Barang-barang yang ada di dalam kamar Jayden rusak di banting. Bi Ratih tampak bingung harus membereskan kamar yang layaknya seperti kapal pecah, sangat berantakan sekali. Sedangkan Jayden sedang meringkuk di atas kasurnya dengan mulut komat kamit tidak jelas.
"Aku benci kamu, Marlyn. Perempuan jalang! Aku benci sekali sama kamu!" umpat Jayden dalam diamnya.Sejak kedatangan Aldo dan Marlyn memberikan pengakuan kalau mereka sudah jadi pasangan kekasih. Dan dia kembali mengamuk setelah Aldo dan Marlyn pergi dari kamarnya.Tatapannya tajam menatap jendela kamar yang mengarah ke ranjangnya. Bi Ratih membersihkan kamar itu, di bantu oleh satpam rumah."Apa tuan Jayden selalu begini bi? Bagaimana dengan tuan besar dan nyonya? Apa beliau tahu anaknya seperti ini?" tanya satpam Beni berbisik."Entahlah, Beni. Bibi sudah kasih tahu tuan besar dan nyonya, kalau anaknya suka mengamuk dan sering kumat membanting semua barang-barangnya." jawab bi Ratih berbisik juga."Terus, apa kata mereka bi?" tanya satpam Beni."Rasanya kasihan kalau di kasih tahu, tuan besar mengatakan biarkan saja. Seharusnya tuan Jayden itu sadar akan kesalahannya, tapi katanya tuan besar akan pulang." kata bi Ratih lagi."Kalau setiap hari seperti ini, tuan Jayden pasti akan jadi gila. Kenapa tidak di rehabilitasi saja di yayasan di Bogor?" tanya satpam Beni."Dokter Andrew sudah menawarkan pada tuan Jayden, tapi katanya tidak usah di bawa kesana. Nanti jadi bahan olokan saja. Lagi pula pernah dokter Andrew memberi saran pada tuan Jayden, tapi sepertinya itu ancaman saja. Entahlah, semoga ada seseorang yang membuat bangkit tuan Jayden. Kasihan dia, gara-gara pacarnya jadi begini." kata bi Ratih lagi.Satpam Beni diam saja, dia menatap majikannya yang masih meringkuk. Tiba-tiba tubuh Jayden menggigil, matanya melotot dan bibirnya mengatup. Beni pun mendekat, dia melihat majikannya kembaki sakau. Tangan Jayden di tarik lalu di gigitnya, Beni kaget.Dia menarik tangan Jayden agar tidak di gigitnya."Tuan Jayden, jangan menggigit tangannya!" teriak Beni menarik tangan Jayden."Diam kamu! Pergi dari kamarku!" teriak Jayden."Tuan, tenangkan diri anda. Kami akan membantu anda di sini." kata bi Ratih."Kalian mau membantuku, berikan ponselnya!""Untuk apa tuan?" tanya bi Ratih."Aku ingin memesan barang itu, tubuhku sakit semua. Aku ingin mendapatkan barang itu, hubungi orangnya cepat!" kata Jayden dengan berteriak lagi."Tuan tidak boleh melakukan itu, barang itu hanya akan merusak anda tuan Jayden." kata bi Ratih mencoba menyadarkan majikannya."Heh, persetan dengan tubuhku! Tidak ada yang peduli dengan semua apa yang aku lakukan!" ucap Jayden lagi."Kami peduli dengan anda, tuan." kata satpam Beni."Kalau kalian peduli, berikan ponselnya!" teriak Jayden.Beni diam, dia menoleh ke arah bi Ratih. Keduanya bingung harus melakukan apa. Tiba-tiba pintu terbuka, langkah kaki tegap dan tegas melangkah masuk mendekat pada Jayden. Enam mata memandang laki-laki yang mendekat itu, tatapan tajam dan dingin menusuk mengarah pada Jayden yang duduk miring."Apa ini yang kamu lakukan selama ini hah?! Jadi manusia tidak berguna, kenapa kamu terjebak dengan barang itu? Apa karena patah