Beberapa tahun yang lalu.
Dua orang itu duduk berhadapan dengan canggung. Segelas minuman dan beberapa cemilan menjadi teman mereka saat berbincang. Si lelaki menatap si gadis dengan mata berbinar, sedangkan yang ditatap malah menjadi takut, seperti sedang terjebak ke dalam kandang singa.
"Maaf, Kak. Aku belum bisa," tolaknya halus.
Celine tidak bisa menolak lelaki ini dengan kasar. Selain berkuasa karena ayahnya pemilik yayasan di universitas ini, Bisma adalah seniornya. Sedangkan dia mahasiswa baru di tahun pertama.
"Kenapa?"
Bisma menatap Celine dengan wajah kecewa. Belum pernah seumur hidupnya dia ditolak oleh wanita, sehingga merasa harga dirinya sedang diinjak-injak.
"Aku belum mau pacaran. Masih fokus sama kuliah aja dulu. Nanti bisa terganggu."
Celine menatap Bisma ragu-ragu, takut lelaki ini nekat dan memaksa. Secara hampir seluruh makhluk yang bernama wanita penghuni kampus ini menginginkannya, sementara Celine sendiri tidak.
"Apa kalau pacaran sama aku nanti bisa ganggu konsentrasi kamu belajar?"
Bisma belum ingin menyerah dan masih terus berusaha. Jangan sampai tidak dapat, bisa kalah dia. Mau ditaruh di mana mukanya nanti?
"Bukan gitu, Kak. Aku belum bisa bagi waktu antara kuliah sama hubungan dengan seseorang," jawab Celine beralasan. Padahal dalam hatinya tahu, jika dia hanya dijadikan taruhan bagi lelaki ini dan teman-temannya. Klise, tapi itulah yang terjadi.
"Aku bahkan bisa beli nilai kamu. Gak usah capek belajar, lah," tawar Bisma. Susah juga menaklukan gadis ini karena pintar sekali berkata-kata.
"Kak. Aku ini gak seberuntung kakak. Masuk universitas ini juga karena beasiswa."
Celine meraih gelas minumannya, lalu memutar sedotan dan mengaduk es batu. Wanita itu menyesapnya sedikit demi sedikit. Cemilan yang tersaji tak disentuhnya sama sekali karena tak berselera. Jantungnya berdetak tak karuan sejak pertemuan tadi.
Celine berkencan dengan Bisma? Apa kata dunia?
"Jadi? Kamu nolak aku, nih?" tanya Bisma tak senang. Suara bass-nya negitu menggelegar. Naluri kelelakiannya muncul. Ada rasa tidak terima mendengar ucapan gadis itu.
"Aku mohon pengertiannya, Kak. Aku belum bisa kalau sekarang," lirihnya berusaha menyakinkan. Matanya menatap dengan penuh permohonan. Harus begitu, supaya Bisma percaya.
"Jadi, kapan kamu bisa nerima aku?" Tanya Bisma masih belum mau menyerah.
"Aku belum tau. Aku mohon kakak ngerti, ya," ucapnya tulus.
Senyum paling manis diberikan Celine agar Bisma tidak tersinggung. Bahaya kalau sampai itu terjadi, bisa berakibat fatal pada kelangsungan hidupnya di kampus ini.
"Oke. Aku harap kamu gak bakalan nyesel. Banyak loh cewek-cewek di sini yang mau jadi pacar aku," ucap Bisma menjual diri. Laki-laki itu sangat tersinggung kali ini. Kurang apalagi dia? Tampang keren dan juga kaya raya. Celine menolaknya? Impossible!
"Makasih atas pengertiannya ya, Kak." Secara refleks, Celine meraih jemari Bisma dan menggenggamnya.
Bisma terhentak, kemudian balas menggenggam. Senyum evil menghiasi wajahnya. Tangannya bahkan tak mau melepas tautan itu. Hal itu membuat wajah Celine merona merah.
Siapa yang tidak suka diperlakukan begini oleh seorang lelaki? Apalagi sosok dihadapannya begitu sempurna bak bagai malaikat. Namun, kalau diingat alasan lelaki itu menyatakan cinta kepadanya hari ini, hati Celine kembali memanas. Dia tidak terima.
"Eh, tapi boleh kan satu kali saja kita nge-date? Aku pingin jalan sama kamu."
Celine terdiam sesaat, menimbang-nimbang sebelum memutuskan. Pergi dengan Bisma juga besar resikonya. Bisa saja nanti malah dia dijebak.
