Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.
Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.
Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.
Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya.
"Ehem." Suara batuk Bisma menyadarkan Celine. Dia melamun sedari tadi.
"Hai, Kak." Sapa Celine kaku. Sekalipun dia hanya gadis biasa, tetapi lelaki di hadapannya ini adalah seseorang dari masa lalunya.
"Ayo duduk," ucap Bisma mempersilakan.
Celine bersandar lega di sofa karena merasa nyaman. Ini lebih empuk daripada kasur di rumah panti mereka.
"Kamu udah makan?" tanya lelaki itu perhatian. Matanya menatap Celine dari atas hingga bawah dengan penasaran.
"Sudah. Terima kasih, Kak," jawabnya sopan. .
Celine memang sudah mengisi perut sebelum berangkat ke sini. Hanya untuk berjaga-jaga jika perbincangan mereka akan menyita waktu. Sehingga dia bisa lebih leluasa bernegosiasi.
"Kamu mau teh atau snack?" tawar Bisma lagi.
"Boleh." Celine mengangguk. Kalau yang ini dia pasti mau. Bagi orang yang biasa menikmati hidangan ala kadarnya, ditawari makan itu memang cukup menyenangkan.
"Gimana kabar panti?"
Bisma sekedar berbasa-basi. Padahal sejak tadi dia sebenarnya ingin menerkam gadis itu di sofa.
"Lancar. Kami masih beraktifitas seperti biasanya."
Celine menjawab semua dengan tenang. Padahal dalam hatinya sedang tak karuan. Biasanya dia paling pandai menghadapi lawan jenis. Entah mengapa saat bertemu Bisma, semuanya menjadi kacau.
Lelaki yang ini berbeda, Celine. Dia lebih dominan dari lawan bicara. Kamu tidak bisa menguasainya. Jangan coba menaklukan, nanti kamu yang akan terbawa arusnya. Begitulah benaknya mengingatkan.
"Syukurlah. Setidaknya kami masih memberikan waktu bagi kalian untuk mencari tempat pengganti."
Bisma mencoba bersikap ramah. Saat ini posisinya berada di tengah dan begitu serba salah, karena harus segera mengusir mereka sesuai dengan rencana. Hanya saja lelaki itu menggunakan cara yang halus.
Bisma tidak boleh gegabah jika ingin menangkap kelinci. Apalagi kelincinya imut, cantik, menggemaskan seperti Celine.
Asyik berbincang mengenai panti, pintu ruangan Bisma diketuk. Seorang OB membawa nampan yang berisikan snack juga minuman hangat.
"Ayo, dimakan!"
Dengan senyum manis dan tatapan lembut, Bisma menyodorkan sepiring snack. Isinya berbagai macam jajanan pasar. Namun yang ini keluaran bakery ternama. Bukan yang di pasar induk seperti yang biasanya Celine beli.
"Mau tambah minumannya?" Bisma menawarkan kembali.
Celine menggeleng. "Makasih. Aku gak bisa lama, Kak. Sudah terlalu sering izin."
Bisma memandang wajah cantik dihadapannya. Celine masih sama seperti dulu tidak banyak berubah, hanya sekarang dia terlihat lebih dewasa. Cara bicara gadis itu lebih tertata, tidak polos seperti dulu yang dia kenal.
"Kamu sudah punya pacar?"
Celine mendongak, kemudian menggeleng. Dalam hatinya bertanya apa maksud dari lelaki ini menanyakan hal itu. Dia jadi curiga apakah ini ada hubungannya dengan panti atau tidak.
"Aku tidak punya waktu menjalani kisah romantis, Kak. Aku sibuk bekerja dan mengurus anak-anak," jawabnya jujur.
Memang itulah kenyataan yang tidak bisa Celine pungkiri. Seberapa kuatnya dia ingin memiliki pasangan, selalu dikalahkan oleh kepentingan anak-anak yang menjadi prioritas utama.
Selama ini lelaki yang mendekatinya keberatan jika harus dilibatkan dengan urusan panti. Mereka hanya ingin memiliki Celine saja dan tidak mau bersama dengan anak-anak sekaligus.
Untuk itulah Celine memilih menetap dengan kesendirian. Selama sehat, dia akan berusaha. Sekalipun tidak diberikan jodoh, dia akan menghidupi anak-anak semampunya sampai ajal memanggil.