hati sama wanita lalu kamu jadi lemah?!" ucap laki-laki paruh baya menatap tajam pada Jayden."Papa tidak akan mengerti. Jangan ikut campur urusanku!" kata Jayden."Perusahaan semua akan papa ambil alih, kamu membusuk saja jadi manusia tidak berguna di kamarmu ini!" ucapnya lagi dengan keras, dia tidak suka anaknya jadi lemah dan kalah dengan hidupnya sendiri.Bi Ratih dan satpam Beni hanya diam saja mendengar ucapan laki-laki yang tak lain adalah tuan besar. Tuan Andra, ayah dari Jayden itu memang sangat keras dengan anaknya Jayden. Terkadang memang laki-laki itu memaksa anaknya untuk bekerja dan membangun bisnis perusahaannya.Tidak ada jeda untuk lemah, sampai pada Jayden merasa jenuh dengan semua pekerjaannya. Dia mencoba mendekati barang terlarang itu, membeli dari seorang teman yang baru di temuinya di klub malam. Melalui Ronan, yang menyuruhnya datang ke klub malam. Awalnya mencoba, tapi ketika kekasihnya tahu Jayden memakai barang itu.Justru Marlyn menghianatinya dengan berselingkuh dengan sahabat, Aldo. Semakin menjadi Jayden memakai barang haram itu, hanya dokter Andrew yang masih peduli padanya. Maka dari itu, dia mencoba merawat Jayden. Setiap hari dengan waktu yang tak tentu akan datang ke rumahnya, memeriksa keadaannya."Jangan urus laki-laki tidak berguna itu bi Ratih. Katakan pada dokter Andrew, jika dia tidak mau sadar dan tidak mau terlepas dari barang laknat itu. Aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa!" ucap tuan Andra pada bi Ratih.Bi Ratih terkejut, begitu juga Beni. Jayden hanya tersenyum getir saja mendengar ucapan ayahnya yang menyakitkan. Bukannya membantu dan menolongnya untuk lepas, tapi justru menyuruhnya di bawa ke rumah sakit jiwa.Tidak mudah terlepas dari barang laknat itu, kondisi Jayden sudah memprihatinkan. Tubuh sudah kurus, mata cekung dan wajah sudah layu karena seringnya sakau. Dan bahkan makan pun jarang sekali karena selalu mengamuk tidak jelas."Saya akan merawatnya tuan besar, jangan di bawa ke rumah sakit jiwa. Tuan Jayden pasti sembuh." kata bi Ratih."Cari seseorang untuk merawatnya juga, kamu tidak akan sanggup merawatnya sendirian. Aku masih peduli dengan keadaannya, seharusnya dia sendiri yang bangkit. Tapi justru karena masalah wanita dia jadi lemah, memalukan sekali!" ucap tuan Andra lagi.Setelah berkata seperti itu, laki-laki tegap dan terlihat tegas itu pergi dari kamar Jayden. Jayden hanya menatap sinis kepergian papanya, lalu dia pun tertawa dan berteriak kencang."Pergi saja dari rumah ini! Jangan pernah datang lagi, bahkan sampai aku mati pun. Jangan pernah datang di pemakamanku!" teriak Jayden."Tuan Jayden, anda tenanglah." kata bi Ratih."Aaaaarrgh! Pergi kalian semua!" teriak Jayden lagi.Bi Ratih dan satpam Beni kaget, mereka saling tatap. Tapi keduanya langsung pergi ketika Jayden melempar buku ke arah bi Ratih dan satpam Beni yang ada di meja di samping ranjangnya.Tubuh Jayden pun melemah, tenaga yang tadi bangkit kini terkuras. Sepanjang hari dia tidak pernah makan dan hanya terbaring di atas ranjangnya, sangat prihatin keadaan laki-laki itu. Jika sedang sakau melanda, maka tubuhnya menggigil dan giginya pasti akan menggigit