"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan.
"Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja.
"Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan.
"Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan.
"Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.
Wajah Celine langsung pucat mendengarnya. Tubuhnya lemas. Lututnya goyah. Untung saja dia tidak pingsan. Sebagian berat tubuhnya malah ditopang pelukan Susi.
"Terus, di mana putri sekarang?" Dia panik. Siska yang melihat kelakuan mereka segera bertindak. Dia menyuruh mereka menepi untuk berbicara, supaya tidak menghalangi pembeli yang datang.
Suara berisik mereka juga sangat kentara terdengar, membuat ke-kepo-an sebagian pembeli muncul. Bahaya, cctv di mana-mana. Bisa saja nanti cabang mereka kena sangsi. Resiko kan?
"Udah di bawa ke rumah sakit, Neng. Tadi ada mobil yang berenti bantuin bawa. Kalau yang nabrak kabur. Kata yang lihat sih, laki-laki." Susi mengusap air matanya.
Celine melepaskan pelukan Susi. Dengan khidmat mendengarkannya bicara. Tak bisa membayangkan jika itu terjadi dihadapannya. Putri, anak asuhnya yang paling tua. Sudah sekolah dasar. Anak itu mandiri. Pembawaan halus pula, seperti putri keraton. Padahal anak yatim piatu itu tidak jelas siapa orang tuanya. Waktu bayi dibuang ditempat sampah, ditemukan penduduk. Di asuh sembarang orang, pernah hidup di jalanan sampai akhirnya Celine menemukannya.
"Lah, tadi pulang sekolah gimana?"
"Kayak biasa, Neng. Susi juga ga tau. Tiba-tiba ada yang datang ke rumah, bilang Putri dibawa ke rumah sakit. Ini Susi langsung ke sini mau bawa neng ke sana." Sia menjelaskan dengan susah payah. "Ayo cepat kita ke sana, Neng. Putri ga ada yang jagain. Kasian."
"Bentar, ijin dulu." Dia mengangguk, kemudian berjalan ke belakang menuju ruangan bosnya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Sopan dia mengetuk pintu. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" Dalam keadaan panik begini pun dia harus tetap tenang saat berhadapan dengan lelaki yang satu ini.
"Kenapa, Lin?" Andre menghentikan kegiatannya mengetik sesuatu di layar komputer. Ada laporan deadline yang harus dia kerjakan secepatnya, sebelum dia sendiri ditegur oleh atasannya.
"Pak, maaf saya ijin lagi." Wajah tulusnya membuat hati Andre luluh. Celine anak baik dan jujur. Jika dia meminta ijin berarti ada sesuatu yang penting yang harus diselesaikan. Andre bukan atasan yang kaku. Hanya sedikit menerapkan kedisiplinan supaya cabang mereka tertib dan minim komplain dari pembeli.
"Kenapa lagi?" Dahinya berkerut penuh tanya.
"Putri kecelakaan. Tabrak lari." Dia tak kuasa menahan isak tangis. Air matanya tumpah. Tak perduli sekalipun terlihat cengeng di mata bosnya.
"Apa?! Di mana Putri sekarang?"
"Sudah di bawa ke rumah sakit, Pak. Tapi, ga ada yang jagain. Elin ga tau gimana di sana." Tubuhnya terguncang-guncang menahan haru. Pikirannya kalut. Dalam keadaan panik begini, tak tahu harus berbuat apa-apa.
"Yaudah ayo saya antar." Andre berinisiatif. Rasa empatinya bekerja di saat-saat seperti ini. Sedikit banyak dia tahu mengenai anak-anak asuh karyawannya ini. Pernah berkunjung ke sana, walaupun tidak hafal nama mereka satu-persatu.
Mereka berdua segera keluar dari ruangan dan berjalan menuju ke depan. Andre menghampiri salah satu karyawan laki-laki yang bertugas di gudang.
"Saya titip cabang sebentar, ya. Saya mau mengantar Elin ke rumah sakit. Ada yang kecelakaan." Dia berpesan. Karyawan yang lain juga ikut menyaksikan apa yang terjadi sejak tadi. Mereka mengangguk tanda paham. Sudah tau juga masalahnya apa sehingga tidak banyak bertanya.
