Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]
Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk] Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin] Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya. Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?] Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mereka untuk sekedar menyapa lewat ponsel. Ya, Dimas sang pacar memang secemerlaang itu prestasi olahraganya. Anin tersenyum mengingat masa-masa keduanya pertama kali bertemu yaitu saat kegiatan MPLS di kelas sepuluh. Anin itu siswa pindahan dari Purwokerto. Dulu dia ikut kedua orang tuanya hidup di sana. Namun, begitu kedua orang tuanya meninggal, Anin diajak adik dari ayahnya untuk tinggal di Banjarnegara. Jadilah Anin pindah dan ketemu Dimas. Setelah perkenalan, hubungan keduanya makin lama makin dekat dan memutuskan berpacaran setelah lulus SMA. Sayangnya, mereka harus LDR-an karena Dimas yang memang sejak sekolah menonjol prestasi olahraganya memutuskan akan meraih mimpinya menjadi pesepakbola terkenal. Sementara Anin yang bercita-cita menjadi guru, melanjutkan sekolah di Semarang dan mengambil jurusan guru SD. Meski LDR-an tetapi komunikasi mereka berjalan lancar. Dan meski hanya bisa bertemu setahun sekali di momen lebaran, itu tak mengurangi rasa cinta keduanya. Lamunan Anin tentang Dimas ditutup dengan sebuah senyum. Anin kembali fokus ke ponsel, mencoba mengirim chat lagi. Sayang, Dimas tak kunjung merespon. Anin : [Dim. Dimas! Kamu baik-baik saja?] Jujur saja ada kekhawatiran dalam hati Anin. Dia takut Dimas sakit. Beberapa kali Dimas memang jatuh sakit akibat kelelahan atau cedera. Dan itu membuat Anin hanya bisa sedih karena tak bisa mendampingi sang pacar. Dia hanya bisa mendoakan dari rumahnya agar sang pacar lekas sembuh. Anin : [Dimas! Jangan bikin aku takut. Kamu kenapa? Kamu gak papa kan? Apa aku telepon ya?] Anin hampir saja menekan nomer Dimas namun gagal karena Dimas akhirnya mengirimi dia chat. Anin merasa lega. Dimas : [Gak usah. Aku gak papa] Anin : [Syukurlah. Jaga kesehatan ya, Dim? Kalau capek istirahat, makan yang teratur, jangan lupa vitaminnya] Dimas : [Iya] Anin kembali menulis pesan kepada sang kekasih dan mengirimkannya. Anin selalu menikmati momen ketika bisa berbicara atau sekedar berbalas pesan dengan Dimas. Bagi Anin, ini sudah cukup mengobati rasa rindunya untuk Dimas. Beberapa kali mereka berbalas pesan malam ini. Tetapi, Anin merasa malam ini ada yang berbeda. Pesan teks yang dikirim Dimas lebih singkat dari biasanya. Padahal, biasanya Dimas akan menceritakan banyak hal termasuk kejadian yang dia alami hari ini. Tapi malam ini, jawaban Dimas lebih singkat. Bahkan, Anin harus menunggu lama agar chatnya dibalas. Anin bingung, seperti bukan Dimas. Anin mengamati gaya chat Dimas, dia yakin kalau beginilah gaya chatnya. Hanya lebih singkat. Anin masih sibuk berpikir, namun pikirannya teralihkan saat ponselnya kembali bergetar. Anin segera membaca lagi pesan dari Dimas. Dimas : [Nin, beberapa hari ini aku mengevaluasi hubungan kita. Kita gak mungkin LDR-an terus] Senyum Anin terkembang. Dalam imajinasinya, hal-hal menyenangkan sudah tergambar. Misalnya dia akan segera dilamar, mereka akan menikah, dan Dimas akan memboyongnya ke Jakarta. Mereka akan menjalani kehidupan bersama sebagai pasangan suami istri. Yah, walau usia Dimas baru 25 tahun dan untuk kategori atlet dia masih muda. Tapi kan tak masalah nikah muda. Sementara Anin yang usianya juga sama dengan Dimas, sudah dalam kategori perawan tua di desanya. Jadi memang sudah sepantasnya Anin menikah. Anin masih senyam-senyum membayangkan kebahagiaan yang akan dia jalani bersama Dimas. Sayang, chat berikutnya dari Dimas meruntuhkan semua khayalan indahnya tentang pernikahan dan hidup bahagia bersama Dimas. Dimas : [Aku gak bisa jalani hubungan ini lagi, Nin. Jarak yang jauh membuat aku