"Lin. Pak Broto datang lagi tuh. Nyariin kamu." Siska mendatangi Celine di belakang. Dia meninggalkan kerjaannya di depan dan meminta karyawan lain untuk menggantikannya sebentar.
Celine sedang menyusun beberapa barang di gudang. Setahun terakhir, dia meminta kepada HRD untuk dipindahkan ke posisi ini, supaya tidak bertemu banyak orang. Dia memang cantik, jadi banyak pembeli lelaki yang suka menggoda.
Penampilannya sederhana, tapi paras ayunya tidak bisa menipu. Sekali pun hanya memakai seragam karyawan, banyak lelaki yang menyukai. Karena itulah, mini market ini menjadi ramai sejak dia bergabung.
Lagipula menjadi kasir berisiko tinggi. Melihat uang matanya langsung hijau. Apalagi tanggungannya banyak. Kalau di bagian gudang, dia bisa sambil mengecek barang-barang promo. Lumayan bisa mengirit pengeluaran.
"Bilang aja aku lagi sibuk. Barang baru datang. Mau dilabeli harga dulu," tolaknya halus.
"Jangan gitu, Lin. Dia nungguin dari tadi. Kasian, kan?" Siska mengedip mata. Celine sudah tahu. Kalau begini, pasti sahabatnya diberi tip oleh Broto untuk memanggilnya ke belakang.
Siska menarik lengannya. Celine melihat situasi sebentar. Untunglah Pak Andre sedang keluar makan siang. Jadi dia bisa bolos. Aman.
"Elin ..." Suara seorang lelaki paruh baya menyapanya ramah. Tangan lelaki hendak memeluknya.
Dia bergerak menjauh. Takut.
"Eh, Bapak. Ada apa ? Elin lagi kerja." Gadis itu menolak secara halus. Tidak enak kalau bersikap kasar kepada orang tua. Bagaimana pun juga harus tetap menghormati.
"Jangan panggil bapak, dong. Mas aja biar mesra," katanya genit. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Jadi gatalnya. Huh!
Celine dan Siska hampir saja tersedak mendengar itu. Mereka saling berpandangan dan tersenyum menahan tawa. Mas? Ingat umur, Pak. Cucu sudah berapa, ya?
"Eh."
Dia menggaruk kepala yang tidak gatal. Lidahnya berasa kaku kalau harus memanggil Broto dengan sebutan mas. Apalagi Siska sedari tadi tersenyum menggoda. Dasar!
"Ini, mas bawakan jajanan buat anak-anak. Kebetulan lewat sini. Jadi, mampir sekalian beli pulsa." Broto mengeluarkan kresek besar hitam dan menyerahkannya kepada gadis itu.
"Makasih, Pak. Eh, Mas." Celine mengambilnya dang mengintip sedikit. Ada snack dan cokelat serta entah kue apalagi, yang pasti banyak macamnya. Anak-anak pasti suka.
Siska tertawa terbahak melihat mereka. Memang lucu sekali. Apalagi terlihat oleh banyak orang. Celine jadi serba salah dibuatnya.
"Elin, nanti malam minggu ada acara, gak? Jalan sama mas, yuk. Ada film baru di bioskop. Film romantis," kata Broto. Sengaja merapatkan tubuh sambil berbisik manja. Ih.
Tawa Siska semakin kencang.
"Awas kamu, ya!" rutuk Celine. Gemas juga rasanya melihat kelakuan sahabatnya itu.
"Anu, Pak. Kayaknya Elin dapat shift malam," elaknya.
Kapok. Pergi dengan Broto bukannya bisa menonton. Sepanjang film diputar, lelaki itu malah sibuk meremas tangannya. Sedikit-sedikit mau memeluk. Celine takut, sekaligus ... jijik.
"Oh, ya sudah. Lain kali saja kalau begitu." Broto nampak kecewa, tapi biarkan saja. Tidakboleh dibiasakan, nanti malah semakin menjadi.
"Elin udah makan siang? Ini mas bawain geprek. Jangan telat makan, nanti sakit," lanjutnya sambil menyerahkan dua kotak ayam geprek.
Celine menerimanya, danengucap syukur dalam hati. "Alhamdulillah, dapat makan siang gratis."
Eh, tunggu! Pantas Siska memaksanya keluar. Ayam gepreknya ada dua. Tentu saja yang satunya jatah buat dia. Celine menoleh ke arah sahabatnya itu. Gadis itu malah tersenyum malu-malu.
"Ehem!
Tiba-tiba terdengar suara seseorang di belakang. Mereka tersentak. Siska kembali fokus pada pekerjaannya, pura-pura menghitung uang.
Celine sendiri pasrah saja pada nasib. Mau bagaimana lagi?
"Elin! Bukannya kamu masih harus kerja. Kenapa malah ngobrol?" Suara Andre menggelegar, membuat kaget semua orang.
"Eh maaf, Mas. Elin masuk dulu."
Dia berpamitan kepada Broto. Gawat kalau sampai Andre marah. Bisa merembet ke mana-mana. Kenapa dia malah datang?
"Yaudah kalau begitu. Mas pulang dulu ya. Nanti mas mampir lagi."
Broto melambaikan tangan sebelum keluar dari toko itu. Gadis itu membalas dengan senyuman, sebagai ucapan terima kasih atas pemberiannya. Kebur Andre datang, dia menjadi lupa.
Mata Andre melotot. Tentu saja dia tidak berani memarahi Broto. Pak tua itu pelanggan, kalau kabur bisa berkurang omset toko. Celine lagi yang kena.
