Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan.
Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin. "Mbak Anin." Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja. "Hai, Din. Mau berangkat?" "Iya." Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya. "Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak." "Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya. "Ooo, slisiban mungkin." Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jalan desa yang cukup lebar. Selama berjalan, baik Anin maupun dini tak berbicara. Tahu-tahu, Anin sudah sampai di sekolah dasar tempat dia mengabdi. "Mbak duluan, Din." "Iya Mbak." Anin tersenyum tipis, dia berbalik ke arah kanan dan segera masuk ke halaman sekolah. Para anak didik Anin yang melihat, langsung berteriak. Mereka memanggil nama Anin dan berebut menyalaminya. "Bu Anin. Pagi." "Bu Anin assalamu'alaikum." "Bu Anin, kami rindu!" Anin sudah fokus dengan anak didiknya melupakan Dini yang masih menatap Anin penuh rasa bersalah. "Kamu wanita yang baik, Mbak. Entah apa yang merasuki Mas Dimas. Wanita sebaik kamu, malah diganti sama Mbak Intan." Dini menghela napas. Dia benar-benar masih belum menerima sang kakak lebih memilih Intan dibanding Anin. Tapi dia bisa apa? Kedua orang tuanya sama, tidak digubris omongannya. Apalagi dia? Dini memilih berbalik. Dia segera berjalan menuju ke jalan utama yang kurang lebih berjarak satu kilo meter. Setelah Anin berbalik, kini giliran Anin yang menatap Dini. Dalam hati sebenarnya dia kasihan melihat Dini dicueki oleh dia dan dua adiknya. Anin yakin kalau Rafa dan Nana pasti juga sudah berjumpa dengan Dini. Tapi ... dengan perlakuan Dimas padanya, jelas telah membuat celah untuk hubungan dua keluarga. Anin tak bisa meminta keluarganya untuk bersikap biasa saja. Jelas kecanggungan pasti ada. Bahkan, Anin sendiri sampai hari ini berusaha tak bertatap muka dengan kedua orang tua Dimas terutama dengan Bu Darti. Anin menghela napas. Dia bertekad untuk tidak akan memikirkan Dimas lagi. Dan untuk hubungan dua keluarga, biarlah waktu yang akan menyembuhkan. Anin memilih fokus dengan anak didiknya saja. Dia pun kembali menyapa siswa yang hadir sambil bercerita banyak hal. Sementara itu, Dini masih terus berjalan menuju jalan utama. Kali ini dia merasa perjalanan yang biasanya mengasyikkan menuju ke sekolah menjadi lebih lama. Sampai di tepi jalan raya, Dini melihat Rafa dan Nana. Dia tersenyum ke arah dua bersaudara. Sayang, baik Rafa dan Nana sama sekali tak menggubris kepada Dini. Dini hanya bisa menahan rasa sakit di dada. Bahkan ketika sudah sampai di sekolah pun, Rafa yang satu kelas dengannya terkesan menghindari. Lagi-lagi Dini sedih. Tapi sekali lagi dia hanya bisa memendam kesedihannya. "Mbak Anin, Rafa dan Nana sekarang beda sama aku. Mereka menghindari aku. Pasti gara-gara Mas Dimas." Rupanya kecurigaan Dini memang benar adanya. Setelah peristiwa lamaran Dimas-Intan, keluarga Anin terlihat menjauhi keluarganya. Meski Anin, Bu Iyah dan Pak Tarman masih bersikap ramah, tapi jelas sekali ada celah yang memisahkan dua keluarga. Darti dan Yusman juga merasakannya. Tapi orang tua Dimas itu, hanya bisa menyikapi dengan hal yang sama. Yaitu sama-sama menjauh. Apalagi, kini fokus keduanya adalah panen hasil sawah dan persiapan pernikahan Dimas dan Intan yang akan diselenggarakan sebulan lagi. *** Anin merasa canggung harus berada satu tempat dengan ibunya Dimas. Dia tak mengerti kenapa nasib begitu mempermainkannya. Hari minggu seperti biasa, Anin pergi ke pasar. Dan entah kenapa dari banyaknya penjual, dia harus bertemu di penjual yang sama. "Eh Anin, sehat?" sapa Bu Siti, si penjual langganan Anin. Kemudian dia juga menyapa Darti dengan ramah. "Bu Darti apa kabar? Wah lama gak muncul. Hehehe. Selamat ya, anaknya mau nikah. Katanya sama anak orang kaya ya? Anak anggota dewan. Wuih hebat." Bu Siti berkata dengan riang. "Acara lamarannya mewah sekali, Bu Darti. Aku nonton di TV. Wuih, anakmu tambah gagah, mana calonnya cantik lagi. Hebat si Dimas. Gak percuma dia merantau dan jadi atlet." Bu Siti masih saja memuji-muji Dimas dan Darti. Bu Siti yang tidak tahu menahu hubungan Dimas dan Anin, terus saja mengoceh. Dia tak sadar, raut wajah Anin berubah menjadi murung. Anin tak bisa menyalahkan Bu Siti, jadi dia memilih diam dan sibuk memilih bawang merah, lalu dilanjut bawang putih, cabai dan lainnya. Pokoknya Anin bertekad mau memilih cepat dan belanja cepat. Lalu segera pergi dari warung Bu Siti. Sayang, kesialan sepertinya sedang menimpa Anin. Tari, rekan kerjanya juga sedang di pasar. Dia sedang berjalan ke