Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma.
"Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.
Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.
Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma.
"Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."
Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedia memberikan kesempatan kepadanya. Ayo, Celine. Berusaha, ya!
Dia menatap setiap sudut itu dengan seksama. Luas, besar, dan mewah. Satu ruangan ini sama besarnya dengan rumah panti asuhan yang dikelolanya. Ada sofa, meja panjang dengan banyak kursi. Udaranya sejuk karena pemdingin ruangan yang menyala non stop.
"Andaikan anak-anak bisa tinggal di tempat senyaman ini. Mereka pasti akan senang sekali." Begitulah khayalnya berkata.
"Hei. Apa kabar?" Bisma mengulurkan tangan.
Celine menoleh, menatap seorang lelaki yang sedang berjalan mendekat. Sosok yang sudah dikenalnya bertahun-tahun yang lalu. Ditangannya ada sebuah lap, sepertinya baru saja selesai mecuci tangan.
Celine menarik napas panjang. Tangannya gemetaran. Gugup saat berhadapan dengan seseorang yang mempunyai posisi penting di kantor ini.
"Baik," jawabnya kaku.
Sekian lama tidak bertemu, Bisma masih tampan seperti dulu. Bahkan kini lebih menawan. Uang memang bisa merubah semua penampilan orang, juga merubah sifatnya.
"Duduk." Lelaki itu menunjuk sofa. "Mau kopi atau teh?"
"Kak, aku kesini untuk ..."
"Hei. Santai aja, jangan buru-buru. Kita minum-minum dulu. Cerita-cerita. Sudah lama gak ketemu." Senyumnya terlihat manis sekali. Jantung Celine sampai berdebar melihatnya.
"Kalau begitu teh hangat saja. Mau?" Bisma berdiri menuju meja kerja dan men-dial beberapa nomor.
Gadis itu mengangguk mengiyakan.
"Patricia, tolong hubungi pantry. Bawakan dua teh hangat ke ruangan saya. Jangan lupa snack." Bisma menutup telepon, kemudian kembali berjalan menuju sofa, duduk di sebelah Celine.
Tak lama menunggu, seseorang datang masuk membawakan nampan berisi snack, meletakkanya di meja kemudian berpamitan keluar.
"Ayo diminum."
Tangan Celine bergerak mengambil cangkir dihadapannya. Bagus sekali. Tehnya enak, kuenya apalagi. Dia jadi teringat anak-anak. Seandainya bisa ikut mencicipi makanan ini, pastilah mereka akan senang. Ada rasa perih dihatinya.
"Nah, gimana kabar kamu?"
"Baik-baik saja, Kak."
"Kamu makin cantik, ya?" goda Bisma.
Matanya melirik dari atas sampai ke bawah. Senyum melengkung di bibirnya. Sebagai seorang lelaki, melihat pemandangan indah begini pastilah hatinya senang.
Celine tersipu saat mendengar ucapan lelaki itu. Semua perempuan pastilah suka jika dikatakan cantik. Dia juga sama.
"Makasih."
Wajahnya merona, malu dan ertunduk lama saat melihat Bisma menatapnya intens. Mata lelaki memang mengerikan. Dibaliknya ada berbagai macam keinginan yang kita tidak tahu.
"Oke. Kamu ada yang mau disampaikan?"
"Soal panti asuhan yang aku kelola."
Celine berbicara dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan. Lelaki ini penguasanya, dia harus sopan saat bertutur.
"Bukannya di perjanjian udah jelas, ya?"
"Iya. Tapi, apa gak ada perpanjangan waktu untuk pinjam pakai bangunan. Kalau cuma dua bulan, rasanya, aku belum sanggup." Dia berusaha menjelaskan pelan-pelan.
"Semua bisa kita bicarakan, Celine. Dengan kepala dingin. Gak usah pake marah-marah atau membanting telepon." Bisma menyindirnya.
"Maaf, Kak. Aku panik. Masa perpanjangan tinggal satu bulan. Aku belum ketemu rumah penggantinya. Belum ada yang cocok."
Belum ada yang cocok harganya. Dia hanya punya setengah dari uang sewa yang mereka minta per tahunnya. "Kakak sulit dihubungi. Aku berkali-kali nelepon tapi gak diangkat. Jadinya kemarin nekat datang ke sini."
Bisma tertawa mendengar itu. Gadis ini lucu. Polos sekali, dan dia ... suka.
"Maaf, aku sibuk. Kerjaan lagi banyak-banyaknya. Proyek ini harus segera rampung. Sudah ditanya investor berkali-kali." Dia mengangkat bahu.