"Begini. Aku punya penawaran untukmu. Itu juga kalau kamu mau. Tapi, aku gak bisa maksain," tawar Bisma hati-hati. Dia tak mau gegabah dalam mengambil sikap. Bisa saja itu membuat rencanya gagal total.
"Maksud Kakak?" tanya gadis itu tidak mengerti.
"Aku mau ngasih sebuah tawaran yang menguntungkan buat kalian," lanjut Bisma.
Tentu saja menguntungkan aku juga, ucap Bisma dalam hati. Sebuah rencana licik sedang tersusun di kepalanya saat ini.
"Apa kalau boleh tau?" tanya Celine penasaran. Sejak tadi Bisma terlihat menyimpan banyak rencana.
"Begini--" Bisma menggeser duduknya mendekati Celine.
"Ya, Kak?"
"Kamu kan tau dari aku suka sama kamu. Mungkin dulu ada sedikit kesalah-pahaman di antara kita. Jadi, Aku mau minta maaf," ucap Bisma jujur. Dia memang sedikit menyesal telah mencabut beasiswa gadis itu.
Celine mengangguk dan terus menyimak setiap kata yang Bisma ucapkan.
"Aku mau memperbaiki semua. Kamu masih marah sama aku karena beasiswa dicabut?" tanya Bisma lagi. Matanya menatap Celine lekat dan berharap gadis itu sudah melupakan perbuatannya.
"Aku udah lupa, Kak. Itu udah lama, kan?" jawab Celine jujur.
"Begini. Aku bersedia menjadi donatur di panti yang kamu kelola. Aku juga akan mencarikan tempat tinggal yang layak untuk anak-anak."
Bisma mengatakan dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Celine dengan tajam, berusaha untuk meyakinkan.
Celine balas menatap Bisma dengan lekat. Dalam hatinnya menyimpan ragu apakah lelaki itu benar ingin membantu, atau diam-diam mempunyai maksud lain.
"Kakak serius? Aku memang sedang butuh donatur. Beberapa bulan ini sepi."
"Iya, tapi aku juga ingin ada sesuatu yang diberikan untukku. Yah, semacam timbal balik yang saling menguntungkan kita bersama."
Bisma tersenyum, seperti serigala yang sedang mengincar si gadis berkerudung merah.
Tiba-tiba perasaan Celine menjadi tidak enak. "Maksud kakak?"
"Begini. Kamu sekarang juga lagi gak punya pacar. Artinya kamu free. Kalau aku bersedia menjadi donatur tetap untuk panti, apakah kamu mau menjadi milikku?" Bisma mengucapkannya tanpa ragu-ragu.
Suasana menjadi hening. Celine terdiam tak percaya. Wanita itu masih berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan Bisma barusan.
"Milik kakak? Aku gak ngerti," ucapnya kebingungan.
"Ya, jadi milik aku. Kita nikah," jawab Bisma bersemangat.
Celine tertegun sesaat, lalu menggeleng. "Kakak sudah punya istri. Aku gak mungkin--"
"Sssttt ... pikirkan baik-baik. Aku kasih kamu waktu," ucap Bisma meyakinkan. Dia masih berharap Celine mau menerima tawaran ini sehingga urusan mereka menjadi rumah.
"Apa yang kamu harapkan dariku, Kak?" tanya Celine kesal. Tadinya dia datang dengan banyak harapan agar lelaki itu mau membantu dengan ikhlas, tanpa embel-embel seperti ini.
"Aku mau kamu jadi istri keduaku." Bisma mengatakannya dengan gamblang.
"Maksudnya, aku jadi simpanan Kakak begitu?"
Nada suara Celine mulai meninggi. Napasnya naik turun karena menahan emosi. Jika Bisma bukan pemilik proyek ini, mungkin dia sudah menamparnya.
"Hei, tenang dulu. Aku belum selesai bicara," bujuk Bisma. Dia sedikit panik saat melihat reaksi Celine yang tak dia duga.
"Katakan jangan berbelit-belit!" bentaknya.
Kesabarannya mulai habis. Celine sudah menduga. Bisma masih sama seperti dulu, licik dan penuh tipu muslihat.
