Rumah itu nampak asri dengan halaman yang luas. Banyak pohon-pohon rindang yang sengaja ditanam oleh pemiliknya. Sebagian adalah pohon buah-buahan yang bisa dipanen jika sudah waktunya tiba.
Bentuk atap rumah itu menyerupai pelana yang dilipat. Jika di lihat dari samping, maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya. Orang Betawi menyebutnya Rumah Kebaya.
"Assalamualaikum. Abah Ummi, Elin datang, nih," ucap Celine saat mengetuk pintu.
Tak lama keluarlah seorang lelaki separuh baya menyambut kedatangannya.
"Waalaikum salam, Neng," jawab Abah sembari menyuruh Celine masuk.
"Ummi mana, Bah?"
Celine meraih tangan Abah kemudian menciumnya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua.
"Ke pasar. Biasa belanja. Tau dah nyari apaan."
Mereka berdua duduk berhadapan. Teras rumah ini memang luas. Abah dan Ummi biasa mengggunakannya untuk menjamu tamu atau menjadi tempat bersantai keluarga.
"Ummi rajin ya, Bah."
"Daripada bosan di rumah. Neng ngapain datang dimari?"
"Bah, Elin mau minta tolong. Soal panti asuhan. Kasihan anak-anak," pintanya memelas.
Abah menarik napas panjang, bingung harus menentukan apa. Kalau rumahnya tetap dipakai untuk menampung anak-anak yatim piatu asuhan milik Celine, dia tidak punya uang untuk membantu putranya. Namun, kalau rumah itu dijual, kasihan mereka juga mau tinggal di mana.
"Kami juga mau nolongin. Tapi, kan Neng tau ndiri. Abah sama ummi pengen naek haji. Lagian anak-anak pada banyak utang semua. Kalau ntu panti dijual, pan duitnya lumayan buat bayar semua."
Abah menjelaskan panjang lebar alasan mengapa dia harus melepas salah satu asetnya itu.
"Tapi, kami mau pindah ke mana? Sewa rumah di tempat lain mahal. Abah kan tau Elin cuma karyawan biasa. Gaji mana cukup. Donatur juga udah mulai sepi."
Saat ini Celine tidak tahu harus berbuat apa. Mereka masih mencari jalan yang terbaik. Kasihan anak-anak asuhnya kalau sampai diusir dari rumah itu.
"Gini aja. Neng cari dulu rumah buat kontrakan. Mana tau ada yang murah. Kalau belon nemu juga, ntar Abah pikirin. Mau rembukan dulu sama ummi," saran lelaki paruh baya itu memberikan solusi. Dia juga tidak tega hendak mengusir mereka.
"Tolongin ya, Bah."
Seketika Celine merasa lemas. Kata-kata tadi membuat semangatnya hilang. Dia teringat kembali saat pertama kali berkenalan dengan keluarga baik ini.
Waktu itu, Celine tak sengaja bertemu dengan putra sulung mereka. Jali, namanya. Mereka kemudian menjadi dekat dan akrab. Dia bahkan sudah dianggap seperti anak kandung karena mereka tidak memiliki anak perempuan.
Ummi bahkan mengharapkan Celine berjodoh dengan Jali. Tetapi karena waktu itu masih kuliah, dia menolaknya. Akhirnya Jali kecewa dan menikah dengan gadis lain.
Untungnya hubungan silaturahmi mereka tidak putus. Abah dan Ummi tetap meminjamkan rumah mereka yang tidak terpakai, sebagai tempat penampungan anak-anak asuhnya.
Rumah panti itu awalnya dibuka secara tidak sengaja, saat Celine bertemu dengan seorang gadis kecil yang dibuang oleh orang tuanya. Dia membawanya ke kantor polisi, tetapi berhari-hari tidak ada kabar.
Setelah rembukan dengan Jali, Abah dan juga Ummi, akhirnya Celine dipinjami rumah itu. Mereka mengelolanya, mencari anak-anak yang sudah tidak diinginkan keluarga.