gak bisa punya waktu untuk kamu. Pun dengan kamu. Aku takut, hubungan kita juga menghalangi mimpi kita. Untuk sementara aku belum ingin menikah, masa depanku masih panjang. Mimpiku masih jauh belum tergapai. Sementara kamu? Kamu perempuan, aku takut jika kamu menungguku, kamu akan melewatkan masa depanmu. Padahal, kata Imam banyak lelaki baik dan berkedudukan yang coba melamar kamu. Tapi kamu tolak. Alasannya, kamu nungguin aku. Aku gak enak, Nin. Aku bakalan merasa bersalah bikin kamu menunggu. Sementara aku, masih mengejar karir. Belum berani melamar kamu. Belum berani nikahin kamu. Tolong jangan tunggu aku, terimalah siapa saja yang menurut kamu baik. Aku ikhlas] Air mata Anin tanpa permisi luluh lantah keluar dari persembunyiannya. Anin bahkan tanpa sadar sudah sesenggukan. Hatinya sakit. Setiap kata yang Dimas ketik, bagai mata pisau tajam yang menghunus organ dalamnya dari mulai paru-paru yang membuatnya tak bisa bernapas, jantungnya yang tak bisa lagi merasakan detak kehidupan hingga tenggorokannya yang terasa terhunus mata tajam pisau pun tak mampu mengeluarkan suara. Dimas : [Kamu ngerti kan, Nin? Ini demi kamu. Kebahagiaan kamu] Anin tak membalas, bibirnya bergetar menahan isak tangis. Dimas : [Demi Tuhan, Nin. aku gak mau kamu kecewa karena nungguin aku. Aku ingin kamu gak terluka, aku ingin kamu bahagia] Bahagia? Bagaimana bisa Dimas berpikir kalau mereka putus maka Anin akan bahagia? Bukankah selama ini kebahagiaan Anin adalah Dimas? Lalu jika mereka putus, Anin harus bagaimana? Dimas masih mengirimi Anin chat berupa alasan-alasan dan segala pembenaran tentang keputusannya untuk memutuskan Anin. Anin sama sekali tak membalas. Dia sama sekali tak punya kekuatan. Jarinya sulit digerakkan untuk membalas. Bahkan jika Dimas menelepon dirinya, Anin tidak yakin bisa mengangkatnya atau tidak. Tapi, rupanya Dimas memang tak ingin menelepon. Sejak tadi dia hanya mengirim chat. Dimas : [Aku harap kamu menerima keputusan aku, Nin. Demi kebahagiaan kita berdua. Semoga kamu mendapat pengganti yang lebih baik dari aku] Anin makin terisak, bahkan sedu sedannya kian terdengar nyaring. Isakan kini menambah rasa sesak di dada. Membuat Anin tak bisa bersuara. Anin menunggu. Dia menunggu chat dari Dimas lagi. Berharap kalau ini cuma 'prank' dari sang kekasih. Sayang, mau ditunggu berapa lama pun, Dimas sudah tak menghubunginya lagi. Ironisnya, profil Dimas langsung tak terlihat. Anin tertawa dalam tangis. "Kamu gak mungkin blokir aku kan, Dim?" "Hahaha. Jahat, Dim." "Andai pun kita putus, kamu gak perlu blokir nomerku. Aku gak bakalan ngemis buat balikan kok. Hahaha." Air mata Anin kembali deras. Isakannya juga. Anin bahkan sampai membekap mulutnya. Takut suaranya bisa terdengar oleh Paman dan Bibinya serta dua adik sepupunya. "Hiks hiks hiks." Anin memukul-mukul dadanya. Berharap dengan demikian, rasa sesaknya hilang. Sayang, bukannya hilang malah tambah sakit. Ya sakit hati dan sakit di badan. "Ya Allah, Dim. Jahat banget sih kamu? Salah aku apa? Kalau kamu gak serius kenapa gak diputusin dari dulu aja? Tujuh tahun loh, Dim. Kalau utang di bank aku udah dapat motor, mobil, rumah atau sawah." Anin mengambil bantal. Dia menaruh mulutnya pada bantal. Berharap suaranya teredam bantal. "Ya Allah sakit. Kamu tega, Dim." "Kamu bahkan gak ngucap 'maaf' ke aku. Huhuhu, Dimas kamu jahat!" Anin kembali membekap mulutnya dengan bantal. Malam terus berlanjut, harusnya Anin sudah terlelap dalam buai impian. Sayang, malam ini Anin harus melewatinya dengan tangis tak berujung.Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan. Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin."Mbak Anin."Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja."Hai, Din. Mau berangkat?""Iya."Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya."Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak.""Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya."Ooo, slisiban mungkin."Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jal
Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin."Memangnya sudah lama putus ya?""Ya begitulah.""Tapi kok gak ada kabar ya?""Ya mungkin sengaja diem-diem.""Kasihan si Anin.""Iya.""Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal.""Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin.""Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya.""Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana.""Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh.""Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain.""Betul."Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggos
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s
"Sudah gak usah kamu pikirkan, penting kamu fokus daftar P3K-nya!" saran Bu Yana. "Iya Bu, tapi tetep kepikiran. Mana sekarang banyak yang suka datang ke rumah. Kalau cuma chat atau lewat sosmed, saya gak masalah Bu Yana." Bu Yana salah satu guru senior di tempat Anin mengabdi ikut prihatin. Dia mengusap punggung rekan kerjanya penuh sayang. "Kamu yang sabar ya?" "Iya, Bu." "Pasrah saja, wong belum jodoh mau gimana lagi." "Iya, Bu." "Jodoh gak bakalan salah alamat. Mungkin dengan kejadian ini, kamu sedang dijauhkan dari kemudharatan. Bayangkan saja, kamu nunggu lama tapi gak ada kepastian. Ya gak mau, kan?" "Gak Bu." "Nah, kan?" Bu Yana lalu teringat akan keponakannya. "Nin." "Ya." "Apa kamu sama Althaf saja ya? Sudah PNS alhamdulillah. Jadi staf dibagian keuangan di Pengadilan Negeri Purwokerto." Mendengar nama Althaf, Anin sempat diam. Dia lalu menggeleng. "Gak, Bu. Sama Dimas aja saya dipecat jadi pacar apalagi sama Althaf." "Ish, kamu nih! Althaf gak segitunya kali
Berita pernikahan Dimas dan Intan semakin meluas. Bahkan seluruh warga desa Bantarsari sudah tahu. Banyak dari mereka yang kaget dengan berita ini, pasalnya yang mereka tahu kalau Dimas dekat dengan Anin. Banyak orang yang kini jadi kasihan pada Anin."Memangnya sudah lama putus ya?""Ya begitulah.""Tapi kok gak ada kabar ya?""Ya mungkin sengaja diem-diem.""Kasihan si Anin.""Iya.""Padahal udah setia nungguin, lah malah ditinggal.""Ho'oh, kupikir bakalan sampai nikah sama Anin. Orang tiap Dimas pulang, ngapelinnya si Anin.""Aku juga mikirnya begitu. Kelihatan cinta banget Dimasnya.""Halah, jangan percaya cowok. Kayak gak tahu aja cowok gimana.""Bener. Udah punya istri cantik aja banyak yang selingkuh.""Betul. Apalagi ini cuma pacaran. Nikah aja bisa bubar karena suaminya kecantol cewek lain.""Betul."Para ibu-ibu di kampung selalu saja menggosipkan Anin dan Dimas. Terkadang mereka tidak sadar, sedang menggosip tapi ada Anin, Iyah, Rafa, Nana, bahkan tak jarang mereka menggos
Dini menyapa Rafa dan Nana yang baru saja keluar dari dalam rumah. Rafa dan Nana yang disapa hanya diam, dan tanpa membalas sapaan Dini, kedua kakak beradik memilih segera berjalan. Dini hanya bisa terpaku melihat sikap tetangga satu RT sekaligus temannya itu. Dini mendesah dia menunggu seseorang yang belum nampak batang hidungnya. Tak berselang lama, sosok yang dia tunggu akhirnya keluar. Dini segera menyapa Anin."Mbak Anin."Anin yang baru saja menutup pintu cukup terkejut. Dia menoleh pada Dini. Reaksi Anin adalah mematung untuk sementara waktu sebelum akhirnya dia bisa bersikap biasa saja."Hai, Din. Mau berangkat?""Iya."Anin menatap ke sekeliling mencari dua adik sepupunya."Gak ketemu Rafa sama Nana apa? Padahal tadi keluar gak berjarak lama dari mbak.""Gak Mbak." Dini sengaja berbohong. Dia tak mungkin mengatakan kalau Rafa dan Nana bersikap ketus padanya."Ooo, slisiban mungkin."Anin lalu segera berjalan. Dia melewati Dini dan Dini pun mengikutinya. Keduanya menapaki jal
