar begitu tidak sabaran, hingga menimbulkan kebisingan yang menyelinap masuk ke dalam kamar Airin yang tengah terbaring di atas ranjangnya. Perempuan itu menggeliat, tatkala sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela membuatnya memicingkan mata. Di halanginya sinar mentari yang menerpa wajahnya dengan telapak tangan, sebelum ia bangkit dari pembaringan.
Airin menatap jarum jam yang berjalan mantap; setengah sebelas. Dengan malas, istri Sandy Keenan itu bangkit dari tempat tidur, lalu keluar menuju lantai bawah. Bel pintunya masih terus terbunyi sambung-menyambung. Untuk sepersekian detik, perempuan itu tertegun. Ketika ia berada di ruang bawah. Ruangan itu lebih mirip kapal karam di banding ruang tamu. Kertas-kertas berserakan, gelas-gelas kopi, dan remah-remah yang berceceran jauh dari piringnya. Airin menghela napas panjang. Lalu, bunyi bel kembali mengingatkannya, bahwa ada seseorang yang menunggunya di luar sana.
Dengan cepat, Airin membuka pintu. Perempuan itu tertegun, ketika netranya menangkap sosok laki-laki yang tidak asing baginya.
“Halo, Kak Rin!” sapa Adrian “Kenapa lama sekali, sih, Kakak membukakan pintu,” Adrian berujar sambil mendorong Airin pelan; memaksa masuk. Sebelum Airin sempat berkata-kata.
“Ya ampun,” Adrian terkesima. Ia tidak mempercayai penglihatannya sendiri, ketika menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapannya. “Apa ada kerusuhan di sini, Kak?” tanyanya polos sambil menatap kakak iparnya yang terlihat kikuk di samping pintu.
Airin tidak bicara apa-apa. Perempuan itu menutup pintu dengan segera, lalu berjalan melewati Adrian yang masih terbengong-bengong. Airin memunguti gelas-gelas sisa kopi dan menumpuknya bersama piring remah-remah, kemudian membawanya ke dapur. Adrian meletakkan tas ranselnya ke lantai. Laki-laki itu pun ikut membereskan kertas-kertas yang berserakan. Menumpuk dan meletakkannya di atas meja, dekat rak buku.
Adrian termangu ketika matanya menatap buku-buku yang berjejer rapi. Nama “Airy” tertera di sana. Dengan perlahan, laki-laki berhidung bangir itu menyentuh buku bersampul biru. Sulit dipercaya, bahwa buku yang dipegangnya adalah hasil karya Airin, kakak iparnya. Rasanya aneh! Bagaimana bisa, buku-buku yang ditulis Airin mampu menembus pasar, menjadi best seller. Padahal, sekilas Airin terlihat biasa saja. Bukan perempuan dengan imajinasi yang luar biasa seperti yang dinampakkan oleh karya-karyanya.
“Kak Sandy enggak ada di sini, Yan,” suara Airin mengejutkan Adrian yang tengah khusyuk membuka lembar demi lembar halaman kertas book paper dengan font berjenis garamond. Airin muncul dari dapur dengan membawa secangkir teh. “Dia pergi,” ujarnya lagi sembari meletakkan cangkir hitam berlukiskan bunga sakura berwarna merah muda itu di meja dekat sofa.
“Kapan dia pulang, Kak?” tanya Adrian tanpa memperhatikan Airin. Tangannya masih sibuk membolak-balik novel bercover biru itu.
“Entahlah,” jawab Airin sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat tua. Matanya terus mengawasi Adrian yang sibuk dengan novel Tuhan, Akulah yang Fana miliknya.
“Hmm… Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Adrian, kali ini ia menatap lurus-lurus ke arah Airin. Perempuan itu membuang pandangannya ke arah cangkir teh Adrian.
Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan buku bersampul biru itu kembali ke tempatnya. Ia berjalan ke arah Airin yang tengah menunduk sambil memainkan jemarinya.
Adrian duduk di sofa yang sama dengan Airin. Menatap perempuan itu lekat-lekat.
“Kak. Ada apa?” tanyanya lembut. “Apa, sih, yang terjadi di antara kalian?”
Airin menggeleng. “Aku enggak tahu,” gumamnya.
“Aku coba menghubungi Kak Rin beberapa waktu yang lalu, tapi ponsel kakak tidak aktif.”