Celine melamar pekerjaan sebagai kasir di salah satu mini market untuk biaya kuliah dan menampung anak-anak. Sayang, karena sesuatu lain hal, pendidikannya terpaksa berhenti.
Jali juga menghilang, mungkin karena kecewa. Sejak saat itulah, dia berjuang sendiri menafkahi mereka. Berat, tetapi dia harus kuat. Celine menjadi tangguh karena sejak dulu dipaksa oleh keadaan.
"Iye, Neng. Abah juga kesian sama ntu anak-anak. Udah kayak cucu ndiri," ucap Abah berusaha menenangkan.
Suasana seketika menjadi hening. Celine menjadi tak enak hati. Padahal biasanya mereka begitu akrab dan dekat.
"Yaudah Elin pulang dulu. Dari tadi anak-anak nungguin. Salam sama Ummi."
"Iya, ntar Abah sampein."
"Assalamualaikum." Celine kembali mencium tangan Abah saat berpamitan.
"Waalaikum salam. Ati-ati, Neng. Awas kepentok cowok cakep."
Celine tertawa sambil melambaikan tangan. Abah, sudah tua tetapi masih suka bercanda. Kalau sedang berada di sana, dia merasa seperti di rumah sendiri. Keluarga mereka hangat dan saling melindungi. Hal yang sudah lama tak pernah Celine dapatkan sejak dulu.
* * *
"Kakaaak ...."
Dua puluh anak-anak berusia tiga sampai enam tahun menyerbu saat pintu rumah terbuka. Celine mengabsen satu per satu dari yang kecil sampai yang besar. Lengkap, semua berkumpul jika dia datang.
Celine memperlihatkan palstik hitam yang sedari tadi disembunyikan di balik punggung. Sengaja, ingin memberikan mereka kejutan.
"Hem ... harum."
Celine mencium plastik itu di depan mereka, sehingga membuat anak-anak itu menjadi penasaran.
"Apa itu, Kak? Apa itu, Kak?"
Mereka berebutan ingin mengambilnya. Celine kembali menggoda. Plastik itu diangkatnya lebih tinggi sehingga mereka melompat-lompat karena ingin menggapainya.
"Ayo, cuci tangan dulu. Habis itu kita bagi. Oke?"
"Okeee ...."
Mereka berlarian ke belakang. Anak-anak, tiada hari tanpa berlari. Seolah-olah jatuh tak pernah membuat mereka jera.
Celine duduk di meja makan dan menghela napas panjang, lalu mengelap keringat yang tadi menetes. Wanita itu mengencangkan ikat rambut, kemudian mengeluarkan isi plastik dan menyusunnya dipiring.
Masing-masing anak akan memdapatkan satu potong kue. Hanya yang berusia lebih tua dapat potongan lebih besar daripada adik-adiknya.
"Kue boluuuuu ..."
Mereka berlari lagi menuju meja makan saat melilhat ada makanan enak telah tersaji.
Bukan meja sebenarnya. Hanya papan-papan biasa yang bentuk disusum panjang, bahkan tidak dicat dan tidak ada alasnya. Setiap pagi dan malam tugas mereka untuk membersihkannya secara bergantian.
"Ayo duduk. Makan kuenya pelan-pelan. Habis itu diminum tehnya. Jangan berebutan."
Celine mengatur posisi duduk mereka. Anak yang suka bertengkar dengan yang lain, akan dipisahkan duduknya. Sehingga saat makan suasana tetap tenang, tidak berisik karena suara tangisan.
Anak yang paling kecil juga ikut duduk dan dibantu karena tidak sampai kakinya. Hal itu membuat Celine tertawa geli.
"Awas keselek. Baca doa dulu sebelum makan."
Serentak mereka mengulurkan tangan, membaca doa yang sudah diajarkan. Anak-anak itu harus menghafalnya, jika tidak nanti dapat hukuman.
"Alloohumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar.”
"Enakkkk ...."
