Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin.
"Memangnya sudah lama putus ya?" "Ya begitulah." "Tapi kok gak ada kabar ya?" "Ya mungkin sengaja diem-diem." "Kasihan si Anin." "Iya." "Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal." "Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin." "Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya." "Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana." "Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh." "Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain." "Betul." Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggosip di depan Dini dan Darti. Seperti kali ini. Padahal mereka sedang menghadiri pengajian rutin setiap hari minggu. Bukannya mendengarkan ceramah Pak Kyai malah sibuk ghibah. "Dimas mungkin pengen sama Si Intan karena anak orang kaya kali? Begitu kan Bu Darti?" Bu Sum menanyakan langsung pada Darti. Darti hanya bisa diam dan memilih mengulas senyum. "Ya jelas lah, bapaknya si Intan katanya anggota dewan." Ibu-ibu yang lain menimpali. "Lah ya jelas milih dia lah," timpal yang lain. "Kasihan si Anin, tapi ya mau gimana lagi? Dimasnya jelas milih si Intan yang anak anggota Dewan." "Iya yah. Kasihan, padahal anaknya cantik gak neko-neko." "Tapi kan bukan orang kaya. Gak bisa dukung kerjaan Dimas." "Kasihan." Para ibu-ibu masih menggosip di pengajian. Darti dan Dini merasa tak nyaman tapi tak bisa seenak perutnya pergi. Takut menimbulkan kegemparan lebih banyak. Akhirnya yang bisa mereka lakukan hanyalah pasrah hingga pengajian berakhir. Saat akan meninggalkan tempat pengajian dan sedang memakai sandal, tak sengaja Darti dan Dini berpapasan dengan Iyah, Nana dan Anin. Kelimanya membeku. Kecanggungan melanda kelimanya. Anin lah yang pertama kali bisa menguasai diri. Dia menyapa Darti dan Dini ramah, lalu segera mengajak keluarganya pulang. Sayang, lagi-lagi langkahnya tercegat. Kini mereka bertemu muka dengan tetangga yang masih satu RW. Tetangga paling resek dan suka nggosipin Anin. Hamidah namanya. "Eh, Anin. Ikut pengajian?" Anin mengangguk. "Oooo. Eh ada Bu Darti juga. Oh iya lupa ngucapin selamat. Selamat ya, Bu. Mau besanan sama orang kaya." Hamidah memberi selamat tapi nada bicara dan raut wajahnya tidak sesuai dengan isi ucapan. Terlihat sekali sedang mengejek Darti. Hamidah adalah ibu dari Tari. Sama seperti sang anak, dia pun sangat menyebalkan, tukang iri dan biang gosip. "Iya Bu. Makasih," ucap Darti sopan. Hamidah lalu menatap ke arah Anin. "Wah, gak jodoh ternyata ya, Nin. Yang sabar ya, kali aja nasibmu habis ditinggalin sama Dimas jadi beruntung kayak Tari. Tari gak dapat Dimas, dapat si Seto, kerja di pelayaran. Alhamdulillah duitnya banyak, bisa bikin rumah dan beli mobil. Kehidupan Tari tercukupi meski dia masih honorer. Eh, kali aja kamu dapat PNS." "Amin!" teriak Nana sengaja mengeraskan suaranya biar banyak yang dengar. Anin hanya tersenyum, dia memilih segera berlalu. Tapi rupanya Hamidah sama seperti Tari, kebencian ibu dan anak pada Anin dan Dimas sudah mendarah daging. Jadi momen ini sangat Hamidah manfaatkan untuk menghancurkan dua orang yang pernah menyakiti putrinya. "Kalau ada yang ngelamar lagi jangan ditolak ya, Nin. Percuma nungguin Dimas. Dimasnya milih anak anggota dewan bukan anak yatim piatu." Anin lagi-lagi hanya tersenyum. Iyah yang tidak tahan, segera menyeret lembut sang keponakan meninggalkan Hamidah yang kalau ditanggapi terus ucapannya hanya bikin sakit hati. Begitu Anin tak ada, Hamidah malah giliran mencecar Darti. "Gak papa, Bu Darti. Ibu gak usah gak enak hati sama Anin. Anggap aja gak jodoh. Wong namanya cari jodoh ya yang terbaik. Dimas bener kok, pinter dia milih Intan." Darti tak menjawab apapun. Darti segera mengajak Dini pulang. Tak ia pedulikan omongan atau ghibahan tetangga. Tidak penting. *** Berita pernikahan Dimas dan Intan makin ramai. Mana sekarang gosip keduanya dibumbui dengan kulikan para pemburu berita hingga ke akar-akarnya. Kehidupan sebelum terkenal dari Dimas dan Intan pun sampai diangkat jadi berita. Hingga urusan mantan pacar pun juga. Anin, tak lepas dari berita itu. Begitu diketahui kalau dia adalah mantan Dimas, foto-fotonya kini terpampang di sosial media. Sosial medianya yang biasanya anyep sampai digeruduk netizen yang penasaran akan sosok mantan pacar Dimas. Tari pun tambah memanasi. Dia bahkan menyebar berita jika Anin bukanlah pacar yang baik bagi Dimas. Tari menyebar fitnah kalau Anin itu matre, Anin itu pemarah, Anin itu tukang selingkuh. Pokoknya banyak hal buruk yang Tari sebarkan