“Ponselku hilang. Aku ganti nomor.”
“Hmm…sudahlah,” Adrian menggenggam jemari Airin sesaat, tatapannya beralih kepada cangkir berisi teh buatan Airin. Ia pun mengambil cangkir itu dan menyesap isinya, lalu kembali meletakkannya di atas meja.
“Hmm… Kak. Kak Rin masak apa? Aku lapar,” rengeknya.
Airin menatapnya. Adrian tersenyum polos.
“Hmmm…” Airin tampak ragu, tapi ia kembali berujar, “sebentar, aku lihat dulu, ya. Apa yang aku punya di dapur.”
Walau terlihat bingung, tetap saja Airin pergi ke dapur lagi. Adrian mengawasi kepergian kakak iparnya itu, sambil menghela napas panjang.
“Ya Tuhan…” desah Adrian pelan. Mata laki-laki itu nampak berkaca-kaca. Ingatannya terlempar ketika pertama kali ia bertemu dengan Airin. Perempuan itu terlihat begitu bahagia dan tentu saja jelita. Ada yang salah. Sesuatu telah terjadi pada pernikahan mereka, tanpa diketahuinya.
****
Tiga puluh menit kemudian, Airin keluar dari dapur dengan semangkuk mi rebus. “Yan, maaf, ya. Aku cuma punya ini,” ujar Airin penuh sesal, sambil meletakkan semangkuk mi itu di atas meja. Wajah Adrian terlihat cerah.
“Enggak apa-apa, Kak. Hmmm… loh, punya Kak Rin mana? Kakak sudah makan, belum?” tanya Adrian.
“Aku sudah makan.”
“Jangan bohong, Kak. Aku lihat, muka kakak sudah hampir sama dengan bantal. Pasti, Kak Rin baru bangun tadi, kan?” sindir Adrian sembari tersenyum. “Kenapa, sih? Sejak dulu, Kak Rin itu enggak pernah jujur sama aku. Selalu saja bohong,” rutuk Adrian.
Airin tersenyum sembari menatap adik iparnya lembut. “Serius, aku sudah kenyang, Yan.”
“Ayo kita makan bersama, Kak,” tawar Adrian. “Biar lapar, aku ini sedang diet. Jadi, aku tidak mau mengkonsumsi karbohidrat terlalu banyak.
“Baiklah.” Airin menyerah. Perempuan itu masuk ke dapur mengambil sendok dan kembali duduk di sisi Adrian. Mereka dengan lahap menyantap mi rebus itu. Sesekali Adrian melemparkan lelucon yang membuat Airin tertawa. Tentu saja, karena lelucon Adrian mengingatkannya pada kenangan saat pertama kali ia dibawa ke dalam keluarga Keenan oleh Sandy.
Airin mulai teringat saat bertemu dengan Adrian, dia masih duduk di kelas dua belas. Sejak kematian kedua orang tuanya akibat kecelakaan, Adrian menjadi sangat dekat dengan Airin. Hingga tanpa sadar, laki-laki itu begitu bergantung padanya. Sebentar-bentar Kak Rin, sebentar-bentar Kak Rin. Itu sebabnya, Sandy memutuskan memasukan Adrian ke asrama. Karena suaminya khawatir, Adrian tidak akan pernah menjadi dewasa karena Airin yang terlalu memanjakannya.
Dan sekarang, beberapa tahun berlalu, Adrian sudah terlihat begitu dewasa di hadapannya. Namun ternyata, adik iparnya itu tidak pernah berubah sama sekali. Di mata Airin, Adrian masih sama seperti dulu, dengan gayanya yang ceria dan sedikit manja. Laki-laki itu selalu saja membuatnya tertawa dan mampu menghidupkan setiap suasana. Itu yang membuat Airin sangat menyukainya.
****
“Apa! Ti-tinggal di sini?” tanya Airin setelah mereka menghabiskan semangkok mi berdua.
Adrian mengangguk.
“Tapi, Sandy enggak ada, Yan. Mana mungkin kamu tinggal di sini bersamaku?”
“Kak Sandy pasti akan pulang, kan, Kak? Lagi pula, orang-orang pun tahu, kalau aku adik ipar Kak Rin, kan?”