Mereka makan dengan lahap. Beberapa anak bahkan berdiskusi merek keju apa yang di tabur di kue bolu sehingga rasanya begitu enak. Bahkan ada yang iri-irian karena keju di kuenya lebih sedikit.
Kalau sudah begini Celine akan tergelak. Rasa sedih, lelah dan pusing selama ditempat kerja menjadi hilang semua.
Celine sengaja memotong kuenya di pantry mini market sepulang jam kerja, karena akan berisik jika dia bawa pulang ke panti.
Anak-anak pasti ingin ikut membantu. Itu cukup merepotkan karena mereka bukannya membantu, tetapi berebutan yang akhirnya menimbulkan pertengkaran.
"Dah pulang Neng?"
Seorang wanita paruh baya keluar dari dapur membawa membawa secerek teh panas. Ada wadah plastik yang disusun bertumpuk di sebelahnya. Dia meletakkan gelas itu dan menuang isinya ke dalam gelas. Nanti selesai makan, anak-anak akan mengambil sendiri minumannya.
Onah nama wanita itu. Dialah yang sejak awal membantu Celine mengurus panti ini. Mengurus anak-anak dengan sabar. Menasehati dan membimbing layaknya seorang ibu.
"Baru nyampai, Bik." Celine mnyerahkan dua potong kue bolu untuk Onah.
"Makan, Bik."
"Ga usah Neng. Buat anak-anak aja."
Onah menolak, padahal dalam hati juga mau. Siapa yang tidak suka dengan kue bolu. Namun, jika buat anak-anak saja tidak cukup, dia lebih baik mengalah.
"Ada kok. Tadi Elin beli banyak." Celine kembali menyodorkan piring plastik itu ke hadapan Onah.
"Kuenya lagi promo ya, Neng?"
"Iya, Bik. Tiga bulan lagi mau expired, tapi masih bagus kok. Tadi Elin sama temen-temen udah nyobain di pantry." jawab Celine enteng.
Kalau memang tidak punya uang berlebih, barang expired yang dilelang menjadi pilihan. Asal tidak berjamur atau berubah rasa. Sekalipun mempertaruhkan kesehatan diri.
Onah melahap kuenya.
"Enak, Neng. Ada kejunya."
Mereka berdua tertawa geli karena hal ini sudah biasa.
* * *
Celine merebahkan tubuhnya di dipan kayu. Tubuhnya sangat lelah sepulang dari kantor Bisma. Tadi dia membujuk Pak Andre untuk bisa izin dan bekerja hari ini.
Sayangnya semua sia-sia. Celine baru bisa bertemu dengan Bisma besok jam tiga sore sesuai dengan perjanjian.
Celine memandang buku rekening yang siang tadi dibawanya berkunjung ke bank. Setelah dari kantor itu, dia mampir sebentar untuk mengecek saldo.
Ada transferan masuk. Lumayan, lima ratus ribu. Kebetulan di mini market sebelah bank tadi sedang ada promo makanan.
Celine memutuskan untuk mampir melihat-lihat dan dapatlah kue bolu tadi. Beli dua gratis satu, dengan masa expired tiga bulan ke depan.
Celine berharap ada nugget atau sosis promo karena anak-anak suka, tetapi belum beruntung. Mungkin dua atau tiga bulan lagi akan diobral kalau sudah tidak laku.
"Neng. Beras habis, telur juga."
Onah datang menghampiri. Celine memang tidur sekamar dengannya. Sedangkan anak-anak dikamar masing-masing dengan tempat tidur bertingkat.
Ada empat ruang di rumah ini. Tiga ruang dipakai sebagai kamar. Satu dipakai sebagai ruang tamu merangkap ruang makan, nonton tv dan bermain. Kamar mandi merangkap tempat cuci baju.
Ada dapur kecil di belakang, tanah Abah diambil sedikit untuk membuat dapur dari kayu seadanya untuk tempat masak dan cuci piring.
Sisa tanah masih luas sekali. Mungkin itulah pertimbangan para kontraktor untuk membeli rumah ini, karena masih bisa dibangun lagi.