bibirnya. Bahkan dia juga akan menggigit lengan tangannya dan menyedot darah yang keluar dari gigitan di lengan tangannya.Baru setelah pagi hari, darah akan menempel di atas kasur yang sudah kering. Bi Ratih di bantu oleh satpam Beni membersihkan kamar Jayden, sudah berhari-hari tidak pernah menyiram tubuhnya dengan air. Bagaimana harus mandi, tidak ada yang membantunya untuk memandikannya karena setiap kali di bawa ke kamar mandi, dia akan berontak."Bi Ratih, ini sih harus ada yang mendampingi setiap hari. Kalau kita yang membantunya, pasti tuan Jayden akan marah-marah dan membanting barang. Kalau begini terus, sudah pasti tuan Jayden akan di bawa ke rumah sakit jiwa." kata Beni."Harapan kita hanta dokter Andrew, saya harap dokter Andrew bawa seseorang membantu tuan Jayden dari masalahnya itu. Kasihan, laki-laki gagah, tampan dan punya pimpinan perusahaan harus terpuruk seperti itu hanya karena masalah perempuan." kata bi Ratih lagi."Kemarin nona Marlyn dan tuan Aldo datang kan? Apa mereka bertengkar juga di sini?" tanya Beni."Kamu bisa banyangkan sendiri Beni, bibi juga takut waktu itu masuk ke dalam kamar. Untung dokter Andrew cepat datang ketika tuan Aldo menemui tuan Jayden." kata bi Ratih lagi."Ngeri juga ya bi.""Ya, kalau di pikir-pikir sih. Semua salah nona Marlyn dan tuan Aldo.""Apa sih masalah mereka bi? Sampai tuan Jayden benci sekali sama mereka berdua. Padahal hubungan mereka dulu baik sekali." tanya Beni lagi."Tentu saja tuan Aldo merebut kekasih tuan Jayden. Entahlah, yang saya dengar sih seperti itu. Urusan orang kaya ya macam-macam saja, jangan membicarakan semuanya di luaran Beni. Tidak enak kalau di dengar orang lain." kata bi Ratih."Iya bi. Saya tetap jaga mulut, lha wong saya di bayar kerja di sini."Bi Ratih mengacungkan jempolnya, dia pun menutup pintu kamar Jayden setelah terdengar tidak ada lagi suara gaduh di dalam kamar tersebut. Tapi hanya sebentar, lagi-lagi teriakan Jayden menggema di kamarnya."Brengsek papa! Mati saja sekalian!"__*********Dokter Andrew bergegas keluar dari ruangannya setelah di beritahu oleh bi Ratih kalau Jayden kembali mengamuk. Dia benar-benar lelah sekali harus menghadapi Jayden yang sekarang sering mengamuk dan membanting barang-barang di dalam kamarnya.Kakinya melangkah lebar dengan cepat untuk segera pergi ke rumah Jayden. Bi Ratih menjelaskan tadi sewaktu Jayden sedang mengamuk, papanya tuan Andra datang ke kamar Jayden. Dan tanpa di duga, laki-laki paruh baya itu hanya marah-marah saja pada anaknya yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Justru akan membawanya ke rumah sakit jiwa dengan paksa, itu lebih parah lagi rencana orang tua Jayden yang tidak berperasaan."Orang tua aneh, benar-benar aneh. Hanya memikirkan harga diri dan kepentingannya perusahaannya saja. Tidak peduli anaknya sedang sekarat berurusan dengan maut, jika tidak di tangani dengan benar. Maka hancur dan makin terpuruklah itu Jayden." ucap dokter Andrew.Beberapa dokter yang berpapasan dengannya menyapanya, tapi hanya sekilas
