Jayden duduk di belakang meja kerjanya, semalam dia sampai sakau dan harus di bantu oleh pembantunya. Dia awalnya tidak akan datang ke kantor, tetapi asistennya datang dan memintanya untuk ke kantor. Katanya ada pertemuan dengan klien penting, dia pun sampai berdebat dengan asistennya.
"Untuk apa aku datang ke kantor?!" ucap Jayden kesal saat dia berada di rumahnya."Ada klien penting tuan, saya mohon anda datang saja. Urusan berkas semuanya saya yang atur, anda hanya bertemu dan mendengarkan apa yang klien itu katakan. Dan anda tinggal tanda tangan saja, setelah itu terserah anda." kata asisten Jayden.Jayden mendengus kasar, dia sangat lemah sekali. Tubuhnya seakan tidak punya tenaga, setelah malam hari dia menikmati dan melayang di kamarnya. Menikmati barang haram yang dia dapatkan dari kurir di klub malam."Huh, baiklah. Aku ke kantor, pastikan semuanya berjalan baik." kata Jayden."Anda tenang saja tuan, semuanya sudah di tangani oleh saya. Anda tinggal tanda tangan dan setelahnya terserah anda." kata sang asisten, Ronan."Hemm."Jayden berjalan meninggalkan Ronan asistennya di kantor. Selama ini yang bekerja adalah Ronan, jika Jayden malas dan hanya menikmati barang haramnya di kamarnya. Maka, tidak ada yang berani mengusiknya. Apa lagi menyuruhnya bangun dan pergi ke kantor.Jayden menuju kamar mandi, sedangkan Ronan menunggu dengan setia, dia melihat sekeliling kamar. Tampak di sana ada alat penghisap dan juga beberapa bungkus rokok serta minuman beralkohol. Senyumannya menghias tipis, tapi kemudian dia berjalan mendekat pada barang-barang di meja itu.Ronan melihat ke arah kamar mandi, lalu duduk di sebalahn meja di mana banyak sekali barang milik Jayden. Terutama alat hisap dan suntik serta ada juga lintingan, menyentuhnya sebentar lalu tangannya di masukkan ke dalam saku celananya. Bosnya memang pecandu narkoba, tapi dia diam saja.Bahkan hal yang tidak di ketahui kalau yang mendekati Jayden pada narkoba itu adalah seseorang yag dia kenal. Tapi mau ikut campur urusan bosnya, yang penting dia bekerja sebaik mungkin dan mendapatkan gaji sesuai pekerjaannya.Dia melangkah menjauh dari meja, duduk di sofa. Membuka-buka berkas yang sudah dia siapkan untuk pertemuan pagi ini dengan klien.Setengah jam Jayden mandi, dia melihat Ronan duduk memeriksa berkas-berkas di tangannya. Senyum sinis tampil di bibirnya, melangkah menuju walk in kloset. Mencari baju kerja yang biasa dia gunakan, rasa pusing karena pagi ini dia kurang tidur. Tapi rasa bahagianya setelah semalam mengkonsumsi barang itu membuatnya memang jarang tidur malam.Namun, dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Meski dia sering bergelut dengan barang haram setiap malamnya, dia juga masih punya pikiran tentang pekerjaannya. Meski kadang malas, dan hanya Ronan yang mengerjakan pekerjaannya di kantor."Anda sudah siap tuan?" tanya Ronan setelah Jayden sudah rapi."Hemm, apa lagi hari ini jadwalnya?" tanya laki-laki yang mulai kurus tapi masih terlihat gagah itu."Hanya bertemu klien dan juga rapat dengan dewan direksi tuan." jawab Ronan lagi.Jayden melangkah menuju mejanya, di mana banyak sekali alat-alat dan barang narkoba masih berserakan. Ronan memperhatikan apa yang di lakukan Jayden, membereskan barangnya dan di simpan di dalam lemari.Dia lalu melangkah pergi keluar, di ikuti oleh Ronan dari belakang."Jangan katakan apapun pada orang kantor." kata Jayden."Ya tuan, saya hanya bekerja saja. Tidak ikut campur urusan pribadi anda." ucap Ronan lagi."Bagus, lebih baik kerjakan sesuai