"Aku tahu. Kakak kan seorang manager perusahaan besar. Wajar kalau sibuk. Beda denganku yang cuma ..."
"Hei, jangan begitu. Bagaimana pun dulu kita pernah saling kenal." Bisma membesarkan hatinya. Sejujurnya, dia masih menginginkan gadis ini.
"Aku datang ke sini mau minta tolong sama kakak. Bisa gak kakak menambah perpanjangan waktu? Biar aku cari dulu rumah penggantinya. Setelah itu kami keluar dari sana."
"Berapa lama?" Bisma menimbang.
"Mungkin dua atau tiga bulan." Gadis itu memberikan opsi.
"Terlalu lama. Proyek harusnya udah jalan bulan ini. Kalau kasusnya kayak gini, berarti aku harus nge-lobby ulang investor." Bisma mencoba menjelaskan juga memberikan pengertian.
"Aku mohon kasih kami waktu. Kami gak mungkin pindah dalam waktu secepat itu."
Mata Celine mulai berkaca-kaca, Tidak bisa membayangkan jika sampai anak-anak terusir. Mau tinggal di mana mereka? Menyewa rumah lain pun belum punya biaya.
"Investor udah lama nunggu. Tempat itu dipilih karena sangat strategis. Tanahnya luas, pemukiman di sekitarnya udah siap untuk dikosongkan. Aku masih ngasih tenggang waktu, itu juga cuma sama kamu."
Bisma kembali menjelaskan. Ada pengecualian jika Celine mau menjadi kekasihnya, misalnya. Tawa jahat bergema di dada.
"Apa gak ada alternatif lain?"
Gadis itu masih mencoba bernegosiasi. Kepalanya sakit beberapa hari ini memikirkan semua. Kalau dia sendiri tidak akan ada masalah. Dia bisa tinggal di manapun, bisa juga menumpang s
Di kos-an Siska. Tapi anak-anak, mau dimau bawa ke mana?"Baiklah. Aku kasih tenggang waktu satu bulan lagi. Setelah itu maaf, gak bermaksud mengusir. Kalian harus mengosongkan tempat itu secepatnya." Bisma berkata tegas sambil menatap Celine dengan tajam.
Gadis itu menarik napas berkali-kali. Berusaha menenangkan hatinya yang sejak tadi berdebar kencang.
"Begini, Kak. Aku ..." Lidahnya terasa kelu. Bagaimana dia bisa mengatakannya?
"Kenapa?" Lelaki itu bergeser hingga mereka hampir tak berjarak.
Celine merasa risih karena mereka semakin merapat. Apalagi bahasa tubuh Bisma menunjukkan sikap yang intim.
"Aku gak punya uang buat sewa tempat lain," katanya jujur, menatap wajah tampan itu dengan ekspresi sedikit ketakutan.
"Sungguh?" Bisma pura-pura bertanya. Sejak tadi dia hanya memperhatikan Celine berbicara. Matanya fokus pada wajah cantik itu, bukan pada apa yang dia bicarakan.
"Untuk operasional sehari-hari aja berat. Selama ini Abah yang punya rumah udah baik sama kami. Dia ngasih sewaan setengah harga dari tempat lain."
Celine mulai terbuka menceritakan kehidupan meteka. Berharap dengan begitu Bisma mau mengerti. Sekalipun tidak, dia hanya bisa pasrah.
Bisma mengulum senyum.
"Kakak kan tau, aku ini cuma karyawan mini market. Berapa lah gajiku sebulan," lirih Celine. Dia malu mengucapkannya.
"Kenapa ga kamu lepas aja?" Lelaki itu mencoba memberikan opsi lain. Toh Celine tidak punya kewajiban mengurus mereka semua. Biarkan saja anak-anak itu kembali ke jalanan.
"Biarkan mereka jadi gelandangan lagi? Aku gak bisa, Kak!"
Dia sedikit terpancing emosi. Selalu saja terbawa perasaan jika membicarakan semua hal yang berkaitan dengan anak-anak.
"Kamu kan bisa pindahkan mereka ke panti asuhan lain. Atau mencari orang tua angkat, misalnya."
"Gak semudah itu, Kak. Banyak panti yang nasibnya sama kayak kami. Rumah asuh ini bukan beda sama yang lain. Aku nampung mereka seadanya, Gak bisa melacak data orang tua adopsi. Aku gak rela mereka jadi korban trafficking," jelasnya panjang lebar.
"Kamu masih muda. Ngapain ngabisin waktu ngurusin hal-hal kayak gitu."
"Karena aku tau gimana rasanya gak punya orang tua. Gak mau mereka bernasib sama." Wajahnya setengah memohon.