Perdebatan antara dokter Andrew dan tuan Andra benar-benar membuat tegang. Meski akhirnya tuan Andra menyetujui rencana dokter Andrew mencarikan pengasuh untuk anaknya. Pengasuh yang kredibel dalam menangani kasus pecandu narkoba, itu artinya dia harus mencari seseorang di sebuah yayasan penanganan pecandu narkoba juga."Aku harus mencari kemana?" gumam dokter Andrew.Setelah kepergian tuan Andra, dokter Andrew menemui Jayden di kamarnya. Laki-laki itu masih diam dengan tatapan kosong, dia benar-benar larut dalam jiwanya yang kosong. Dulu sebelum papanya datang dan memarahinya, bahkan mengancamnya untuk di bawa ke rumah sakit jiwa. Dia sering berontak dan mengamuk, kini dia lebih banyak diam."Jayden, apa kamu dengar ucapanku?" tanya dokter Andrew pelan."Kamu mau membawaku ke rumah sakit jiwa juga seperti papaku?" tanya Jayden tanpa mengindahkan pertanyaan sahabatnya."Tidak Jayden, aku justru akan merawatmu dengan bantuan pengasuh tentunya. Aku tidak bisa mengawasimu dua puluh empat
"Selamat siang pak Jalal."Sapa seorang gadis berkerudung dengan senyum ramah mengembang di bibirnya. Dokter Andrew dan ketua yayasan bernama pak Jalal menoleh ke arah sumber suara. Pak Jalal tersenyum, dia menyuruh gadis berkerudung berpenampilan sopan dan wajahnya tampak kalem itu pun masuk."Masuk, Inayah. Silakan duduk." kata pak Jalal."Iya pak, terima kasih." jawab Inayah.Sejak tadi dokter Andrew menatap Inayah tanpa berhenti, dia mengedipkan matanya hanya dua kali sejak melihat Inayah masuk ke dalam ruangan itu. Inayah tersenyum ramah pada dokter Andrew."Nah, Inayah. Perkenalkan, ini pak Andrew. Pak Andrew, ini Inayah yang saya maksud itu." kata pak Jalal memperkenalkan Inayah pada dokter Andrew."Oh, ya pak Jalal. Salam kenal Inayah, saya Andrew." kata dokter Andrew mengulurkan tangannya pada Inayah.Inayah pun hanya menelungkupkan tangannya dan tersenyum ramah. Tangan dokter Andrew di tarik, dia merasa malu, memang begitulah jika berkenalan dengan seorang gadis yang menjaga
Inayah Laila Maryam, gadis berusia dua puluh lima tahun. Usia muda dalam menjalani sebagai relawan di sebuah yayasan pengobatan pecandu narkoba. Dia di rekrut oleh pak Jalal awalnya hanya untuk membantu sebagai staf administrasi. Tapi dia bisa melakukan terapi jalur spiritual pada para anggota yang berniat untuk sembuh dari kecanduan pada barang terlarang.Hingga akhirnya dia di percaya menjadi terapis dan motivator bagi pasien yang kebanyakan para remaja dan juga ada yang sudah dewasa. Meski tidak ada keahlian di bidang kedokteran, tapi dia sering bekerja sama dengan dokter yang sering menggunakan jasanya dalam terapi spiritualnya.Inayah bersiap untuk pergi ke rumah Jayden, di mana pasiennya yang akan dia bantu lepas dari kecanduan narkoba. Dia merapikan baju-bajunya serta tak lupa juga mukenah untuk ibadahnya, dia juga membawa muskhaf kecil untuk membantu menenangkan pikirannya dan juga pasiennya di kala sedang tenang.Cara itu yang dia lakukan selama ini pada pasien pecandu narkob