Darti hanya duduk diam bersama sang suami, Yusman. Mereka yang berasal dari desa tidak terlalu mengerti pesta ala orang kota. Orang kaya. Sejak dia dan sanak saudara yang lain datang, Darti hanya terima beres. Semua bawaan yang harus dia siapkan dan bawa untuk calon menantu sudah disiapkan oleh Dimas. Mereka hanya perlu datang ke rumah calon Dimas saja.Serangkaian proses ia ikuti dengan tatapan bingung dan hanya manut saja. Mau diajak kemana dan harus ngapain, pokoknya manut. Sampai serangkaian acara selesai dan dia bisa duduk beristirahat, Darti dan sang suami pun memilih menyepi dari keramaian. Jujur dia bingung, harus mengobrol dengan siapa. Dan bahan obrolan apa yang harus dia bahas jika ada yang mengajaknya ngobrol. Jadilah keduanya memilih diam sambil sesekali melihat sang putra tersenyum bahagia sambil merangkul sang tunangan. Bahkan tak jarang pelukan yang dilakukan Dimas dan Rahayu Intan Rinjani, calon menantunya terlalu intim. Darti risih melihatnya. Rahayu Intan Rinjani
Rafa dan Nana, adik sepupu Anin yang kini berusia tujuh belas dan empat belas tahun kaget melihat mata kakak sepupunya bengkak. Mereka tentu saja bertanya ada apa."Gak papa," jawab Anin singkat."Gak papa gimana Mbak? Jendul gini? Mbak nangis semalaman ya?" cecar Nana."Gak, Na.""Gak salah! Nana kudu ngomong sama Bapak dan Ibu."Nana langsung saja melesat mencari bapak dan ibunya sebelum Anin berhasil mencegah. Anin hanya bisa pasrah, apalagi begitu paman dan bibinya tahu kalau Anin habis nangis, akhirnya dia sampai di sidang. Kini, paman dan bibi Anin sedang mendudukkan dia di ruang tengah dikelilingi semua aggota keluarga.Anin ingin berbohong, tapi mata jendulnya tidak bisa berbohong jadilah dia menjelaskan apa yang terjadi beserta bukti chat dari Dimas. Nana dan Rafa menjadi orang paling sigap mengumpati Dimas. Sang Bibi bernama Rondiyah atau biasa Anin panggil Bi Iyah langsung memeluknya. Kini giliran dia yang menangis, sebagai ganti tangisan Anin yang sudah tak mampu keluar l
Dimas : [Anin, maafkan aku karena jarang menghubungi kamu. Aku sibuk]Anin : [Iya, gak papa, Dim. Aku paham kok, kalau kamu sibuk]Dimas : [Makasih atas pengertianmu, Nin]Anin menatap layar ponselnya. Dia sedang menunggu kalimat chat Dimas selanjutnya. Sayang, ditunggu hampir lima menit, nomer sang pujaan hati terlihat dalam mode 'sedang mengetik' tapi pesan yang diketik tak kunjung dia terima. Merasa penasaran, Anin pun kembali mengirim chat untuk kekasih hatinya.Anin : [Kamu mau ngetik apa sih, Dim?]Anin sudah mengirim pesannya. Sayang, Dimas belum juga membalas. Akhirnya Anin kembali mengirim chat. Dia tak berani menelepon Dimas. Takut Dimas sedang sibuk latihan. Maklum, Dimas yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun merupakan salah satu pesepakbola yang sedang naik daun saat ini. Jadwal latihan dan tandingnya sangat padat. Bisa pagi, siang, sore bahkan malam hari. Jadwal di klub yang menaunginya maupun jadwal yang berhubungan dengan timnas Indonesia makin mempersulit mere
Dimas berlutut di tanah. Dia memohon kepada Anin, mantan pacarnya untuk kembali menerimanya."Aku gak bisa, Dim. Maaf, semua sudah terlambat.""Gak Anin. Semua belum terlambat. Aku sudah pisah sama Intan. Aku memilih kamu!" Anin menggeleng. "Kamu memilihku sekarang. Dulu kamu membuangku. Menganggap kalau aku tak berharga karena tak bisa menunjang karirmu.""Nin.""Maaf, Dimas. Kisah kita sudah usai. Aku sudah ikhlas dengan masa lalu.""Nin. Please, beri aku kesempatan. Aku akan tunjukkan kesungguhanku sama kamu.""Telat, Dim. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Aku pikir kamu bersungguh-sungguh sama aku tapi apa?"Anin menatap Dimas penuh luka."Kamu memutuskanku hanya lewat chat. Kamu blokir nomerku.""Aku salah. Aku minta maaf. Aku khilaf.""Tapi khilafmu membuat aku sakit hati, Dim."Dimas benar-benar merasa bersalah sekali. Ingatannya kembali ke masa-masa itu. Dia sadar pasti luka yang ditanggung Anin sangat dalam."Aku minta maaf, Nin. Tolong beri aku kesempatan. Aku sekarang s