Share

2. Jangan Jatuh Cinta Padaku

“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau,

tapi aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan ibuku. Dan selain itu... aku punya permintaan lain.”

Keterkejutan kembali tergambar di wajah Oliver saat mendengar ucapan Yara, tapi hanya sesaat, pria itu pandai menguasai ekspresinya. Ia berdiri, melangkah pelan keluar dari kungkungan meja kerja, bersandar di tepian meja menghadap Yara.

“Permintaan?” ulang Oliver dengan ekspresi datar.

“Iya.” Yara menjawab cepat. “Aku punya dua permintaan.”

Oliver melirik tangan kiri Yara yang tengah saling meremas dengan tangan kanan. Lalu kembali menatap wajahnya. “Baik. Apa permintaanmu?”

Yara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan berpenampilan dan bersikap seperti Zara saat di hadapanmu, seperti yang kamu mau.” Ia tahu, keputusannya ini akan membuatnya menderita karena harus menjadi bayangan seseorang di mata suaminya sendiri.

“Tapi beri aku ruangan khusus untukku, bukan ruangan Zara,” lanjut Yara, menyuarakan permintaannya. “Dan berikan aku kebebasan untuk menjadi diri aku sendiri saat aku nggak bersamamu. Jangan khawatir, aku tetap akan merawat Zio dengan baik.” Yara menelan saliva dengan berat. “Itu saja dua permintaan dari aku.”

Oliver terdiam sejenak. Lalu, tanpa diduga-duga, pria itu mengangguk sambil berkata, “Baik. Aku akan mengabulkan dua permintaanmu itu.” Ia berdiri tegak, menatap lurus ke arah mata Yara dengan tatapan sulit diartikan. “Aku nggak ada di rumah dari jam delapan pagi sampai jam enam sore. Kadang aku lembur sampai malam. Kamu bisa melakukannya di jam itu.”

Mendengar hal tersebut, hati Yara terasa jauh lebih ringan. Setidaknya ia tidak perlu selalu menjadi orang lain. Yara menghela napas lega.

“Terima kasih,” gumam Yara, lalu ia menegakkan punggung dan bicara dengan tegas. “Aku berjanji akan menjadi ibu yang baik untuk Zio.” Ini demi Zio, demi ibu, dan demi Zara, lanjut Yara dalam hati.

Tak ada jawaban apapun dari Oliver. Pria itu melangkah mendekati interkom, lalu berbicara, “Wanda, bawa kotak P3K ke sini. Sekarang.”

Wanda benar-benar sigap. Tak sampai dua menit kemudian, wanita itu masuk sambil membawa apa yang diminta Oliver dan menyerahkannya. Wanda melirik Yara sejenak dan tersenyum ramah, lalu ia melangkah mendekati Oliver.

“Tuan, dasi Anda kurang rapi. Biar saya bantu merapikannya.”

Yara memperhatikan pemandangan itu dengan perasaan tidak nyaman. Wanda dengan pakaian seksinya tampak tidak canggung saat merapikan dasi Oliver. Seolah-olah itu sudah menjadi kewajiban Wanda sebagai sekretaris Oliver. Mereka berdua sempat mengobrol mengenai pekerjaan dengan akrab sejenak.

Melihat kedekatan mereka, Yara jadi berpikir bahwa tidak mungkin Oliver punya hubungan khusus dengan sekretarisnya, bukan?

Namun, Yara segera menepis pikiran tersebut. Yang ia tahu, Oliver sangat setia pada Zara.

“Sekarang sudah rapi.” Wanda tersenyum manis sambil menurunkan tangannya dari leher Oliver. Mundur dua langkah, mengangguk sopan. “Saya pamit keluar, Tuan.”

Oliver hanya mengangguk. Yara memperhatikan wanita cantik itu melenggok dengan anggun keluar dari ruangan CEO.

“Duduklah!” perintah Oliver sambil mendaratkan bokongnya di sofa dan membuka kotak P3K.

Yara menurut. Ia mengambil posisi di sofa seberang Oliver.

Oliver membuang napas kasar. “Duduk di sampingku.”

“Oh?” Yara benar-benar tak mengerti apa yang akan dilakukan Oliver. Meski begitu, ia menurut saja apa yang diperintahkan pria itu. Yara duduk di sofa panjang yang diduduki Oliver.

Seketika itu juga, Yara terkesiap saat Oliver tiba-tiba meraih tangan kirinya. Dan baru Yara sadari bahwa punggung tangannya itu berdarah, akibat jarum infus yang ia cabut tadi.