toko langganannya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ada Anin dan ibunya Dimas. Tari berusaha mencuri dengar. Dia tersenyum licik saat mendengar sang penjual sedang memuji-muji Dimas. "Anin, Bu Darti. Wah kebetulan ketemu di sini," sapanya riang. "Bu minta cabe seperempat, bawang putih sama merah setengahan ya?" "Siap." Dari penjual, Tari melirik ke arah Anin dan Bu Darti. "Wah, Bu Darti belanja banyak. Pasti deh buat persiapan mantu." "Iya, Tari." "Wah, gak nyangka ya Bu Darti. Kupikir Dimas bakalan sama Anin, kan mereka udah pacaran lama eh malah mau nikahnya sama orang lain." Tari sengaja berkata cukup keras, hingga bisa didengar oleh penjual atau pembeli yang berada di sekitar warung Bu Siti. "Serius?" Salah seorang ibu-ibu penjual buah-buahan berkomentar. "Serius, Bu. Makanya aku kaget loh," ucap Tari. Bu Siti yang sejak tadi sebagai pendengar merasa iba dan bersalah. "Owalah, begitu Mbak Anin. Maaf ya, ibu gak tahu." Bu Siti lalu menoleh ke arah Darti. Dia pun mengucap maaf lewat sorot matanya. Darti yang tak ingin masalah berlarut-larut akhirnya berkomentar. "Gak kok. Mereka cuma temenan. Lah wong tetangga satu RT, sekolahnya juga bareng jadi dikiranya mereka dekat. Padahal ya cuma teman ya kan, Nin?" Darti menatap Anin dengan sorot meminta tolong. Anin tertegun dengan ucapan ibu dari Dimas itu. Ada nyeri di ulu hatinya. Memang sih, status pacaran mereka tidak secara resmi dipublikasikan. Alasannya demi karir Dimas dan Anin tidak diganggu oleh fans atau pembenci Dimas. Tapi kan? Satu kampung dan teman sekolah mereka tahu, kalau Dimas-Anin pacaran. "Masa sih Bu? Aku kira mereka pacaran, soalnya Anin selalu bilang ke kita Anin pacarnya Dimas," ucap Tari sengaja menebar garam ke luka Anin. "Gak Wi, cuma dekat." "Ooo. Hihihi, Nin kayaknya kamu salah duga perhatian Dimas deh. Jangan cemburu dan marah ya? Jangan juga berusaha ngambil Dimas. Dia udah ada calon istri." Tari tersenyum puas. Anin sendiri hanya mengangguk dan memilih segera menyelesaikan belanjaannya. Begitu selesai dia segera membayar dan pamit, meninggalkan Tari yang terlihat puas telah menghancurkan harga diri Anin dan Darti yang merasa bersalah karena hanya demi menjaga nama baik Dimas dari serangan Tari, dia malah melukai Anin.Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin."Memangnya sudah lama putus ya?""Ya begitulah.""Tapi kok gak ada kabar ya?""Ya mungkin sengaja diem-diem.""Kasihan si Anin.""Iya.""Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal.""Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin.""Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya.""Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana.""Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh.""Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain.""Betul."Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggos
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s
Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk]Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin]Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya.Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?]Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mere
Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin."Memangnya sudah lama putus ya?""Ya begitulah.""Tapi kok gak ada kabar ya?""Ya mungkin sengaja diem-diem.""Kasihan si Anin.""Iya.""Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal.""Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin.""Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya.""Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana.""Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh.""Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain.""Betul."Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggos
Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan. Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin."Mbak Anin."Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja."Hai, Din. Mau berangkat?""Iya."Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya."Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak.""Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya."Ooo, slisiban mungkin."Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jal
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk]Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin]Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya.Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?]Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mere
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s