"Boleh. Sekali saja, ya." Akhirnya dia menganggukkan tanda setuju.
Bisma tersenyum menang. Mereka pun berpisah. Celine segera berpamitan pulang.
Bisma masih asyik duduk menikmati minuman dan makanan yang sudah dia pesan tadi. Lalu, laki-laki itu mengambil ponsel yang terletak di meja untuk menghubungi seseorang.
"Pa. Bilang sama pengurus yayasan, beasiswa atas nama Celina Andini dibatalkan aja."
Setelah menutup memutus sambungan, sebuah senyuman licik tersungging di bibir Bisma.
* * *
Celine begitu kaget mendapat pesan dari seseorang, yang mengatakan bahwa salah satu seniornya ingin bertemu. Bisma namanya. Dia tak terlalu hafal wajah lelaki itu karena memang jarang bertemu di kampus.
"Yang mana sih orangnya?" tanya Celine pada Kristi sahabatnya.
Mereka berdua duduk di kantin sambil memesan semangkuk bakso dan es jeruk. Kantin penuh sesak dengan mahasiswa yang kelaparan setelah selesai jam kuliah.
Antrean panjang menghiasi pemandangan sehari-hari di sana. Dengan penuh perjuangan akhir dua mangkok bakso itu berhasil mereka dapatkan.
Perlu untuk diingat juga, di kantin ini ada kursi di posisi tertentu yang sudah di kavling oleh sang penguasa, sehingga kaum pinggiran seperti mereka harus pandai-pandai mencari tempat.
"Aduh, masa' kamu ga kenal sama kak Bisma, sih. Dia anak yang punya yayasan. Yang ganteng itu loh. Idaman cewek-cewek."
Kristi mengibaskan rambut. Hari ini cuaca cukup panas, ditambah cabai yang melimpah ruah dalam kuah bakso, membuat suasana semakin gerah.
"Ada fotonya?" tanya Celine penasaran. Gadis itu masih mengunyah saat berbicara. Bakso di kantin ini memang enak sekali.
"Kamu kuper, deh. Dia kan muncul waktu ospek. Emang cuma bentar, sih. Habis itu cabut," jelas Kristi. Kali ini tangannya mengipas wajah karna keringat mulai bercucuran.
"Kapan? Perasaan gak ada, deh," tanya Celine sembari mengambil gelas minuman lalu meneguk isinya dengan kuat.
"Oh, pas kamu ke toilet deh kayaknya. Dia masuk ruangan. Ngasih sambutan bentar habis itu ngacir," jelas Kristi lagi.
Celine berusaha mencerna kata-kata itu, lalu kembali makan dengan lahap. Mata kuliah tadi cukup menguras energi untuk berpikir. Sementara itu pemahamannya memang masih kurang.
"Terus ngapain dia mau ketemu? Belum kenal juga," tanya Celine sembari mengangkat bahu.
"Dia suka sama kamu kali," ucap Kristi menggoda sembari mengedipkan mata.
Celine tertunduk malu saat mendengarnya, lalu mengulum senyum dan terus melanjutkan makan.
"Ah, gak mungkin. Masa' Kak Bisma naksir aku?"
Celine melambaikan tangan kepada pelayan kantin yang lewat untuk meminta tambah minuman. Kristi juga ikut menambah, bukan minuman tetapi semangkuk bakso lagi.
"Oh, mungkin mau bicarain soal beasiswa," jawab Kristi dengan mulut yang masih penuh.
"Tapi kok, ketemuannya pulang kuliah? Di cafe lagi. Biasanya kalau bahas beasiswa itu, ada rapat dari pengurus yayasan," jelas Celine. Dia pernah beberapa kali mengikuti rapat itu sehingga sedikit mengerti alurnya.
"Tau, dah. Temuin aja. Lumayan, kan bisa ketemu cowok ganteng. Kalau aku sih gak bakal nolak. Apalagi kalau dia nembak buat jadiin pacar. Mau banget."
"Dasar!" umpat Celine.
Mereka kembali berbincang, hingga tiba-tiba saja penghuni kantin menjadi riuh karena kedatangan beberapa orang.
"Lin, itu tuh orangnya," ucap Kristi memberi kode ke arah Celine dengan mulutnya.