Inayah menunggu di depan rumahnya, dia sudah menyiapkan barang bawaannya. Perlengkapan apa yang harus dia siapkan untuk membantu pasien yang di maksud Andrew. Dia tidak tahu bagaimana keadaan pasien yang akan di tanganinya, hanya mempersiapkan mental dan juga buku-buku tentang motivasi juga tak lupa mushaf kecil untuk membantu menenangkan pasien.Setidaknya dia akan mencoba dan berusaha, jika masalah kesehatan. Mungkin akan di serahkan oleh dokter ahlinya, tapi jika masalah spiritual dan mental akan mencoba membantunya dengan pendekatan secara pribadi. Entahlah, Inayah merasa dia bisa melakukan itu selama ini. Dan akan menerapkannya pada pasiennya kali ini.Mobil sedan hitam berhenti di depan rumah sederhana milik ibunya Inayah. Gadis berkerudung abu-abu muda itu berdiri dan tersenyum ketika sosok laki-laki keluar dari dalam mobil. Ibu Masri keluar ketika mobil berhenti di depan rumahnya, dia melihat laki-laki gagah dan tampan dengan baju berjas menghampiri Inayah."Dia orangnya, Inay
Jayden duduk di pojok kasurnya dengan kaki berjongkok. Kepala di tumpu di antara dua lututnya, kedua tangan melingkar di tulang kering kakinya. Pandangannya tajam pada dokter Andrew dan Inayah secara bergantian. Dia mendengus kasar, kesal sekali tadi dia sedang menghisap shabu ternyata dokter Andrew mengetahuinya.Ketiga orang itu masih saling diam, dokter Andrew duduk di sisi ranjang. Dan Inayah duduk di kursi kecil di depan dokter Andrew, sesekali dia menatap Jayden yang masih diam tak bergeming."Apa yang kalian inginkan dariku? Seharusnya biarkan aku membusuk saja di sini, tidak ada yang peduli padaku." ucap Jayden akhirnya bersuara."Siapa bilang tidak ada yang peduli padamu? Aku peduli padamu, bi Ratih bahkan Beni satpam depan rumahmu. Kenapa kamu merasa tidak ada yang peduli?" tanya dokter Andrew."Kalau peduli, kenapa membuang barang milikku? Itu satu-satunya barang yang membuatku bahagia, membuatku melupakan semuanya. Kalian jangan repot-repot mengurusiku karena aku bahagia d
Bi Ratih sudah membereskan kamar untuk di tempati Inayah. Dia menyuruh Inayah segera masuk ke dalam kamar barunya yang bersebelahan dengan kamar Jayden."Kamu langsung bisa menempati kamar ini ya, agar nanti langsung datang jika tuan Jayden berteriak-teriak lagi." kata bi Ratih."Dia sering menjerit-jerit bi?" tanya Inayah."Ya, kadang menjerit sih kalau barang yang di carinya tidak ada. Tepatnya mengamuk dengan berteriak-teriak." jawab bi Ratih."Oh, begitu.""Ya, makanya kata dokter Andrew itu kamarmu harus bersebelahan dengan tuan Jayden agar bisa langsung datang ke kamarnya buat menolong tuan Jayden." ucap bi Ratih."Ya biaklah bi, terima kasih ya. Dan tadi katanya sudah lama tidak mengkonsumsi barang itu lagi, tapi di kamar mandi dia memakai lagi. Itu kenapa bisa dapat barang haram itu lagi bi? Apa ada yang memasoknya?" tanya Inayah."Setahu saya sih tidak ada. Cuma kadang sekretaris tuan Jayden itu datang meminta tanda tangan padanya, jadi tidak tahu siapa yang kasih tuan Jayden
Inayah dan bi Ratih kembali masuk ke dalam kamar Jayden. Laki-laki itu tadi berteriak, dan sekarang matanya menatap tajam ke plafon. Giginya bergemeretak dan tangannya mengepal, kini lengan tangan itu di gigitnya kuat hinga berbekas dan hampir saja mengelupas kulitnya dan mengeluarkan darah.Inayah langsung berlari dan menarik tangan Jayden dengan kuat, dia berteriak pada bi Ratih agar membantunya memegangi tangan Jayden."Bi, tolong tarik tangan tuan Jayden. Jangan sampai tangannya di gigit lagi, ini