"Sapa kau sebenarnya?" tanya Kiana tanpa mengurangi rasa waspadanya. Dirinya terus menggeram penuh amarah. Bentuk tubuh serigalanya memang kecil, tapi jangan meremehkan kekuatan serigala tersebut. Ia pernah mengalahkan dua puluh prajurit sekaligus.Sementara pria itu hanya berdiri santai dan menyilangkan kedua tangannya di perut. Ia menatap gadis yang ditaksir seumuran dengan Elisa. Gadis yang cantik dan anggun. Tentu saja, karena ia adalah putri dari raja dan ratu di pak terkuat itu. Namun, tetap kalah dengan Elisa. Gadis itu memang cantik, tapi tidak sesempurna gadis yang sedang berbaring di kamar itu. Mungkin pria lain akan langsung terpana pada kecantikan gadis yang sedang melototkan mata padanya, tapi tidak dengan dirinya. Ia malah tidak tertarik sama sekali. Jika bukan karena gadis itu teman Elisa, sudah sejak tadi ia ubah menjadi batu."Untuk apa kau tahu siapa aku?" tanya pria itu sambil terus menatapnya santai. Ia tidak suka ada orang lain yang mengetahui identitasnya. Selama
"Apa maksudmu berkata seperti itu? Apa ada pria yang masuk tanpa izin?" tanya Daren.Kiana menatap kakaknya sebelum mengatakan sesuatu. Ia ingin melihat ekspresi Daren saat ini. Ia tersenyum kecil ketika melihat wajah sang Alpha arogan tersebut. Mungkin ia tak salah melihat dan menilai. Kakaknya begitu khawatir. Terlihat jelas dari tatapan pria itu."Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa?" tanya Daren, berubah menjadi kesal pada adiknya itu.Apa ada yang salah dengan dirinya? Mengapa Kiana senang menertawakan dirinya seperti itu? Apa ia seorang badut?"Kakak khawatir?" tanya Kiana, mencoba memperhatikan raut wajah Kakaknya sekali lagi. Benar saja, kali ini wajah Daren berubah menjadi salah tingkah. Bahkan pria itu membuang wajahnya ke arah lain, agar Kiana tak melihat. Namun, bukan Kiana jika tak tahu. Ia terkekeh ketika melihat semburat merah di pipi Kakaknya, meskipun hanya sedikit. Itu juga sudah menandakan jika Kakaknya mulai ada perasaan pada Elisa.Ia begitu senang melihatnya saat i
Elisa melihat tas milik Arya. Ada sesuatu di dalam tas tersebut. Dia menggapal dan merogoh ke dalam tas. Dua buah buah berwarna merah sudah berada di tangannya. Dia memperhatikan buah yang masih belum diketahui namanya itu. Rasa penasaran pun hadir seketika itu juga.Buah itu terlihat begitu segar. Begitu siap untuk dimakan. Seakan-akan mengatakan 'makan aku.' Elisa kembali memandangi buah tersebut. Setelahnya, ia mulai membuka mulut dan menggigit daging buah itu. Mengunyah dengan perlahan-lahan. Menikmati rasa manis dari daging buah tersebut.Tiba-tiba saja dirinya merasakan sesuatu yang aneh. Dia tak bisa menjelaskan apa itu. Namun, rasanya seperti ada kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Elisa menatap buah merah itu dengan seksama. Dia memikirkan sesuatu yang mustahil. Meskipun begitu, ia masih ingat ucapan kedua burung yang ditemuinya saat berada di hutan hitam."Apa semuanya karena buah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Dia kembali menggigit buah itu, hingga hanya tersisa seper
"El! Apa yang kau lakukan padaku?" teriaknya terkejut.Pagi ini, Kiana dibuat kesal oleh seseorang. Rasanya ia ingin sekali memukul kepala gadis yang sedang menertawainya.Dengan santainya gadis itu mengerjainya. Wajahnya begitu banyak coretan. Bahkan dirinya terkejut ketika melihat bayangan di kaca."El, kau apakan wajahku!" teriak Kiana pada temannya itu.Ia begitu murka dengan Elisa. Gadis itu benar-benar telah mengubah wajahnya seperti gembel sekarang. Warna hitam di bagian matanya membuat siapapun yang melihat akan tertawa. Belum lagi gambar kumis di atas bibirnya semakin menambah kengerian.Kiana berusaha menghapus lukisan tersebut. Namun, bukannya bersih, warna hitam itu semakin menyebar hingga hampir menutupi sebagian mukanya. Pada akhirnya, ia hanya pasrah saja. Elisa benar-benar keterlaluan kali ini."Kau marah?" tanya Elisa terkekeh.Sebenarnya ia tak perlu bertanya tentang itu. Dari raut wajah Kiana sudah mengatakannya tanpa bicara. Gadis itu begitu lucu. Meskipun kesal, t