“Aku tidak tahu, apakah Sandy akan pulang atau tidak, Yan? Perginya saja aku tidak tahu!”
“Ya sudahlah, Kak. Minimal, setelah aku mengumpulkan uang dari gajiku, aku bisa keluar dari rumah ini, Kak.”
“Tapi…”
“Kak. Memangnya kakak tega melihat aku di luar sana? Aku tidak punya keluarga, loh. Dan, aku juga tidak punya penghasilan,” rengek Adrian. “Ini adalah awal karirku sebagai dokter di ibu kota, Kak. Jadi, izinkan aku menumpang, ya? Siapa tahu, aku bisa membantumu untuk menemukan Kak Sandy.”
Airin menatap Adrian putus asa. Adrian benar. Hanya Sandy yang dimilikinya. Sekarang, keadaan Adrian dan Airin tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama tidak tahu ke mana perginya Sandy. Jadi, dengan kata lain, Adrian hanya memiliki Airin saat ini.
“Baiklah,” ujar Airin pada akhirnya. “Tapi, Adrian. Apa kamu tahu kondisiku saat ini?” tanya Airin sendu
Adrian menatap Airin. Lalu tersenyum. “Apa pun kondisi Kak Rin saat ini, intinya Kakak enggak sendirian. Kan, sekarang ada aku di sini.”
Airin terdiam.
“Terima kasih kakak iparku yang baik hati dan tidak sombong,” ujar Adrian kemudian, memecahkan kebekuan di antara mereka. “Kak Rin itu memang malaikat bagiku.” Adrian mengedipkan mata, lalu mengambil ranselnya dan berjalan cepat menuju lantai atas.
“Kak! Aku pilih kamarku sendiri, ya!” teriaknya dari lantai dua. “Di mana seprainya? Wah… kamar ini seperti rumah hantu, Kak. Kakak pasti malas membersihkannya, ya?”
Teriakan-teriakan Adrian bukan membuat Airin merasa nyaman, justru membuat kepalanya semakin berdenyut.
“Ya Tuhan.” Perempuan itu pun menghempaskan tubuhnya ke sofa sembari memijit-mijit keningnya. []
Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu. “Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis. Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi
-8- Ketika Depresi itu Datang Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel. Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah. Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda. “Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,”
Adrian panik tatkala tidak mendapati Airin di rumah, sepulangnya dari rumah sakit. Laki-laki itu berusaha mencari kakak iparnya kesana- kemari, tetapi sosok perempuan bermata indah itu tidak juga ditemukan. Ketika rasa lelah mulai menjangkiti. Dokter muda itu pun memutuskan untuk mengecek kembali ke dalam ruang kerja kakak iparnya yang dijadikan sebagai tempat Airin mengurung diri. Laki-laki tampan itu berharap menemukan sebuah petunjuk di sana. Ia melihat ruangan yang berantakan. Sebuah ranjang berukuran kecil di sudut ruang dengan bantal dan selimut bekas pakai teronggok tak rapi. Adrian menduga, bahwa kakaknya tengah mengerjakan sesuatu sebelum ia memutuskan untuk keluar. Terlihat jelas sekali, karena komputer dalam kamar itu masih menyala. Teeet. Bunyi bel pintu menyadarkan Adrian yang tengah sibuk dengan asumsinya, terkait perginya Airin. Dengan segera, laki-laki itu pun berlari kecil menuruni anak tangga menuju pintu depan. Berharap, Airinlah yang menekan bel pintu. Kegelis
Adrian mendorong pintu kamar Airin. Ia melihat Airin menangis dalam mimpinya. Dengan cepat Adrian berusaha membangunkan kakak iparnya. “Kak, Kak Rin… Kak Rin, Banguun…” Adrian menguncang-guncang badan Airin. Hingga beberapa menit berlalu, Airin pun berhasil dibangunkan. “Kak… sudah, tidak apa-apa, Kak…” Adrian mengusap wajah Airin yang berpeluh dan bercampur air mata. “Kakak mimpi buruk?” Airin nampak mengatur napasnya, lalu mengangguk. “Aku ambilkan air minum, ya?” Adrian berlalu meninggalkan Airin yang tercenung. “Mimpi itu datang lagi… kenapa, mimpi itu selalu datang akhir-akhir ini?” Airin bertanya dalam hati. Adrian kembali dengan segelas air dan memberikannya kepada Airin. “Minumlah, Kak.” Airin menerima air itu lalu menandaskannya. “Adrian, sudah. Aku tidak apa-apa, kok. Kamu tidur lagi saja,” ujar Airin. “Kakak yakin?” Airin mengangguk. Adrian pun tersenyum, lalu pergi meninggalkan Airin sendiri di kamarnya. Malam itu, Airin dan Adrian sama-sama tidak dapat memejam