Celine menoleh dan mendapati segerombolan lelaki memasuki kantin. Hampir semua mata tertuju melihatnya. Beberapa mahasiswi bahkan berhenti makan dan berlagak manis saat mereka lewat.
Kayak film meteor garden, pikir Celine. Ada satu geng lelaki tampan, kaya, anak pemilik yayasan dan diperebutkan banyak wanita.
Mereka berkuasa dan semena-mena kepada siapa saja yang berani bersinggungan dan melawan. Siapa saja jangan coba mendekat kalau tidak ingin mencari masalah.
Pasalnya, beasiswa di kampus ini susah untuk didapatkan. Mahasiswa penerima beasiswa seperti Celine sebaiknya berhati-hati kalau tidak ingin kena masalah.
Celine pikir hal yang seperti cuma ada di film-film drama. Tenyata malah benar adanya. Praktek per-bully-an jelas ada di dunia nyata.
"Tampangnya lumayan juga," ucapnya lirih. Celine memperhatikan satu per satu yang lain. Mereka semua tampan, apalagi yang berwajah blasteran itu.
"Kan apa aku bilang? Kamu gak percaya, sih."
"Tapi aku takut."
"Halah, takut apa sih? Mereka tu tajir banget, loh. Kalau kak Bisma beneran naksir sama kamu, bisa ketiban rejeki juga aku."
Kristi tertawa geli. Tak bisa dia bayangkan, jika seandainya dekat dengan salah satu di antara mereka.
"Hus!"
Celine menepuk lengan Kristi. Dia masih asyik menatap mereka saat Bisma balas melihatnya. Laki-laki itu mengangguk, seolah-olah ingin memberi tanda bahwa dia harus datang di tempat yang telah dijanjikan.
Celine balas mengangguk, sebagai tanda bahwa dia bersedia datang. Bisma tersenyum, lalu berbincang kembali bersama teman-temannya sambil tertawa senang.
Saat waktunya tiba, Bisma menyatakan cinta dan Celine menolaknya.
Semua bermulai sejak saat itu. Sebuah kehancurannya masa depan Celine. Bisma merasa sakit hati dan membalas semua penolakan wanita itu dalam diam dan tersusun rapi, tetapi fatal akibatnya.
Celine harus ikhlas melepas semuanya dengan lapang dada karena itu adalah pilihan. Dia harus siap menerima konsekuensinya sekalipun itu menyakitkan.
Jika kalian suka dengan cerita ini, berikan review dan bintang lima, ya. Itu sangat berarti untuk saya. Terima kasih.
Rumah itu nampak asri dengan halaman yang luas. Banyak pohon-pohon rindang yang sengaja ditanam oleh pemiliknya. Sebagian adalah pohon buah-buahan yang bisa dipanen jika sudah waktunya tiba. Bentuk atap rumah itu menyerupai pelana yang dilipat. Jika di lihat dari samping, maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya. Orang Betawi menyebutnya Rumah Kebaya. "Assalamualaikum. Abah Ummi, Elin datang, nih," ucap Celine saat mengetuk pintu. Tak lama keluarlah seorang lelaki separuh baya menyambut kedatangannya. "Waalaikum salam, Neng," jawab Abah sembari menyuruh Celine masuk. "Ummi mana, Bah?" Celine meraih tangan Abah kemudian menciumnya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. "Ke pasar. Biasa belanja. Tau dah nyari apaan." Mereka berdua duduk berhadapan. Teras rumah ini memang luas. Abah dan Ummi biasa mengggunakannya untuk menjamu tamu atau menjadi tempat bersantai keluarga. "Ummi rajin ya, Bah." "Daripada bosan di rumah. Neng ngapain datang dima
"Lin. Pak Broto datang lagi tuh. Nyariin kamu." Siska mendatangi Celine di belakang. Dia meninggalkan kerjaannya di depan dan meminta karyawan lain untuk menggantikannya sebentar.Celine sedang menyusun beberapa barang di gudang. Setahun terakhir, dia meminta kepada HRD untuk dipindahkan ke posisi ini, supaya tidak bertemu banyak orang. Dia memang cantik, jadi banyak pembeli lelaki yang suka menggoda.Penampilannya sederhana, tapi paras ayunya tidak bisa menipu. Sekali pun hanya memakai seragam karyawan, banyak lelaki yang menyukai. Karena itulah, mini market ini menjadi ramai sejak dia bergabung.Lagipula menjadi kasir berisiko tinggi. Melihat uang matanya langsung hijau. Apalagi tanggungannya banyak. Kalau di bagian gudang, dia bisa sambil mengecek barang-barang
Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma."Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma."Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedi
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k
Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya."Ehem." S
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga
"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan."Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja."Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan."Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan."Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.Wajah Celine langsung pucat mendengarnya.
Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine meletakkan sebuah amplop di depan Bisma begitu masuk ke ruangannya. Di depan, dia memaksa resepsionis untuk bertemu dengan lelaki ini. De Javu lagi, seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu."Apa maksud kamu?" tanya Celine sembari mengepal tangan.Bisma yang terkejut atas kedatangan Celine, langsung berdiri dan mendekatinya."Eh. Tunggu dulu. Kamu datang terus marah-marah sama aku. Ini ada apa?" tanya Bisma heran."Bulek ngasihkan ini ke aku. Katanya terselip di dalam parcel buah yang kamu antar waktu ngeliatin Paklek di rumah sakit," ucap Celine geram.Bisma menarik napas panjang, lalu berdiri dan mencoba menenangkan Celine. Entah dia akan berkata apa kali ini untuk meredam emosi wanita itu."Duduk dulu." Bisma menunjuk sofa dan memerintah Celine."Gak!" to
"Jadi ini orangnya?" tanya Fatma ketika keluar dan mendapati sosok Bisma sedang duduk di ruang tamu rumahnya."Ya, Bu. Saya Bisma." Lelaki itu langsung berdiri dan mengulurkan salam sebagai tanda perkenalan."Bikin minum, Lin," titah Fatma ketika melihat keponakannya itu hanya bergeming sejak tadi.Mereka tak menyangka jika Bisma datang berkunjung. Ternyata diam-diam, lelaki itu menyelidiki tempat tinggal Celine. Setelah mengamati lingkungan sekitar, akhirnya hari ini dia memberanikan diri untuk datang berkunjung."Tapi, Bulek--""Ada tamu kok ya dibiarkan haus begitu. Sana," titah Fatma lagi.Celine berjalan lesu menuju dapur. Dia tak menyangka jika Bisma nekat datang ke rumah bibinya. Setelah 'penembakan' Devan yang memintanya menjadi mama, kini lelaki itu kembali mendekatinya karena diabaikan.
Bisma menarik napas panjang sebelum memulai cerita. Hari ini mereka memutuskan untuk jalan berdua. Celine sebenarnya malas menanggapi ajakan lelaki itu. Hanya saja dia masih menghargainya demi kesembuhan Devan. "Sejak kamu pergi aku ngerasa hidup aku hampa. Pekerjaan kacau. Tiara yang marah dan kabur dari rumah. Sampai tekanan dari orang tua," jelas Bisma. Bisma kembali mengenang masa lalunya yang pahit sejak pernikahan keduanya dengan Celine terungkap. Lelaki itu bahkan kehilangan kepercayaan dari beberapa relasi sehingga ada tender yang gagal. Salahnya sendiri, malah tidak fokus dan mengabaikan pekerjaan. "Jadi aku kayak pembawa sial buat Kakak, ya?" Celine bertanya tanpa basa-basi. Dia merasa seperti penghancur hidup Bisma. Jika sebelumnya kehidupan rumah tangga dan karir lelaki itu begitu sejahtera, setelah bersamanya menjadi hancur. "Gak gitu, Lin. Aku sadar bahwa ini mungkin balasan Tuhan akan sikap aroganku selama ini," jelasnya.&
Celine menoleh saat namanya dipanggil dan mendapati supir Devan sedang berlari mengejarnya. Wanita itu berhenti dan tersenyum manis saat lelaki paruh baya itu mendekat."Ibu Celina!""Hai, Pak. Apa kabar?" tanya Celine sopan."Den Devan demam," jawab lelaki itu dengan napas tersengal-sengal.Jarak mereka tadi cukup jauh sehingga si supir itu pastilah sudah mengeluarkan tenaga ekstra."Oh. Semoga lekas sembuh," ucap Celine dengan empati. Ini bukan hanya ucapan basa-basi, tetapi tulus dari dalam hatinya."Den Devan ... mau ketemu Ibu Celina."Celine tersentak saat mendengar itu, lalu kembali mengulum senyum untuk menghormati sosok di depannya.Sekalipun status bapak ini hanya supir salah satu murid di sekolah mereka, tetapi usinya lebih tua. Sehingga Celine tetap mengutamakan adab saat berbicara."Maaf, Pak. Tapi saya sedang banyak pekerjaan. Baiknya Devan segera dibawa ke dokter," jawab Celine cepat.