Meskipun mereka berbaikan, Kiana masih merasakan kesal pada Lisa tentang keluhan gadis itu. Namun, keduanya masih berjalan bersama. Kiana mendorong pintu yang berdiri kokoh itu. Saat pintu terbuka, Elisa pun masuk ke dalam setelah Kiana."Wow, banyak sekali. Apa ini perpustakaan terbesar?" tanya Elisa.Ia kagum dengan pemandangan yang dilihatnya. Buku-buku berbaris dengan rapi, berdasarkan judul dan tema. Rak-rak tinggi menghiasi perpustakaan tersebut. Suasana di sana begitu damai dan tenang. Beberapa orang berjalan-lalu-lalang dan duduk dengan tenang sambil membaca buku yang mereka pilih."Itu dia," tunjuk Kiana pada rak-rak buku yang berjejer rapi di ujung tempat itu.Kiana langsung menarik tangan Elisa menuju salah satu rak bertuliskan tentang tanaman herbal. Elisa mengikuti ke mana tarikannya.Setelah sampai di depan rak, tangan Kiana melepas genggamannya. Gadis itu mulai mencari buku-buku yang diinginkan.Tidak hanya Kiana, tapi Elisa juga mulai mencari beberapa buku yang diingin
"Hei, kita bertemu lagi," sapa Elisa pada Ben yang sedang menata rak tanaman herbal. Suasana dan penataan masih sama seperti saat pertama kali dirinya datang ke sini, hanya saja ada yang sedikit berbeda. Ada beberapa rak tambahan di dekat pintu masuk tadi, berisi ramuan-ramuan herbal yang tak diketahui apa fungsinya. "Hai, bagaimana kabarmu?" tanya Ben tanpa menatap ke arah gadis itu. Ia masih hafal dengan suara khas Elisa. "Baik, kau bagaimana?" tanya Elisa sambil menyandarkan kedua tangannya di atas meja. "Seperti yang kau lihat, aku selalu baik," ujar Ben, menghadap dan melihat Elisa. Ia sedikit terkesima ketika kembali memandang gadis itu. Ada perubahan yang ia rasakan pada tubuh Elisa. "Kau berubah, terlihat seperti," ucap Ben, menatap dirinya sambil berpikir, mengerutkan keningnya, "kau tambah cantik, kurasa," lanjutnya tersenyum pada Elisa. Elisa membalas senyuman Ben. Tidak hanya pria itu, dirinya pun juga merasakan perubahan pada tubuhnya. Seakan-akan dirinya menjadi lebi
"Kau harus mati sekarang!" teriak Valeri sambil mengangkat tangannya yang sudah mengeluarkan cakar panjang. Hampir saja cakar itu mengenai dada Elisa. Keberuntungan masih menyertainya. Tubuh Valeri tiba-tiba terhempas jauh, menabrak rak ramuan herbal dan membuatnya hancur, menjadikan tubuh Valeri basah karena ramuan yang tumpah.Elisa tercengang dengan apa yang terjadi. Dia tidak tahu bahwa Kiana bisa melakukan hal seperti itu."Ada apa di sini?" tanya Ben dengan amarah ketika melihat tokonya dalam keadaan berantakan. Dia melihat siapa yang berada di antara pecahan botol ramuan tersebut. Sambil berjalan, ia mendekati Valeri."Kau lagi," ujar Ben. "Aku sudah katakan jangan menghancurkan tokoku lagi," lanjutnya dengan marah.Ben tidak suka dengan wanita itu. Valeri mempunyai aura jahat menurutnya, yang bisa menghancurkan orang lain. Apalagi Valeri tidak bisa menghilangkan amarahnya, emosi wanita itu begitu cepat tersulut. Pantas saja raja dan ratu tidak menyukai Valeri, semua itu karena