Pagi itu, setelah melewati malam yang panjang, Adrian mendapati Airin tengah melamun di dapur sembari duduk memeluk lutut di kursi makan yang ditariknya ke sisi jendela. Laki-laki itu hanya mampu menatap kakak iparnya sesaat, bingung harus memulai obrolan dari mana. Sampai Airin menyadari keberadaannya. “Yan…” suara Airin terdengar lemah. Adrian menarik kursi dan diletakkannya di hadapan Airin. “Sandy telah mengkhianatiku…” Adrian masih diam. “A-aku melihatnya semalam…” “Iya, Kak.” Airin menatap adik iparnya tajam. “Katakan padaku, Yan. Apa yang harus aku lakukan?” Adrian tampak berpikir. Namun, ternyata otaknya pun buntu. Apa yang harus dilakukan Airin? Dan, apa pula pula yang harus dilakukannya? Ketika satu rahasia telah terkuak. Bagi laki-laki itu, dua pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan yang teramat sulit dijawab. Airin terdiam. Ia tahu, sepertinya Adrian tak bisa menjawab pertanyaannya. Keheningan pun tercipta di antara keduanya. **** Berkali-kali sudah, Adrian hany
Sandy merasakan kegeraman tersendiri, sepulangnya menghabiskan makan siang bersama Mario. Bagaimana bisa, laki-laki itu dapat berpikir demikian. Apa dia ingin menjadi pahlawan dalam kehidupan Airin. Damn! Bukankah, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Sandy adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari Airin? Bahkan, mood Sandy benar-benar berantakan saat ia bertemu Hanna. “Kenapa Mario bisa merusak mood-mu, Sayang?” Hanna bertanya. “Ada sedikit perbedaan persepsi, Han. Tapi, sudahlah. Kami sudah membereskannya.” Hanna terdiam. Apalagi Sandy benar-benar terlihat dingin. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu selalu terlihat hangat ketika menghabiskan waktu bersamanya. “Oh iya, tentang perceraian itu? Apa kamu sudah membereskannya?” tanya Hanna hati-hati. “Aku akan segera membereskannya. Jadi, jangan khawatir.” Hanna tidak bicara lagi. Rasanya percuma membahas apa pun dengan Sandy, ketika ia daam kondisi mood yang tidak baik. **** Adrian dikejutkan oleh kedatangan Hanna, kek
Airin menatap kosong ke luar jendela. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didapatkanya siang tadi. Sebuah dokumen perceraian dari Sandy telah berada di tangannya. Tanpa perlu adanya persetujuan, dokumen itu telah sah dikeluarkan. Airin dinyatakan ‘raib’! Airin melihat dunianya hancur. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Sandy begitu tega melakukan ini padanya. Apakah laki-laki itu begitu membencinya? Hingga ia mampu mengarang cerita demi sebuah dokumen? **** Adrian pulang ketika hari menjelang senja. Ia merasa aneh, tatkala mendapati Airin tegah duduk di sofa dengan mata sembab. “Kak, ada apa?” tanyanya pelan. Airin menunjuk ke arah meja. Adrian menuju tempat yang ditunjuk Airin dan menemukan sebuah dokumen perceraian di sana. Pelan-pelan dibacanya berita dalam kertas berwarna putih itu. Ia gemetar. “Sial!” rutuk laki-laki tampan itu dalam hati. “Bagaimana mungkin Sandy melakukan ini?” “Yan. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan?” tanya Airin pelan. Adrian kembali