untuk Anin. Akibatnya banyak semakin penasaran dengan Anin. Berita cinta segitiga Anin, Dimas dan Intan, makin memanas dan blunder. Hal ini membuat Anin makin tertekan. Apalagi banyak fans Dimas terutama perempuan yang membanding-bandingkan dirinya dan Intan. Bahkan banyak yang mengirimi atau berkomentar buruk padanya. Berita makin memanas kian harinya. Hal ini otomatis membuat nama Dimas dan Intan makin banyak dicari di situs pencarian. Semua orang berspekulasi, semua orang sok mengerti. Mereka tak peduli jika ulah mereka makin membuat Anin stress. Tarman dan Iyah yang mengerti sang keponakan sedang tertekan, selalu memberi semangat pada Anin. "Gak usah digubris berita yang ada. Kamu fokus ke diri kamu saja." "Betul kata pamanmu, Nin. Sudah gak usah mikirin Dimas atau yang lain. Kamu fokus ngajar sama hidupmu." "Iya Nak. Kamu juga gak sendiri. Paman dan bibimu ini bakalan jadi garda terdepan buat kamu." "Makasih, Man, Bi. Insya Allah Anin kuat." "Iya. Udah gak usah kemana-mana. Pokoknya di rumah aja. Urusan belanja dan lain-lain, semua bisa diurus paman, bibi dan kedua adikmu." "Betul. Kamu kalau sudah selesai ngajar. Pulang aja. Gak perlu main. Minta Salsa yang main aja." "Iya, Bi, Paman." Tapi dasarnya Dimas lagi naik daun, dan semua tentangnya ingin dikulik. Akhirnya para awak media juga penasaran dengan sosok Anin, mantan pacar Dimas. Beberapa kali Anin dichat, baik lewat pesan WA, I*, ataupun F* mengenai kisah cintanya dengan Dimas. Anin tentu saja malas meladeni. Sayang, para pemburu berita tak mau menyerah. Mereka ingin Anin angkat bicara. Anin pikir, mereka hanya akan mengganggunya lewat sosmed. Ternyata dia salah. Para pemburu berita tak segan mencoba menemui dia langsung. Suatu hari, dia yang baru pulang mengajar, mendapati halaman rumahnya banyak orang. Dengan sopan dia bertanya mereka siapa dan mau apa? Para wartawan langsung menyerbu Anin, mengarahkan kamera atau ponsel dan mengaktifkan mode merekam suara, tak lupa banyak pertanyaan mereka lontarkan. Anin terkejut, dia hanya bisa menatap bengong dan tak bisa bersuara. Bersyukur saat itu ada Rafa dan Nana yang langsung menyeret Anin masuk ke rumah sementara sang paman memberikan keterangan. Sejak saat itu, Anin jadi tak bisa tidur. Dia terkena insomnia parah dan menderita kecemasan berlebih. Anin pun mulai menarik diri dalam pergaulan."Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s
Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk]Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin]Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya.Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?]Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mere
Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan. Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin."Mbak Anin."Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja."Hai, Din. Mau berangkat?""Iya."Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya."Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak.""Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya."Ooo, slisiban mungkin."Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jal
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin."Memangnya sudah lama putus ya?""Ya begitulah.""Tapi kok gak ada kabar ya?""Ya mungkin sengaja diem-diem.""Kasihan si Anin.""Iya.""Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal.""Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin.""Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya.""Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana.""Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh.""Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain.""Betul."Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggos
Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan. Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin."Mbak Anin."Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja."Hai, Din. Mau berangkat?""Iya."Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya."Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak.""Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya."Ooo, slisiban mungkin."Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jal
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk]Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin]Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya.Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?]Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mere
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s