"Kiana, Apa kau ingin segera pulang?" tanya Elsa, berhenti melangkah dan menghadap ke arah Kiana, gadis yang masih sibuk memperhatikan tanaman hidup di depannya."Emmm, sepertinya iya. Memangnya kau ingin pergi lagi?" tanya Kiana sambil terus memperhatikan tanaman yang belum diketahui namanya."Ya, aku ingin pergi ke suatu tempat. Apa kau ingin ikut?" tanya Elisa lagi."Sepertinya aku lelah, El. Aku ingin segera berada di kamar saja. Kau tidak masalah jika pergi sendirian?" tanya Kiana.Kini, gadis itu beralih memperhatikan Elisa, gadis yang begitu cantik di matanya. Tidak hanya itu, tapi juga di mata setiap makhluk yang melihatnya."Baiklah, kalau begitu kau segera kembali. Aku akan kembali secepatnya," ujar Elisa mendekati Kiana sambil tak lupa memberikan tanaman satunya lagi. Kiana mau tak mau menerima tanaman tersebut. Ia sedikit kesal melihat ke arah gadis yang hanya cengengesan itu. Wajah Elisa terlihat tak bersalah sama sekali."Aku titip tanaman itu, letakkan saja keduanya di
Tentu, berikut paragraf yang lebih rapi:Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belu
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D
Seorang pria sedang berdiri diam sejak tadi tanpa ada pergerakan. Gelar alpha terkuat yang melekat padanya tidak mempengaruhi keadaannya. Pria itu terus menatap gadis yang sedang tersenyum pada pria lain. Tatapannya begitu menakutkan, bahkan beberapa warrior di sekitarnya merasa ketakutan karena aura yang dikeluarkannya. Daren melangkah mendekati gadis itu, tidak tahan dengan adegan yang menurutnya sangat tidak menyenangkan. Ia melangkah tanpa memperdulikan tatapan aneh orang-orang di sekitarnya. Ketika sudah sampai, ia dengan kasar menangkap leher rogue yang sedang terikat. Elisa yang berada di samping terkejut dan terhuyung beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan!" teriak Elisa saat menyadari apa yang dilakukan oleh Daren. Pria itu dengan kasar mencekik rogue yang tidak bisa bergerak. Daren menahan pria itu dengan tangan di lehernya sambil mengangkatnya dari tanah. Wajah rogue itu sudah pucat, tanpa ada darah yang mengalir. Matanya melotot seolah-olah ingin keluar dari lubangnya. El
Semua orang telah berkumpul di lapangan, termasuk Elisa dan anggota kerajaan. Mereka semua menantikan acara pengumuman kontes yang telah berlangsung selama satu minggu. Kinan juga sangat antusias pada acara ini. Semua peserta berkumpul dengan antusias untuk mengetahui siapa pemenangnya, termasuk Elisa dan Kiana yang berharap bisa menjadi yang terbaik.Elisa merasa bahwa hadiah yang dia dapatkan tidaklah penting. Yang dia inginkan adalah diakui kemampuannya oleh semua orang. Dia ingin mendapatkan penghormatan dan rasa takjub dari mereka. Meskipun dia telah menjadi Luna, tetapi masih ada rakyatnya yang belum sepenuhnya menerima keberadaannya sebagai pasangan pemimpin mereka."Hai, aku yakin kita akan menang, El," ujar Kiana mendekati Elisa dengan kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Kebahagiaan itu menular pada Elisa dan membuatnya tersenyum bahagia. Mereka berdua yakin bahwa mereka akan menjadi pemenang. Tidak banyak rogue yang bertahan sampai akhir kontes, hanya beberapa yang berha
Warna air yang semula bening berubah menjadi sedikit kemerahan akibat darah yang menempel pada kain itu. Seorang gadis terlihat sangat telaten dalam membersihkan lukanya. Terkadang, raut wajahnya tampak lebih garang dari biasanya, dan mulutnya komat-kamit seperti seorang dukun yang sedang membaca mantra. Sesekali, tangannya menyeka kulit pria itu dengan kasar."Pria sialan! Seharusnya kau mati, bukan tertidur. Hanya membuatku terbebani saja," ujar Elisa sambil memasukkan kain ke dalam air yang telah tercampur dengan darah Daren.Sudah tiga puluh menit Elisa berada di ruangan itu, hanya mereka berdua. Tak ada yang menemaninya untuk berbincang, yang membuatnya merasa bosan.Elisa mengambil kain lain untuk menyeka sisa-sisa air yang menempel di tubuh pria itu. Tangannya dengan kasar mengelap di daerah bahu."Ivy, kenapa kau histeris begitu? Ya ampun!" ujar Elisa, merasakan sakit kepala."Kau sangat tidak peka, El! Kau tidak melihat itu? Ya ampun, begitu seksi. Aku ingin menyentuhnya, El!