Bergegas mereka keluar. Andre mengambil kunci mobil. Bertiga dengan Susi mereka menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, berulang kali gadis itu mengusap air mata. Susi membantu menenangkannya.
* * *
"Ini harus segera di operasi, ya. Tulangnya patah." Begitu penjelasan dari dokter yang merawat Putri. Mereka semua berkumpul di ruang Instalasi Gawat Darurat. Nampak Putri mengerang kesakitan. Dia sudah diberikan suntikan pereda nyeri dan antibiotik. Tapi tetap saja terasa sakitnya.
Serentak mereka mengelus dada. Celine, Susi dan Andre. Untuk kemudian saling berpandangan satu dengan yang lain. Bagaimana ini?
"Silahkan tanda tangan di sini sebagai persetujuan dari pihak keluarga. Harus segera ditangani. Bisa berbahaya jika terlalu lama." Bahasa dokter itu lugas sekali. Sangat mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cara menjelaskannya pun halus sehingga mereka dapat menangkap isi pembicaraan.
"Tapi biayanya, Neng?" lirih Susi. Beberapa kali dia melirik ke arah Celine.
"Adik punya asuransi dari pemerintah?" tanya dokter itu.
Celine menggeleng. Untuk makan sehari-sehari saja susah. Bagaimana dia harus membayar asuransi untuk dua puluh orang anak. Bisa bubar di tengah jalan itu panti.
"Kartu kesehatan dari pemerintah mungkin sudah ada?" tanya dokter itu lagi. Sebenarnya tidak tega juga dia melihat keluarga ini. Terlihat tidak mampu.
"Kami ga punya, Pak Dokter." Dia tertunduk lesu. "Rumah panti saya hanya seadanya. Bukan panti besar yang terorganisir," jawabnya.
"Ah, sayang sekali. Begini saja. Ini harus dilakukan tindakan segera. Nanti aaya akan bantu di bagian administrasi." Dokter itu memberikan solusi. Walaupun tidak menangnggung sepenuhnya, paling tidak meringankan biaya berobatnya.
"Terima kasih, Pak Dokter." Dengan cepat tangannya bergerak menanda-tangani berkas-berkas persetujuan untuk melakukan operasi.
Jalan. Putri segera di bawa ke ruang OK. Jika terlambat bisa cacat seumur hidup.
* * *
"Sabar ya, Lin." Siska memeluknya. Gadis itu menangis sesegukan. Mereka masih menunggu di luar. Saat ini operasi sedang berlangsung.
"Ini makan dulu." Andre membawakan makanan. Walaupun galak, tapi jika keadaan seperti ini empatinya cukup besar.
Celine menggeleng.
"Makan, Lin. Nanti kamu sakit. Siapa yang bakal ngurusin Putri." Siska setengah memaksa. Menyodorkan kotak nasi dan air mineral. Mereka tak sempat duduk makan di kantin rumah sakit. Lagipula, uangnya tidak ada.
Celine menyerah. Diambilnya dan segera dia lahap semua makanan dengan cepat. Ternyata, sejak tadi dia lapar. Hanya tidak terasa. Dalam situasi begini, siapa juga bisa berpikir soal makanan.
Andre mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Kamu saya beri izin sampai Putri boleh pulang. Tapi, setiap pagi jam delapan dan dan jam lima sore absen, ya. Saya pasti di tanya kalau kamu ga masuk lama." Lelaki itu menepuk bahunya. Tidak tega juga dia kalau begini keadaanya. Bolehlah dia sedikit melonggarkan aturan. Jika terkena sangsi pun dia siap. Ini soal kemanusiaan.
"Baik, Pak." Sambil meminum air dia menjawab ucapan atasannya itu.
"Kerjaan kamu, nanti di-handle sama teman-teman yang lain saja. Kamu cukup absen. Saat ini anakmu lebih penting." Panjang lebar dia berkata.
Gadis mengangguk tanda mengerti. Mengucap syukur atas banyak kebaikan yang telah Tuhan limpahkan kepadanya. Teman-teman yang baik. Atasan yang pengertian. pekerjaan yang bagus. Juga anak-anak, pastinya.