hampir terluka dan mengeluarkan darah." ucap Inayah pada bi Ratih."Iya Inayah, tapi bagaimana kalau di ikat saja tangannya?" tanya bi Ratih, dia takut Jayden kembali menggigit lengan tangannya lagi."Pegang saja dulu yang kuat, setelah melemah kekuatannya kita lepas dan bila perlu di ikat kedua tangannya." kata Inayah lagi."Kamu pikir aku ini narapidana yang harus di borgol?!" teriak Jayden."Di ikat tangan anda supaya tidak anda tidak menggigit lagi. Bisa terluka dan nanti anda akan s
Jayden masuk ke dalam mobil, rasanya sudah cukup dia menghormati papanya kali ini. Mungkin kedatangan papanya hanya ingin memastikan keadaan perusahaannya, bukan untuk menemuinya dan merestui pernikahannya dengan Inayah. Laki-laki itu langsung pulang ingin menemui istrinya, tiba-tiba merasa rindu dengan Inayah.Mobil di belokkan menuju rumahnya dengan cepat. Dia ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memeluk Inayah, dan tak lama mobil sudah memasuki halaman rumahnya. Satpam Beni heran dengan bosnya yang masuk dengan cepat sekali. Langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah."Tuan Jayden, anda pulang?" tanya bi Ratih."Inayah kemana?" tanya Jayden tidak sabar ingin menemui istrinya."Nyonya keluar tuan, tapi katanya sih sebentar," jawab bi Ratih."Mau apa keluar? Apa dia ingin membeli sesuatu?" tanya Jayden lagi."Entah, tapi katanya mau ke minimarket di seberang jalan itu, saya meminta saya saja yang beli tapi nyonya menolaknya," jawab bi Ratih lagi."Ya sudah, m
Inayah turun ke bawah, dia melangkah menuju ruang makan. Di mana suaminya sedang mengobrol dengan bi Ratih, perempuan itu sudah mengira kalau bi Ratih pasti akan memberitahu suaminya mengenai mertuanya yang datang dan menghinanya. Langkah Inayah terhenti sejenak, menarik napas panjang. Matanya melihat wajah Jayden yang terlihat marah, tentu marah pada papanya yang telah menghinanya tadi pagi.Perempuan itu mendekat, senyumannya mengembang. Di tariknya kursi di depan suaminya, bi Ratih pergi ke dapur. Jayden menatap istrinya yang tampak biasa saja wajahnya, dia memegang tangan Inayah kemudian menciumnya."Maafkan aku sayang," ucap Jayden."Minta maaf soal apa? Apa kamu punya salah sama aku?" tanya Inayah mengambil nasi dan di masukkan ke dalam piring suaminya."Soal papa, tadi bi Ratih cerita kalau papa menemuimu dan berkata tidak enak sama kamu," kata Jayden."Oh, itu. Tidak masalah, wajar saja kan seorang tua yang menginginkan anaknya bersanding dengan perempuan yang sepadan. Sedangk
Inayah masih diam dengan ucapan mertuanya itu. Sejak Jayden melamarnya beberapa kali, dia mempertimbangkan papa mertuanya itu. Dan benar saja kenyataannya dia di hina oleh laki-laki yang tidak pernah peduli dengan suaminya. Ingin rasanya dia menjawab, tapi dia masih memiliki tata krama sebagai seorang menantu.Setelah beberapa kalimat yang di ucapkan pada Inayah, tuan Andra pun akhirnya diam. Dia menatap dingin pada Inayah yang sedang menunduk itu."Sebaiknya kamu pikirkan pergi dari kehidupan anakku. Kamu tidak pantas menjadi istrinya," kata tuan Andra membuat Inayah dan bi Ratih terkejut dengan ucapan laki-laki tua tersebut."Maafkan saya pap, saya ...""Jangan menganggapku sebagai mertua! Aku tidak sudi menganggapmu menantu!" ucap tuan Andra.Inayah diam lagi, dia menatap nanar pada mertuanya yang terlihat kesal padanya. Bukan hanya kesal tepatnya, tapi juga sinis dan merendahkan dirinya. Bi Ratih juga hanya diam saja, dia merasa kasihan pada Inayah. Entah apa yang membuat tuan And