2 / 2Elisa masih menutup matanya, berpikir sejenak. Apa yang sedang terjadi? Mengapa ia tidak merasakan apa-apa? Apakah ia sudah mati? Setelah menghitung dalam hati, ia membuka matanya perlahan-lahan. Namun, alih-alih menemui keadaan yang diharapkan, ia merasakan kecupan di dahinya yang membuatnya terkejut. Ketika ia menatap, ia melihat Daren tersenyum padanya.Pedang yang tadi disentuh oleh Daren sudah jauh dari dirinya. Ia tidak mendengar suara benda itu jatuh atau tersingkir. Daren tiba-tiba saja terjatuh dan menabrak tubuh Elisa. Terkejut, Elisa langsung menangkap tubuh pria tersebut yang begitu berat. Namun, karena keterbatasan kekuatannya, Elisa tidak bisa menahannya dan akhirnya ikut terjatuh bersama Daren yang telah menutup matanya."Hei, jangan bermain-main!" bisik Elisa dengan suara bergetar di telinga Daren.Namun, pria itu tetap tak bergerak, semakin melemah. Elisa mencoba mengguncang-guncangkan tubuh Daren, tetapi ia tetap tidak bereaksi. Bahkan semakin melemah."Apa kau
Teriakan dari para pejuang bergema di lapangan. Mereka terkejut dengan apa yang terjadi. Alpha mereka terluka.Sementara itu, Elisa semakin menarik pedangnya untuk membuat luka semakin dalam. Berbeda dengan Elisa, Daren tetap tenang. Ia bahkan tampak menikmati gesekan pedang tersebut. Ia tidak memperdulikan darah yang mengalir dari lehernya."El! Berhenti! Kau akan membuat Daren kehabisan darah!" teriak Kiana yang telah memperhatikan pertarungan mereka berdua.Namun, Elisa tidak menghiraukannya. Tanpa sadar, tubuhnya terhuyung ke samping. Kiana mendorong gadis itu dengan kekuatan serigalanya. Ia tidak menyadari tindakannya.Ketika menyadari apa yang telah dilakukannya, ia berlari mendekati Elisa untuk membantu gadis itu berdiri. Ia juga meminta maaf pada Elisa."El, apa yang terjadi padamu?" tanya Kiana ketika berada di depan gadis itu."Kia, kembalilah ke tempatmu. Aku akan menyelesaikan urusan dengan pria gila itu!" ejek Elisa sambil tetap menatap pria di hadapannya yang meremehkann
Daren sangat marah. Elisa belum ditemukan selama lebih dari satu jam. Ia telah menebas beberapa kepala prajurit yang gagal menjalankan tugasnya, termasuk dua pengawal yang telah diperintahkannya satu atau dua hari yang lalu. Tanpa ragu, ia mengayunkan pedang yang masih berlumuran darah prajurit tak bersalah. Para pejuang yang berkumpul di sana merasa cemas melihat teman-teman seperjuangan mereka mati sia-sia. Mereka merasa seperti menunggu kematian yang menjemput mereka, semakin dekat dan dekat."Mengapa kalian membiarkannya pergi begitu saja? Aku sudah mengatakan agar tidak meninggalkan luna kalian sendiri, bukan!" teriak Daren sambil mengayunkan pedang ke arah pejuang lain yang menunggu giliran. Suara pedang menyambar, dua kepala terlepas dan darah mengalir dari sayatan di leher mereka seperti air yang deras.Daren menghentikan gerakan pedangnya setengah ayunan. Ia merasakan aroma yang dikenalnya dengan baik. Aroma vanilla dan kayu manis yang memikatnya. Daren menoleh ke arah sumber
Greg sibuk bermain dengan para rogue yang semakin banyak menyerangnya, tetapi bukannya takut, ia malah menyeringai dengan senang hati. Meskipun begitu, ia bingung dari mana datangnya mereka semua. Sepertinya mereka tidak pernah habis. Mati satu, muncul lagi yang lain. Tubuhnya sudah dipenuhi dengan bekas cakaran dari para rogue, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk membunuh mereka. Meskipun sudah dua hari bertempur, ia tetap tidak kelelahan. Kemampuannya tidak diragukan lagi. Daren bahkan bisa bertempur selama seminggu hanya untuk mempertahankan wilayahnya.Tiba-tiba, suara sang beta mengganggu Greg. Seketika itu, dia tidak bisa berkonsentrasi. Beberapa rogue bahkan sempat melukainya. Greg mundur sedikit dan menggeram marah pada mereka. Main-mainnya telah hilang. Kali ini, dia akan menyelesaikan semuanya dalam sekejap. Dia bahkan mengaum keras sehingga terdengar oleh seluruh kaum werewolf yang ada di sana. Tanpa menunggu lagi, dia menerjang rogue-rogue di sana.Dia mencakar d