pekerjaanmu. Aku juga akan melakukan pekerjaanku dengan baik." kata Jayden.Ronan hanya diam saja, mereka melangkah turun tangga. Pembantunya bi Ratih melihat tuannya turun hanya diam menunduk saja, memberi hormat setelah Jayden sampai di bawah."Apa tuan mau sarapan lebih dulu?" tanya Ronan melihat di meja makan sudah siap sarapan pagi."Tidak usah, aku langsung saja ke kantor." jawab Jayden."Baik."Mereka melangkah keluar rumah, menuju mobil yang sudah siap di depan halaman. Ronan membukakan pintu mobil untuk tuannya, kemudian dia pun masuk dan duduk di belakang kemudi. Melirik kaca spion depan, tampak pantulan di kaca Jayden sedang menuangkan serbuk ke dalam hidungnya.Dia tahu bosnya itu melakukan itu untuk menambah rasa percaya diri menghadapi klien nanti. Bukan karena percaya diri Jayden itu tidak ada, hanya saja setelah dia kecanduan akan sering merasa percaya dirinya semakin hilang. Atau bahkan dia seperti orang yang mehilangan pikiran, jadi untuk saat ini hanya mendengarkan saja. Dia yang akan menjelaskan rapat dengan klien itu._Mata Jayden terpejam, kursi dia gerakkan ke kanan dan ke kiri. Pikirannya melayang entah sedang kemana, bahkan pintu terbuka dan suara langkah kaki tidak dia dengar sama sekali.Tatapan sayu dan sedih nampak di wajah ayu dan anggun di depan Jayden yang masih belum sadar akan kehadiran gadis itu.Lima menit Jayden belum menyadari kehadiran seorang perempuan di depannya, hingga suara pintu terbuka dan memanggil Jayden melangkah mendekat padanya. Dia membuka matanya, tampak wajah terkejut tapi kembali datar. Pandangannya beralih pada Ronan berdiri diam di belakang perempuan itu."Tuan, saya pergi dulu. Mungkin nanti setelah anda bicara dengan nona Marlyn, saya datang lagi." ucap Ronan menatap Marlyn dari belakang."Terima kasih, Ronan." ucap Marlyn.Marlyn duduk di depan Jayden, hanya di pisahkan oleh meja kerja Jayden. Jayden sendiri menatap dingin pada kekasihnya yang sudah berselingkuh darinya, dia menarik napas kasar. Enggan melihat wajah ayu Marlyn yang sedang menatapnya itu."Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Jayden dingin."Aku hanya mau minta maaf sama kamu." jawab Marlyn."Heh? Minta maaf?" ucap Jayden sinis.Dia mengusap hidungnya yang berair, lalu mengedipkan matanya beberapa kali. Marlyn tahu Jayden sedang tremor karena belum memakai barang haram itu, dia menarik napas panjang."Apa kamu masih menggunakan barang laknat itu lagi?" tanya Marlyn."Jangan ikut campur!" ucap Jayden membentak gadis di hadapannya itu."Huh, makanya kenapa aku tidak mau lagi denganmu. Karena kamu keras kepala dan tidak mau mengindahkan ucapanku, kamu lebih mementingkan kesenanganmu dari pada aku." kata Marlyn."Kalau sudah selesai bicara, sebaiknya kamu pergi dari kantorku." kata Jayden dingin dan acuh."Jayden!""Pergi kau, aku tidak butuh nasehat dan belas kasihmu. Urus saja selingkuhanmu itu, dan oh ya. Pacar gelapmu, jadikan dia kekasihmu yang sangat kamu cintai. Aku tidak butuh cinta darimu, aku membuangmu seperti sampah yang di pungut oleh sahabatku sendiri, Marlyn!" ucap Jayden dengan kasar dan tajam.Marlyn menatap kesal pada laki-laki di depannya, dia mengepalkan tangannya. Dia datang ingin meminta maaf dengan cara yang baik, tapi perlakuan Jayden padanya membuatnya semakin muak saja. hinaan dari mulut Jayden lebih pedas jika sedang terluka, tapi Marlyn diam saja, mencoba tenang menghadapi kekasihnya."Baiklah, memang kamu tidak butuh siapa pun. Hanya barang laknat itu saja teman satu-satunya, nikmati saja apa yang kamu miliki. Suatu saat, aku akan tertawa senang jika kamu berada di posisi terpuruk dan hancur karena barang laknat itu. Dan jangan kamu katakan aku ini sampah, brengsek!" ucap Marlyn kesal.Dia berbalik dan melangkah pergi, rasa kesal karena ucapan Jayden tadi membuatnya tidak merasa bersalah karena telah berselingkuh darinya. Bahkan berada di hotel saat itu juga, Jayden memergokinya pun dia tidak pernah menyesalinya."Laki-laki kasar dan keras kepala, aku lebih baik pergi darinya dari pada harus mendapatkan kata-kata kasarnya."