Share

3. Bayangan Zara

Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver, tapi pria itu hanya kembali menunduk, sibuk dengan berkas-berkas di depannya.

"Sudah selesai?" tanya Oliver dengan ekspresi datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya.

Yara mengangguk, meskipun Oliver tak melihatnya. "Iya, sudah. Aku akan kembali ke rumah sakit," jawab Yara dengan nada yang berusaha tetap tegar.

Namun tak bisa dipungkiri, hatinya terasa sedikit perih. Tak ada pujian atau apresiasi, seolah apa yang ia lakukan hanya kewajiban tanpa makna.

Oliver akhirnya mendongak, mengangguk singkat. "Baik. Lucas akan mengantarmu."

Yara terdiam sejenak, menatap Oliver yang kembali larut dalam pekerjaannya. Ia merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga mental, karena mulai saat ini ia harus terus memerankan sosok Zara di hadapan pria yang dulu diam-diam ia cintai.

"Satu hal lagi, Oliver," kata Yara dengan suara rendah tapi serius. "Aku harap kamu selalu ingat, meskipun aku terlihat seperti Zara, aku tetaplah Yara. Jangan lupa itu."

Oliver mengangkat kepalanya, menatap Yara dalam diam. Sesaat, ada kilatan emosi yang sulit diartikan di matanya. Namun kembali lenyap dalam sekejap. "Aku nggak akan lupa," katanya pelan, tanpa ekspresi.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Yara menghela napas dan melangkah keluar dari ruangan itu.

Di luar udara terasa lebih berat, seolah setiap langkah yang ia ambil semakin menenggelamkannya dalam peran yang tak pernah ia pilih.

Namun demi ibunya, demi Zio, dan demi janji yang telah ia buat, Yara tahu ia harus terus melangkah.

Namun, satu hal yang ia sadari dengan pasti—hatinya takkan pernah sepenuhnya menjadi milik Oliver selama pria itu masih melihatnya sebagai bayangan Zara.

***

Setelah dokter mengizinkan Yara pulang, Lucas lantas mengantar Yara dari rumah sakit ke rumah Oliver.

Setibanya di rumah, kegelisahan Yara berganti dengan perasaan khawatir saat ia bertemu dengan Zio. Anak berusia 2 tahun itu sedang menangis di pangkuan Lisa.

Yara tercenung ketika matanya dan mata Zio bertemu. Anak itu meronta-ronta pada Yara sambil memanggilnya, “Mama...! Aku mau Mama...!”

Ratapan Zio membuat hati Yara merasa tercabik-cabik. Ia pun merindukan Zara, apalagi Zio. Namun anak itu tidak bisa membedakan wajah ibunya dan Yara.

Tanpa membuang-buang waktu, Yara segera mendekat dan mengambil Zio dari pangkuan Lisa yang tampaknya kesulitan menangani Zio. Tangisan Zio seketika terhenti, membuat Yara tertegun, karena bahkan Zio pun menganggap dirinya Zara.

“Mama di sini, Sayang. Mama bersama Zio dan nggak akan meninggalkan Zio,” ucap Yara dengan lembut seraya mengusap-usap punggung anak itu.

Saat Yara menggendong Zio dengan hati-hati, anak kecil itu segera menempelkan wajahnya di leher Yara, menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Tangisan Zio berangsur-angsur mereda, meninggalkan hanya isakan kecil di dadanya yang naik turun. Yara merasakan berat tubuh Zio di pelukannya, sekaligus berat dari peran yang harus ia jalani.

“Mama... Zio kangen Mama,” gumam Zio dengan suara lirih.

Yara merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. Zio tidak tahu bahwa Yara bukanlah ibunya yang sesungguhnya. Sejak Zara meninggal, Yara telah berusaha keras mengambil alih peran itu demi Zio—dan mungkin juga demi Oliver, yang tampaknya masih hidup dalam bayangan Zara.

“Zio, Mama ada di sini sekarang,” bisik Yara lagi, meskipun hatinya terasa perih. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa setidaknya, kehadirannya dapat memberikan sedikit kenyamanan bagi anak ini, meski kenyataan di baliknya sangat kelam.

Sambil menggendong Zio, Yara berjalan menuju sofa, membiarkan anak itu duduk nyaman di pangkuannya. Lisa yang melihat momen itu tersenyum lembut dan berkata, “Sepertinya Zio benar-benar tenang kalau bersama Non Yara. Saya sampai nggak tahu harus berbuat apa tadi.”

Yara hanya tersenyum tipis. Di satu sisi, ia senang bisa menenangkan Zio, tapi di sisi lain, hatinya dipenuhi kebingungan. Apakah ia akan selamanya hidup sebagai bayangan Zara, untuk Oliver, dan bahkan untuk Zio? Sampai kapan ia harus memainkan peran ini?

Pada saat yang sama, seorang pria datang dan melihat pemandangan tersebut. Pria itu tercenung, lalu bergumam, “Kak Zara...?”

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
kok jadi inget sama lavina... yang jadi ibu sambung. tapi cerita yara lebih menyakitkan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status