"Kalau waktunya kerja, jangan pacaran!" sungutnya.
Galak juga atasan yang satu ini, walaupun sebenarnya baik. Dia hanya menerapkan disiplin kepada para karyawan. Kalau tidak begitu, semua orang bisa bersikap bebas semaunya. Toko ini dilengkapi CCTV. Mereka diawasi. Jika ada yang nakal, dia yang dapat sangsi. Itulah Risiko menjadi atasan.
"Siapa juga yang pacaran?" jawab Celine kesal kemudian berjalan ke belakang.
Kalau Andre sudah marah, sudah pasti mereka akan terlambar pulang. Setelah selesai jam kerja, akan dapat wejangan untuk pencerahan.
"Siska. Jangan tertawa. Nanti kamu salah hitung uang." Gadis itu mengangguk saat dibentak atasan mereka. Kena juga. Nasib.
* * *
Broto. Duda dua anak berusia lima puluh tahunan. Lumayan kaya, punya kontrakan sepuluh pintu di gang sebelah. Anak-anaknya sudah menikah. Bahkan dia sudah punya cucu. Dia ditinggal istrinya yang sudah wafat karena sakit.
Sudah setahun ini menyukai Celine, begitulah informasi yang diterima dari Siska. Itu juga yang membuat gadis itu meminta pindah ke bagian gudang. Dulu waktu masih menjadi kasir, Broto setiap hari belanja ke toko hanya untuk melihatnya.
Celine merasa risih, tapi dia masih menghormati Broto karena lebih tua. Lagipula sejak dia tau gadis itu mengurus dan mengelola panti, dia menjadi donatur tetap di sana. Satu juta rupiah mengalir tiap bulan ke rekening. Jumlah yang cukup banyak untuk biaya hidup anak-anak selama sebulan.
Sebenarnya ada beberapa donatur untuk panti, tapi tidak sebanyak dia. Hanya beberapa ratus ribu. Itu juga tidak tetap setiap bulannya. Kadang ada transferan, kadang tidak.
Setahun ini berat bagi Celine. Sebelum Pak Broto, ada pengusaha yang menjadi donatur tetap. Dia mentransfer tiga juta setiap bulan. Namun, beliau sudah meninggal.
Bapak Rahardian namanya. Gadis itu sudah pergi menghadap pihak bank untuk meminta informasi, tapi ditolak dengan alasan privasi nasabah. Sampai saat ini, dia masih tidak tahu siapa orangnya. Setelah Bapak Rahardian meninggal, transferannya juga ikut menghilang.
Sejak itulah, Celine mulai pontang panting mencari tambahan. Berjuang sendiri, seperti mulai dari nol saat pertama kali membuka panti. Tak lama, bertemulah dengan Broto ini. Dia murah hati, suka membawakan kue untuk anak-anak. Sebenarnya Celine tahu maksudnya apa. Broto ingin menjadikannya sebagai istri.
Dengan sopan Celine menolak. Dia belum ingin menikah, masih ingin mengurus anak-anak. Jikalau pun memang mau, sudah sejak dulu dia menerima lamaran Jali, anak sulung Abah dan ummi.
Sepertinya Broto masih belum mau menyerah. Tetap bersikeras mengejarnya. Mungkin saja semakin penasaran karena ditolak terus menerus. Laki-laki biasanya memang menyukai hal itu, tantangan.
Celine bertanya dalam hati, mengapa sejak dulu mereka semua selalu sama? Mendekatinya karena ada maunya saja.
Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma."Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma."Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedi
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k
Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya."Ehem." S
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga
"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan."Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja."Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan."Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan."Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.Wajah Celine langsung pucat mendengarnya.
Andre memandang gadis di depannya ini dengan penuh rasa iba. Ingin membantu lebih banyak pun dia belum mampu. Sebagai atasan, dia hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya."Ini, bisa saya ajukan lewat koperasi. Mungkin prosesnya lama. Belum tentu disetujui. Lagi pula, jumlahnya tidak banyak. Maksimal hanya tiga jutaa. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" Dia menjelaskan panjang lebar.Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Bonus dan luang lemburnya dia hafal jumlahnya, sekian koma sekian. Tidak boleh kurang kalau bisa lebih.Andre mengerti. Gaji segitu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, Andre pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istrinya di rumah. Entah bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup
Celine menceritakan semua kejadian di rumah Broto kepada Siska. Berdua mereka duduk di kantin bakso dan soto langganan tempat mereka makan siang. Kali ini Siska yang membayarkan. Biasanya setiap hari Broto mengantarkan makanan. Namun, sejak kejadian itu, dia tidak pernah muncul. Tidak ada ada makanan gratis lagi. Celine sendiri tidak membawa bekal. Alhasil, terdamparlah mereka di sini."Lin, Lin. Ngapain kamu ke situ sendirian. Kan bisa ngajakin aku." Siska tak habis pikir mengapa sahabatnya itu nekat berbuat itu, tanpa berdiskusi dulu dengannya."Aku udah ga tau lagi mau gimana. Aku bingung. Sementara tagihan terus berjalan. Ga mungkin kan, aku bawa putri kabur dari rumah sakit."Siska menggelengkan kepalanya. "Eh, si Broto mesum juga. Kupikir dia mau ngambil kamu baik-baik. Ternyata ..., ah dasar laki-laki semua begitu." Dia mengomel panjang lebar. Tak menyangka si bandot tua yang satu itu nekat juga. Tak bisa terbayangkan jika sesuatu terjadi pada Celine kare
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se