The Ritz Restoran. Sabtu malam pukul tujuh. Cuaca cerah sejak pagi, sekalipun beberapa hari ini hujan turun cukup deras mengguyur kota. Hanya udara dingin yang terasa menyapu kulit hingga membuat Celine menggigil dan tak mau melepas mantel.Celine memarkir motor dengan gemetaran. Wanita itu berulang kali memeriksa gaunnya yang tampak kusut karena tertiup angin. Awalnya Bisma menawarkan untuk menjemputnya agar bisa pergi bersama. Namun, dia menolak karena tak ingin ada keluarga yang tahu mengenai hubungan mereka."Meja berapa?" tanya seorang pelayan saat menyambutnya di depan."Dua puluh dua," jawabnya dengan gugup.Mata cantik Celine menyapu seluruh ruangan untuk mencari sosok yang membuat darahnya berdesir sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu."Di sebelah sana. Area bebas asap. Mari ikut saya," ucap pelayan itu dengan sopan.Celine mengekorinya hingga mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Tadi
Empat tahun kemudian."Assalamualaikum anak-anak. Selamat pagi semua.""Waalaikumsalam, Ibu," ucap mereka serentak saat membalas sapaan itu."Apa kalian sudah siap belajar?""Sudah, Ibu!"Celine tersenyum saat menatap mereka satu per satu. Anak-anak berusia lima hingga enam tahun yang menjadi muridnya. Wanita itu memimpin doa sebelum mereka memulai aktivitas hari ini. Lalu, dia membuka tas dan mengambil buku panduan pembelajaran.Dua bulan ini Celine resmi menjadi seorang guru di sebuah taman kanak-kanak. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas terbuka dengan sisa tabungan yang ada. Wanita itu sudah tak ingin bekerja di mini market seperti dulu.Celine memilih untuk pulang ke kota asal, sekalipun banyak keluarga mengabaikannya. Wanita itu tak punya hak waris karena mendiang orang tuanya tidak memiliki harta apa pun. Hanya ada satu Bibi yang masih menerima dan mau menampungnya. Di sanalah dia tinggal.Hing
Celine terbelalak saat Fauzan menyodorkan sebuah kotak perhiasan yang berisikan sebuah cincin berlian bermata putih. Hari ini lelaki itu mengajaknya kencan setelah beberapa lama sibuk dengan pekerjaan."Lin, apakah kamu mau jadi istriku?" tanya Fauzan dengan sungguh-sungguh.Mata Celine berkaca-kaca. Dia pernah menikah, tapi baru kali ini dia dilamar dengan suasana yang manis dan romantis. Bersama Fauzan wanita itu merasa dihargai, dianggap spesial dan dimanjakan. Hanya, perasaannya tak bisa dibohongi. Dia ....Melihat Celine yang belum memberikan respons, raut wajah Fauzan berubah. Ada rasa kecewa yang menyusup perlahan di hatinya. Laki-laki itu tahu, Celine belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Kenangan bersama Bisma masih terus saja membayangi hubungan mereka."Jadi, kamu nolak aku?" tanya Fauzan lagi.Celine menunduk karena tak dapat menjawab. Pandangan matanya menatap ke arah l
Suasana cafe itu sepi. Entah mengapa hari ini begitu, biasanya ramai dengan tamu yang sekedar duduk bersantai atau makan siang. Di sudut ruang yang agak tertutup, tampak sepasang anak manusia sedang duduk berhadapan namun saling diam. Seolah-olah tak pernah kenal, padahal sebelumnya sempat memadu kasih dan berbagi cinta.Celine mengaduk minuman yang sedari tadi tak disentuhnya. Sementara itu Bisma sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Mereka hanya berbicara sesekali, kemudian terdiam lagi, terasa asing satu dengan yang lain. Bisma bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana rasa mantan istrinya itu. Indah dan pernah membuatnya mabuk kepayang."Kamu sekarang beda." Akhirnya lelaki itu membuka percakapan. "Dan semakin cantik." Ingin dia mengatakan itu, tapi itu hanya terucap dalam hati. Setelah berpisah dengannya, Celine terlihat lebih menggoda. Benar kata orang, mantan itu terlihat lebih menarik karena sudah tak halal."Kakak juga," ucapnya sama. Se