Airin berlari ke lantai dua, diikuti oleh Adrian. Perempuan itu dengan kasar membuka pintu kamar adik iparnya lalu menuju lemari tempat Adrian menyimpan pakaian dan beberapa barang lainnya. Dilemparkan semua pakaian Adrian keluar. “Kak…dengarkan penjelasanku dulu, kumohon,” Adrian coba menyentuh Airin, tapi ditepis dengan kasar oleh perempuan itu. “Keluar kamu dari sini, Yan! Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.” “Kak, kumohon…” Airin berbalik. Ia menatap Adrian dengan marah. “Kamu pengkhianat!” pekiknya. “Keluar, Yan! Keluar dari rumah ini!” “Kakak boleh menghukum aku, Kak. Tapi, dengarkan aku dulu!” Airin mendorong Adrian, laki-laki itu bergeming di tempatnya. “Keluar…!” Airin terus mendorong, Adrian coba meraih tangan mantan kakak iparnya. Namun, bukan malah menghentikannya, justru perempuan itu semakin menjadi. Airin memukuli tubuh dan wajah Adrian yang tetap berdiri tidak bergerak. Airin dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar dari kamar sambil terus memuku
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf
Moza memasuki kamarnya, lalu meletakkan semua hadiah yang didapatnya dari Alfian di atas tempat tidur. Ada kegelisahan bergelayut dalam relung batinnya. Ia yakin, kalau Alfian tidak akan pernah melakukan keinginan adik semata wayangnya itu untuk mengundang Adrian di hari ulang tahunnya.“Kenapa kamu tidak berjuang untuk memenangkan hati Airin saja, Al. Dasar bodoh!” maki Moza. Sesungguhnya, Moza ingin melihat laki-laki itu bahagia bersama perempuan yang dicintainya sepenuh hati. Itu sebabnya, ia bersusah payah menjadi gila dengan mendekati Adrian apa pun yang terjadi. Mengenai perasaannya, sudah tidak penting lagi. Dia jatuh cinta atau tidak, rasanya tidak pernah akan ada bedanya. Toh, ia pun akan segera mati.***Alfian memasuki ruang makan di pagi itu dengan kaos oblong dan celana katun longgar. Jelas sekali kalau laki-laki itu tidak memiliki rencana apa pun hari ini. Moza dan Nadia telah duduk di meja makan. Mamanya meletakkan sepanci sup di atas meja seraya tersenyum menatap ke ar
Alfian duduk tepekur di balkon, di depan kamarnya. Ia ‘sedikit’ terkejut mendengar penuturan Airin yang ingin melepaskan Adrian. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, laki-laki itu merasa bahagia. Namun, di sisi lainnya, Alfian merasa tidak memiliki arti apa-apa. Mungkin, ke depan ia bisa saja mulai melancarkan aksinya untuk membuat Airin berpaling dari Adrian. Akan tetapi ia memiliki keraguan yang besar terhadap sikap Airin sendiri. Benarkah perempuan itu bisa move on dari Adrian lalu berpaling menatapnya?Di tempat lain, Airin tengah berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Menimbang kembali apa yang dikatakan Alfian, “Kalau kamu meninggalkan Adrian dan merasa baik-baik saja, maka silakan kamu lakukan. Namun, jika kamu meninggalkannya tapi kamu merasa ingin mati karena hal itu, maka jangan pernah lakukan. Ingat Airin, bukan hanya dua tiga hari kamu berharap bisa bertemu dan berharap hubunganmu membaik dengannya, tapi kamu men
Adrian dan Airin sama-sama tertegun demi mendengar ucapan Daniela.“Niel, kamu apa-apaan, sih?” protes Adrian.Daniela tersenyum melihat perubahan air muka Airin. “Aku hanya berkata yang sebenarnya, Yan. Apa kamu tidak pernah mengatakan padanya, apa alasanku menyusulmu ke sini?”“Niel, cukup!” Adrian membentak Daniela. “Ayo, Kak, kita pergi dari sini.” Adrian menggengam jemari tangan Airin membawanya menjauh dari Daniela.“Sebentar, Yan.” Airin melepaskan genggaman tangan Adrian. “Seharusnya aku bertanya kenapa perempuan itu tinggal bersamamu?”Adrian menatap Airin, “Aku hanya menampungnya, Kak. Dia tidak punya siapa-siapa di sini.”“Sedekat apa kamu dan dia?”“Tentu saja kami sangat dekat. Dia satu-satunya temanku di Kanada.”Bibir Airin baru saja ingin membuka untuk bicara lagi, namun tiba-tiba ia terdiam. Entah apa yan