Inayah menunggu kedatangan Jayden malam ini, dia menunggu di depan teras rumah besar dengan di temani bi Ratih yang kebetulan masih terjaga, waktu juga menujukkan pukul sembilan malam."Jam berapa tuan Jayden pulang ya, bi?" tanya Inayah sedikit gelisah."Tidak tahu, sejak masuk kantor lagi kan biasanya malam itu pulang, jadi mungkin dia pulang malam ini," jawab bi Ratih."Tapi tadi pagi dia bilang akan lama di luar kota, atau mungkin menginap di sana," kata Inayah lagi.Bi Ratih memandang wajah gadis manis di depannya, tampak sekali ada kegelisahan. Tapi bukan kegelisahan seorang pacar pada pasangannya itu, mungkin dia mau izin pulang besok. Jadi harus di bicarakan dengan serius, atau jangan-jangan ..."Inayah, apa kamu tidak merasa keberatan harus pergi dari rumah ini? Maksud bibi, kamu tidak merasa kasihan sama tuan Jayden?" tanya bi Ratih seperti memancing Inayah, dia sudah nyaman juga dengan gadis itu. Meski hanya dua bulan mereka berkenalan dan tinggal bersama."Tugasku sudah se
Malam semakin larut, Jayden tidak bisa tidur setelah tahu Inayah sudah pulang. Dia kesal juga karena Inayah tidak menunggunya lebih dulu sebelum pulang, mondar mandir di kamarnya. Menunggu pagi tiba rasanya lama sekali, membuatnya kesal. Di raupnya wajahnya dengan kasar, menatap ke meja di mana jam bekernya berada. Sudah pukul satu dini hari, Jayden belum juga mengantuk.Meski lelah dua hari ini dia harus bolak balik kantor dan luar kota, tapi nyatanya di rumah dia ingin melihat Inayah yang teduh justru gadis itu sudah pulang. Membuat Jayden gelisah, dan kenapa dia gelisah?"Aaargh! Kenapa denganku? Kenapa jadi memikirkan gadis itu?" ucap Jayden menyugar kepalanya, kesal karena belum juga bisa tidur.Kini dia melangkah keluar dari kamarnya, rasanya haus tenggorokannya setelah tadi bolak balik di dalam kamar karena gelisah. Kakinya menuruni tangga dengan cepat, melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum."Tuan, anda belum tidur?""Belum Inayah, kamu kenapa ada di si ..."Bi Ratih
"Jam berapa ke kota P?" tanya Jayden sambil memeriksa berkas yang ada di tangannya."Jam sebelas, tadi sudah saya sampaikan sama Marisa. Dan entah dia sudah memesan tiket ke kota P itu belum," kata Ronan."Tadi sudah aku minta, kamu tanyakan apakah dia sudah memesan atau belum," kata Jayden lagi."Baik tuan."Ronan melangkah menuju pintu, dia menatap punggung Ronan dengan tatapan dingin. Asistennya itu kembali mau berulah, tapi dengan siapa? Apakah dengan papanya?Laki-laki itu mengambil ponselnya, dia berniat ingin menanyakan alamat yayasan tempat Inayah bekerja. Bila perlu, meminta alamat rumahnya juga. Di pencetnya nomor dokter Andrew, tersambung."Halo? Ada apa pagi-pagi sudah menghubungiku? Aku lagi banyak pasien," tanya dokter Andrew di seberang sana."Aku juga sebentar kalau kamu langsung memberi alamat yayasan di mana Inayah bekerja, sekalian alamat rumahnya juga," kata Jayden."Hei, untuk apa? Bukankah kamu sudah sembuh. Apa kamu mau di rawat lagi sama dia?" tanya dokter Andr
"Tu tuan Jayden?""Inayah ..."Inayah pamit pada temannya, kemudian menghampiri Jayden yang berdiri terpaku menatapnya. Jayden salah tingkah sendiri ketika Inayah menghampirinya, bingung mau mengatakan apa pada gadis yang pergi tanpa pamit padanya kemarin."Kenapa anda datang kesini? Mau apa, tuan kesini?" tanya Inayah heran."Kenapa? Kamu pikir kenapa aku datang kesini? Bisa-bisanya kamu pergi tanpa pamit padaku," kata Jayden yang sudah menyadari akan tujuannya mendatangi Inayah.Dia beralasan memarahi mantan perawatnya karena pergi tanpa pamit padanya, dengan wajah kesal Jayden menatap Inayah."Maafkan saya, tuan. Saya menunggu anda sebelumnya untuk pamit, tapi anda tidak juga pulang. Saya hanya berpesan pada bi Ratih saja, untuk menyampaikannya pada anda," kata Inayah memberi penjelasan.Jayden mendengus kasar, "Seharusnya tidak begitu. Paling tidak kamu harus menungguku pulang, apa susahnya menunggu sehari lagi. Kenapa kamu keras kepala langsung pulang tanpa pamit padaku?"Inayah
Inayah mengotak atik ponsel barunya, dia masih bingung dengan beberapa fitur dan aplikasi baru di ponselnya. Jayden melirik pada Inayah, tersenyum miring karena memang lucu juga dengan gadis di sampingnya ini sedang fokus dengan ponsel barunya."Ish, aku tidak mengerti dengan aplikasi-aplikasi di ponsel ini. Apa harus sesusah ini ya mengoperasikannya," kata Inayah kesal sekali dia tidak juga menguasai model ponsel terbaru yang di belikan Jayden."Kenapa kamu ngedumel sendiri? Tidak harus di paksakan untuk memahami semua fitur dan aplikasi di situ, kamu bisa gunakan aplikasi seperti biasa kamu gunakan," kata Jayden."Ck, terlalu ribet. Meski ponsel baru dan bagus, tetap saja merepotkan," ucap Inayah memasukkan lagi ponselnya ke dalam tasnya.Meski kesal, tapi dia penasaran juga dengan ponsel barunya. Kembali di ambilnya ponsel itu dari tasnya, lagi-lagi di utak atik dengan sabar. Sedikit demi sedikit dia bisa memahaminya, tapi lagi-lagi kesal karena masih saja belum bisa di kuasainya.