__***********Jayden meringkuk di dalam kamarnya, wajahnya pucat dan tubuhnya bergetar. Tatapannya menyapu meja yang biasa tersimpan alat-alat untuk penggunaan sabu-sabu dan beberapa pil juga di sana. Kakinya bergerak cepat dan segera menuju meja tersebut.Dia mencari sesuatu sisa-sisa barang haram itu, mencarinya dengan tangan gemetaran dan tubuh menggigil. Ya, dia sedang sakau saat ini. Dua hari dia tahan tidak menggunakan barang terlarang itu, membuatnya semakin menggigil dan bibirnya juga bergetar. Gejolak tubuhnya membuatnya kesakitan, dia ingin mengonsusminya lagi, tapi sialnya barangnya sudah tidak ada di mejanya."Kemana sisa-sisanya ya? Aku lupa menaruhnya. Apakah memang sudah habis?" ucap Jayden terus mencari di meja itu, tangannya gemetar mencari barangnya.Tak lupa juga laci meja di buka dan mencarinya, berharap ada sisa-sisa barang tersebut. Tapi sialnya tetap tidak ada, dia pun beralih ke dalam lemarinya. Mencari di mana biasanya dia menyimpannya."Aargh sial, kenapa tidak ada sih? Ke
Jayden semakin menggigil, tubuhnya semakin ringkih. Dia meringkuk di atas ranjangnya, sejak kepergian Andrew dokter setelah memeriksanya. Dia bangun dari tidurnya, hanya dua jam dia tidur. Setelah itu dia terbangun lagi, hatinya gelisah dan jantungnya berdebar cepat."Mana obatku, kenapa dia tidak juga menghubungiku sialan!" umpat Jayden.Wajahnya menatap meja lama sekali, alat-alat hisap juga suntikannya sudah tidak ada di sana. Dia mencari ponselnya, menghubungi orang yang biasa memberinya barang laknat itu. Dan sialnya ponselnya tidak aktif, tubuhnya semakin menggigil. Dengan cepat dia beranjak dari ranjangnya dan segera keluar dari kamarnya.Segera turun ke bawah, dengan mata yang melebar dan wajah marah dia mencari pembantunya yang biasa membereskan kamarnya."Bi Ratih, siapa yang membereskan meja di kamarku?!" teriak Jayden baru menyadari barangnya sudah tidak ada sejak semalam, bahkan dia juga sakau sebelum di beri obat oleh dokter Andrew.Dengan tergopoh, bi Ratih mendekat dan
"Aldo?"Suara parau dan tercekat dari seorang wanita di depan pintu kamar Jayden. Andrew menoleh ke arah pintu, dia berdecak kesal sekali. Kenapa kedua pasangan selingkuh itu kompak sekali datang ke rumah Jayden. Dia menatap wajah Jayden yang sudah tenang dalam buaian obat bius yang dia suntikkan padanya. Baru dia mendekat pada Aldo dan Marlyn di depan pintu yang sedang terpaku."Kenapa kalian datang kesini? Apa sedang menunjukkan rasa bersalah kalian di sini?" tanya dokter Andrew menatap sinis satu persatu keduanya."Dokter Andrew, aku ingin tahu keadaan Jayden." jawab Marlyn lirih."Marlyn, kamu jangan membuat semuanya jadi runyam. Maafkan aku kalau aku berkata begini, tidak seharusnya kamu seperti ini. Meninggalkan Jayden yang seharusnya kamu ingatkan dan kamu tolong, tapi malah menerima ajakan Aldo yang tentu saja membuat kalian bertiga jadi pecah hubungannya. Apa kalian tidak berpikir kesana sebelum melakukan hal yang terlarang itu?" tanya dokter Andrew menatap datar pada Marlyn.