Andre membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah amplop putih, kemudian menyerahkan ke tangan Celine. "Ini ada sedikit dari kami. Tadi, saya ke toko sebentar. Ngumpulin semua anak-anak. Kita sepakat seminggu ini merahasiakan keterangan izin kamu."
Gadis itu menerimanya dengan suka cita. Tak menyangka ternyata teman-teman yang lain ikut perduli akan keadaannya saat ini.
"Ga banyak. Untuk menambah saja. Kamu ngertilah kita juga pas-pasan. Saya bawa mobil juga punya kantor." Lelaki itu tersenyum saat amplop putih itu telah berpindah tangan.
Celine mengangguk, lagi. Memasukkan amplop itu ke dalam tasnya. Mungkin nanti batu dia akan membukanya.
"Saya pulang dulu. Toko ga boleh kosong lama." Lelaki itu berpamitan. Merek bersalaman.
"Aku juga ya, Lin. Maaf ga bisa nemenin kamu lama. Nanti pulang kerja, aku ke sini lagi." Siska ikut berpamitan..Mereka berdua kemudian berjalan menuju keluar.
Tinggallah Celine seorang diri. Susi sudah dimintanya untuk pulang. Tidak mungkin Bik Onah sanggup mengurusi anak-anak sebanyak itu. Dia termenung dan memikirkan, emana harus mencari sisa biayanya. Putri sudah di operasi. Selama satu minggu ini masih harus menjalani perawatan. Itu juga belum sepenuhnya pulih. Nanti akan ada lagi operasi kedua, untuk mengangkat pen penyambung tulangnya.
Susahnya menjadi orang yang kurang mampu. Jangankan untuk membayar biaya berobat semahal ini. Untuk bertahan hidup sehari-hari saja mereka berat.
Pintu ruangan terbuka. Tampaklah tubuh mungil itu tergeletak tak berdaya di atas bed pasien dan didorong masuk menuju ke tempat perawatan.
Celine mengikuti iring-iringan itu sampai ke kamar. Beberapa perawat memberikan instruksi, apa-apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan jika nanti Putri sudah siuman.
Dia dengan sabar menunggu sampai anaknya Siuman. Tak lama setelah itu, datanglah seorang perawat yang mengatakan bahwa dia dipanggil untuk menghadap ke ruangan dokter yang tadi telah merawat Putri.
"Begini saja, Dik. Bisa tidak adik minta dari RT atau kelurahan setempat untuk dimintakan surat keterangan tidak mampu. Kami dari rumah sakit akan menggratiskan setengah dari biaya operasinya. Selebihnya tetap bayar ya." Dokter itu berkata dengan tenang setelah selesai operasi.
Celine bersorak girang dalam hati. Tapi, begitu dia melihat total tagihan sementara, seketika wajahnya murung kembali. Setengah harga saja masih kurang banyak. Saldo di rekeningnya juga tak seberapa.
Dia sudah membuka amplop pemberian Pak Andre tadi. Lumayan, ada sekitar lima ratus ribuan. Cukup untuk biaya makan, transport bolak balik selama Putri dirawat. Itu belum biaya yang harus dikeluarkan untuk membelikan tongkat, supaya Putri tetap bisa berjalan.
Celine berjalan lesu saat kembali ke kamar perawatan setelah bertemu dokter tadi. Air matanya kembali mengalir. Sesekali dia mengusap kepala Putri yang sudah tertidur lelap akibat pengaruh obat.
Tuhan, bantulah aku. Niatku tulus dan suci. Tolong, mudahkanlah jalannya.