"Istriku, Tiara lagi ada di Jerman satu tahun ini. Dia sedang menyelesaikan penelitian untuk mengambil gelar S-2. Putra kami juga dibawanya. Aku di sini sendirian," jelas Bisma dengan ekspresi menyedihkan. Dia harus terus bersandiwara agar menyakinkan.
Celine menarik napas. Ini permintaan gila.
"Lalu?"
"Aku laki-laki normal. Berjauhan dengan istri rasanya gak enak. Gak ada tempat berbagi."
Celine menelan ludah. Sudah mengerti ke mana arah dan maksud perkataan Bisma.
"Aku akan buat perjanjian. Kamu sama aku cuma satu tahun ini sampai dia pulang. Setelah itu kamu bebas."
Celine menbuang pandangan lalu mengumpat dalam hati. Bisma mengajukan sebuah penawaran yang merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita.
"Kamu ngertikan maksuda aku? Aku butuh penghangat ranjang," bisik Bisma mesra.
Celine kembali mengumpat dan seketika berdiri dengan penuh amarah.
"Kamu dendam sama aku, ya?"
Celine menunjuk dada Bisma dengan lantang dan berani. Dia sudah tidak menyebut kata "kakak" lagi untuk menghormati lelaki itu.
"Aku gak dendam sama kamu Celine." Bisma membalas tatapan wanita itu dengan dingin.
"Kalau begitu apa maumu?"
"Kamu taukan apa mauku dari dulu?" Sebelah alis Bisma terangkat dan nenantang.
"Aku gak ngerti jalan pikiran kamu. Kotor!"
"Hei. Ini bisnis. Win-win solution. Kita sama-sama diuntungkan. Why not?"
"Sia--!" umpat Celine lagi.
"Sudahlah. Terima saja tawaranku. Kamu dapat panti asuhan itu. Aku dapat--"
Celine melangkah keluar.
"Pikirkan baik-baik, Celine. Aku kasih kamu waktu satu minggu. Kalau kamu gak mau, maka kosongkan rumah itu!" teriak Bisma.
Blam!
Celine menutup pintu dengan kasar.
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga
"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan."Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja."Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan."Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan."Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.Wajah Celine langsung pucat mendengarnya.
Andre memandang gadis di depannya ini dengan penuh rasa iba. Ingin membantu lebih banyak pun dia belum mampu. Sebagai atasan, dia hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya."Ini, bisa saya ajukan lewat koperasi. Mungkin prosesnya lama. Belum tentu disetujui. Lagi pula, jumlahnya tidak banyak. Maksimal hanya tiga jutaa. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" Dia menjelaskan panjang lebar.Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Bonus dan luang lemburnya dia hafal jumlahnya, sekian koma sekian. Tidak boleh kurang kalau bisa lebih.Andre mengerti. Gaji segitu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, Andre pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istrinya di rumah. Entah bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup
Celine menceritakan semua kejadian di rumah Broto kepada Siska. Berdua mereka duduk di kantin bakso dan soto langganan tempat mereka makan siang. Kali ini Siska yang membayarkan. Biasanya setiap hari Broto mengantarkan makanan. Namun, sejak kejadian itu, dia tidak pernah muncul. Tidak ada ada makanan gratis lagi. Celine sendiri tidak membawa bekal. Alhasil, terdamparlah mereka di sini."Lin, Lin. Ngapain kamu ke situ sendirian. Kan bisa ngajakin aku." Siska tak habis pikir mengapa sahabatnya itu nekat berbuat itu, tanpa berdiskusi dulu dengannya."Aku udah ga tau lagi mau gimana. Aku bingung. Sementara tagihan terus berjalan. Ga mungkin kan, aku bawa putri kabur dari rumah sakit."Siska menggelengkan kepalanya. "Eh, si Broto mesum juga. Kupikir dia mau ngambil kamu baik-baik. Ternyata ..., ah dasar laki-laki semua begitu." Dia mengomel panjang lebar. Tak menyangka si bandot tua yang satu itu nekat juga. Tak bisa terbayangkan jika sesuatu terjadi pada Celine kare
Siska mengetuk meja dengan gelisah. Kenapa jadi dia yang grogi, padahal yang mau bertemu Bisma kan Celine. Berkali-kali matanya melirik ke arah pintu cafe, namun, yang mereka tunggu belum datang juga. Celine sendiri pura-pura sibuk dengan ponselnya, untuk menutupi kegugupan."Celine?" Seorang pria menghampiri mereka.Mereka serentak mengangkat muka. Jantung Siska berdebar. Lidahnya kelu. Padahal dia yang tadi sangat semangat menemani Celine untuk menemui pria ini. Dia tidak mau kejadian di rumah Broto terulang lagi kepada sahabatnya. Bisa saja kan Bisma juga ikut nekat? Merayu sahabatnya kemudian menjebaknya. Jika sampai itu terjadi, dia yang akan mengahajar pria itu jika berani berbuat macam-macam."Lama menunggu?" Bisma mengambil tempat duduk di depan gadisnya. Pandangan matanya lekat penuh dengan cinta."Eh, engga kok," jawab Siska. Wajahnya tersipu malu. Kenapa pula dia yang jadi grogi?