Inayah kini sudah tinggal lagi di rumah Jayden yang besar itu. Bi Ratih sangat senang akhirnya Inayah kembali lagi di rumah itu dengan status yang berbeda, sebagai istri dari tuannya.Sudah satu minggu setelah pernikahan itu, Inayah masih canggung berada di rumah itu lagi. Meski dia pernah hampir dua bulan tinggal di rumah itu. Kini dia sedang menyiapkan baju untuk suaminya yang siap bekerja kembali setelah lima hari cuti karena menikah. Masih bingung apa yang harus dia pilih, karena belum tahu selera suaminya.Inayah sedang memilih baju yang berderet menggantung di lemari. Jayden yang sudah selesai mandi, berdiri di tengah pintu memperhatikan istrinya yang bingung memilih baju untuknya. Jayden pun mendekat berdiri di belakang Inayah, kedua tangan kekarnya melingkar di perutnya. Membuat perempuan itu terkejut."Kamu kenapa diam saja, hemm?" tanya Jayden dengan kepala di pundak istrinya."Eh, sudah selesai mandi?" Inayah berusaha melepas pelukan suaminya, tapi Jayden malah mempererat p
Inayah gugup sekali malam ini, dia masih belum berani melepas mukenahnya. Masih duduk di sofa, karena memang dia tidak ada baju ganti. Jayden masih menelepon seusai sholat berjamaah dengan Inayah, sesekali dia melirik pada istrinya yang masih diam di sofa. Bibirnya menyungging, merasa gemas juga dengan tingkah Inayah masih memakai mukenah."Oke, nanti aku kabari selanjutnya," kata Jayden mengakhiri sambungan teleponnya.Dia meletakkan ponselnya di atas meja, menghampiri istrinya yang sedang gugup di sofa. Dia duduk di samping Inayah, menggelayutkan tangannya di lengan gadis itu. Tentu saja Inayah kaget dan semakin gugup, dia berusaha melepas tangan suaminya di lengannya. Tapi Jayden malah mencengkeram pundak di sebelahnya, wajahnya sangat dekat dengan wajah Inayah."Kenapa? Kamu kok seperti sungkan," tanya Jayden, matanya menelusuri wajah mulus tanpa make up itu."Bukan begitu, apa ini harus terjadi sekarang?" tanya Inayah tidak berani menoleh ke arah suaminya yang semakin dekat wajah
Acara resepsi telah selesai, kini mempelai pengantin sudah berada di kamar hotel yang sengaja di sewa untuk tiga hari. Kamar yang di rancang khusus untuk pengantin pada umumnya, sangat indah di taburi bunga mawar merah di atas ranjang. Setiap kamar di hias juga dengan bunga-bunga mawar merah dan putih.Awalnya Inayah kaget dengan kamar yang di hiasi oleh bunga-bunga itu, dia menatap sekeliling kamar sendirian. Karena Jayden hanya mengantarnya saja di kamar pengantin lalu pergi lagi karena ada tamu yang terlambat datang."Kamu di sini dulu ya, nanti aku kembali lagi," kata Jayden pada istrinya.Mengecup keningnya sebelum pergi, Inayah hanya diam saja. Sesungguhnya, dia masih gelisah karena mertuanya tidak datang ke acara pesta itu. Meski dia sudah di beritahu oleh Jayden, tapi entah kenapa dia merasa papanya Jayden memang sengaja tidak datang ke pesta pernikahan atau menghadiri pengucapan ijab kabul itu."Jika dia perempuan, mana boleh menikah tanpa restu orang tua. Apa lagi harus ada