Andre memandang gadis di depannya ini dengan penuh rasa iba. Ingin membantu lebih banyak pun dia belum mampu. Sebagai atasan, dia hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya."Ini, bisa saya ajukan lewat koperasi. Mungkin prosesnya lama. Belum tentu disetujui. Lagi pula, jumlahnya tidak banyak. Maksimal hanya tiga jutaa. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" Dia menjelaskan panjang lebar.Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Bonus dan luang lemburnya dia hafal jumlahnya, sekian koma sekian. Tidak boleh kurang kalau bisa lebih.Andre mengerti. Gaji segitu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, Andre pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istrinya di rumah. Entah bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup
Celine menceritakan semua kejadian di rumah Broto kepada Siska. Berdua mereka duduk di kantin bakso dan soto langganan tempat mereka makan siang. Kali ini Siska yang membayarkan. Biasanya setiap hari Broto mengantarkan makanan. Namun, sejak kejadian itu, dia tidak pernah muncul. Tidak ada ada makanan gratis lagi. Celine sendiri tidak membawa bekal. Alhasil, terdamparlah mereka di sini."Lin, Lin. Ngapain kamu ke situ sendirian. Kan bisa ngajakin aku." Siska tak habis pikir mengapa sahabatnya itu nekat berbuat itu, tanpa berdiskusi dulu dengannya."Aku udah ga tau lagi mau gimana. Aku bingung. Sementara tagihan terus berjalan. Ga mungkin kan, aku bawa putri kabur dari rumah sakit."Siska menggelengkan kepalanya. "Eh, si Broto mesum juga. Kupikir dia mau ngambil kamu baik-baik. Ternyata ..., ah dasar laki-laki semua begitu." Dia mengomel panjang lebar. Tak menyangka si bandot tua yang satu itu nekat juga. Tak bisa terbayangkan jika sesuatu terjadi pada Celine kare
Siska mengetuk meja dengan gelisah. Kenapa jadi dia yang grogi, padahal yang mau bertemu Bisma kan Celine. Berkali-kali matanya melirik ke arah pintu cafe, namun, yang mereka tunggu belum datang juga. Celine sendiri pura-pura sibuk dengan ponselnya, untuk menutupi kegugupan."Celine?" Seorang pria menghampiri mereka.Mereka serentak mengangkat muka. Jantung Siska berdebar. Lidahnya kelu. Padahal dia yang tadi sangat semangat menemani Celine untuk menemui pria ini. Dia tidak mau kejadian di rumah Broto terulang lagi kepada sahabatnya. Bisa saja kan Bisma juga ikut nekat? Merayu sahabatnya kemudian menjebaknya. Jika sampai itu terjadi, dia yang akan mengahajar pria itu jika berani berbuat macam-macam."Lama menunggu?" Bisma mengambil tempat duduk di depan gadisnya. Pandangan matanya lekat penuh dengan cinta."Eh, engga kok," jawab Siska. Wajahnya tersipu malu. Kenapa pula dia yang jadi grogi?
"Cheers!"Suara dentingan gelas berisi minuman beralkohol terdengar bersahutan. Lima orang pria mature sedang bersulang merayakan sesuatu. Gelak tawa dan perbincangan hangat memenuhi ruangan itu. Beberapa wanita penghibur yang super seksi ikut meramaikan pesta mereka. Masing-masing duduk di pangkuan para pria itu. Kecuali satu orang, dia tokoh utamanya."Gilaaaa! Gue ga nyangka ternyata lu dapet juga. Keren, men." Arthur menepuk bahu Bisma. Lelaki yang ditepuk hanya tersenyum sedari tadi.Tersenyum jumawa."Lu masih inget aja ya, Bisma. Gue aja udah lupa. Udah lama banget kan, ya?" tanya Dave. Sambil berbincang, tangannya memeluk gadis dipangkuannya. Si wanita itu tersenyum senang.Sungguh menjijikkan."Ingetlahlah, men. Dia cakep begitu, gue juga kan pengen ngerasain gimana itu cewek." Bisma meneguk minumannya. Tidak. Dia tidak boleh teler malam ini. Ini kan malam pertama, kala