Ayolah Bisma, berilah mereka kesempatan. Apa kamu tega?
Lelaki itu menghela napas. Celine memang pantang menyerah. Sedari dulu masih sama, tidak banyak berubah. Hanya fisiknya yang semakin menawan karena bertambahnya usia.
"Gini aja. Untuk sekarang, aku belum bisa memutuskan. Aku cuma bisa nambah sedikit perpanjangan waktu. Kalau satu bulan lagi, bolehlah. Nanti bisa kita bicarakan kembali."
"Oke. Kalau gitu, aku permisi ya, Kak. Tadi sudah izin kerja. Makasih bantuannya."
Gadis itu mengulurkan tangan. Bisma menyambutnya dengan suka cita. Bahkan menahannya saat Celine ingin menarik kembali.
"Hati-hati. Kalau ada yang bisa aku bantu, telepon saja. Kalau gak sibuk aku respons, kok." Lelaki itu mengedipkan mata.
Celine mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu.
Bisma kembali ke meja kerja, mengambil gagang telepon dan menghubungi seseorang.
"Pat, hubungi pantry. Minta untuk menyiapkan snack yang tadi untuk tiga puluh orang. Berikan kepada ibu Celine yang baru keluar dari ruangan saya barusan Kamu tahan aja dia di lobby sambil menunggu snack-nya siap."
Klik!
Telepon terputus. Lelaki itu melipat tangan di dada dan menyandarkan tubuh di kursi. Senyum manis merekah di bibirnya.
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k
Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya."Ehem." S
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga
"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan."Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja."Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan."Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan."Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.Wajah Celine langsung pucat mendengarnya.
Andre memandang gadis di depannya ini dengan penuh rasa iba. Ingin membantu lebih banyak pun dia belum mampu. Sebagai atasan, dia hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya."Ini, bisa saya ajukan lewat koperasi. Mungkin prosesnya lama. Belum tentu disetujui. Lagi pula, jumlahnya tidak banyak. Maksimal hanya tiga jutaa. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" Dia menjelaskan panjang lebar.Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Bonus dan luang lemburnya dia hafal jumlahnya, sekian koma sekian. Tidak boleh kurang kalau bisa lebih.Andre mengerti. Gaji segitu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, Andre pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istrinya di rumah. Entah bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup
Celine menceritakan semua kejadian di rumah Broto kepada Siska. Berdua mereka duduk di kantin bakso dan soto langganan tempat mereka makan siang. Kali ini Siska yang membayarkan. Biasanya setiap hari Broto mengantarkan makanan. Namun, sejak kejadian itu, dia tidak pernah muncul. Tidak ada ada makanan gratis lagi. Celine sendiri tidak membawa bekal. Alhasil, terdamparlah mereka di sini."Lin, Lin. Ngapain kamu ke situ sendirian. Kan bisa ngajakin aku." Siska tak habis pikir mengapa sahabatnya itu nekat berbuat itu, tanpa berdiskusi dulu dengannya."Aku udah ga tau lagi mau gimana. Aku bingung. Sementara tagihan terus berjalan. Ga mungkin kan, aku bawa putri kabur dari rumah sakit."Siska menggelengkan kepalanya. "Eh, si Broto mesum juga. Kupikir dia mau ngambil kamu baik-baik. Ternyata ..., ah dasar laki-laki semua begitu." Dia mengomel panjang lebar. Tak menyangka si bandot tua yang satu itu nekat juga. Tak bisa terbayangkan jika sesuatu terjadi pada Celine kare
Siska mengetuk meja dengan gelisah. Kenapa jadi dia yang grogi, padahal yang mau bertemu Bisma kan Celine. Berkali-kali matanya melirik ke arah pintu cafe, namun, yang mereka tunggu belum datang juga. Celine sendiri pura-pura sibuk dengan ponselnya, untuk menutupi kegugupan."Celine?" Seorang pria menghampiri mereka.Mereka serentak mengangkat muka. Jantung Siska berdebar. Lidahnya kelu. Padahal dia yang tadi sangat semangat menemani Celine untuk menemui pria ini. Dia tidak mau kejadian di rumah Broto terulang lagi kepada sahabatnya. Bisa saja kan Bisma juga ikut nekat? Merayu sahabatnya kemudian menjebaknya. Jika sampai itu terjadi, dia yang akan mengahajar pria itu jika berani berbuat macam-macam."Lama menunggu?" Bisma mengambil tempat duduk di depan gadisnya. Pandangan matanya lekat penuh dengan cinta."Eh, engga kok," jawab Siska. Wajahnya tersipu malu. Kenapa pula dia yang jadi grogi?
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se