"Cheers!"Suara dentingan gelas berisi minuman beralkohol terdengar bersahutan. Lima orang pria mature sedang bersulang merayakan sesuatu. Gelak tawa dan perbincangan hangat memenuhi ruangan itu. Beberapa wanita penghibur yang super seksi ikut meramaikan pesta mereka. Masing-masing duduk di pangkuan para pria itu. Kecuali satu orang, dia tokoh utamanya."Gilaaaa! Gue ga nyangka ternyata lu dapet juga. Keren, men." Arthur menepuk bahu Bisma. Lelaki yang ditepuk hanya tersenyum sedari tadi.Tersenyum jumawa."Lu masih inget aja ya, Bisma. Gue aja udah lupa. Udah lama banget kan, ya?" tanya Dave. Sambil berbincang, tangannya memeluk gadis dipangkuannya. Si wanita itu tersenyum senang.Sungguh menjijikkan."Ingetlahlah, men. Dia cakep begitu, gue juga kan pengen ngerasain gimana itu cewek." Bisma meneguk minumannya. Tidak. Dia tidak boleh teler malam ini. Ini kan malam pertama, kala
Sebuah kecupan di pipi membangunkan tidurnya. Celine menggeliat perlahan saat cahaya sinar matahari masuk ke kamar ketika gorden dibuka. Matanya mengernyit. Tangannya menutup wajah."Pagi, sayang."Aroma mint segar menguar di hidungnya. Siapa in yang mencium? Rasanya tadi malam dia sendirian. Setelah berkeliling melihat satu persatu bagian dari apartemen ini, dia langsung tertidur pulas.Perlahan Celine membuka mata, mendapati Bisma sedang tersenyum melihatnya. Lelaki itu memang tampan sejak dulu. Penampilannya bersih, wangi dan berkharisma."Eh pagi, Kak," jawabny malu-malu. Dia teringat bahwa sekarang sudah menjadi istri Bisma."Ayo sarapan. Nanti kita terlambat. Flight kita sebentar lagi."Bisma menarik lengan istrinya, berusaha memeluk, tapi Celine melepasnya karena malu, juga canggung."Iya. Aku mandi dulu. Sebentar, ya." Dia berjalan menuju kamar mandi. Bis
Celine menggeliat di bawah tindihan tubuh besar di atasnya. Lelaki ini penuh gairah, sehingga bernapas baginya pun sulit rasanya. Dia diserang dari berbagai arah. Dipuaskan dengan berbagai sentuhan, kecupan dan cumbuan yang menari-nari tiada henti.Tubuhnya bereaksi dengan sangat baik akan semua ini. Belum pernah merasakan sebelumnya, sehingga ketika pertama kali terjadi semua terasa luar biasa.Lelaki itu terengah-engah, sudah saat ingin menyatukan tubuh mereka sejak awal dia melucuti semua pakaian istrinya ini. Tapi dia bersabar. Menunggu ketika wajah cantik itu menganggukkan kepalanya. Memberikannya izin, dengan segera dia meng-eksekusi.Bisma merasakan surga dunia benar-benar ada di genggamannya. Utuh tak bercela. Penuh perjuangan untuk menggapainya, tapi dia tau, dialah lelaki paling berbahagia saat ini. Tetesan air mata celine menambah kebahagiaan di hatinya. Wajah yang meringis kesakitan, bibir yang digigit dengan m
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se