Sebuah kecupan di pipi membangunkan tidurnya. Celine menggeliat perlahan saat cahaya sinar matahari masuk ke kamar ketika gorden dibuka. Matanya mengernyit. Tangannya menutup wajah."Pagi, sayang."Aroma mint segar menguar di hidungnya. Siapa in yang mencium? Rasanya tadi malam dia sendirian. Setelah berkeliling melihat satu persatu bagian dari apartemen ini, dia langsung tertidur pulas.Perlahan Celine membuka mata, mendapati Bisma sedang tersenyum melihatnya. Lelaki itu memang tampan sejak dulu. Penampilannya bersih, wangi dan berkharisma."Eh pagi, Kak," jawabny malu-malu. Dia teringat bahwa sekarang sudah menjadi istri Bisma."Ayo sarapan. Nanti kita terlambat. Flight kita sebentar lagi."Bisma menarik lengan istrinya, berusaha memeluk, tapi Celine melepasnya karena malu, juga canggung."Iya. Aku mandi dulu. Sebentar, ya." Dia berjalan menuju kamar mandi. Bis
Celine menggeliat di bawah tindihan tubuh besar di atasnya. Lelaki ini penuh gairah, sehingga bernapas baginya pun sulit rasanya. Dia diserang dari berbagai arah. Dipuaskan dengan berbagai sentuhan, kecupan dan cumbuan yang menari-nari tiada henti.Tubuhnya bereaksi dengan sangat baik akan semua ini. Belum pernah merasakan sebelumnya, sehingga ketika pertama kali terjadi semua terasa luar biasa.Lelaki itu terengah-engah, sudah saat ingin menyatukan tubuh mereka sejak awal dia melucuti semua pakaian istrinya ini. Tapi dia bersabar. Menunggu ketika wajah cantik itu menganggukkan kepalanya. Memberikannya izin, dengan segera dia meng-eksekusi.Bisma merasakan surga dunia benar-benar ada di genggamannya. Utuh tak bercela. Penuh perjuangan untuk menggapainya, tapi dia tau, dialah lelaki paling berbahagia saat ini. Tetesan air mata celine menambah kebahagiaan di hatinya. Wajah yang meringis kesakitan, bibir yang digigit dengan m
Cheers!Suara dentingan gelas berisi minuman beralkohol terdengar bersahutan. Lima orang pria mature sedang bersulang merayakan sesuatu. Gelak tawa dan perbincangan hangat memenuhi ruangan itu.Kali ini tidak ada wanita penghibur diantara mereka. Hanyalah berhamparan berbagai makanan dan minuman sebagai teman mereka berpesta."Gila Bisma! Lu bikin gue ngiri banget dah. Keren, keren, keren, Men!" Arthur menepuk bahu lelaki di sampingnya."Gue gitu loh." Lelaki itu meletakkan sebuah foto bekas darah di seprai sebuah ranjang. Temannya yang lain, berebutan ingin melihatnya. Satu per satu bergantian dan berusaha meyakinkan.Untunglah lelaki ini pintar. Dia hanya memfoto bekasnya. Dia tidak mungkin mengabadikan istrinya yang sedang tertidur pulas. Bagaimana juga, kehormatan Celine harus dia jaga. Kehormatan istrinya merupakan kehormatannya juga. Timbullah rasa sayang dalam hatinya. Ah, persetan
"Kakak ..."Celine memeluk mereka satu persatu. Anak-anak asuhnya. Ada rindu yang bertumpuk-tumpuk selama seminggu ini dia meninggalkan mereka semua."Kakak pergi ke mana?""Kok lama pulangnya?""Kak, Dafi berantem sama Andi. Rebutan kue.""Kak, dikampung ada apa aja? Ada rambutan gak?""Kak, aku bosen masakan bibik. Mau kakak aja yang masak.""Kak. PR ku banyak. Susah mau jawabnya. Ajarin, Kak.""Kak, bajuku sobek. Belikan baru, ya.""Kak, Mak Susi cerewet. Kalau ada kakak dia baik.""Kak."Celine menoleh. Putri tampak cantik dengan rambut diikat. Kakinya masih pincang. Masih memakai tongkat. Berat hati sebenarnya waktu meninggalkan mereka walau hanya seminggu."Sayang." Celine memeluknya. Gadis mungil ini cacat setelah kecelakaan itu. "Gimana kabarmu? Sehat?""Sehat. Kakak lama pergi. Kami kangen.""Kan, cuma sebentar.""Tapi, rasanya lama.""Ini kakak udah pulang. Ayo k
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se