Biarpun rumah ini biasa saja, tetapi kebersihan tetaplah utama. Celine tidak mau sembarangan mengelolanya.
"Besok Elin pergi belanja, Bik. Mau lihat mini market sebelah. Kali ada promo lain. Di tempat Elin masih mahal."
"Iya, Neng."
"Apalagi yang habis, Bik?"
"Hampir semua. Minyak goreng masih ada dikit, cukup sampai minggu depan."
Celine mengangguk.
"Anu, Neng." kata Onah sedikit ragu.
"Si Ijal minta susu. Nangis dia kalau tidur gak dodot."
"Kan udah ada susu yang kalengan Elin belikan minggu lalu."
"Ga mau dia. Minta susu bubuk. Katanya yang kalengan gak enak."
Kepala Celine seketika bereaksi. Teringat wajah lucu Ijal, anak asuhnya paling kecil. Dia masih butuh susu karena baru berusia 3 tahun.
Dalam hati Celine berdoa semoga ada susu promo. Biar berbeda merk juga tidak apa-apa, yang penting harganya murah.
"Iya, Bik. Nanti dicarikan."
Celine menatap kembali saldo di buku rekening. Transferan donatur tadi pagi bakal ludes besok. Sedangkan saldo sebelumnya sudah tipis. Kemana lagi dia akan mencari tambahan.
Celine memijit kepala. Setiap hari dia harus memikirkan bagaimana mengelola keuangan membuat kepalanya pusing.
Sebelum tidur Celine berdoa. Dia tidak meminta apa-apa. Hanya ingin diberikan kecukupan rezeki untuk membesarkan anak-anak kesayangannya.
"Kak Bisma, tolong jangan beli rumah ini," lirihnya sebelum memejamkan mata.
"Lin. Pak Broto datang lagi tuh. Nyariin kamu." Siska mendatangi Celine di belakang. Dia meninggalkan kerjaannya di depan dan meminta karyawan lain untuk menggantikannya sebentar.Celine sedang menyusun beberapa barang di gudang. Setahun terakhir, dia meminta kepada HRD untuk dipindahkan ke posisi ini, supaya tidak bertemu banyak orang. Dia memang cantik, jadi banyak pembeli lelaki yang suka menggoda.Penampilannya sederhana, tapi paras ayunya tidak bisa menipu. Sekali pun hanya memakai seragam karyawan, banyak lelaki yang menyukai. Karena itulah, mini market ini menjadi ramai sejak dia bergabung.Lagipula menjadi kasir berisiko tinggi. Melihat uang matanya langsung hijau. Apalagi tanggungannya banyak. Kalau di bagian gudang, dia bisa sambil mengecek barang-barang
Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma."Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma."Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedi
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k
Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya."Ehem." S
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga
"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan."Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja."Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan."Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan."Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.Wajah Celine langsung pucat mendengarnya.
Andre memandang gadis di depannya ini dengan penuh rasa iba. Ingin membantu lebih banyak pun dia belum mampu. Sebagai atasan, dia hanya bisa mengupayakan yang terbaik sebisanya."Ini, bisa saya ajukan lewat koperasi. Mungkin prosesnya lama. Belum tentu disetujui. Lagi pula, jumlahnya tidak banyak. Maksimal hanya tiga jutaa. Itu juga nanti gaji kamu dipotong setiap bulan. Kamu mau?" Dia menjelaskan panjang lebar.Celine adalah karyawan yang sangat kritis jika menyangkut soal keuangan. Bonus dan luang lemburnya dia hafal jumlahnya, sekian koma sekian. Tidak boleh kurang kalau bisa lebih.Andre mengerti. Gaji segitu dipakai untuk menghidupi dan memberi makan banyak mulut. Jika dia menjadi Celine, Andre pasti akan stres setiap hari memikirkan bagaimana mengelolanya.Penghasilannya yang cukup lumayan saja masih terasa kekurangan jika menuruti kehendak istrinya di rumah. Entah bagaimana gadis itu bisa bertahan hidup
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se