Barang-barang yang ada di dalam kamar Jayden rusak di banting. Bi Ratih tampak bingung harus membereskan kamar yang layaknya seperti kapal pecah, sangat berantakan sekali. Sedangkan Jayden sedang meringkuk di atas kasurnya dengan mulut komat kamit tidak jelas."Aku benci kamu, Marlyn. Perempuan jalang! Aku benci sekali sama kamu!" umpat Jayden dalam diamnya.Sejak kedatangan Aldo dan Marlyn memberikan pengakuan kalau mereka sudah jadi pasangan kekasih. Dan dia kembali mengamuk setelah Aldo dan Marlyn pergi dari kamarnya.Tatapannya tajam menatap jendela kamar yang mengarah ke ranjangnya. Bi Ratih membersihkan kamar itu, di bantu oleh satpam rumah."Apa tuan Jayden selalu begini bi? Bagaimana dengan tuan besar dan nyonya? Apa beliau tahu anaknya seperti ini?" tanya satpam Beni berbisik."Entahlah, Beni. Bibi sudah kasih tahu tuan besar dan nyonya, kalau anaknya suka mengamuk dan sering kumat membanting semua barang-barangnya." jawab bi Ratih berbisik juga."Terus, apa kata mereka bi?"
Dokter Andrew bergegas keluar dari ruangannya setelah di beritahu oleh bi Ratih kalau Jayden kembali mengamuk. Dia benar-benar lelah sekali harus menghadapi Jayden yang sekarang sering mengamuk dan membanting barang-barang di dalam kamarnya.Kakinya melangkah lebar dengan cepat untuk segera pergi ke rumah Jayden. Bi Ratih menjelaskan tadi sewaktu Jayden sedang mengamuk, papanya tuan Andra datang ke kamar Jayden. Dan tanpa di duga, laki-laki paruh baya itu hanya marah-marah saja pada anaknya yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Justru akan membawanya ke rumah sakit jiwa dengan paksa, itu lebih parah lagi rencana orang tua Jayden yang tidak berperasaan."Orang tua aneh, benar-benar aneh. Hanya memikirkan harga diri dan kepentingannya perusahaannya saja. Tidak peduli anaknya sedang sekarat berurusan dengan maut, jika tidak di tangani dengan benar. Maka hancur dan makin terpuruklah itu Jayden." ucap dokter Andrew.Beberapa dokter yang berpapasan dengannya menyapanya, tapi hanya sekilas
Perdebatan antara dokter Andrew dan tuan Andra benar-benar membuat tegang. Meski akhirnya tuan Andra menyetujui rencana dokter Andrew mencarikan pengasuh untuk anaknya. Pengasuh yang kredibel dalam menangani kasus pecandu narkoba, itu artinya dia harus mencari seseorang di sebuah yayasan penanganan pecandu narkoba juga."Aku harus mencari kemana?" gumam dokter Andrew.Setelah kepergian tuan Andra, dokter Andrew menemui Jayden di kamarnya. Laki-laki itu masih diam dengan tatapan kosong, dia benar-benar larut dalam jiwanya yang kosong. Dulu sebelum papanya datang dan memarahinya, bahkan mengancamnya untuk di bawa ke rumah sakit jiwa. Dia sering berontak dan mengamuk, kini dia lebih banyak diam."Jayden, apa kamu dengar ucapanku?" tanya dokter Andrew pelan."Kamu mau membawaku ke rumah sakit jiwa juga seperti papaku?" tanya Jayden tanpa mengindahkan pertanyaan sahabatnya."Tidak Jayden, aku justru akan merawatmu dengan bantuan pengasuh tentunya. Aku tidak bisa mengawasimu dua puluh empat