Jayden memikirkan ucapan bu Masri, ibunya Inayah malam itu. Ada cerita sedih oada gadis itu, hatinya tergelitik mengenai cerita tentang tunangan Inayah dulu yang over dosis karena kecanduan narkoba. Beruntung dia bisa selamat setelah di rawat oleh gadis itu, sampai sekarang dia sudah sehat kembali dan bisa bekerja seperti biasanya."Jadi dia bertekad ingin menyembuhkan aku karena punya pengalaman buruk dengan tunangannya?" gumam Jayden.Punggungnya bersandar di kursi, kepalanya menengadah ke atas dan tangannya memainkan bolpoin. Sesekali di putar kursinya, dia sedang sendirian di ruangannya karena asistennya sedang izin tidak masuk. Di lihatnya pergelangan tangan, pukul empat sore jam di tangannya itu."Sebentar lagi waktunya pulang, aku akan ke yayasan itu lagi. Aku penasaran dengan cerita tentang tunangannya yang meninggal dulu, apa dia masih memikirkannya? Apa dia masih mencintainya?" ucap Jayden, dia ingin tahu semuanya tentang gadis itu.Aah, Jayden jadi semakin penasaran dengan
"Inayah, mau kamu menikah denganku?""Apa?!""Eh, itu bukan apa-apa," kata Jayden tiba-tiba dia gugup sendiri dengan ucapannya.Hatinya merutuki ucapannya sendiri, kenapa bisa dia bicara seperti itu. Apa karena dia ingin dekat terus dengan Inayah? Bahkan gadis itu sekarang lebih ketus dari biasanya dia berada di rumahnya dulu.Tapi, kenapa dia tiba-tiba melamar gadis itu? Benarkah dia ingin menikahi Inayah?Inayah sendiri kaget dengan ucapan Jayden secara tiba-tiba tersebut, wajah tegang, merah dan juga bingung jadi satu. Apa yang di pikirkan Inayah tentang pernyataan Jayden itu?Gadis tersebut melangkah meninggalkan Jayden yang masih kebingungan sendiri dengan sikapnya itu. Merasa malu sendiri, dia takut ucapan Jayden itu hanya gurauan. Terbukti tadi ucapan keduanya setelah kalimat lamarannya, itu bukan apa- apa."Dia pikir ucapannya tidak di pikirkan dulu apa? Kalau orang lain akan baper jadinya, tapi aku justru meragukan semua ucapannya tadi," ucap Inayah sambil berjalan meninggalk
Inayah terngiang ucapan Jayden tadi malam, pekerjaan mencuci piring di dapur membuatnya sangat lama selesainya. Membuat adiknya itu heran dengan kakaknya yang melamun pagi seperti ini."Kak Naya kenapa melamun? Tuh piringnya belum di siram dengan air," kata Sisil adik Inayah.Inayah terkejut, dia melihat piringnya sudah numpuk dan belum di siram dengan air. Buru-buru dia siram dengan air keran, menggosoknya. Sejak tadi adiknya memperhatikan apa yang di lakukan oleh Inayah. Berdiri bersandar di pinggiran westafel."Kak, semalam yang mengantar kakak itu siapa?" tanya Sisil."Kenapa memangnya?" tanya Inayah masih membersihkan piring-piring."Ganteng lho kak, penampilannya seperti bos-bos besar," ucap Sisil."Ck, kamu masih kecil. Jangan naksir laki-laki, lebih baik kamu belajar yang benar. Sebentar lagi menghadapi ujian," ucap Inayah mengakhiri mencuci piring."Dewasa ya orangnya," kata Sisil tidak mempedulikan ucapan Inayah.Inayah menghela napas panjang, menatap adiknya seksama."Kamu