Tanpa banyak bicara, Oliver membersihkan darah yang mulai mengering dari punggung tangan Yara dengan hati-hati. Yara menatap wajah Oliver yang tengah menunduk, ia merasakan debaran aneh itu hadir kembali di dalam dadanya setelah belasan tahun berlalu.

Oliver mengambil plester, lalu dengan perlahan menempelkannya pada luka di tangan Yara.

"Sesuai dengan perjanjian kita di awal, aku ingatkan kembali, selama menikah, jangan sampai ada perasaan di antara kita berdua. Kamu tidak boleh jatuh cinta padaku, dan aku pun tidak akan pernah jatuh cinta padamu."

Yara menelan saliva dengan berat. Ucapan dan sikap Oliver tersebut membuat Yara tercenung. Oliver melarang Yara jatuh cinta padanya. Tetapi bagaimana bisa Yara tidak jatuh cinta pada Oliver, jika sikapnya seperti ini?

Oliver tidak pernah tahu, bahwa Yara sudah jatuh cinta padanya sejak ia masih remaja. Bahkan, Yara yang lebih dulu jatuh cinta pada pria ini ketimbang Zara.

Saat Yara tengah menatap Oliver, pria itu tiba-tiba mendongak, membuat tatapan mereka bertemu. Yara terkesiap dan seketika mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu jangan khawatir, aku juga nggak akan jatuh cinta padamu," ujar Yara dengan tenggorokan tercekat.

“Bagus. Sekarang bersihkan tubuhmu dan ganti pakaianmu, setelah itu kembalilah ke rumah sakit, kamu belum benar-benar sembuh,” ucap Oliver dengan nada datar.

Yara menunduk, menatap penampilannya sendiri. Dan ia kembali tersadarkan bahwa tampilannya saat ini sungguh memalukan.

“Ganti pakaian bagaimana? Aku nggak membawa apa-apa ke sini, apalagi pakaian ganti.”

Oliver menunjuk sebuah pintu yang berada di dalam ruangannya. “Masuklah ke sana. Di dalam lemari banyak pakaian Zara, pilih saja pakaian manapun yang ingin kamu gunakan,” kata Oliver sambil merapikan kotak P3K.

Mendengarnya, Yara kembali tercenung. Benar. Perhatian yang Oliver berikan barusan ia lakukan untuk ‘Zara’, bukan karena khawatir dengan kondisi Yara.

Yara menghela napas pelan, debaran yang semula menguasai jantungnya kini seketika terhenti, tersadarkan oleh kenyataan.

“Baiklah,” ucap Yara sambil berdiri dan mendekati pintu tersebut. Bagaimanapun, ia tidak mungkin keluar dengan penampilan seperti ini.

Tangan Yara mendorong pintu yang tak dikunci itu. Rupanya, itu ruangan yang cukup luas dengan pencahayaan remang-remang dan ada ranjang di sana. Yara pikir, sepertinya ini tempat Oliver untuk beristirahat.

Ia membuka lemari dan merasa cukup terkejut, karena selain ada pakaian Oliver, di dalam lemari itu banyak dress cantik milik Zara yang hampir semuanya berwarna pastel yang lembut.

“Mereka pasangan suami istri yang romantis,” gumam Yara sembari tersenyum getir. Terbukti dari bagaimana Oliver menyediakan pakaian Zara di dalam ruangan pribadinya, di kantornya sendiri.

Cukup lama Yara memilih pakaian, semuanya bukan seleranya. Namun ia terpaksa harus memilih salah satu, lalu pilihannya jatuh pada satu-satunya dress berwarna merah. Cerah. Sesuai kepribadiannya yang ceria.

Selesai mandi dan memakai make up—yang juga, milik Zara, Yara mengenakan gaun tersebut. Ia memilih salah satu high heels berwarna senada dan menata rambut semirip mungkin dengan Zara.

Saat Yara melangkah keluar dari kamar ganti dengan gaun merah yang cerah, tubuhnya terasa aneh, seolah tengah memainkan peran yang bukan dirinya.

Gaun itu terlihat menawan, tetapi tak bisa menghapus rasa asing yang menyelubunginya.

Yara menatap bayangannya di cermin besar di ujung ruangan. Sekilas, dengan tatanan rambut yang serupa, mungkin Oliver akan melihatnya sebagai Zara.

Namun hati kecil Yara tahu, itu bukanlah siapa dirinya yang sebenarnya.

Yara menelan ludah, menyiapkan mental sebelum keluar dan menghadapi Oliver lagi.

Saat membuka pintu, Oliver menatapnya dari balik meja kerjanya, lalu matanya sedikit menyipit, seakan mengevaluasi penampilan Yara.

Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
sekertaris gatel. pasti berusaha ngincer oliver
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status