"Saya terima nikah dan kawinnya Inayah Laila Maryam binti Abdul dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!""Bagaimana saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Suara tepuk tangan dalam masjid dan tangis haru dari ibu Masri karena anak sulungnya ternyata jadi juga menikah. Meski dulu tidak jadi menikah karena tunangannya kecanduan narkoba dan akhirnya over dosis lalu meninggal. Kini Inayah menikah juga dengan mantan pecandu, tapi dia melihat Jayden tidak seperti tunangan Inayah dulu. Meski sudah di rehabilitasi dan kembali pulang, dia kembali lagi menjadi pecandu dan akhirnya harus kehilangan nyawanya karena barang laknat tersebut.Tak terasa air mata perempuan paruh baya itu mengalir karena terharu anak sulungnya akhirnya menikah juga, dengan cepat dia menghapus air matanya sebelum terlihat oleh Inayah.Sementara itu, Sisil tampak cemberut. Ibu Masri tahu anak keduanya itu tidak terima kalau Inayah menikah dengan Jayden yang juga di sukainya. Tangan Sisil di cubit kecil oleh ibunya karena
Jayden sudah menyiapkan semuanya, dia ingin menikah dengan mewah di hotel berbintang lima. Tamu yang dia undang adalah klien binsisnya, juga sahabatnya dokter Andrew. Dia mengundang Aldo dan Marlyn juga, karena dia ingin kebahagiaannya di lihat oleh keduanya. Bukannya mau membalas perbuatan mereka, tapi dia sudah melupakan kejadian itu.Baginya, kebahagiaan lebih penting di banding harus dendam pada mereka berdua. Belum lagi dia juga sudah memberitahu papanya, tuan Andra. Laki-laki itu tidak merespon ketika Jayden memberitahu kalau akan menikah.Kini, menjelang satu hari sebelum pernikahannya. Dia duduk di kafe dengan dokter yang selama ini menjadi kawan, sahabatnya yang setia."Jadi kamu sudah memberitahu papamu?" tanya dokter Andrew."Sudah," singkat Jayden menjawab."Lalu, bagaimana tanggapannya?" tanya dokter Andrew lagi."Entah, tidak ada reaksi apa pun," jawab Jayden menyesap kopinya.Keduanya diam, dokter Andrew melirik jam di pergelangan tangannya. Jayden melirik sahabatnya ya
"Inayah?"Inayah tertunduk malu, dia datang di waktu yang tidak tepat menurutnya. Dia pikir memang Jayden akan lembur sampai malam, karena yang dia tahu laki-laki itu mengatakan sedang sibuk di kantornya.Jayden melangkah mendekat, bi Ratih pun tersenyum lalu perlahan pergi meninggalkan Inayah dan Jayden."Saya ke belakang dulu, tuan Jayden, Inayah," kata bi Ratih."Bi Ratih tunggu!" ucap Inayah.Bi Ratih tersenyum lalu pergi meninggalkan Inayah. Jayden berhenti di depan Inayah, kedua tangannya di masukkan ke dalam kantong celana, menatap dalam gadis di depannya. Ada perasaan senang ketika Inayah berada di rumahnya, meski dia pasti mengelak hanya menemui bi Ratih. Tapi Jayden yakin Inayah pasti sedang mencarinya."Kamu kesini mau ketemu aku?" tanya Jayden."Tidak. Ingin ketemu bi Ratih saja, sudah lama tidam bertemu," jawab Inayah gugup.Dia tidak menyangka Jayden ada di hadapannya, Jayden hanya mengangguk pelan. Kemudian dia berbalik tapi berhenti lagi."Emm, kalau sudah selesai deng