"Selamat siang pak Jalal."Sapa seorang gadis berkerudung dengan senyum ramah mengembang di bibirnya. Dokter Andrew dan ketua yayasan bernama pak Jalal menoleh ke arah sumber suara. Pak Jalal tersenyum, dia menyuruh gadis berkerudung berpenampilan sopan dan wajahnya tampak kalem itu pun masuk."Masuk, Inayah. Silakan duduk." kata pak Jalal."Iya pak, terima kasih." jawab Inayah.Sejak tadi dokter Andrew menatap Inayah tanpa berhenti, dia mengedipkan matanya hanya dua kali sejak melihat Inayah masuk ke dalam ruangan itu. Inayah tersenyum ramah pada dokter Andrew."Nah, Inayah. Perkenalkan, ini pak Andrew. Pak Andrew, ini Inayah yang saya maksud itu." kata pak Jalal memperkenalkan Inayah pada dokter Andrew."Oh, ya pak Jalal. Salam kenal Inayah, saya Andrew." kata dokter Andrew mengulurkan tangannya pada Inayah.Inayah pun hanya menelungkupkan tangannya dan tersenyum ramah. Tangan dokter Andrew di tarik, dia merasa malu, memang begitulah jika berkenalan dengan seorang gadis yang menjaga
Inayah Laila Maryam, gadis berusia dua puluh lima tahun. Usia muda dalam menjalani sebagai relawan di sebuah yayasan pengobatan pecandu narkoba. Dia di rekrut oleh pak Jalal awalnya hanya untuk membantu sebagai staf administrasi. Tapi dia bisa melakukan terapi jalur spiritual pada para anggota yang berniat untuk sembuh dari kecanduan pada barang terlarang.Hingga akhirnya dia di percaya menjadi terapis dan motivator bagi pasien yang kebanyakan para remaja dan juga ada yang sudah dewasa. Meski tidak ada keahlian di bidang kedokteran, tapi dia sering bekerja sama dengan dokter yang sering menggunakan jasanya dalam terapi spiritualnya.Inayah bersiap untuk pergi ke rumah Jayden, di mana pasiennya yang akan dia bantu lepas dari kecanduan narkoba. Dia merapikan baju-bajunya serta tak lupa juga mukenah untuk ibadahnya, dia juga membawa muskhaf kecil untuk membantu menenangkan pikirannya dan juga pasiennya di kala sedang tenang.Cara itu yang dia lakukan selama ini pada pasien pecandu narkob
Jayden masuk ke dalam mobil, rasanya sudah cukup dia menghormati papanya kali ini. Mungkin kedatangan papanya hanya ingin memastikan keadaan perusahaannya, bukan untuk menemuinya dan merestui pernikahannya dengan Inayah. Laki-laki itu langsung pulang ingin menemui istrinya, tiba-tiba merasa rindu dengan Inayah.Mobil di belokkan menuju rumahnya dengan cepat. Dia ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memeluk Inayah, dan tak lama mobil sudah memasuki halaman rumahnya. Satpam Beni heran dengan bosnya yang masuk dengan cepat sekali. Langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah."Tuan Jayden, anda pulang?" tanya bi Ratih."Inayah kemana?" tanya Jayden tidak sabar ingin menemui istrinya."Nyonya keluar tuan, tapi katanya sih sebentar," jawab bi Ratih."Mau apa keluar? Apa dia ingin membeli sesuatu?" tanya Jayden lagi."Entah, tapi katanya mau ke minimarket di seberang jalan itu, saya meminta saya saja yang beli tapi nyonya menolaknya," jawab bi Ratih lagi."Ya sudah, m
Inayah turun ke bawah, dia melangkah menuju ruang makan. Di mana suaminya sedang mengobrol dengan bi Ratih, perempuan itu sudah mengira kalau bi Ratih pasti akan memberitahu suaminya mengenai mertuanya yang datang dan menghinanya. Langkah Inayah terhenti sejenak, menarik napas panjang. Matanya melihat wajah Jayden yang terlihat marah, tentu marah pada papanya yang telah menghinanya tadi pagi.Perempuan itu mendekat, senyumannya mengembang. Di tariknya kursi di depan suaminya, bi Ratih pergi ke dapur. Jayden menatap istrinya yang tampak biasa saja wajahnya, dia memegang tangan Inayah kemudian menciumnya."Maafkan aku sayang," ucap Jayden."Minta maaf soal apa? Apa kamu punya salah sama aku?" tanya Inayah mengambil nasi dan di masukkan ke dalam piring suaminya."Soal papa, tadi bi Ratih cerita kalau papa menemuimu dan berkata tidak enak sama kamu," kata Jayden."Oh, itu. Tidak masalah, wajar saja kan seorang tua yang menginginkan anaknya bersanding dengan perempuan yang sepadan. Sedangk
Inayah masih diam dengan ucapan mertuanya itu. Sejak Jayden melamarnya beberapa kali, dia mempertimbangkan papa mertuanya itu. Dan benar saja kenyataannya dia di hina oleh laki-laki yang tidak pernah peduli dengan suaminya. Ingin rasanya dia menjawab, tapi dia masih memiliki tata krama sebagai seorang menantu.Setelah beberapa kalimat yang di ucapkan pada Inayah, tuan Andra pun akhirnya diam. Dia menatap dingin pada Inayah yang sedang menunduk itu."Sebaiknya kamu pikirkan pergi dari kehidupan anakku. Kamu tidak pantas menjadi istrinya," kata tuan Andra membuat Inayah dan bi Ratih terkejut dengan ucapan laki-laki tua tersebut."Maafkan saya pap, saya ...""Jangan menganggapku sebagai mertua! Aku tidak sudi menganggapmu menantu!" ucap tuan Andra.Inayah diam lagi, dia menatap nanar pada mertuanya yang terlihat kesal padanya. Bukan hanya kesal tepatnya, tapi juga sinis dan merendahkan dirinya. Bi Ratih juga hanya diam saja, dia merasa kasihan pada Inayah. Entah apa yang membuat tuan And
Inayah kini sudah tinggal lagi di rumah Jayden yang besar itu. Bi Ratih sangat senang akhirnya Inayah kembali lagi di rumah itu dengan status yang berbeda, sebagai istri dari tuannya.Sudah satu minggu setelah pernikahan itu, Inayah masih canggung berada di rumah itu lagi. Meski dia pernah hampir dua bulan tinggal di rumah itu. Kini dia sedang menyiapkan baju untuk suaminya yang siap bekerja kembali setelah lima hari cuti karena menikah. Masih bingung apa yang harus dia pilih, karena belum tahu selera suaminya.Inayah sedang memilih baju yang berderet menggantung di lemari. Jayden yang sudah selesai mandi, berdiri di tengah pintu memperhatikan istrinya yang bingung memilih baju untuknya. Jayden pun mendekat berdiri di belakang Inayah, kedua tangan kekarnya melingkar di perutnya. Membuat perempuan itu terkejut."Kamu kenapa diam saja, hemm?" tanya Jayden dengan kepala di pundak istrinya."Eh, sudah selesai mandi?" Inayah berusaha melepas pelukan suaminya, tapi Jayden malah mempererat p
Inayah gugup sekali malam ini, dia masih belum berani melepas mukenahnya. Masih duduk di sofa, karena memang dia tidak ada baju ganti. Jayden masih menelepon seusai sholat berjamaah dengan Inayah, sesekali dia melirik pada istrinya yang masih diam di sofa. Bibirnya menyungging, merasa gemas juga dengan tingkah Inayah masih memakai mukenah."Oke, nanti aku kabari selanjutnya," kata Jayden mengakhiri sambungan teleponnya.Dia meletakkan ponselnya di atas meja, menghampiri istrinya yang sedang gugup di sofa. Dia duduk di samping Inayah, menggelayutkan tangannya di lengan gadis itu. Tentu saja Inayah kaget dan semakin gugup, dia berusaha melepas tangan suaminya di lengannya. Tapi Jayden malah mencengkeram pundak di sebelahnya, wajahnya sangat dekat dengan wajah Inayah."Kenapa? Kamu kok seperti sungkan," tanya Jayden, matanya menelusuri wajah mulus tanpa make up itu."Bukan begitu, apa ini harus terjadi sekarang?" tanya Inayah tidak berani menoleh ke arah suaminya yang semakin dekat wajah
Acara resepsi telah selesai, kini mempelai pengantin sudah berada di kamar hotel yang sengaja di sewa untuk tiga hari. Kamar yang di rancang khusus untuk pengantin pada umumnya, sangat indah di taburi bunga mawar merah di atas ranjang. Setiap kamar di hias juga dengan bunga-bunga mawar merah dan putih.Awalnya Inayah kaget dengan kamar yang di hiasi oleh bunga-bunga itu, dia menatap sekeliling kamar sendirian. Karena Jayden hanya mengantarnya saja di kamar pengantin lalu pergi lagi karena ada tamu yang terlambat datang."Kamu di sini dulu ya, nanti aku kembali lagi," kata Jayden pada istrinya.Mengecup keningnya sebelum pergi, Inayah hanya diam saja. Sesungguhnya, dia masih gelisah karena mertuanya tidak datang ke acara pesta itu. Meski dia sudah di beritahu oleh Jayden, tapi entah kenapa dia merasa papanya Jayden memang sengaja tidak datang ke pesta pernikahan atau menghadiri pengucapan ijab kabul itu."Jika dia perempuan, mana boleh menikah tanpa restu orang tua. Apa lagi harus ada
"Saya terima nikah dan kawinnya Inayah Laila Maryam binti Abdul dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!""Bagaimana saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Suara tepuk tangan dalam masjid dan tangis haru dari ibu Masri karena anak sulungnya ternyata jadi juga menikah. Meski dulu tidak jadi menikah karena tunangannya kecanduan narkoba dan akhirnya over dosis lalu meninggal. Kini Inayah menikah juga dengan mantan pecandu, tapi dia melihat Jayden tidak seperti tunangan Inayah dulu. Meski sudah di rehabilitasi dan kembali pulang, dia kembali lagi menjadi pecandu dan akhirnya harus kehilangan nyawanya karena barang laknat tersebut.Tak terasa air mata perempuan paruh baya itu mengalir karena terharu anak sulungnya akhirnya menikah juga, dengan cepat dia menghapus air matanya sebelum terlihat oleh Inayah.Sementara itu, Sisil tampak cemberut. Ibu Masri tahu anak keduanya itu tidak terima kalau Inayah menikah dengan Jayden yang juga di sukainya. Tangan Sisil di cubit kecil oleh ibunya karena
Jayden sudah menyiapkan semuanya, dia ingin menikah dengan mewah di hotel berbintang lima. Tamu yang dia undang adalah klien binsisnya, juga sahabatnya dokter Andrew. Dia mengundang Aldo dan Marlyn juga, karena dia ingin kebahagiaannya di lihat oleh keduanya. Bukannya mau membalas perbuatan mereka, tapi dia sudah melupakan kejadian itu.Baginya, kebahagiaan lebih penting di banding harus dendam pada mereka berdua. Belum lagi dia juga sudah memberitahu papanya, tuan Andra. Laki-laki itu tidak merespon ketika Jayden memberitahu kalau akan menikah.Kini, menjelang satu hari sebelum pernikahannya. Dia duduk di kafe dengan dokter yang selama ini menjadi kawan, sahabatnya yang setia."Jadi kamu sudah memberitahu papamu?" tanya dokter Andrew."Sudah," singkat Jayden menjawab."Lalu, bagaimana tanggapannya?" tanya dokter Andrew lagi."Entah, tidak ada reaksi apa pun," jawab Jayden menyesap kopinya.Keduanya diam, dokter Andrew melirik jam di pergelangan tangannya. Jayden melirik sahabatnya ya
"Inayah?"Inayah tertunduk malu, dia datang di waktu yang tidak tepat menurutnya. Dia pikir memang Jayden akan lembur sampai malam, karena yang dia tahu laki-laki itu mengatakan sedang sibuk di kantornya.Jayden melangkah mendekat, bi Ratih pun tersenyum lalu perlahan pergi meninggalkan Inayah dan Jayden."Saya ke belakang dulu, tuan Jayden, Inayah," kata bi Ratih."Bi Ratih tunggu!" ucap Inayah.Bi Ratih tersenyum lalu pergi meninggalkan Inayah. Jayden berhenti di depan Inayah, kedua tangannya di masukkan ke dalam kantong celana, menatap dalam gadis di depannya. Ada perasaan senang ketika Inayah berada di rumahnya, meski dia pasti mengelak hanya menemui bi Ratih. Tapi Jayden yakin Inayah pasti sedang mencarinya."Kamu kesini mau ketemu aku?" tanya Jayden."Tidak. Ingin ketemu bi Ratih saja, sudah lama tidam bertemu," jawab Inayah gugup.Dia tidak menyangka Jayden ada di hadapannya, Jayden hanya mengangguk pelan. Kemudian dia berbalik tapi berhenti lagi."Emm, kalau sudah selesai deng